Senin, 09 Agustus 2010

Berita Lokomotif

Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Jalan ke kotamu sudah lama dialihkan, karena jalan lama itu sudah ditutup akibat penguasa tidak berkenan. Jalan baru dibuat lagi dengan anggaran pemerintah daerah. Kantor pengadilan di kotamu itu juga sedang direhab, untuk sementara pengadilan meminjam aula kantor dinas perhubungan guna menyelesaikan perkara-perkara hukum yang tak pernah sepi, selalu ramai bagai pasar.

Di sebuah stasiun kereta, kau masih terlihat sibuk dengan teka-teki silang. Orang-orang berkemas dengan barang-barang yang berat dan banyak, anak-anak kecil berlarian, orang separuh abad, suami istri yang terlihat gelisah. Tapi, kereta malam hari tak jadi berangkat karena perusahaan jasa transportasi bangkrut setelah pemilu. Menurut koran-koran yang selalu terlambat terbit, pemerintah sibuk dengan teroris, artis skandal porno, korupsi kecil-kecil, dan mentega di meja presiden pagi hari. Tapi, semua terlihat tidak begitu jelas. Para pengusaha menjual saham, pemerintah menyiarkan slogan dari sponsor rokok.

Kau kembali membaca berita, pengacara gendut marah-marah.

"Hukum di sini berlobang-lobang," katanya, "pengadilan dagelan!" bentaknya.

"Aduh!" pekikmu spontan dengan nada yang asing.

Langit merah. Matahari pulang. Petang datang. Udara dingin menusuk ke jantung. Kereta tua belum berangkat. Kecemasan masih terlalu tebal dan lampau untuk dijelaskan. Abad berkemas. Dan luka belum tuntas.
Banyuwangi, 2010

Minggu, 08 Agustus 2010

Tambal Ban "Salahe Sopo"

Kehidupan ini amat instan dan praktis, mulai baju, mode, komunikasi sampai pada istilah, agama dan percintaan, hingga yang sesepele-sepelenya. Masa bodoh dengan proses. Langsung jadi saja. Tepat dan cepat. Sehingga lalu kita boleh bersedih karena nyaris hidup ini kehilangan kesegaran jiwa yang hakiki, yakni kegelisahan, kecemasan, kerinduan yang adalah pusat reinterpretasi segala yang serba baku dan melulu. Kepastian teknologi dan pola pembagian kerja (job discription) dan status, membuat kita terjebak ke dalam sikap harus dalam berkehendak, lalu hidup kita pun hanya sekadar untuk hidup, bukan hidup yang dengan kearifan menerima kehidupan, alangkah kakunya. Padahal hidup kita ini sejatinya membutuhkan ketidakpastian-ketidakpastian dan satire untuk menertawakan diri sendiri sebagai wujud betapa manusianya kita. Tapi, di tengah ini semua, tukang tambal ban memberi nama tempat praktek kanisirnya di tepi jalan dengan tulisan pada benner, yang berbunyi: "Tambal Ban Pak Yanto. Dokter Tambal Ban "Salahe Sopo". Nah..

Taufiq Wr. Hidayat
Muncar, 8 Agustus 2010

Satiran

Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Satiran memelihara ayam kate dan kelinci. Rumahnya sederhana, dindingnya bercat biru, ditempeli foto-foto perkawinan, di ruang tamunya terdapat bufet yang di dalamnya penuh dengan gelas-gelas kosong, toples, dan panci-panci di atas bufet ke...cil yang berdebu. Satiran hanya makelar kambing, dia menjualkan kambing-kambing Suraji van Houten di Singotrunan ke warung-warung sate terdekat, dari situ dia memperoleh laba, kadang Suraji memberi Satiran sekadar 25 sampai 50 ribu rupiah.

Dari penjualan kambing-kambing Suraji itu, Suraji tahu kalau Satiran mendapat laba, kadang kalau beruntung, Satiran memperoleh laba sampai 100 ribu. Tapi, Suraji tetap memberi Satiran uang 25 sampai 50 ribu rupiah dan itu kadang-kadang, tidak sering. Suraji juga tahu kalau Satiran adalah seorang 'togel mania'. Suraji tidak menyoalnya. Tiap detik dalam kehidupan Satiran tidak pernah lepas dari angka-angka itu.

"Hari ini nomornya kambing merah, Ran," kata Suraji, "aku yakin. Sangat yakin," tambah Suraji.

"Jangan terlalu yakin dan berharap pada angka kambing merah hari ini. Tidak ada angka yang mutlak! Jangan mengagung-agungkan apalagi meluhurkan angka yang berwajah anjing!" jawab Satiran dengan logat Usingannya yang basah mengental.

***

‎"Benar-benar sudah wajah anjing," ujar Satiran kepada Sandog.

"Masak? Kan sudah saya ceritakan bahwa saya mimpi setan pakai sandal, itu berarti 0102, 01 setan, 02 sandal. Malah dia kasih 0302, 03 itu mayat! Kopok nawi wes! Kok dia gak tahu?...! Dukun babi bener! Angka gak bagus kok diagung-agungkan. Dasar wajah celeng!" Satiran marah-marah.

Sandog diam. Dia merasa bersalah kepada kawannya, Satiran, karena dialah yang mengenalkan Satiran pada dukun togel itu, Kikkartoz yang tinggal di Kabat.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Perihal Haji Duliso

oleh: Taufiq Wr. Hidayat

Haji Duliso memang orang terkaya di gang itu. Di antara rumah-rumah reyot dan kumuh, rumah Haji Duliso bagaikan istana di antara belantara kemelaratan, berlantai keramik yang bila diinjak tidak licin.

"Keramik di rumah Haj...i Duliso, kalau diinjak bisa menggigit ke telapak kaki. Pokoknya top! Haji Duliso juga punya laptop, istri dan kedua anaknya punya Hp yang bagus, bisa untk memotret," papar Sartono Genok pada Mandulo di warung Yusartinu.

"Apa dia juga punya tipi?" tanya Mandulo.

"Wah! Kau ini bodoh amat! Yang namanya tipi, dia punya tiga biji, semua layar datar."

"Uwah!"

"Dia 'kan kaya. Banyak perusahaannya."

"Tapi, menurut Satiran, Haji Duliso juga punya istri simpanan, masih muda, usianya 18 tahun, kuning langsat dan segar, di sebuah desa terpencil."

"Yang benar? Jangan fitnah!"

"Benar. Tanya Satiran kalau gak percaya."

Keduanya kemudian terdiam. Di pikiran masing-masing terbayang istri muda Haji Duliso dan angka-angka Togel yg masih belum sempat terucap dalam percakapan pagi itu. Angin membawa bau sampah, dan burung gereja bermain-main di udara.

Kau Menari di Dalam Lautmu

Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

“Pada sebuah tepi,” demikian kau awali sebuah ceritamu kepadaku.

“Pada sebuah tepi yang apa?” begitu aku bertanya.

“Pada sebuah tepi laut. Lautan yang mengisahkan tentang sebuah bukit kecil ketujuh yang ditumbuhi pohonan. Pohonan yang tidak pernah terjamah,” katamu sembari menari. Kau melompat-lompat. Agresif. Namun tak menyimpan kegarangan. Daging-daging dari tubuhmu yang gembur rontok ke tanah. Udara dingin. Angin lautan yang terkadang kencang pada sebuah perkampungan tepi laut membawamu terbang.

Kereta api yang bertahun-tahun karatan seolah tak pernah mengabarkan kapan ia akan berangkat. Langit ungu. Bulan separuh. Orang-orang membiru.

Kau masih di situ, menunggu dering dari sebuah wartel yang atapnya berlumut. Sedangkan berita mengenai kampungmu masih terngiang dibawa jerit burung gereja yang lapar. Tentang kampung kelahiran yang diam-diam digadaikan kepada pihak penambang dari pusat. Konon, ikan-ikan dalam mimpimu berenang ke tepi laut, mereka merindukan muara, air tawar untuk sejenak memandikan tubuhnya yang tak akan pernah asin dalam lautan air biru itu. Kau terbangun mendadak. Malam. Dan jam tua mendentangkan waktu yang kembali menyusun bangku-bangku kereta. Ikan-ikan melompat dari dalam kepalamu. Bau hangus kabel yang terbakar menyengat hidungmu dan hidungku.

“Masih dingin dan hujan tak membawa berita tentang cuaca dari tepi hutan,” katamu.

“Tapi, orang-orang masih berkomplot di tikungan. Topinya topi hujan. Jas hujan yang menyala. Dan di sebuah ruang ada yang menawarkan kehangatan, yakni tubuh yang segar serta daging yang ranum. Atau segelas jahe untuk melegakan tenggorokan, atau secangkir wiski yang panas,” kataku tak mengerti.

***

Seorang pejabat mengenakan jam tangan dari emas. Tubuhnya yang bergula seolah becek dan berjatuhan ke lantai. Rapat belum dimulai. Orang yang di tepi jalan itu mengamati dari balik jendela mobil hitam yang kacanya hitam. Ia mengawasi gedung pemerintah dengan tatapan seolah tak berkedip. Hujan masih turun dengan leluasa tanpa menandakan kapan akan berhenti.

Kau masih menari. Daging-daging tubuhmu yang gembur jatuh ke tanah. Kau terus menari seolah kesurupan bagai penari Seblang yang merayakan syukur akan melimpahnya hasil-hasil pertanian. Padahal di saat fajar, orang-orang juga merayakan upacara kematian dengan tarian dengan nyanyian dengan pesta makan dengan seks. Ya. Puncak segala kemegahan adalah seks. Mereka memburu itu. Menduduki kekuasaan, menggali kekayaan, mengukir nama dan keluarga, menggali emas dan menghabisi manusia, tak lain demi puncak kemegahan. Tapi, kau masih terus menari. Menari. Menari. Tertawa lalu meneguk secangkir anggur. Tubuhmu yang becek bergetar-getar lalu rontok, luruh ke bumi. Bumi yang penah menampung kelahiranmu.

“Aku harus pulang,” katamu.

“Ke mana?” tanyaku.

“Pulang ke tepi.”

“Tepi yang mana?”

“Tepi laut. Harum rambut yang terbakar dan harum kabel yang panas membuatku bergairah untuk kembali melayani kegarangan para binatang.”

“Siapa orang-orang itu?”

“Orang-orang itu.”

“Siapa?”

“Orang-orang itu. Orang-orang yang menanam emas di kepalanya.”

Langit hitam. Mendung bergerak pelan-pelan. Hujan mengalir. Seorang tua di tepi jalan, tertatih memikul kecemasan. Asap tembakau mengepul dari sebuah warung. Dan rapat belum dimulai. Sedangkan di luar, seorang lelaki mencurigakan mengawasi gedung pemerintah dari balik kaca mobilnya dengan seksama.

“Kapan rapat dimulai?” tanya seorang lelaki yang bergigi emas.

“Belum. Rapat belum dimulai. Belum,” jawab wanita bertubuh gembur dan mengenakan gelang emas di lengannya.

“Kapan?”

“Sebentar!”

“Segera! Tidak ada waktu lagi! Birahi tidak mungkin ditangguhkan lebih lama lagi, Bu!” ujar lelaki berambut putih dan giginya besar-besar seperti kapak.

“Sabarlah.”

“Baik.”

“Nah.”

“Jangan lama.”

“Tentu.”

Jalanan basah. Hujan terus mengalir. Sedang kau belum selesai menari. Kali ini ada air mata yang ikut mengalir dari kedua tepi matamu.

“Aku akan ke tepi,” kataku padamu.

“Ke tepi mana?” tanyamu.

“Ke tepi matamu.”

“Oh.”

“Ya.”

Jalanan basah. Lampu-lampu gemigil dihajar hujan. Asap tembakau mengepul ke jalanan. Bau parfum dan harum emas yang baru matang.

“Mari melakukan perjalanan,” katamu sambil terus menari.

“Perjalanan?”

“Ya. Sebelum segalanya terlibat dan sebelum segalanya meminta syarat dari waktu yang sekarat dan ruang yang karat. Ayo! Kita lakukan perjalanan.”

“Ke mana?”

“Ke tepi laut. Tepi dari segala tepian yang kehilangan perahu dan ikan.”

Kulihat ikan-ikan berlompatan dari dalam kepalamu. Bau kabel terbakar makin menusuk ke dalam hidungku. Tapi, kereta api malam hari yang belum juga berangkat masih kulihat tergeletak di dalam matamu. Bau amis darah. Darah dari ikan-ikan. Kau tiba-tiba berhenti menari. Diam. Mematung. Daging-daging dari tubuhmu terus berjatuhan makin cepat ke tanah. Rontok. Terus rontok. Namun, seolah daging dari tubuhmu yang becek dan gembur itu tak pernah habis disedot gravitasi bumi. Tiba-tiba kau melompat. Melompat ke dalam laut. Sampai ke dasar laut. Kau menari di situ. Di dasar laut itu.

“Rapat sudah dimulai. Kebijakan negara segera ditetapkan.”

“Bagus.”

Dan orang yang di tepi jalan hujan itu, mengawasi dengan teliti semakin geram semakin sakit hati semakin marah semakin marah semakin marah dari balik kaca jendela mobil hitam.

Dan kau terus menari. Menari di dasar lautan. Dagingmu melecuh dan lecet digerogoti air laut. Tubuhmu menjadi putih. Ya. Air laut. Dan ikan-ikan berenang di dalam kepalamu.

