Senin, 26 April 2010

Aroma Timun dan Duren di Pasar Rogojampi

Bulan April tahun ini,musim duren.Aktivitas jual-beli di pasar Rogojampi begitu ramai menggairah, aroma duren bercampur wangi timun menyampaikan bau khas yg diantarkan oleh angin.Pasar tradisional ini hampir tidak pernah lengang, 24 jam.Bahkan pada jam-jam malam dan dini hari,aktivitas perdagangan terus berdenyut.Malam hari aroma sate dibawa angin,segelas kopi yg pekat nikmat dan asap rokok mewarnai denyut hidup.Sirkulasi perdagangan yg lancar sepertinya orang2 tidak pernah berhenti membeli dan menjual.Rakyat sangat kuat.Di tepi jalan,seorang penjual duren,perempuan bertubuh gemuk,tertidur pulas,suaminya yg kurus juga terlelap bersandar di pohon tepi jalan.Arus lalu lintas yg hampir2 macet di saat jam-jam sibuk.Tapi, malam itu,pasar Rogojampi seperti biasa tak pernah lengang, bermendung. Bahkan di saat hujan deras pun tak menyurutkan aktivitas para pedagang dan para pembeli yg bergerombol2 itu.Terminal angkot dekat pom bensin di Sempi,juga tak kehabisan penumpang.Di tengah semua itu,tidak memastikan semua yg terlibat di dalamnya memperoleh pemerataan hasil2 aktivitas sosial-ekonomi yg sangat potensial itu.Bila larut,masih di situ perempuan penghibur jalanan yg menerima tamu2nya di tepi rel atau di rumah gubuk yg seadanya, melayani sopir2 truk yg menyinggahkan diri dalam kelelahan malam.Pak Teken sudah tua,dia pun telah renta, perempuan2 penghibur yg 'diasuh' germo kawakan selama 25 tahun mungkin lebih itu datang-pulang-pergi dan entah ke mana lagi.Kenyataan ini,tentu hanya bagian kecil dari kenyataan2 lain yg luput dari pemerataan hasil2 pekerjaan dan aktivitas perekonomian. Tentu saja,nasib bukan yg menjadi sasaran salah dan dipersalahkan dg segala pembenaran yg gombal.Ini menuntut dan meminta kita untk memperhatikan dg jujur dan ketulusan,bukan dg tendensi untk meraih popularitas. Pemimpin Banyuwangi tidak penting yg bergagah2, namun takut untk jujur dan tulus,untk berani dan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan orang lain.Jika tidak,maka nasib lagi2 akan diperkambing hitamkan. Sementara malam itu,aroma duren dan timun kini bercampur dg aroma sate ayam dihembuskan angin pelan2,lalu diam2 gerimis luruh di jalanan, butiran2 air jatuh diterpa lampu, berkilau-kilau bagaikan serbuk kristal.

(Taufiq Wr. Hidayat, 2010)

Minggu, 25 April 2010

Suraji van Houten

Tidaklah perlu dipertanyakan, kenapa namanya Suraji van Houten.Yg jelas,ia adalah warga Singotrunan yg memelihara kambing potong. Kambing2nya gemuk2.Dia merokok Talijagat dan meminum kopi jahe setiap pagi.Usianya 45 tahun,istrinya masih mudah,21 tahun,punya anak berusia dua tahun tiga bulan.Suraji van Houten tidak pernah lulus SD,tapi dia membaca Kompas dan Tempo.

Aku bertanya kepadanya; "Apakah sampeyan tidak merasa jenuh melihara kambing?"

Suraji van Houten tertawa.

"Saya kok bosan? Gaklah.Lha wong istri saya butuh beras dan anak butuh susu."

"Tapi sampeyan akan menyebabkan orang kena darah tinggi jika makan kambing."

"Tapi juga menyebabkan harmonis suami-istri."

Suraji van Houten menghisap rokoknya,alisnya hitam putih,begitu juga rambutnya. Suraji van Houten mengatakan kepadaku,bahwa sesungguhnya hidup tidak perlu repot.Menjelang malam,minum kopi jahe saat hujan dan menghisap rokoknya. Suraji van Houten tersenyum biasa.

Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010

Sudut Butir

Orang2 masih menunggu di situ,tepian yg terkadang tak menjanjikan apa2.Seorang kawan bercerita padaku mengenai kuku jari2 kaki seorang pencari belerang di kaki Gunung Ijen.Kata kawanku,kuku di jari2 kaki pencari belerang itu ujung2nya berwarna hitam,sedang kuku jari jempol kakinya pecah,daging jari jempol kakinya terlihat membengkak dan tentu saja kotor.Sang pencari belerang itu memikul hampir 20 sampai 30 an kilo belerang di bahunya, menuruni gunung saat panas atau ketika sehabis hujan dan jalanan tentu licin dan berlumpur. Sang pencari belerang itu tertatih dan pelan2 menuruni jalan yg membentang berkelok2 di hadapannya dg kedua kakinya yg ujung kuku di jari2 kakinya berwarna hitam,dan kuku jari kaki jempolnya pecah,dagingnya kelihatan, membengkak dan kotor.Kawanku menceritakannya kepadaku sambil melahap sate ayam.Aku menjadi pendengar saja,aku mendengarkan ceritanya tidak dg sambil makan sate ayam.

Sabtu, 24 April 2010

Sudut

Hari ini,kita tidak usah terlampau repot dg kegiatan bersepeda.Hari ini,Adi misalnya, melakukan kegiatan bersepeda onthel,kegiatan hobi yg menarik,katanya. Mereka pun bersepeda bersama2 menggunakan sepeda kuno.Kata Adi,di samping melestarikan barang lama yg tidak bijaksana untk dilupakan, kegiatan bersepeda onthel juga bisa berkampanye tentang tidak baiknya polusi udara oleh asap knalpot.Bumi ini sudah tua dan sering dirusak oleh ulah manusia,kata Adi kepadaku. Kawanku Adi suka sepeda onthel kuno yg di tahun 1930 an adalah barang mewah.Tapi, sekarang orang sudah pakai sepeda motor dan mobil.Sesuatu yg dianggap lawas,kata Adi,masih cukup menarik perhatian dan mahal karena unik dan langkah.Paling tidak,barang lawas itu menggambarkan cara berpikir atau selera jaman pada waktu itu,ujar Adi.Adi pun menyuguhiku rujak lontong yg dicampur dg cingur dan irisan bawang merah yg sudah digoreng,sedikit taburan kecap dan kuah.Sungguh menarik pula,dimakan selagi hangat. Kadang kita harus tidak abai terhadap apa2 yg telah kita pernah miliki,karena di situ ada pelajaran berharga agar hidup kita lebih bijaksana, seperti sepeda onthel kuno itu,kata Adi.Dan aku pun melahap rujak lontong dg lahap,sejak pagi memang belum makan.Adi terus memaparkan hal2 penting terkait barang2 kuno dari sepeda onthelnya, sungguh menarik dan sederhana.
Banyuwangi, Minggu 25 April 2010 (Taufiq Wr. Hidayat)

Istriku, Muzayana




inspirasi utama puisi-puisiku, matahari kehidupanku, yang tak pernah bisa kutinggalkan walau sejenak pun, istriku, Muzayana...

Taufiq Wr. Hidayat

Sajak-sajak Cinta buat Istriku Muzayana

Istriku, Muzayana

telah kukembalikan lokomotif tua ke rel itu.
telah kupulangkan pula, kicau burung dan jejak gerimis
pada rumahnya.
tapi, hujan tak menuntaskan wajahmu
yang berkaca di mata jendela

Muncar, 2010


Istriku, Muzayana

yang termangu di lebam waktu
Betapa biru betapa deru
mengerlip malam,
seperti pulang pada kenangan.

pelan-pelan saja, sayangku.
seperti biru yang tak berkeluh
dan dengan airmata yang dahaga,
kita mencium gelora dari segala derita

Banyuwangi, 2010

Taufiq Wr. Hidayat