Banyuwangi, 2009

Perjalanan Sastra di Banyuwangi

Oleh Taufiq Wr. Hidayat

GELIAT dan pertumbuhan sastra Banyuwangi kontemporer, sebenarnya sudah dimulai sejak tahun-tahun awal 60-an. Ini dilakukan oleh sejumlah penyair Banyuwangi yang berkarya di luar Banyuwangi, seperti Armaya yang rajin menuliskan karyanya di Majalah Siasat tahun 1960 dan dalam antologi Manifes bersama Goenawan Mohamad yang diterbitkan Tintamas-Djakarta, 1963. Begitu juga yang dilakukan oleh Chosin Djauhari yang termasuk dalam Pujangga Baru. Di Banyuwangi sendiri, sejak tahun 70-an, geliat sastra mulai tumbuh dengan suburnya, baik sastra berbahasa Indonesia maupun yang berdialek daerah Using. Periode tahun 70-an ini diawali dengan kemunculan pembacaan dan apresiasi sastra di stasiun radio, yakni di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Banyuwangi. Puisi-puisi yang ditulis secara personala oleh sejumlah penyair Banyuwangi kemudian di bacakan di stasiun radio tersebut yang meluangkan waktunya dalam program sastra. Periode tahun 70-an ini, saya sebut saja sebagai “Periode RKPD”. Di situlah para penyair Banyuwangi membacakan puisi-puisinya dan mengapresiasi, di antara para penyair yang merintis pertumbuhan sastra di Banyuwangi adalah; Armaya, Hasnan Singodimayan, Pomo Martadi, Yoko S. Pasandaran, Slamet Utomo, dan Cipto Abadi. Puisi-puisi mereka tersebar di pelbagai media massa nasional. Misalnya Armaya dalam Bendera Sastra Jogja, Pomo Martadi di Pelopor Jogja. Sayangnya, di antara nama-nama yang saya sebutkan tadi, tidak ada yang memiliki antologi puisi tunggal, kecuali Hasnan Singodimayan yang telah menerbitkan novelnya berjudul Kerudung Santet Gandrung (Desantara, 2003).

Dari Periode RKPD itu, lahirlah penyair-penyair baru dalam kurun waktu 10 tahunan. Di awal tahun 80-an, muncul penyair-penyair bagus yang meneruskan perjalanan kesusastraan di Banyuwangi baik lewat acara program radio maupun di media massa. Di antara nama-nama penting itu adalah; Fatah Yasin Noor, Agus Aminanto, Gimin Artekjursi, Syamsul Hadi ME., Suhaili Bachtiar. Para penyair di awal tahun 80-an ini mengumumkan karya-karyanya di sejumlah media massa lokal dan nasional, juga di radio. Program radio yang memberi ruang sastra bukan lagi hanya di RKPD, melainkan radio Mandala AM Stereo pun membuka ruang program sastra dan apresiasi. Periode ini saya sebut sebagai “Periode Mandala”. Karya-karya penyair tahun 80-an ini memiliki sebentuk ciri khas tersendiri dibandingkan karya-karya penyair Periode RKPD. Fatah Yasin Noor dan Agus Aminanto yang karyanya telah dimuat di Bali Post dengan ‘penjaga gawang’ Umbu Landu Paranggi. Sedangkan Gimin Artekjursi telah berhasil menembus redaktur Majalah Sastra Horison. Pada periode ini juga, lahirlah penyair berbakat Nirwan Dewanto. Di usia yang masih belasan tahun, Nirwan Dewanto mendapatkan banyak pujian dari penyair-penyair gaek Banyuwangi. Nirwan Dewanto lahir di Banyuwangi dan bersastra pertama kali di Banyuwangi dalam pergulatan sastra lokal di Banyuwangi.
Lalu di tahun 90-an, yakni kemunculan karya-karya sastra dari para penyair di Banyuwangi semakin mendapatkan tempat yang lapang di dua stasiun radio sekaligus, yakni di RKPD dan Mandala AM Stereo. Muncul penyair-penyair di tahun 90-an ini, yakni Irwan Sutandi, M. Karyono, Adji Darmaji, Un Hariyati, Rosdi Bahtiar Martadi, Sentot Parijatah, Abdullah Fauzi, Iwan Aziez Syswanto S., A. Ardiyan, Taufik Walhidayat, Dwi Pranoto, Tri Irianto, M. Solichin, Samsudin Adlawi, Iqbal Baraas, Yudi Prasetyo, dll. Nama-nama penting tersebut telah menyumbangkan karya dalam sebuah pertumbuhan yang cukup berarti bagi perkembangan sastra kontemporer di Banyuwangi, meski pada akhirnya sejumlah nama kemudian menghilang karena terseleksi secara alamiah. Sejumlah antologi puisi, buletin, dan majalah sastra di Banyuwangi diterbitkan. Di awal-awal, mereka menerbitkan antologinya dengan diketik secara manual lalu digandakan berupa lembaran-lembaran kemudian dibagi-bagikan. Di sampaing itu juga, mereka cukup rajin mengirimkan karya-karya mereka ke media-media massa, misalnya Sentot Parijatah yang juga wartawan Karya Dharma, sering menampilkan puisi-puisinya di Surabaya Post di tahun 1996, Samsudin Adlawi yang wartawan Jawa Pos, juga sering menampilkan karyanya di Jawa Pos. Sejumlah buletin yang diterbitkan secara terbatas dan diasuh oleh sejumlah sastrawan Banyuwangi, antara lain; Jurnal Lontar (1971, yang dipimpin oleh Pomo Martadi), Buletin Point (1980), Buletin Imbas (1990, dipimpin oleh Tri Irianto), Buletin Menara Baiturrahman (1990, dengan Pimrednya Fatah Yasin Noor ), Buletin Jejak (yang kemudian terbit sebagai Majalah Budaya Jejak, 1990 sampai sekarang, diasuh oleh Armaya dan Pimred Fatah Yasin Noor kemudian Iwan Aziez Siswanto S.), Majalah Seblang (berbahasa daerah Using), dan Buletin Baiturrahman (2000, dengan Pimred Abdullah Fauzi, Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S.), Lepasparagraph (2002, dikelola oleh Taufiq Wr. Hidayat dan Dwi Pranoto).

Sejumlah antologi tunggal diterbitkan oleh penyairnya sendiri juga oleh sejumlah lembaga sastra, di antaranya Abdullah Fauzi dengan antologi berbahasa Using Dubang (Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) 2002), dan antologinya berjudul Sayap (1990). Taufik Walhidayat menerbitkan antologi tunggal berjudul Labuh Rindu (1993), Iqbal Baraas dengan Sebuah Penawaran (Remas Jami’atul Hidayat, Genteng, 1990), Penjual Payung (Gelar Tikar, 1993), Bunga Abadi (1997), Tri Irianto dengan Waktu (1998), Adji Darmaji dengan Juru Angin (1980, puisi berdialek Using), Iwan Aziez Syswanto S., dengan Matahari Pecah Kembali (1993), Rembulan di Atas Gelombang (2005), Fatah Yasin Noor dengan Gagasan Hujan (2003), Dwi Pranoto dengan Penjaga Lokomotif (1996), Taufiq Wr. Hidayat dengan Sepasang Wajah (2002) dan Suluk Rindu (2004).
Penerbitan secara tunggal itu sangat terbatas karena diketik secara manual dan difoto kopi, hanya beberapa yang diterbitkan secara modern berupa buku dengan jumlah eksemplar yang cukup banyak. Keterbatasan itu membuat sejumlah antologi yang telah terbit hilang dari dokumentasi perpustakaan dan komunitas, bahkan penyairnya sendiri hingga kini melacak keberadaan karyanya, misalnya Abdullah Fauzi yang kehilangan antologi awalnya Sayap. Buruknya media penerbitan dan pendikumentasian karya sastra di Banyuwangi, tak dapat dipungkiri telah merenggut sejumlah karya berkualitas para penyair Banyuwangi yang menjadi tonggak sejarah awal pertumbuhan sastra kontemporer di Banyuwangi. Menyadari keterbatasan tersebut, terutama sangat terbatasnya dana, para penyair Banyuwangi menyiasatinya dengan membentuk komunitas sastra di Banyuwangi yang terkenal, yakni Komunitas Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) yang melakukan pertemuan rutin tipa hari Selasa. Komunitas ini didirikan oleh sejumlah peyair tua di Banyuwangi dan dikelola oleh penyair-penyair muda. Pendiri Selasa adalah Pomo Martadi dan dikelola oleh Samsudin Adlawi, Rosdi Bahtiar Martadi, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan, dan Iwan Aziez Syswanto S. Komunitas sastra ini juga telah melahirkan sejumlah penyair generasi terbaru, dan secara berkala menerbitkan buletin Imbas juga menerbitkan kembali Jurnal Lontar yang pernah terbit tahun 1971. Dari komunitas Selasa lahir antologi-antologi bersama, Cadik (Komunitas Selasa dan Komunitas Penyair Bali, 1998), Menara Tujuh Belas (Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2002), Dzikir Muharam (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2004), Tilawah (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2005). Kemudian Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi memiliki agenda rutin menerbitkan kumpulan puisi karya tunggal para penyair Banyuwangi setiap tahun, Suluk Rindu ( Taufiq Wr. Hidayat, 2004), Dzikir Debu ( Nuchbah Baroroh, 2005), Tasbih (Abdullah Fauzi, 2006).
Perjalanan yang panjang itu, saya sadari tak dapat saya paparkan secara detil lagi, hal ini tak lain karena keterbatasan data dan sumber. Namun paling tidak, pemaparan ini memberikan sebentuk gambaran besar perjalanan kekusastraan di Banyuwangi dihitung dari dimensi pergerakannya dari tahun ke tahun. Kesusastraan di Banyuwangi banyak diramaikan dengan proses kreatif generasi tahun 80-an dengan puisi, jarang sekali tercipta cerpen dan novel. Beberapa penyair gaek juga memberikan sebentuk kritik sastra bagi generasi di bawahnya, yakni Hasnan Singodimayan, Armaya, dan Pomo Martadi. Tiga nama tersebut sangat berperan penting di dalam pembentukan seorang penyair yang matang di Banyuwangi yang karyanya kemudian menjadi konsumsi secara nasional. Dari asuhan tiga orang sastrawan itu, lahirlah Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S., Nirwan Dewanto, Samsudin Adlawi, dll.

Di samping itu pula, sastra pertunjukan juga mengalami puncaknya di tahun 1980-an. Ini ditandai di kota Genteng Kabupaten Banyuwangi, sebuah daerah pedesaan yang sering melahirkan karya-karya drama/teater. Komunitas teater di Genteng itu didirikan pada 1980 yang melakukan pelatihan-pelatihan teater di sekolah-sekolah. Komunitas itu kemudian diberi nama Gelar Tikar. Komunitas teater Gelar Tikar didirikan oleh sejumlah seniman di Genteng, yakni Totok Hariyanto, Sugito, Pak Azis, Pak Sa’roni, Pak Rifa’i, dan Iqbal Baraas yang masih berusia belasan tahun. Di tahun 1990-an, Gelar Tikar berubah nama menjadi Padepokan Gelar Tikar. Komunitas ini kemudian sangat rajin melakukan kegiatan sastra secara rutin di Genteng, mulai dari pementasan, penerbitan buku puisi bersama, pembacaan puisi, dan apresiasi sastra, baik di media cetak maupun di radio-radio komunitas. Ini juga merupakan bagian terpenting dalam perjalanan sastra di Banyuwangi. Sedangkan di Banyuwangi Kota, ditandai dengan munculnya Teater Tongkat Sandi yang dikelola oleh Abdullah Fauzi dan Agus Wahyu Nuryadi yang diasuh dan didanai oleh Armaya, juga Kasat Teater yang dikelola oleh Yudi Prasetyo, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan dan A. Saichu Imron di tahun 1990-an. Namun demikian, perkembangan seni sastra pertunjukan di Banyuwangi Kota tidak sebagus di Genteng, melainkan di Banyuwangi kota banyak menampilkan buku-buku dan media-media sastra komunitas.

Sekilas Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi

ADAPUN perjalanan sebuah langkah, tidak hanya terpaku pada bagaimana langkah itu digerakkan. Melainkan juga kita mesti mengukur secara obyektif nuansa gerak itu sendiri dengan kritis. Maka, barangkali menjadi penting di sini untuk saya mengupas sejumlah karya sastra (baca: puisi) di Banyuwangi dari tahun ke tahun yang terkumpulkan dalam media sastra di Banyuwangi, yakni Kertas Sastra Lontar dan Majalah Budaya Jejak. Adapun Lontar dan Jejak adalah media sastra yang paling bersejarah di Banyuwangi, berhubung kedua media sastra itu menjadi tempat proses kreatif sastrawan Banyuwangi, dan dari keduanya terlahir penyair-penyair nasional dari Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, Adji Darmadji, dll.

Karya sastra adalah sebuah gambaran ruang dan waktu atau sebuah kondisi aktual peradaban suatu masyarakat. Gampangnya begitu.

Di tahun 70-an, puisi-puisi yang ditulis oleh para penyair Banyuwangi sudah mengalami kematangan yang baik serta memiliki dunia khasnya sendiri di antara jutaan puisi yang pernah di buat di Indonesia di tahun yang sama.

Ada beberapa nama penting yang karyanya perlu saya kupas dalam tulisan ini. Beberapa nama tersebut menjadi penting karena di awal tahun 70-an mereka telah menancapkan bentuk awal perpuisian di Banyuwangi sebagai embrio generasi berikutnya, juga mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat berarti di dalam menyuburkan dinamika kesusastraan di Banyuwangi. Beberapa nama penting tersebut adalah Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi. Seringkali Armaya mengeluarkan dana yang tidak sedikit dari saku pribadinya untuk membiayai penerbitan buku dan kegiatan-kegiatan sastra di Banyuwangi. Sedangkan Hasnan dan Pomo seringkali melakukan sebentuk kritik sastra dan membentuk penyair-penyair baru. Tiga nama tersebut adalah penyair dan sastrawan nasional yang karyanya patut diperhitungkan. Armaya sendiri besar di Solo dan proses kreatifnya seangkatan dengan W. S. Rendra (mereka satu kelas di SMA dan teman akrab), Hartojo Andangdjaja, Mansur Samin, dan Taufiq Ismail. Beberapa karya Armaya tergabung dalam antologi nasional bersama Goenawan Mohammad, Hartojo Andangdjaja, dll. dalam antologi 30 sajak yang diambil dari karya Armaya yang dimuat dalam Majalah Siasat. Antologi tersebut berjudul Manifes (Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963).

Ada yang perlu dicatat jika mengupas karya-karya penyair Banyuwangi di awal-awal tahun 1960 sampai tahun 1970-an, yakni gaya ucap banyak terpengaruh dialek Banyuwangi asli, yakni dialek Using. Kecuali puisi-puisi awal Armaya, karya Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan sangat kental dengan gaya pengucapan berdialek Using Banyuwangi. Armaya menulis puisi, esai, dan prosa. Begitu juga dengan Pomo Martadi, dia produktif menulis puisi dan sangat jarang menulis prosa, penulis esai yang rajin serta penulis berita yang sangat teliti. Sedangkan Hasnan Singodimayan lebih produktif menulis esai dan kritik seni juga prosa. Amat jarang sekali menemukan puisi karya Hasnan, kecuali beberapa saja dalam hitungan jari. Penulis nasional ini seringkali menjadi tempat berlabuh para akademisi untuk menimba referensi kebuayaan lokal Banyuwangi.

Puisi Armaya di tahun 1960 banyak mencatat kerinduannya terhadap Banyuwangi. Seperti halnya penggalan puisinya berikut:

Bila Aku Pulang
(buat ibu & yunda)

Bila aku pulang ke kampung untuk kesekian kalinya
selalu kutemui si Luri dan Hasnan
cerita dan ketawa]meminum musim-musim yang terus berjalan

……..

(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)

atau:

Nostalgia

Terekam rindu dan warna bianglala
sejemput sejarah
Banyuwangi yang biru
Banyuwangi tempat bicara
sempat mengharu biru
dan
semangat menggebu gebu
kesenian wajah tersendiri
gandrung, angklung, rebana
semua dalam sebuah makna
kebenaran! Milik siapa saja

Bandung, 1982

(Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.2, April 1982. Terbit di Bandung).

juga

Kepergian

Pagisubuh di mana rumah itu telah kami tinggalkan
mentari lelap tidur di telanjang kabut
tak jauh tak beda suara bunda membentak
–he anak durhaka tinggalkan bumi berbasah darah ini
pembunuhan tanpa cinta menembus liang hatinya

……..

(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)

dan

Segenggam Permata

Aku terus berjalan
di semenanjung jalan ular
antara ranting-ranting rapuh berguguran
dalam cahaya bongkahan jurang
aku dapatkan permata di perutnya
warna warni bintang
merah menyala
sisi sisik ular keemasan
berdesir angin lautan
hutan diam
bersimpuh usapan tangan
bayangan pepohonan
terbelenggu ruang dan waktu

…….

Banyuwangi, 2002

(Sumber: Buletin Baiturrahman. No11, Oktober 2002.Penerbit: Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi).

Demikian beberapa kutipan sajak-sajak Armaya. Paling tidak, dapat kita telusuri, bahwa gaya khas Armaya tidak terlepas dari gaya sajak yang sederhana dan menggambarkan kerinduan orang rantauan akan desa. Aktualitas desa menjadi desah yang cukup erotis di dalam sajak-sajak awal Armaya.

Adapun sajak-sajak Pomo Martadi, memiliki bentuk dan pengucapan yang sederhana, dinamis, namun terkadang rumit dalam pemaknaannya. Sajak-sajak Pomo Martadi seringkali menjadi bahasan penting di dalam forum-forum sastra di Banyuwangi. Sajak-sajak Pomo juga telah banyak mendapatkan perhatian yang serius dari generasi sesudah tahun 90-an, dan tidak jarang penyair-penyair Banyuwangi sesudah Pomo mengalami keterpengaruhan dengan sublimasi sajak-sajak Pomo. Beberapa yang mungkin perlu saya kutip:

Puisi Tersisihkan

djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi, tersisihkan ini
jang tertinggal sepi
dipanggang teriknja sedjuta mentari duka

djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
angin malam menderai menerpa djantung jang letih
teriringkan pula njanjian hati
tapi
masih kau lagukan djuga
lagu kemengan dan kebebasan

djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi tersisihkan ini
jang telah terkapar dipintu hatimu

ah, terbangkit aku dari semua mimpi
ini bukan satu keachiran
sebab harapan masih mau bitjara
bintang2pun mau mengerdip
dan malampun mau temaram

(Sumber: Lontar, kertas sastra dan budaya. Edisi 01, Nopember 1971).

juga

Berita Utama Koran Sore

jika benar pedang bermata dua itu terlempar
ke dasar jurang dan hanya bisa dilihat lewat
cahaya bulan, berarti benar korban pemerkosaan yang
ditemukan terkapar dan berdarah di perbatasan
kota pagi tadi adalah pemiliknya yang tak
pernah melepas penutup mata dan tak lupa
membawa neraca yang kemarin sore masih tampak
membagi-bagikan payung kepada setiap orang
yang melewati jalan desa itu
langit tiba-tiba dikerubung mendung
bendera setengah tiang tanda berkabung
siapa di antara laki-laki berjubah
bulu gagak yang kaki dan tangannya berlumur
jelaga itu patut diajukan sebagai tersangka,
atau bisa jadi ketiganya jika terbukti ikut
melakukannya
orang-orang di kedai kopi tampak lega
peristiwa itu menjadi berita utama koran sore
apalagi terulas di tajuk rencana dan halaman
opini
tak heran jika mereka tak habis berbisik
ketika mempelesetkan kepanjangan empat huruf
sebuah singkatan pada judul buku lama berwarna
hijau

Jember-Banyuwangi, Juli 1996

(Sumber: Lepasparagraf. Edisi 2/2/05)

Saak-sajak Pomo terasa pekat, namun dengan gaya ucap yang sederhana. Banyak sajak-sajak Pomo adalah sebuah misteri peristiwa yang digali secara pekat dari faktualitas kejadian umum. Seringkali saya bertanya apa maksud diksi-diksinya puisinya yang terdengan ‘aneh’ itu kepada Pomo, dan dia menjawabnya dengan sebuah jawaban yang juga aneh namun terkesan tidak terlalu penting berkaitan dengan sajaknya. Tapi, menanyakan hal ini kepada Pomo menjadi sesuatu yang menarik, karena kemudian akan berlanjut dengan sebuah kisah panjang dalam setiap sajak-sajaknya, yakni kisah-kisah personal yang secara umum memiliki sebentuk keterkaitan yang lain. Ada sisi absurditas yang terbangun namun tak berkental-kental dalam filsafat. Ia adalah sebuah sajak yang sempurna dan memiliki ciri khas yang unik. Dan ketika beliau sudah meninggal dunia, maka saya pun kehilangan orang yang begitu sangat teliti dan antusias membahas sastra serta dunia tulis menulis. Pomo Martadi menggoreskan sajak-sajak yang menjadi sumber inspirasi penyair-penyair Banyuwangi generasi terkini di Banyuwangi.

Lalu Hasnan Singodimayan. Sebagaimana saya sebutkan, Hasnan sangat jarang menulis puisi. Dia lebih tekun menulis esai sastra dan kesenian, prosa dan drama. Namun dapat kita lihat karya-karya prosa Hasnan, seperti novelnya Kerudung Santet Gandrung yang diterbitkan Desantara laku hampir lima ribu copy. Prosa yang ditulis Hasnan banyak menggambarkan kegamangan dan kegelisahan spiritual dari seorang pecinta dan penjaga tradisi ketika harus berhadapan dengan nilai-nilai keyakinan beragama serta kekinian masyarakat. Hasnan mencoba membenturkan nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai agama yang selama ini diyakini yang terkesan membatasi ruang gerak tradisi setempat. Barangkali mirip dengan yang dilakukan DR. Chaim Potok yang mencoba membenturkan nilai-nilai Yahudi dengan kekinian ilmu pengetahuan serta aktualisasi jaman.

Lontar dan Jejak

Pada tahun 1971, Banyuwangi menerbitkan kertas sastra dan budaya yang bernama Lontar. Nama tersebut diberikan oleh Pomo Martadi. Media sastra pertama di Banyuwangi ini menjadi media utama yang sangat penting dalam proses kreatif penyair-penyair Banyuwangi hingga tahun 1983. Media sastra Lontar ini diterbitkan secara stensil seukuran saku dengan ketik manual oleh Blambangan Sastra dan Teater Club. Sejumlah nama penyair awal dan yang sudah gaek menjadi dewan redaksinya, yakni: Sudh Widjaya, Arbowati HS., Djoko Sp., S. Ghandiarto, Ds. Lubdhoko, Ririn Ma., Tjipto Abadi, Pomo Martadi, Hermin Hs., Mh. Sutikno, Rumaniyati, Zdulfiqar Awwami. Beralamat di: Djl. Sritandjung-Banjuwangi. Diterbitkan sekali sebulan 14 halaman, ditjetak pada Djawatan Penerangan Kabupaten Banyuwangi.

Lontar menjadi media sastra perdana di Banyuwangi yang telah melahirkan nama-nama penyair dan penulis Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, dll. Media sastra ini diasuh oleh Hasnan Singodimayan dan Pomo Martadi. Pomo Martadi seringkali menulis kritis sastra dan juga puisi di Lontar, sedangkan Hasnan banyak menciptakan penyair-penyair baru dengan esai-esai saastranya di samping juga mengupas secara mendalam mengenai kebuayaan lokal Banyuwangi. Lontar terus berkembang dari tahun ke tahun, hingga pada tahun 1980, Lontar sudah digarap dengan komputer dan dengan lay out yang lebih rapi.

Media sastra Lontar ini menjadi barometer kesusastraan modern di Banyuwangi, di mana penyair-penyair baru bermunculan dan dialog-dilaog sastra serta pertunjukan digelar oleh redaksi Lontar atau BSC (Blambangan Sastra dan Teater Club). Di tahun 1983-1984, Fatah Yasin Noor tiba di Banyuwangi dari studinya di Djogja. Nirwan Dewanto mengirimkan sajak-sajak awalnya ke Lontar, dll. Dua nama baru itu karya-karyanya menjadi bahasan penting dalam tiap pertemuan. Tak kurang Hasnan dan Pomo membahas karya-karya mereka dalam tulisan maupun dalam setiap pertemuan. Generasi Lontar adalah generasi orisinil yang memcetak penyair-penyair Banyuwangi modern di tahun 1970 sampai tahun 1983. Dengan minimnya pendanaan dan di samping itu banyak pengurus BSC yang ke luar kota untuk mencari nafkah, Lontar berhenti terbit pada edisi 23 tahun 1983. Sejak itu tahun 1983, media sastra cetak di Banyuwangi tidak terbit. Kesusastraan kembali lebih marak dibacakan dan diulas secara lisan di radio-radio lokal di Banyuwangi.

Baru di tahun 1990-an, muncul kembali komunitas sastra yakni Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi. Banyak di antara aggota komunitas adalah penyair-penyair generasi tahun 1990, atau para pemula. Namun, keberadaan Selasa tetap tidak lepas dari tangan dingin Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan. Nama Selasa diberikan oleh Pomo Martadi, dan komunitas ini kemudian menerbitkan media cetak sastra, yakni menerbitkan kembali Lontar dalam bentuk majalah. Edisi pertama, setelah mati sejak 1983, Lontar pada tahun 1998. Namun sayangnya, setelah edisi perdana di tahun 1998 itu, majalah ini tidak terbit lagi.

Lalu komunitas sastra yang dikelola Armaya yang beranggotakan tiga orang saja, yakni Iwan Aziez Siswanto S., Fatah Yasin Noor, Abdullah Fauzi, menerbitkan Buletin Menara Baiturrahman. Sebuah buletin Jum’at yang diterbitkan oleh Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi itu dikelola oleh tiga orang tersebut, dan secara langsung dibiayai oleh Armaya ditambah dengan dana yayasan. Hanya bertahan kira-kira setahun, buletin ini pun mati. Namun kembali terbit Buletin Jejak, mati lagi, kemudian terbit Buletin Baiturrahman hingga mati pada tahun 2004. Buletin-buletin masjid yang hanya empat halaman itu banyak memuat karya-karya sastra penyair Banyuwangi di tengah sangat keringnya pemuatan karya-karya sastra di media cetak di Banyuwangi. Sempat beberapa bulan lamanya, Radar Banyuwangi, koran yang diterbitkan Jawa Pos Group di Banyuwangi menyediakan secuil halamannya untuk puisi, karena kebetulan Samsudin Adlawi, penyair generasi terbaru Banyuwangi menjadi pimpinan redaksi Radar Banyuwangi.

Tahun 2000-an, Armaya mendirikan PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi). PSBB kemudian banyak menerbitkan karya-karya sastra modern di Banyuwangi dan puisi-puisi berdialek Using, esai-esai budaya, buku-buku sejarah, dan pengenalan kesenian Banyuwangi. PSBB tidak dikelola secara profesional, sehingga pendanaan bersumber langsung dari saku pribadi Armaya dan beberapa donatur saja. Lalu di tahun 2002, berdirilah DKB-R (Dewan Kesenian Blambangan Reformasi) yang diketuai oleh Fatah Yasin Noor. DKB-R ini kemudian menerbitkan Majalah Budaya Jejak yang terbit secara rutin hingga akhir tahun 2006. Di dalam majalah Jejak banyak termuat karya-karya penyair Banyuwangi, cerpen, esai sastra.

Pada akhir tahun 2006, Majalah Budaya Jejak berhenti terbit. Hal ini karena tim redaksi sudah mengalami perpecahan dikarenakan kesibukan mencari nafkah keluarga. Hingga kini, Armaya merasa kehilangan anak-anak didiknya dalam dunia sastra, sehingga dengan usianya yang sudah kepala delapan, beliau kebingungan orang untuk menerbitkan secara tehnis majalah sastra dan budaya yang ada dalam kehendak hatinya.
Dan di tahun 2008 ini, di Banyuwangi samasekali tidak ada media sastra, baik cetak maupun elektronik, tidak terbit lagi majalah/media dan buku-buku sastra di Banyuwangi, tidak ada radio yang ngomong sastra di Banyuwangi. Ini merupakan sebuah kemunduran yang aktual dari tahun-tahun lalu yang begitu subur dan menggebu menggairah. Sebentuk kemundulan yang aktual mengingat para penyair atau sastrawan di Banyuwangi terbilang tidak sedikit untuk ukuran sebuah daerah kabupaten, yakni kabupaten paling ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Semoga kekeringan ini segera berakhir.

Banyuwangi, 2008

Ratu Adil vs Umbul Umbul Blambangan

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


BANYUWANGI adalah sebuah miniatur Indonesia. Pelbagai persoalan dan dinamika yang terbentuk-cipta di dalamnya, ialah sebuah gambaran mutakhir Indonesia. barangkali tidaklah sekompleks persoalan Indonesia secara menyeluruh, tetapi pada dasarnya, Banyuwangi menyimpan sebentuk 'tabungan' kegamangan masyarakat di dalam menghadapi siklus ruang dan waktu. ini artinya, bahwa dinamika yang berkembang di kabupaten ujung timur pulau Jawa ini, memiliki satu garis linear dengan kondisi aktual masyarakat nasional.

Baiklah. Mari kita menghikmati untuk lalu menghayati daerah tercinta ini. Sebenarnya, untuk mengetahui seberapa jauh Banyuwangi menjalani proses dinamika sosial-politik-budayanya, tidaklah terlalu rumit. Sebagaimana merasakan hawa di musim penghujan di awal musim kemarau. Akan halnya pergeseran politik kita, cuacanya seperti perempuan, terkadang dingin, dan di saat lain akan menjadi hangat, panas, lalu menggebu, lantas dingin lagi. Tidak konsisten dan tidak bisa ditebak secara pasti.

Menghikmati potensi Banyuwangi tidak cukup dengan mengemukakan sebentuk warna hitam dan putih. Melainkan diperlukan sumber daya manusia yang ideal yang berwatak menghadapi pola jaman. Di sinilaha penting bagi kita untuk tidak sekadar memandang setiap fenomena dari sudut pandang yang hanya berbaik-baik dalam retorika dan slogan, tetapi samasekali tidak menjejakkan akar dalam kekinian ruang dan waktu. Para pemimpin yag kemunculannya secara formal ditandai oleh peran-peran politik praktis, ternyata banyak menyisakan segumpal kecemasan dan keprihatinan di dalam menjawab pelbagai persoalan kehidupan serta pembangunan daerah yang sesak oleh ketidaknyamanan eknomi dan sosial-budaya. Lihat jasa, berbondong-bondong para pejabat Pemkab Banyuwangi ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung, begitu juga dengan sang Bupati Banyuwangi, Ibu Ratna Ani Lestari, SE.MM., yang dalam lagu ciptaan H.tutus disimbolkan sebagai seorag "Ratu Adil", yakni ratu yang adil. Dan menjadi ironi yang aktual, ketika sang "ratu adil" kini harus berjuang dalam urusannya dengan soal-soal keadilan hukum. Seolah-olah sebuah isyarat. Tuhan memang sedang 'bermain-main' dengan masyarakat Banyuwangi.

Menarik jika kita mencermati lagu ciptaan H.Tutus yang berjudul "Ratu Adil itu. Menjadi menarik, karena kata "ratu" dan kata "adil" kini menjadi frontal, yakni sang ratu (yang semestinya menegakkan keadilan) harus menghadapi keadilan, yaitu keadilan hukum terkait kasus dugaan korupsi yang menimpa terhadap dirinya. Kita tidak hendak mengadili, kita juga tidak akan memberikan vonis apa-apa terhadap kasus dugaan korupsi yang kini dihadapi sang Ibu Bupati Banyuwangi, karena mengadili dan memvonis itu bukanlah wewenang dan hak kita, melainkan hak Kejaksaan dan Pengadilan. Maka, tentu kita berharap agar pihak Kejaksaan dan Pengadilan di negeri ini, benar-benar menjadi "Ratu Adil" (dengan huruf besar) bagi sang "ratu adil" (dengan huruf kecil). Dengan demikian, supremasi hukum benar-benar bisa membuat rakyat tersenyum puas, yakni bahwa setiap warga negara Republik Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Tidak itu yang kebal hukum. Termasuk para penegak hukum itu sendiri, karena hukum adalah sebuah abtraksi konkret yang dijaga oleh nilai-nilai masyarakat dan dikawal oleh tatapan-tatapan publik yang transparan. Nah, di sinilah kita bisa menegakkan demokrasi. Sedehana, bukan?

Berbicara keadilan, kita tidak boleh pesimis. Meskipun keadilan terkadang menjadi sedemikian absurd. Jangan putus asa untuk terus mendorong tegakknya keadilan, karena tentu saja berputus asa itu adalah dosa besar yang tidak disukai Tuhan seru sekalian alam. Oleh karena itulah, mari kita kawal penegakkan keadilan hukum itu secara kritis, tanpa adanya unsur macam-macam, tanpa rasa suka atau tidak suka, melainkan demi terwujudnya Hukum Adil. "Ratu Adil itu tidak ada/Berhentilah mencari Ratu Adil/Kerna Ratu Adil itu hanyalah tipu daya/Apa yang harus kita temukan adalah Hukum Adil/Hukum Adil adalah bintang pedoman....", begitulah kira-kira sajak W.S.Rendra.




Ratu Adil dan Umbul Umbul Blambangan (Sebuah Perbandingan)




SEBAIT slogan memiliki kekuatan yang utuh di tengah sebuah masyarakat yang tengah bersemangat melakukan sebuah capaian konkret dari cita-cita keberadabannya. Ini artinya, slogan mestilah nyambung dengan kehendak dan semangat suatu masyarakat, kontekstual dengan keadaan, serta sejalan dengan langkah-langkah sosial-budaya masyarakat itu sendiri. Hampir sama dengan sebuah syair (puisi atau syiar lagu). Bedanya hanya terletak pada usia. Nah, kalau itu sebuah slogan, ia akan hanya menjadi sloroh kepentingan politik, sehingga usianya tidak lama karena ia hanya memotret kekinian demi satu kepentingan yang bersifat sementara. Syair ialah potret jaman (ruang dan waktu) di mana ia mengabadikan yang mungkin kelak akan terlupakan oleh sejarah. Demikian paling tidak menurut Goenawan Mohamad.

Menyimak sebuah syair yang ditulis oleh H. Tutus, berjudul Ratu Adil itu, menjadi sangat terkesan sebuah slogan yang dibungkus dengan kesenian, yakni musik daerah Banyuwangenan. Dalam video klipnya, Ratu Adil yang dimaksud adalah Ratna Ani Lestari, Bupati Banyuwangi, yang tampak tersenyum ramah dari atas kijang innova. Mungkin karena jaman sudah maju, sang ratu harus naik kijang innova, sebuah terobosan. Paling tidak dalam bayangan kita, Ratu Adil itu semestinya menaiki kereta kencana. Tapi, lebih baik kita tidak perlu membahas hal itu.

Mari kita menelaan syair Banyuwangen, Ratu Adil ciptaan H.Tutus dengan membandingkannya dengan syair lagu Umbul Umbul Blambangan ciptaan Andang C.Y. Kalau lagu Ratu Adil itu diciptakan setelah Ratna Ani Lestari menjadi bupati Banyuwangi, lagu Umbul Umbul Blambangan diciptakan jauh sebelum Ir. H. Samsul Hadi (bupati yang mempopulerkan lagu Umbul Umbul Blambangan) itu menjadi bupati Banyuwangi. Saking lawasnya lagu Umbul Umbul Blambangan itu, bahkan teks tertulisnya tidak ditemukan, dan sang penciptanya sendiri sudah lupa bait-bait syair yang ia ciptakan sendiri. jadi, syair Umbul Umbul Blambangan itu ditulis kembali dari ingatan (hafalan) orang Banyuwangi, lalu diaransemen ulang dan dipublikasikan. Memang monumental dan aktual. Bukan slogan. Tapi, syair yang berisi semboyan dan semangat bersama-sama untuk membangun Banyuwangi tercinta. Sebuah visi dan segebok misi yang dahsyat di dalam menerjemahkan kehendak rakyat Banyuwangi beserta potensi alamnya yang luar biasa. Bukan kultus individu yang terkesan 'kampungan' dan norak. Tetapi sebentuk pengejewantahan nilai-nilai spirit wong Banyuwangi ke dalam syair lagu. Syair Umbul Umbul Blambangan tidak akan ketinggalan jaman, karena ia mengiringi perjalanan jaman. Umbul Umbul Blambangan menjadi terkenal dan menjadi lagu kebanggaan orang Banyuwangi, bukan karena Ir. H. Samsul Hadi, Bupati Banyuwangi kala itu yang mempopulerkan lagu tersebut. Melainkan, lagu Umbul Umbul Blambangan adalah lagu yang mendarah daging dalam diri dan semangat membangun rakyat Banyuwangi, ia menemukan jatidiri kulturalnya yang mengakar kuat di Tlatah Balambangan.
Marilah kita simak petikan bait-baitnya.

.........................
....................... sing arep bosen/sing arep bosen
isun nyebut-nyebut/araniro Blambangan... Blambangan..
........................
.............Banyuwangi
kulon gunung wetan segoro/lor lan kidul alas angker
keliwat-liwat......
............................. he.. Blambangan
gumelaring taman sari nusantoro

Sebuah gambaran aktual dan historis. Di sini kita menemukan sebuah potensi lokalistik yang kaya untuk kita berdayakan. Gunung dan hutan lebat. Kita punya gunung dan hutan, yang artinya, Banyuwangi memiliki potensi air. Ingin air? Datang saja ke Banyuwangi yang airnya jernih dan layak minum walau tanpa dimasak. Gunung dan Hutan adalah sumber air, dan air untuk pertanian. Jadi, menjadi jelaslah bahwa potensi alam kita yang paling utama adalah potensi air dan pertanian, itulah kenapa VOC tidak membangun pabrik tebu di Banyuwangi, melainkan membangun waduk-waduk yang tersebar merata di kabupaten Banyuwangi ini. Membuat pabrik tebu di Banyuwangi, sebagaimana yang direncanakan pemerintah adalah sebuah langkah yang bersifat a-historis dan tidak memahami Banyuwangi. Laut Muncar adalah penghasil ikan yang luar biasa, dan potensi pantai kita adalah; Kabupaten Banyuwangi merupakan bagian yang paling Timur dari Wilayah Propinsi Jawa Timur, terletak di antara koordinat 7 43–8 46 Lintang Selatan dan 113 53–114 38 Bujur Timur dan dengan ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan laut. Kabupaten kita memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km yang membujur sepanjang batas selatan timur Kabupaten Banyuwangi, serta jumlah pulau ada 10 buah. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyuwangi: Utara Kabupaten Situbondo dan Bondowoso, Timur Selat Bali, Selatan Samudera Indonesia, Barat Kabupaten Jember dan Bondowoso. Ini adalah letak 'istimewa' sebagai transportasi kelautan dan industri kelautan. Sebuah gambaran yang aktual, tentang betapa Banyuwangi adalah "taman sari" nusantara. Potensi-potensi alam yang jarang dimiliki oleh kabupaten mana pun di Indonesia. Ini adalah anugerah. Dan demi mengolah anugerah ini, dibutuhkan sebuah semangat masyarakat dan pemimpinnya yang "mbangun sing mari-mari".

Dinamika sosial-budaya, politik dan sejarah dalam syair Umbul Umbul Blambangan ciptaan Andang C.Y. ini tampak dalam bait; "seneng susah hang disonggo". Sebentuk watak kebersamaan yang erat, harmoni, dan damai. Namun, di dalamnya terdapat keteguhan jiwa yang tidak mungkin kropos menghadapai logika universal serta instabilitas; "akeh prahoro taping langitiro mageh biru nyoro", tetap membangun tetap melanjutkan kehidupan. Lalu sebuah semangat patriotis demi memberikan yang terbaik bagi daerah tercinta; "he.. Blambangan lir asato banyu segoro/sing biso asat asih setyo baktinisun".

Secara artistik, syair Umbul Umbul Blambangan enak dinyanyikan di bibir kita, dan kandungannya benar-benar mencerminkan "kita banget", Banyuwangen tulen. Ini terbukti lagu Umbul Umbul Blambangan memenangi juara 2 (dua) pada ajang Asian Choir Games 2007 yang diikuti 200 grup paduan suara. Mereka datang dari 13 negara se Asia Pasific. Vox Coeleistis Choir ITN Malang tampil percaya diri. Mereka membawakan lagu Umbul-umbul Blambangan dengan penuh semangat. Menarik, bukan?

Lalu mari kita bandingkan dengan lagu berjudul Ratu Adil ciptaan H. Tutus yang hendak menyimbolkan kepemimpinan perempuan di Banyuwangi sebagai kepemimpinan Ratu Adil. Dari judulnya, Ratu Adil, bukan "Banyuwangi banget", jadi bukan "kita banget". Dalam sosio-historis orang Banyuwangi, kita tidak mengenal istilah Ratu Adil. Istilah Ratu Adil itu muncul di Mataram, yang tentu saja bukan wilayah Blambangan. Dalam syair Ratu Adil disebutkan istilah "cancut tali wondo". Nah, itu kan istilah Jawa Mataraman, dalam istilah Banyuwangi dengan dialek Using, kita tidak mengenal istilah "cancut tali wondo" itu.

....................
...........................Pitung ulan lawase riko sun anten-anteni
sak iki yoro wes dadi nyatane/He.. dhulur-dhulur pado negliliro
Ratu Adile yo wis teko......

Siapa yang tujuh bulan ditunggu-tunggu? Tak lain, seorang bupati yang melalui tahapan Pilkada Kab.Banyuwangi selama tujuh bulan lamanya. Yang terpilih seorang perempuan, sehingga disebut sebagai Ratu Adil. Politis, bukan?

Nah, Calon Bupati dan Wakil Bupati RAL dan Noeris saat kampanye menyampaikan janji-janji politik akan memberikan kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat Banyuwangi. Tapi, "janji-janji tinggal janji di bibirmu", itu kata sebuah lagu nostalgia. Program pendidikan yang memang diprogram dari pusat ke daerah-daerah ditangkap oleh pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati RAL-Noeris dikemas menjadi janji politik. Pelaksanaannya bagaimana? Tetap saja sekolah itu bayar. Tanya saja pada para wali murid, benar tidaknya. Kesehatan gratis dengan kartu kesehatan gratis yang bergambar foto Bupati Ratna Ani Lestari itu, nyatanya tidak sakti. Tetangga saya masuk rumah sakit menggunakan kartu itu, diperlakukan seperti kambing, sekarat dan tidak ditangani. Kenapa? Karena ya harus bayarlah. Dalam syair ratu Adil itu, janji politik itu disebutkan dalam bait-bait berikut:

.............. Isun wong cilik sitik pengasilane
Jare ono kabar sing mbayar sekolahe
Iku pertondo mikiranken rakyate
Kang sing nduwe bondo dan dunyone

Lalu terasa syair itu menjelama slogan yang tidak aktual dan tidak nyata dalam kehidupan kita, dan terasa tak layak lagi diteriakkan, karena ini sudah bukan masa kampanye Pilkada, bukan? Ingat lagi sajak W.S.Rendra: ".......... ratu Adil itu hanya tipu daya....".

* * *

Jika bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari, berkeinginan untuk menjadi lagu berjudul Ratu Adil itu sebagai lagu wajib kabupatenj Banyuwangi menggantikan lagu Umbul Umbul Blambangan, di sini terlihat betapa kekuasaan politik yang dimilikinya benar-benar hendak mempertahankan keangkuhan kekuasaan belaka. Dalam syaio Ratu Adil terlihat jelas bahwa Ratna sebagai kultus. Dari isi syair, lagu tersebut memang menekankan akanpentingnya pemimpin yang berwibawa dan memikirkan nasib rakyatnya. Namun, pertanyaannya, sudahkah syair itu menjadi sebuah aktualitas yang faktual di Banyuwangi? Atau syair tersebut hanya sebentuk hiper realitas yang keluar dari realitas itu senidiri?

Jika kita membahas secara obyektif. Lagu yang bisa dijadikan sebagai lagu wajib atau lagu kebanggaan suatu daerah, memiliki sejumlah kelebihan dan syarat-syarat tertentu. Yakni, lagu itu harus bersifat mars atau hymne, memiliki semangat membangun dan merenung (kontemplatif). Kalau kita bandingkan, syair Ratu Adil tidak bersifat hymne dan kontemplatif, melainkan lebih bersifat spontan (sebagaimana bentuk sebuah slogan itu sendiri) dan mengkultuskan seseorang. Sedangkan lagu Umbul Umbul Blambangan sangat bersifat kontemplatif dan berisikan semangat untuk membangun daerah, berjenis mars dan hymne sekaligus. Kelebihan syair Ratu Adil, bahwa lagu tersebut adalah lagu yang diciptakan seseorang dan didedikasikan untuk Bupati Banyuwangi. Dan kelebihan lagu Umbul Umbul Blambangan, adalah sebagai lagu yang mengupas tuntas potensi daerah dan semboyajn semangat untuk menggali serta membangun potensi lokalistik, ia lebih didekasikan kepada kepentingan orang banyak, lebih pada mengagungkan potensi lokal Banyuwangi, dan tidak mengkultuskan siapa pun. Jadi, mari kita berpikir obyektif; layakkah lagu Ratu Adil menggantikan lagu Umbul Umbul Blambangan?





Kolom Perbandingan


Ratu Adil

1. Tidak berjenis hymne/mars
2. Lebih mengkultuskan individu
3. Berbau slogan politik
4. Tidak membangkitkan semangat membangun
5. Belum teruji sebagai lagu yang baik

Umbul Umbul Blambangan

1. Berjenis hymne dan mars sekaligus
2. Tidak ada kultus individu
3. Tidak berbau slogan politik
4. Membangkitkan semangat membangun dan menggali potensi lokalistik
5. Sudah teruji sebagai lagu terbaik se-Asia dalam memenangi juara dua pada ajang Asian Choir Games 2007 yang diikuti 200 grup paduan suara yang datang dari 13 negara se Asia Pasific. Vox Coeleistis Choir.



* * *

KEKUASAAN adalah sebuah bangunan yang angker ketika ia sang penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya dengan menampakkan rasa alergi terhadap kritik dan dinamika politik. Machiavelian yang diejawantahkan, halal-lah semua cara. Jadi, nilai-nilai sudah tidak penting. Yang penting langgeng kekuasaannya. Tidak perduli harus memperkosa sejarah, merobek-robek hukum, mengintervensi dan mengawasi dinamika berpikir kreatif masyarakat, bahkan meng-intimi wilayah kultural yang bukan 'muhrim'-nya kekuasaan.

Banyuwangi bukan hanya wilayah yang subur sebagai pewaris Blambangan. Melainkan juga daerah yang memiliki akar-akar kebudayaan kreatif dan orisinil serta kesejarahan yang tidak hanya cukup ditafsirkan dalam jenak kekuasaan politik formal yang angkuh. kita mesti memahami dan menghayati ruang budaya dan sejarah dalam membangun "taman sari nusantoro" ini. Terobosan gagasan dan langkah seorang pemimpin adalah niscaya harus. Jika tidak, maka celakalah rakyat kita, celaka Indonesia di mana ia didirikan dari lokalitas-lokalita sejarah dan budaya sebagai anasir kebudayaan serta keberadaban nusantara. Sudahkah kita membangun?

Membangun Banyuwangi adalah sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh dan nyata. Tidak perlu janji politik dari "tukang politik". Dinamika politik dan sosial Banyuwangi telah dijalankan oleh orang-orang yang justru tidak memiliki watak serta tidak mengerti Banyuwangi. Kita mulai pandai menjadi manusia yang tidak tahu balas budi dan tidak bisa menghargai jasa-jasa mulia meski dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Logika pemerintahan di Banyuwangi kini adalah logika poltik belaka, nafsu berkuasa, serta semangat mempertahankan kekuasaan demi kesejahteraan pribadi dan kelompok. Alangkah naifnya tulisan ini. Kita sudah tidak lagi memiliki logika membangun, dan kita membunuh kehendak untuk memberikan yang terbaik bagi daerah. Petanian kita apa? Laut kita siapa yang mengelola? Lapter kita dikurup habis-habisan sebagai 'bancakan'. Lalu Tumpang Pitu akan "dirampok" siapa?

Banyuwangi harus kembali. Banyuwangi kembali. Dan marilah kita menyanyikan Umbul Umbul Blambangan dengan kecintaan yang tertinggi terhadap tanah kelahiran kita, Banyuwangi. Kita hayati, renungi, kita bekerja menurut kemampuan masing-masing. Yang penting satu arah; Banyuwangi kembali. Kembali ke tangan kita, pemilik sah daerah tercinta ini. Sungguh mudah diucapkan, tapi susah diwujudkan, bukan?

Banyuwangi, 13 September 2008

buat istriku, Muzayana

Cintaku kepadamu, tentu saja, tidak terjelaskan pada kata pada angka. Kau saja dalamku. Selalu..
(Ofiq)

Pecahan-pecahan Catatan

01
Perjalanan waktu tak tertahan. Menyemai serbuk racun pada ruang. Hutan lindung yang agung, sebentar lagi akan menjadi bubuk kopi di gelasmu pagi hari. Transportasi emas sudah siap. “Gali! Gali!" bisik bupati. Kepalanya mengeluarkan asap belerang, mulutnya dipenuhi garam, sianida dan mercuri.

02
Perjalanan kita, bagian dari kehidupan itu, bukan lagi yang itu, tapi telah menjadi keharusan penerimaan kehidupan. Mari bertamasya pada danau kesadaran. Mungkin di luar susah kering, daun akasia gugur waktu. Para penambang hendak merusak bukit kita. Kita jangan diam, atau mati dalam kemusnahan. Mari merayakan pembelaan, sebab hidup adalah sebutir kerikil yang mencemplung di dasar segelas kopi, tenggelam, tenang dan angkuh.

03
Malam. Begitu rebah. Setelah segala awal adalah kenisbian. Kita mendengkur pada malam. Kemudian bangun dini hari, membangun sebentuk sungai di muka jendela. Masih saja, canda cabul dan kata yang tak termaknai. Masih saja kita membudakkan diri, mengurai kenyataan menjadi lobang sampah. Malam. Begitu rebah. Pelan. Sunyi lecet dalam kelam

04
Bunyi yang ramai, ayam jantan, detak jam, gelas yang diletakkan secara agak keras. Harum kopi dan asap rokok. Ada sebentuk kecemasan hari yang menggelung di saku baju tiap baju yang ada sakunya. Bom meledak lagi. Lalu kalian memainkan bola di atas udara.

Taufiq Wr. Hidayat
2010

Darmo Kanal Menjawab Pertanyaan Samiro Keraz Mengenai Layangan dan Anak-anak

Samiro Keraz juga menceritakan kepadaku perihal kesibukan Darmo Kanal membuat layangan di tengah kesibukannya bekerja sebagai "Jogo Tirto". Menurut keterangan Samiro yang disampaikannya melalui suratnya yang panjang kepadaku, bahwa memang benar Darmo Kanal sering membuatkan layangan untuk anak-anak kecil. Setelah layangan selesai, Darmo Kanal bersama anak-anak itu menaikkan layangan. Samiro Keraz bertanya kepada Darmo Kanal: "Kenapa suka sekali bermian-main dengan anak kecil?". Darmo Kanal menjawab: "Mudah saja. Bermain-main dengan orang dewasa, kalau kepeleset, salah-salah nyawa bisa melayang atau tersinggung, cemburu, dll. Nah kalau bermain-main dengan anak kecil, aku menemukan sebuah permainan yang benar-benar tulus.Karena, aku bisa merasakan ketulusan dari anak-anak walau senakal dan selicik apa pun mereka, mereka tetap indah dalam kenakalan dan kelicikan kekanak-kanakan mereka sebagai anak-anak. Kelicikan dan kenakalan orang dewasa, itu yang mblaeni," jawab Darmo Kanal ketika terbangun dari tidur lelapnya di bawah pohon duren itu, ungkap Samiro.

Taufiq Wr. Hidayat
2010

Puisi-puisi Biasa

Hujan dan Kolak Pisang

Hari ini Banyuwangi hujan. Lalu hendak apa lagi. Memang sudah air jatuh dari langit. Bahwa mungkin keindahan. Masih terpenjara dalam kosa kata. Dan susunan huruf yang selalu gagal kau rangkai-rangkai kembali. Bagaikan harum tubuh yang terus tercium. Dan entah di liang bimbang

Kali ini masih hujan. Kau pun merokok sambil menghadapi kecemasan. Atau tak tau entah apa yang akan dikerjakan lagi. Sebab daun-daun memang tak pernah mengeluh. Begitu tekun menampung air dari situ

Memang hujan. Anak-anak berlari tak memakai baju. Mengejar masa kecilnya di jalan sebelum perempatan. Kau masih merindukan. Tidur di kasur empuk. Atau memandang hujan dari balik jendela. Sambil membayangkan ibumu yang tengah memasak kolak pisang dicampur duren. Dan bapakmu yang membaca koran di ruang tengah

Tapi, memang sudah hujan. Segala yang sudah kau gariskan di atas tanah sudah terhapus. Dan mungkin tak mudah diingat kembali. Selain bahwa kau pernah menggores di atas tanah. Pada suatu tempat. Entah di mana

Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010


Aku Jalan, dan Kamu

akulah jalan itu,
lewatilah dengan sendalmu,
setibanya di ujung itu,
ciumilah harumnya derita,
lepaskan sendalmu,
dan biarlah aku yang akan menjaganya

Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010


Aku Telaga, dan Kamu

akulah telaga,
maka layarkan perahumu di atasnya;
di situ hayut pula, bunga-bunga kemboja,
juga melati,
dan mawar kali yang maunya abadi.

tapi, fana juga.
seperti juga senja dan fajar,
warnanya hampir serupa.

akulah telaga,
lalu berenanglah, mandilah di tepiannya
di saat jingga senja.
mungkin kau akan kedinginan sesudahnya,
kemudian masuklah ke dalam rumah kayu,
nyalakan api, agar kau hangat,
sambil memandangi api,
sedang tubuhmu meringkuk dalam selimut.

akulah telaga,
kemudian pandangilah dari balik jendela,
sebab mungkin akan kau temukan sebentuk cerita,
yang entah tentang apa

Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat


Germis dan Kopi, Ibunya

Ada seorang gadis kecil di tepi gerimis
Rambutnya basah, sandalnya kecil dan berlumpur,
Ia telah berlari seharian di bawah hujan,
Kini reda, dan ia di tepi gerimis yang sisa,
Ia tidak pernah berhenti menciumi tangis,
Ketika ia ingat, bahwa ibunya
Pernah memasakkannya bayam,
Lalu merenda di balik jendela,
Sambil menikmati kopi
Bersama bapaknya

Sandalnya yang berlumpur,
Ia lepaskan di situ,
Di ujung halaman,
Dan kini aku tengah menjaganya,
Dari banjir yang mungkin akan menghanyutkannya,
Ia masuk rumah, mandi,
Lalu ia berpakaian rapi,
Kemudian memandang jauh ke pohon jambu itu,
Begitu lama,
Entah untuk siapa,
Dan ia tidak pernah ingin ada yang menanyakannya

Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010

Ngelmu Kiyai Petruk

NGELMU KYAI PETRUK

Kuncung ireng pancal putih,
Swarga durung weruh,
Neraka durung wanuh,
Mung donya sing aku weruh,
Uripku aja nganti duwe mungsuh.

Ribang bumi ribang nyawa,
Ana beja ana cilaka,
Ana urip ana mati,
Precil mijet wohing ranti,
Seneng mesti susah,
Susah mesti seneng,
Aja seneng nek duwe,
Aja susah nek ora duwe.

Senenge saklentheng susahe sarendheng,
Susah jebule seneng,
Seneng jebule susah,
Sugih durung karuan seneng,
Ora duwe durung karuan susah,
Susah seneng ora bisa disawang,
Bisane mung dirasakake dhewe.

Kapiran kapirun sapi ora nuntun,
Urip aja mung nenuwun,
Yen sapimu masuk angin tambanana,
Jamune ulekan lombok,

Bawang uyah lan kecap,
Wetenge wedhakana parutan jahe,
Urip kudu nyambut gawe.

Pipi ngempong bokong,
Iki dhapur sampurnaning wong,
Yen ngelak ngombea,
Yen ngelih mangana,
Yen kesel ngasoa,
Yen ngantuk turua.

Pipi padha pipi,
Bokong padha bokong,
Pipi dudu bokong,
Onde-onde jemblem bakwan,
Urip iku pindha wong njajan,
Kabeh ora bisa dipangan,
Miliha sing bisa kepangan,
Mula elinga dhandhanggulane jajan.

Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji,
Le ngaji nyang be jadah,
Gedang goreng iku rewange,
Kepethuk si alu-alu,
Nunggang dangglem nyengkelit lopis,
Utusane tuwan jenang,
Arso mbedhah ing mendhut,
Rame nggennya bandayudha,
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji,
Patinira kecucuran.

Ki Daruna Ni Daruni,
Wis ya, aku bali menyang Giri,
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi,
Lho ratu kok kadi pak tani?,

Sumber: buku Air Kata-Kata, karangan Sindhunata.

AJA DUMEH SUGEH BONDO

ALLAHUMMA SHALLI’ALA MUHAMMAD
SAFI’IL ANAM WA’ALIHI WASAHBIHI
WASALLIM ’ALADDAWAM

Eling-eling sira manungsa,
Temenana lehmu ngaji,
Mumpung durung katekanan,
Malaikat juru patiLuwih susah luwih lara,
Rasane wong nang naraka,
Klabang kures kalajengking,
Klabang geni ula geniRante geni gada geni,
Cawisane wong kang dosa,
Angas mring kang Maha Kwasa,
Goroh nyolong main zinaLuwih beja luwih mulya,
Rasane manggon suwarga,
Mangan turu diladeni,
Kasur babut edi peni.

Cawisane wong kang bekti,
Mring Allah kang Maha Suci,
Sadat salat pasa ngaji,
Kumpul-kumpul ra ngrasani.

Omong jujur blaka suta,
Niliki tangga kang lara,
Nulungi kanca sangsara,
Pada-pada tepa slira.

Yen janji mesthi netepi,
Yen utang kudu nyahuri,
Layat mring kang kasripahan,
Nglipur mring kang kasisahan.

Awak-awak wangsulana,
Pitakonku marang sira,
Saka ngendi sira iku,
Menyang endi tujuanmu.

Mula coba wangsulana,
Jawaben kalawan cetha,
Aneng endi urip ira,
Saiki sadina-dina,
Kula gesang tanpa nyana,
Kula mboten gadhah seja,
Mung karsane kang Kuwasa,
Gesang kula mung sa’derma.

Gesang kula sapunika,
Inggih wonten ngalam donya,
Donya ngalam karameyan,
Isine apus-apusan.

Yen sampun dumugi mangsa,
Nuli sowan kang Kuwasa,
Siyang dalu sinten nyana,
Jer manungsa mung sa’derma.

Sowanmu mring Pangeranmu,
Sapa kang dadi kancamu,
Sarta apa gegawanmu,
Kang nylametke mring awakmu.

Kula sowan mring Pangeran,
Kula ijen tanpa rewang,
Tanpa sanak tanpa kadang,
Banda kula katilaran.

Yen manungsa sampun pejah,
Uwal saking griya sawah,
Najan nangis anak semah,
Nanging kempal mboten wetah.

Sanajan babanda-banda,
Morine mung telung amba,
Anak bojo mara tuwa,
Yen wis ngurug banjur lunga.

Yen urip tan kabeneran,
Banda kang sapirang-pirang,
Ditinggal dinggo rebutan,
Anake padha kleleran.

Yen sowan kang Maha Agung,
Aja susah aja bingung,
Janjine ridhone Allah,
Udinen nganggo amalan.

Ngamal soleh ra mung siji,
Dasare waton ngabekti,
Ndherek marang kanjeng nabi,
Muhammad Rasul Illahi,
Mbangun turut mring wong tuwa,
Sarta becik karo tangga,
Welasa sapadha-padha,
Nulunga marang sing papa.

Yen ngandika ngati-ati,
Aja waton angger muni,
Rakib ngatit sing nulisi,
Gusti Allah sing ngadili.

Karo putra sing permati,
Kuwi gadhuhan sing edi,
Aja wegah nggula wentah,
Suk dadi ngamal jariyah.

Banda donya golekana,
Metu dalan sing prayoga,
Yen antuk enggal tanjakna,
Mring kang bener aja lena.

Aja medhit aja blaba,
Tengah-tengah kang mejana,
Kanggo urip cukupana,
Sing akherat ya perlokna.

Aja dumeh sugih banda,
Yen Pangeran paring lara,
Banda akeh tanpa guna,
Doktere mung ngreka daya.

Mula mumpung sira sugih,
Tanjakna ja wigah wigih,
Darma ja ndadak ditagih,
Tetulung ja pilah-pilih.

Mumpung sira isih waras,
Ngibadaha kanthi ikhlas,
Yen lerara lagi teka,
Sanakmu mung bisa ndonga.

Mumpung sira isih gagah,
Mempeng sengkut aja wegah,
Muga sira yen wus pikun,
Ora nlangsa ora getun,

Mula kanca da elinga,
Mung sapisan aneng donya,
Uripmu sing ngati-ati,
Yen wis mati ora bali,
Gusti Allah wus nyawisi,
Islam agama sejati,
Tatanen kang anyukupi,
Lahir batin amumpuni.

Kitab Qur’an kang sampurna,
Tindak nabi kang pratela,
Sinaunen kang permana,
Sing sregep lan aja ndleya.

Dhuh Allah kang Maha Agung,
Mugi paduka maringi,
Pitedah lawan pitulung,
Margi leres kang mungkasi.

Nggih punika marginipun,
Tetiyang jaman rumuhun,
Ingkang sampun pinaringan,
Pinten-pinten kanikmatan,

Sanes marginipun tiyang,
Ingkang sami dinukanan,
Lan sanes margining tiyang,
Kang kasasar kabingungan.

Gesang kita datan lama,
Amung sakedheping netra,
Maena sami andika,
Rukun Islam kang lelima.

AMIN AMIN AMIN AMIN

YA ALLAH ROBBAL ‘ALAMIN

MUGI PADUKA NGABULNA SADAYA PANYUWUN KULA

buat Putraku



Nasehat buat Putraku
(Surendrajati Mohammad)


Kebahagiaan itu hanya tipuan belaka,
tapi kepekaan jiwamu menyukuri nikmat, itulah yang tidak menipu.
Penderitaan hidup itupun tipuan belaka,
namun kesadaranmu memahami keadilan Tuhan, itulah yang benar.
Surga itu tipuan,
tapi jika perbuatanmu senilai surga, itulah permata yang tiada duanya.
Neraka itu tipuan,
tapi hakikat penghambaanmu sebagai manusia kepada Tuhan, itulah yang nyata.
Ketentraman hidup itu tipuan belaka,
tapi kerelaanmu merasakan penderitaan sesamamu, itulah yang sejati.
Kesuksesan itu, sekali lagi, hanya tipuan dan menipu,
tapi kearifanmu menghargai masa lalu, itulah yang sangat berharga.

Jadilah singa pada pasir yang membentang luas,
tinggalkan kepengecutan dan kecengengan,
lupakanlah pujian dan hinaan,
dan tancapkanlah kejantanan pada kehidupan,
nyalakanlah api penyadaran dan usirlah kekerdilan.

Mengaumlah, Jantan!
Kaulah laki-laki,
maka bertarunglah sebagai laki-laki dan
pertarungan dalam hidup ini hanya diakhiri dengan kematian.
Ayo bangkitlah menciptakan dunia baru.

Kesadaran,
Kesabaran,
Keberanian,
Kesetiaan,
dan laksanakanlah tiap kata-kata

Taufiq Wr. Hidayat
2010

In Memoriam KH. Toha Qobuli

Peneduh yang Mengayomi,
Kredit Sepeda Motor,
dan Gerimis

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat

Di sebuah rumah tua itu. Dinding-dindingnya mungkin sudah diperbaiki, dicat kuning muda, sehingga tampak sedikit rapi. Tapi, pintu kayu bercat biru, tertempeli kaca model tua bermotif bunga-bunga warna-warni, ventilasi kuno dengan jeruji besi, lantai tehel berwarna kuning teduh lama. Di ruang tamu itu terdapat tivi kayu kuno yang sudah tidak dinyalakan, di atasnya terdapat tivi murah merek Intel berukuran kecil. Sebuah almari kayu kecil di pojok ruang, di situ buku-buku dan kitab-kitab klasik tertata dengan rapi. Kursi tamu kayu yang pendek. Ketika kau memasuki rumah tua itu, maka akan terasa betapa bersahaja hidup pemiliknya, sederhana dan apa adanya.

Itulah ruang tamu milik KH. Toha Qobuli, Singotrunan, Banyuwangi, seorang kyai sepuh Banyuwangi dan tokoh NU. Beliau berjuang tidak dengan kegagahan dan bergagah-gagah, beliau lebih suka ngurusi NU tingkat ranting walau beberapa ulama’ memaksa beliau supaya masuk dalam kepengurusan NU tingkat cabang. Beliau tidak bersedia dengan alasan lebih memilih di bawah dan di “belakang” saja. Namun, perjuangannya sangat berarti. Beliau mengajar mengaji santri-santri kecil usia 8 sampai 10 tahun, tiap hari ke kebun. Wajahnya teduh, matanya dalam, tiap kata yang mengalir dari mulutnya menyejukkan. Beliau adalah santri almarhum KH. Abdul Hamid, Pasuruan, tokoh NU dan kyai kharismatik di NU.

Sepanjang hidup KH. Toha Qobuli, dihabiskan untuk mengurus santro-santri kecil dan madrasah di Panderejo, mengurusi NU kelas ranting. Tetapi, kebesaran ketokohannya tak terbantahkan. Jika sedang bersantai di teras masjid di Panderejo, beliau selalu dikelilingi penduduk sekitar yang dengan antusias menyimak cerita-ceritanya, beliau suka bercerita dan bercanda. Ketika banyak tokoh NU Banyuwangi ramai-ramai ke politik praktis dengan bergagah-gagah di mana-mana di forum-forum atau di media-media publik, beliau tidak ikut dan menolak hal itu. Beliau memegang teguh Khittah NU 1926 dan “ishlahud dzatil bain nahdliyah” dengan jujur dan konsisten.

KH. Toha Qobuli adalah model kyai salaf yang sangat berhati-hati dalam tiap sikap keagamaannya, namun beliau tidak pernah tertinggal dari pelbagai perubahan ruang dan waktu, beliau memegang prinsip “al islam yasluhu likulli zamanin bi makanin” (Islam senantiasa sesuai dengan ruang dan waktu) dan “al mukhofadhutu ‘ala al qadimis sholih al akhda fi jadidil ashlah” (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).

Kepada putra-putrinya, Kyai Toha terkenal keras dalam mendidik. Di tahun 2004, saya pernah meminta Kyai Toha untuk menandatangani naskah deklarasi Forkdem (Forum Penegak Demokrasi) beserta para tokoh dari agama-agama lain selain Islam. Beliau bersedia. “Ya, karena ini bukan politik praktis dan tidak untuk dukung mendukung, saya bersedia tandatangan. Pokoknya jangan dipakai untuk dukung mendukung, pokoknya yang rukun dan selalu saling mengingatkan,” ujar Kyai Toha sambil membubuh tandatangannya.

Kyai Toha wajahnya teduh, dipandang pipinya terasa empuk serasa ingin rebah di situ, tatapannya sejuk seperti ada mata air yang mengalir di dalamnya. Dan kini, setelah beliau wafat, Banyuwangi jelas kehilangan tokoh bersahaja ini. Tokoh yang setia untuk tidak berteriak-teriak, namun memiliki peran, eksistensi dan integritas yang tak tergantikan di tengah masyarakatnya.

Hari Rabu 6 Januari 2010, Kyai Toha menghembuskan nafas terakhirnya pada sekita pukul 08.00 WIB di RSUD Blambangan, Banyuwangi. Pada sore hari yang mendung, jenazah Kyai Toha (1948-2010) dimakamkan di kuburan umum di Kelurahan Panderejo, Banyuwangi. Ribuan pelayat datang menyolati dan mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir. Ketika Talqin dibacakan oleh kyai sepuh NU, Kyai Maksum, dan kemudian dibacakan Asma’ul Husna sebelum tanah ditimbunkan pada liang, gerimis jatuh begitu pelan dan tak sedikitpun mengusik ribuan pelayat yang hadir.

Selama hidup, Kyai Toha tekun mengisi ceramah agama di Stasiun Radio Habibulloh tiap Selasa sore dengan dialog interaktif yang mengasyikkan. Dan dengan rajin dan setia beliau mendatangi langgar-langgar kecil di tiap kelurahan untuk berceramah atau sekadar bercengkrama dengan masyarakat sekitar. Walau fisiknya sudah lemah karena penyakit jantung dan stroke, beliau tetap melakukan rutinitasnya itu tanpa peduli.

Seminggu sebelum wafat, Kyai Toha memanggil Ishaq, kemenakannya yang selalu ditugasinya untuk membantunya mengurus kebun kelapanya di Desa Banjarwaru, Kalipuro, Banyuwangi.

“Kamu panen kelapa itu semua, jual. Kemudian uang hasil penjualannya, kamu bagi-bagikan kepada penduduka sekitar kebun. Yang ikhlas kamu bekerja ya,” tutur Kyai Toha kepada kemenakannya, Ishaq.

Tiap berjalan dan bertemu orang-orang di kampungnya, beliau selalu berkata: “Yang ikhlas kalian semua, sambangi saya karena mungkin saya sudah tidak lagi akan menyambangi kalian lagi,” ujarnya.

Tiga hari sebelum sakit pada hari Selasa lalu wafat di RSUD Blambangan, Banyuwangi pada hari Rabu paginya, beliau memanggil salah satu putranya.

“Ini rekening tagihan kredit sepeda motor, kurang 7 kali cicilan. Tolong kamu urus kamu lunasi, saya sudah tidak mungkin mengurusi lagi.” Beliau kredit sepeda motor.

Kyai Toha selalu menolak ikut-ikutan untuk hal yang berkaitan dengan urusan dana umat. Soal pembangunan masjdi Agung Baiturahaman, Banyuwangi, beliau berkali-kali diminta oleh ketua yayasan supaya bergabung, beliau menolak dengan alasan karena merasa tidak mengerti persoalan teknik. “Saya mau lihat yang baik-baik saja. Dan saya mendukung dari belakang,” jawabnya.

Orang seperti Kyai TohaQobuli, saya yakini tidak akan pernah kerepotan menghadapi proses sensor malaikat di alam pascaduniawi itu. Beliau pasti lolos dengan tenang, setenang dhawuh-dhawuhnya, setenang dan setekun perjuangannya selama masih hidup dengan ikhlas yang terasa hingga langit menitikkan gerimis saat jasadnya hendak ditimbun tanah.

Selamat jalan, Kyai Toha. Kami rindu sosok panjenengan. Banyuwangi kehilangan. Ternyata kami yang berhati nurani lebih membutuhkan panjenengan, dan ajaklah kami, kelak, dalam sebuah perjamuanmu untuk menjelaskan tentang rahasia dari sebuah kerinduan yang panjang.

Banyuwangi, Kamis 7 Januari 2010

MUTIARA (Pengetahuan)

Walaupun masih ada usaha pencarian mutiara dari alam, namun kebanyakan mutiara yang berada di pasaran saat ini adalah hasil rekayasa manusia. Rekayasa ini ditemukan oleh orang Jepang, Mikimoto di awal abad yang lalu. Mengingat begitu potensialnya mutiara sehingga Jepang tetap menjaga rahasia ini sampai akhir tahun 80-an. Sehingga tidak heran bila Jepang mengembangkan usahanya di negara-negara lain di kawasan pasifik dan lautan Hindia seperti Indonesia dengan tetap menggunakan teknisinya. Walaupun demikian, Indonesia sebagai areal potensial budidaya bagi hampir semua jenis kerang mutiara telah menjadi salah satu negara penghasil mutiara utama dunia bersama Jepang, China dan Australia.

Bentuk rekayasa ini dikenal dengan istilah grafting atau seeding atau juga implantation, yaitu dengan menyisipkan inti (nucleus) bersama selembar organ mantel (irisan daging kerang mutiara lain yang dikenal dengan nama ‘saibo’) ke dalam kerang mutiara. Organ mantel ini diambil oleh individu kerang mutiara yang lain dan berperan sebagai donor. Berdasarkan penelitian, pemilihan donor yang baik akan menentukan kualitas mutiara yang dihasilkan terutama dari segi warna, bentuk dan kilau mutiara. Inti dan irisan mantel ini ditempatkan di dalam gonad kerang setelah sebelumnya dibuat irisan kecil pada dinding gonad. Irisan daging mantel akan membentuk kantung mutiara (pearl sac) dan nantinya akan memproduksi nacre. Proses ini dikenal sebagai biomineralisasi, sama halnya dengan proses pembentukan tulang pada manusia dan hewan bertulang belakang lainnya. Nacre adalah bagian permukaan yang berkilau dari mutiara atau juga dinding bagian yang berkilau dalam kerang. Pada bagian dalam kerang, nacre diistilahkan sebagai Mother of Pearl (ibu dari mutiara) sedangkan nacre yang melekat di inti disebut mutiara. Kualitas nacre yang dihasilkan menjadi penentu kualitas mutiara secara keseluruhan.

Proses penyisipan merupakan bagian kecil dari rangkaian proses budidaya yang panjang sejak penentuan lokasi budidaya sampai pada penanganan pasca panen. Prinsip proses penyisipan ini didasarkan atas bagaimana terbentuknya mutiara secara alami dimana kerang akan membungkus irritant yang tidak dapat dihindari dengan nacre. Prinsip kerja ini sama bila kerang mengalami kerusakan cangkang, mereka akan segera menutup lubangnya dengan nacre sehingga mencegah tubuh lunaknya terekspos. Namun sejauh ini belum ada bukti bahwa mutiara alami terbentuk karena masuknya butir pasir ke dalam tubuh kerang. Asumsi kuat yang menunjang terbentuknya lapisan nacre ini adalah adanya virus seperti yang ditemukan pada beberapa jenis kerang mutiara yang dibudidayakan.

Proses pembuatan mutiara Secara alami

Di alam, mutiara terbentuk akibat adanya irritant yang masuk ke dalam mantel kerang mutiara. Fenomena adanya irritant ini sering juga ditafsirkan dengan masuknya pasir atau benda padat ke dalam mantel kemudian benda ini pada akan terbungkus nacre sehingga jadilah mutiara. Secara teoritis, Elisabeth Strack (secara mendalam terdapat dalam buku Pearls tahun 2006) mendeskripsikan terbentuknya mutiara alami terbagi atas dua bagian besar, terbentuk akibat irritant dan masuknya partikel padat dalam mantel moluska. Pada prinsipnya, mutiara terbentuk karena adanya bagian epithelium mantel yang masuk ke dalam rongga mantel tersebut. Bagian epithelium mantel ini bertugas mengeluarkan/mendeposisikan nacre pada bagian dalam cangkang kerang disamping membentuk keseluruhan cangkang. Teory irritant mengungkapkan bahwa pada suatu saat bagian ujung mantel sang kerang dimakan oleh ikan, hal ini dimungkinkan karena kerang akan membuka cangkang dan menjulurkan bagian mantelnya untuk menyerap makanan. Saat mantelnya putus, bagian remah eptiheliumpun masuk ke dalam rongga mantel. Teory irritant juga mengungkapkan bahwa bisa saja mutiara terbentuk akibat masuknya cacing yang biasanya menempati moluska pada masa perkembangannya kemudian berpindah ke organisme lain. Cacing ini merusak dan memasuki rongga mantel. Cacing ini tanpa sengaja membawa bagian epithelium yang ada di permukaan mantel bersamanya. Bila cacing mati dalam rongga mantel, maka cacing ini akan dibungkus oleh epithelium, membentuk kantung mutiara dan akhirnya terbentuklah mutiara. Kalaupun cacing itu bisa melepaskan diri, maka epithelium yang tinggal dalam rongga mantellah yang akan membentuk mutiara setelah sebelumnya membentuk kantung mutiara. Sementara teori yang kedua adalah masuknya partikel padat ke dalam rongga mantel. Partikel padat bisa saja terperangkap di dalam tubuh kerang akibat dorongan air. Saat kerang ini tak bisa mengeluarkannya, partikel inipun bisa saja masuk ke rongga mantel. Saat dia masuk, epithelium juga ikut bersamanya. Epithelium ini akhirnya membungkus partikel padat sehingga terbentuklah kantung mutiara. Kantung mutiara ini akhirnya akan mendeposisikan nacre ke partikel padat tersebut. Namun demikian sejauh ini belum ada bukti ilmiah yang mendukung teori masuknya pasir ke dalam mantel kerang mutiara walaupun teori ini dipahami sejak lama. Dari beberapa mutiara alami yang dibedah, menunjukkan bahwa bagian inti mutiaranya bukanlah partikel padat.

Mutiara hasil budidaya

Sebelum kegiatan operasi, kerang mutiara jauh hari sebelumnya sudah mengalami proses yang disebut weakening (membuat kerang mutiara menjadi lemah). Proses ini biasanya dari 2 minggu sampai sebulan tergantung jenis dari kerang mutiara. Proses ini dimaksudkan supaya kerang mutiara akan akan mengalami stress dan memasuki fase reproduksi dengan cepat sehingga apabila operasi dilaksanakan gonadnya sudah kosong. Bila gonad dalam keadaan penuh maka kegiatan operasi akan menyulitkan dan bahkan banyak mengalami kegagalan. Proses weakening ini bisa dengan menutup kerang mutiara dengan sarung yang berpori sangat kecil sehingga partikel makanan tersaring atau bahkan kerang mutiaranya ditumpuk bersama kemudian dibungkus dengan sarung berpori kecil. Dalam kondisi ini, kerang mutiara masih bisa bertahan hidup walau makanan dalam partikel yang lebih besar sudah tak ada lagi. Setelah proses ini, kerang mutiara diangkat ke darat (bila operasi dilaksanakan di darat) dan mengalami proses weakening lanjutan di dalam tanki. Mereka ditumpuk bersama sehingga mereka makin lemah akibat konsumsi makanan dan oksigen yang rendah. Bila operasi dilakukan tanpa proses ini, kerang mutiara masih sangat kuat untuk menendang keluar nucleus yang dimasukkan ke dalam gonadnya. Bahkan untuk jenis kerang terbesar P. Maxima, otot mereka sangat kuat bila tak melewati proses weakening sehingga cangkangnya sangat susah dibuka. Pada saat-saat tertentu air dikeluarkan dari tanki sehingga memaksa kerang untuk membuka cangkangnya. Saat kerang membuka cangkang peg (pengganjal) disisipkan diantara kedua cangkang kemudian kerang siap dioperasi. Pada saat tanpa air, kerang akan membuka cangkang sementara mantelnya akan tertarik ke dalam. Hal ini memudahkan kegiatan pegging karena saat ditutupi air kerang akan membuka cangkang namun bagian tepinya akan tertutup mantel, akibatnya apabila dilakukan pengganjalan maka peg akan melukai mantel kerang.

Mutiara hasil budidaya menggunakan prinsip terbentuknya mutiara alami dengan sebuah nucleus sebagai dasar terbentuknya mutiara. Seorang teknisi terlatih akan menyiapkan inti mutiara yang biasanya bulat dan berasal dari cangkang kerang lain dan potongan mantel atau disebut juga saibo yang diambil dari kerang mutiara lain. Pemilihan donor ini mempertimbangkan warna dan kualitas nacre Mother of Pearl-nya (yang terdapat pada bagian sisi dalam cangkang kerang). Awalnya sang teknisi akan membunuh kerang donor dengan hati-hati agar supaya tak menyentuh mantelnya. Bila mantelnya tersentuh, maka mantel akan berkeriput akibat reaksi dari si kerang. Membunuh kerang donor dilakukan dengan menyisipkan pisau di antara dua cangkang dan memotong otot aduktor dari kerang donor. Saat terbelah, kerang didiamkan sampai benar-benar mati sehingga saat bagian mantelnya disentuh dia tak bereaksi lagi. Selanjutnya dipotonglah bagian mantel yang menempel pada kedua cangkang dan mantel tersebutpun dipotong lagi kecil-kecil (kira-kira 3 x 3 mm). Bagian mantel yang dipersiapkan untuk penyisipan disebut saibo, sehingga kerang donor disebut juga kerang saibo. Saat operasi penyisipan, kerang penerima sudah dipegging (ditempatkan pasak antara kedua cangkang). Kerang penerima ini ditempatkan sedemikian rupa agar mudah dioperasi. Shell opener bertugas untuk membuka cangkang lebar-lebar, kemudian teknisi akan mengiris tipis bagian antara gonad dan kaki dari kerang sebagai tempat masuknya inti dan saibo. Ukuran Intipun dipilih sesuai dengan ukuran gonad. Setelah itu intipun dimasukkan se dalam-dalamnya ke dalam gonad kemudian disusul dengan satu lembar saibo. Lembar saibo ini ditempatkan sedemikian rupa agar melekat di inti dengan bagian ectoderm (yang berisi epithelium penghasil nacre) menghadap inti. Karena bila terbalik maka kemungkinan terbentuk mutiara bulat sangat kecil. Setelah itu kerangpun ditempatkan ke keranjang atau panel dan akhirnya dikembalikan ke laut. Teknik operasi dan pasca operasi bervariasi setiap perusahaan mutiara. Pada prinsipnya, dengan menerapkan teknik-teknik tertentu, kerang mutiara tak akan ”menendang” keluar inti yang disisip dan akhirnya bisa menghasilkan mutiara bulat yang berkualitas baik. Proses pemilihan kerang untuk penerima/penghasil mutiara juga mempertimbangkan umur kerang dan masa reproduksinya. Bila kerang dalam masa reproduksi maka gonadnya akan penuh, sehingga dianggap tak cocok untuk disisipkan inti. Kemampuan teknisi akan menentukan kualitas mutiara yang dihasilkan nanti.

Mutiara atau pearl. Benda kecil nan indah. Karena keindahannya, mutiara dijadikan sebagai perhiasan, terutama perhiasan wanita. Dengan berhiaskan mutiara, seorang wanita akan nampak lebih anggun. Pesonapun muncul dari wajahnya dan menjadi pusat perhatian. Tak hanya pria, wanita lain juga turut mengaguminya. Mutiara memang sangat dekat dengan kehidupan wanita. Tak heran bila setiap wanita di dunia selalu mendambakannya.

Karena keindahannya pula, mutiara menjadi sebuah kata yang sakral dalam mengungkapkan perasaan tulus seorang pria kepada wanita pujaannya. Dengan ungkapan Kau Bagaikan Mutiara sudah cukup bagi wanita untuk mengetahui sedalam apa cinta pria itu. Cinta itu anugrah. Siapapun berhak memilikinya. Siapapun berhak memberi-nya. Siapapun berhak menerimanya. Manusia lahir dari cinta.

Jaman dulu, mutiara hanya dipakai oleh ratu dan putri raja. Rakyat jelata tidak boleh memakainya. Karena benda itu hanya boleh dimiliki oleh keluarga raja saja. Siapa yang menemukan mutiara harus diserahkan ke istana. Raja yang bijak akan memberikan imbalan yang sangat besar dengan uang emas dan diakuninya sebagai keluarga istana. Rakyat mana yang tidak tertarika kala itu.

Selain dipakai sebagai perhiasan ratu dan putri, mutiara juga dipakai sebagai permata pada mahkota raja, terutama Raja Inggeris, Prancis dan Raja India. Karena benda itu sangat diagungkan dan mahkota merupakan lambang kekuasaan. Raja mana yang tak bermahkota. Saat ini juga permata masih digunakan sebagai permata pada lambang kekuasaan itu.

Selain indah, mutiara juga termasuk barang langka. Langka selain karena jarang diperlihatkan dimuka umum, juga tidak tahu siapa saja pemiliknya. Yang pasti hanya segelintir orang saja. Kalaupun ada orang yang memiliki, tak mungkin harus terus terang pada orang lain. Karena semua itu akan membuat hidupnya tidak nyaman. Tak heran bila harga benda ini sangat mahal. Tidak semua orang bisa membelinya.

Muncul pertanyaan. Kenapa mutiara itu sangat indah. Darimanakah asalnya dan dimana bisa ditemukan. Lalu, bagaimanakah cara memperoleh benda itu. Susah atau mudahkah. Pertanyaan lain juga muncul. Kenapa benda sekecil itu sangat mahal harganya. Siapakah yang menciptakan benda indah itu. Dan Bagaimanakah benda kecil dan padat itu bisa tercipta.

Mutiara memang sangat indah. Indah bukan hanya karena bentuknya. Lebih dari itu. Indah karena dari benda terpancar beragam warna sinar yang menyilaukan. Mutiara bisa diibaratkan seperti sebuah benda yang memiliki puluhan sumber cahaya dan cahaya itu akan memancar dengan sendirinya tatkala sebuah sinar lain menimpanya. Pancaran itu melahirkan sebuah pemandangan yang sangat unik. Keunikan yang tidak ditemukan pada benda lain.

Selain indah, mutiara juga termasuk benda langka, tidak seperti emas dan perhiasan lainnya. Mutiara tak bisa ditemukan di sembarang tempat. Mutiara hanya bisa ditemukan di tempat-tempat tertentu yang jauh dari kehidupan manusia. Bukan di darat ataupun dalam perut bumi, tapi di laut yang luas. Bukan di pantai atau tempat yang dangkal, tapi di laut yang dalam.

Untuk mendapatkan sebutir mutiara tidak mudah. Perlu keahlian khusus dan berisiko tinggi. Karena laut memang bukan tempat hidup manusia. Laut adalah tempat hidup ikan, dan binatang air lainnya. Alat pernapasan manusia dan ikan berbeda. Manusia bernapas dengan paru-paru, sedangkan ikan bernapas dengan insang. Manusia tak bisa hidup dalam air, karena paru-paru manusia tak bisa digunakan untuk bernapas dalam air. Kalaupun bisa hanya beberapa saat saja, paling lama satu jam.

Hanya orang yang pandai menyelam yang bisa mendapatkannya. Itupun perlu dibantu dengan alat lain agar bisa tahan lama menyelam dalam air. Selain itu, mereka harus berhadapan dengan ganasnya gelombang yang sewaktu-waktu bisa menghempaskannya dan juga ancaman dari binatang-binatang buas, seperti ikan hiu yang selalu mengincarnya. Tak jarang pencari mutiara yang menjadi korban. Belum lagi pengaruh buruk akibat sering menyelam dalam laut yang akan dirasakan nanti pada masa tua. Sungguh suatu risiko yang tak diinginkan semua orang.

Dengan keahliannya, para pencari mutiara akan menyelam dalam air laut dengan waktu yang cukup lama dan dengan kedalaman tertentu. Mereka akan menangkap hewan yang telah berjasa membuat benda yang dicarinya. Bila sudah menemukan, mereka akan membawa hewan itu ke dalam kapal atau ke tempat aman, lalu memeriksa satu persatu. Namun ternyata tidak semua hewan yang telah ditangkapnya menyimpan mutiara. Kadang mereka pulang dengan tangan hampa.

Lalu, hewan apa yang telah berjasa membuat benda yang indah dan mahal itu. Ternyata, bukan ikan paus yang bertubuh bongsor, bukan pula ikan hiu yang sangat buas dan sombong. Tapi dia hanya binatang kecil yang lemah dan tak pandai berenang. Dia hanya bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kakinya yang pendek dan sekali-kali muncul. Itulah tiram atau kerang. Hewan yang bisa dibilang unik, karena seluruh tubuhnya terbungkus oleh cangkang yang sangat keras.

Lalu, bagaimana pula mutiara itu bisa tercipta. Ini sebuah cerita. Jaman dulu, ada sekelompok putri kayangan yang turun ke bumi. Mereka sedang bermain di tepi pantai, bercengkrama dengan melempakan batu dan pasir ke tubuh yang lain. Celaka, mata salah satu diantara mereka terkena pasir. Putri itu menangis dan air matanya mengalir dengan deras. Bersamaan dengan itu, ada beberapa buah batu yang masuk ke tubuh kerang dan batu itu terkena tetesan air mata putri yang sedang menagis. Seketika batu itu berubah menjadi mutiara. Raja segera mengambil mutiara itu dan menyimpannya sebagai benda yang paling berharga di kerajaannya.

Tapi. itu hanya sebuah dongeng belaka. Kejadian yang sebenarnya tidak seperti dalam cerita itu. Karena sebuah mutiara tercipta melalui proses alam yang sangat unik dan memakan waktu yang cukup lama. Bermula dari sebuah benda yang masuk ke dalam tubuh kerang. Bisa berupa batu, pasir atau hewan lain, seperti cacing. Kerang menolak, namun tubuhnya tak bisa mengeluarkan benda asing itu. Akhirnya benda asing itu terbungkus oleh zat-zat yang keluar dari tubuhnya dan semakin lama semakin membesar, hingga tercipta sebuah benda padat yang berkilauan. Itulah mutiara.

Demikian beberapa alasan kenapa mutiara termasuk benda langka. Benda yang langka sudah pasti harganya sangat mahal. Hanya orang kaya yang mampu membelinya. Sedangkan orang yang tak berkantong tebal mana mungkin bisa membelinya. Mungkin mereka hanya bisa mendengarnya saja. Beruntung sekali bagi mereka yang pernah melihatnya. Tapi jangan harap bisa memiliki apalagi untuk memakainya.

Di dunia ada tiga buah jenis mutiara, yatu mutiara asli dan mutiara tiruan (imitasi). Pengolongan itu didasarkan pada asal dan proses terjadinya benda itu. Kedua jenis mutiara itu bisa dibedakan dari keadaannya, yakni berat, diameter, struktur dan ketahanan. Namun untuk membedakan mana yang asli dan mana yang tiruan itu tidak mudah. Hanya orang-orang yang tahu persis yang bisa melakukannya.

Mutiara asli adalah mutiara yang berasal alam. Benda itu terbentuk akibat adanya proses yang terjadi dalam tubuh hewan. Proses itu tak mungkin bisa dilakukan oleh manusia. Karena prosesnya tak semudah membalikan tangan. Proses pelapisan mutiara terjadi secara bertahap dan sangat unik. Selain itu, proses ini membutuhkan waktu berbulan-bulan. Mutiara asli terbagi lagi menjadi dua golongan, yaitu mutiara alam dan mutiara kultur.

Mutiara tiruan adalah mutiara yang bukan berasal dari alam. Benda itu terbentuk bukan dari proses yang terjadi dalam tubuh hewan. Mutiara tiruan adalah mutiara yang sengaja dibuat oleh manusia. Proses pembuatan tidak sesulit proses yang terjadi di alam dan tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan. Pembuatan mutiara tiruan dipelopori oleh seorang yang berkebangsaan Prancis yang bernama Jaquin pada tahun 1656.

Mutiara asli hanya memiliki berat maksimal satu grain saja, sedangkan mutiara tiruan bisa memiliki berat lebih dari itu. Mutiara asli berdiameter kurang dari 20 mm, sedangkan mutiara tiruan bisa lebih dari itu. Mutiara asli memiliki struktur kristal sangat padat dan rapat, sehingga bisa memancar cahaya lebih banyak dan tidak tembus cahaya, sedangkan mutiara tiruan berstruk kristal tipis dan pancaran cahayanya hanya sedikit dan tembus cahaya. Mutiara asli sangat tahan terhadap panas, amoniak, sodium hydroxide dan tahan lama serta tidak mudah pecah, sedangkan mutiara tiruan adalah sebaliknya. Mutiara asli tidak mudah terkelupas.

Mutiara asli banyak bentuknya. Bentuk mutiara itu tergantung dari benda yang masuk ke dalam tubuh kerang. Bentuk mutiara itu diantaranya paragon (besar dan bagus), round (bulat), button (bagian atas cekung dan bagian bawah cembung), egg shaped (seperti telur), semispherical (setengah lingkaran), barocue (bentuk tak menentu), water round (titik air jatuh) dan masih banyak bentuk lainnya. (dari berbagai sumber)

Umumnya mutiara terbagi dalam 2 (dua) jenis yaitu mutiara alami dan hasil budidaya. Dalam proses pembentukan mutiara diperlukan zat pengganggu seperti misalnya suatu potongan jaringan/tisu yang dimasukkan ke dalam kerang-kerangan seperti oyster/mollusk. Sebagai upaya perlindungan, secara otomatis kerang-kerangan tersebut akan melapisi zat pengganggu yang masuk tersebut dengan lapisan nacre yang pada akhirnya akan menghasilkan mutiara. Untuk menghasilkan mutiara budidaya, zat pengganggu yang dimaksud secara sengaja dimasukkan ke dalam kerang-kerangan melalui proses pembedahan.

Mutiara alami saat ini sudah mulai jarang ditemukan sehingga harganya sangat mahal. Jenis yang sering diperdagangkan adalah mutiara hasil budidaya seperti mutiara Akoya, mutiara Tahiti, South Sea Pearl dan mutiara air tawar yang banyak terdapat di Jepang dan Cina.

Selain mutiara hasil budidaya, saat ini banyak dijumpai mutiara imitasi yang benar-benar merupakan hasil buatan tangan manusia yang dibuat dari keramik, kulit/kerang, gelas/kaca atau bahkan plastik. Mutiara imitasi bukan termasuk jenis mutiara, tetapi karena teknik pembuatan pabrikasi saat ini sudah begitu maju, sehingga kadang terlihat sempurna seperti mutiara asli. Salah satu cara termudah untuk membedakan mutiara imitasi dengan mutiara asli adalah dengan menggesekkan mutiara tersebut ke ujung gigi. Apabila terasa lembut, maka dipastikan itu adalah mutiara imitasi. Sementara apabila ketika digesekkan terasa berpasir, bahkan kadang terasa ngilu, maka itulah mutiara asli karena berkaitan dengan keberadaan lapisan nacre.

Jumat, 06 Agustus 2010

Maskuluq

Maskuluq bukan laki-laki berlebih. Maksudnya di sini, bukan berlebih kaya atau pandai atau berlebih ganteng dan terawat. Dia biasa-biasa saja, bahkan amat biasa. Maskuluq lulus SMA. Dia keponakan Manlato. Maskuluq kuliah di sebuah universitas swasta di kota, tiap hari dia pakai sepeda motor ke kampus yang berjarak satu jam perjalanan dari rumahnya di sebuah desa, Kecamatan Muncar. Maskuluq menceritakan pengalamannya pada Manlato. Dia sudah semester akhir, teman-temannya banyak yang hidup mewah, pakai mobil dan ganja, seks bebas dan berdisko. "Tapi, aku tidak ikut mereka," ujar Maskuluq kepada pamannya.

"Bagus,"jawab Manlato.

Maskuluq juga menceritakan tentang hubungannya dengan gadis Jember. Katanya, gadis itu sedang menyelesaikan studi kedokteran, anak orang berpunya. Maskuluq memang anak yang baik. Manlato juga bercerita.

"Muncar paceklik. Tidak ada ikan tertangkap. Para nelayan kecil banyak yang menganggur. Banyak orang menjual perhiasan dan barang-barang dapur, seperti panci, piring, sendok garpu, baju ke loakan sekadar untuk makan. Cuaca kurang baik, angin campur debu, laut bergolak dahsyat di sore hari. Dunia ini terlalu sempit jika kita isi hanya untuk bersenang-senang dengan botol dan wanita," ujar Manlato. Angin sore membawa debu. Matahari meredup. Burung-burung bermain di udara. Muncar pun senja.

Taufiq Wr. Hidayat
Muncar, 2010

Kamis, 05 Agustus 2010

Pohon Jambu dan Usia

di antara lalu lalang benda-benda, balok-balok pikiran menata diri dalam sebentuk ruang segi tiga. Orang-orang menyemburkan asap seperti membuang kecemasan, warung becek, dan kopi jahe. Berita tentang kematian dari ledakan tabung gas tiga kilo. Dan pohon jambu tua di tepi jalan itu melambaikan daun-daunnya yang berdebu, ia berbunga dan bunga-bunganya berserakan di situ. Entah bertahun lamanya, ketika kau menyampaikan sepucuk surat kepada seseorang yang tak dikenal di bawah batangnya yang terus menua. Barangkali karena hujan menikami atap-atap toko yang terbuat dari seng itu, wajahmu sepucat jamur. Dan orang asing itu secara diam-diam tersenyum lesu sambil mengiris alpokat yang layu. Buah-buah merana, semangka yg tak dijamah, singkong yang luka, apel dan wortel mengeriput di atasnya. Setiap orang mungkin pernah berteduh di bawah pohon jambu tua itu di saat panas lepas dari perakiraan cuaca, atau ketika gerimis yang ragu-ragu. Namun tak mungkin seorangpun berdiam lebih lama, karena segala waktu telah punah dalam kesibukan kerja

Taufiq Wr. Hidayat
Muncar, 2010