Sabtu, 31 Juli 2010

Penderitaan

Orang2 mengantri bahan bakar di pom bensin. Petugas pom itu mengenakan sepatu yg nampak kekecilan, seragam oranye yg sesak.Tidak ada musik.Pom menyediakan minyak dari Pertamina seperti pabrik alkohol menyediakan berbotol-botol bir bagi para peminum.Tiba2 sedih jadi menarik hati,bagai kebosanan yg tak berhenti menanti. Bensin lima ribu rupiah,sepeda motor meminum satu liter lebih. Antrian makin panjang,seperti musim kemarau. Harum bensin merayap pada tubuh2 wanita bagaikan parfum orang kaya. Tubuh2 gembur, dan daging segar yg dipanaskan matahari.Kita pun tak bersuara, politik menjual kata2 dari mulut para pelupa.

Taufiq Wr. Hidayat,
Banyuwangi, 2010.

Hutang Qardowok (sebuah cerita)

Hutang Qardowok


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

WAKTU merayap pelan. Siang itu Qardowok tidak keluar rumah. Ia duduk di kursi tamu rumahnya yang tua. Angin siang yang berhembus pelan. Jalanan sepi tidak seperti wajarnya. Botol air mineral terguling ditiup angin di halaman. Gelas-gelas kopi yang kosong belum dirapikan dari atas meja. Ayam betina ketok-ketok hendak bertelur. Tidak ada anak-anak. Asbak yang penuh. Korden kaca di rumahnya belum pernah dicuci sejak sepuluh tahun lamanya, korden itu berwarna putih, terlihat sudah kusam tapi tidak begitu kotor amat. Matanya berat. Kantuk menyerangnya. Televisi di kamar tengah belum dimatikan, sudah menyala sejak tadi pagi, dan entah siapa yang telah menyalakannya.
Siang itu, daun pintu kamar mandi rumah Qardowok diperbaiki.

Anak-anak belum bangun, padahal sudah siang.

Pintu rumah Qardowok tiba-tiba diketuk seseorang.

“Selamat siang,” kata suara dari luar pintu.

“Masuk. Siapa?” jawab Qardowok beranjak dari tempat duduknya.

Qardowok terperanjat melihat tamu yang datang ke rumahnya. Seorang laki-laki tinggi tegap, wajahnya gelap. Bentuk manusia seperti ini belum pernah ditemuinya dalam hidup. Qardowok tidak mengenal orang itu. Orang itu masuk lalu duduk di kursi tamunya.

“Tuan siapa?” tanya Qardowok menahan takut.

”Saya penagih hutang. Anda harus membayar hutang Anda segera!” jawab orang itu.

”Mohon maaf. Saya punya hutang apa? Kepada siapa? Dan kapan? Seingat saya, saya tidak pernah berhutang kepada siapa pun,” jawab Qardowok sedikit gemetar.

”Jangan bersandiwara! Orang berhutang harus bayar! Kalau tidak, ada imbalan yang setimpal untuk itu.”

”Tapi, benar-benar saya tidak punya hutang dan tidak pernah berhutang kepada siapa pun.”

”Sudah saya katakan: Tidak usah bersandiwara! Anda bisa membayar apa tidak?”

Qardowok terdiam, juga agak takut. Ia berpikir keras dan mengingat-ingat, kira-kira kepada siapa ia berhutang, kapan dan di mana.

”Bagaimana?”

”Sungguh demi Tuhan, saya tidak pernah berhutang kepada siapa pun. Anda disuruh siapa menagih hutang kepada saya?”

”Anda jangan berpura-pura! Hutang Anda sebesar seratus juta, belum bunga 50 persen. Dan saat berhutang kepada juragan saya, Anda telah menjadikan nyawa Anda sebagai jaminannya jika Anda tidak bisa membayar tepat pada waktunya.”

”Tapi…”

”Tidak perlu bersandiwara lagi! Anda punya waktu hanya tiga hari dari sekarang untuk melunasi hutang Anda. Jika tidak, maka nyawa Anda sebagai gantinya! Saya akan memotong leher Anda dengan belati, lalu mencongkel mata Anda, kemudian daging Anda akan saya potong kecil-kecil untuk saya jadikan sate.”

Orang aneh itu segera berdiri dan meninggalkan rumah Qardowok. Langkahnya tegas. Bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh seorang pembunuh bayaran.

***

Malam ini, Qardowok tidak bisa memejamkan matanya. Teman-temannya yang datang ke rumahnya bertanya-tanya tentang sikap Qardowok yang lebih banyak diam.

”Ada ada dengan Qardowok?”

”Tak tahulah.”

”Ayo kita tanyakan saja,” kata Gapung yang malam itu menikmati diskusi rutin di rumah Qardowok beserta yang lain.

”Ada apa, Wok? Jangan menyimpan beban sesuatu. Ceritakanlah supaya ringan,” tanya Sinur.

”Tidak ada apa-apa. Saya hanya merasa lelah. Lanjutkan saja ngobrol kalian, saya mau tidur,” jawab Qardowok beranjak ke kamarnya. Menutup pintu.

“Aneh.”

“Ya.”

“Tidak seperti biasanya.”

“Betul.”

***

Dan di dalam kamarnya yang remang hanya menggantung lampu 5 watt, Qardowok tidak bisa memejamkan mata. Ia teringat ancaman lelaki aneh tadi. Dan ia berusaha keras mengingat, kepada siapa ia telah berhutang begitu besar hingga ia menjanjikan nyawanya sebagai jaminan. Namun, Qardowok tetap tidak menemukan jawaban. Andaipun ia memiliki hutang sebesar itu, mana mungkin ia bisa membayarnya. Rumahnya beserta isinya pun mungkin tidak akan cukup untuk menggantikan. Dan tentu orang yang dihutangi tidak akan bersedia menerima rumah beserta isinya untuk mengimpasi hutang, sebab perjanjian yang dibuat, yakni nyawa sebagai jaminannya. Qardowok berpikir keras. Celakanya ia tidak pernah melakukan hutang-piutang dengan siapa pun.

***

Pagi itu, Qardowok belum keluar dari kamarnya. Ayam berketok-ketok mau bertelur. Dia memelihara ayam kampung dengan memanfaatkan lorong kecil di samping rumahnya yang tercipta dari pagar rumah tetangga sebelah dengan tembok rumah Qardowok. Ini adalah hari kedua. Besok hari ketiga jatuh tempo pembayaran hutang. Hari ketiga itu adalah hari nyawanya akan dipertaruhkan jika ia tidak bisa membayar hutang. Tapi, Qardowok tetap tidak habis berpikir. Ia tidak pernah berhutang kepada siapa pun, kenapa ia harus membayar? Qardowok bangkit dari tempat tidurnya yang lembab. Dia berpikir untuk melaporkan kejadian ini kepada polisi. ”Saya harus meminta perlindungan,” bisiknya dalam hati.

Tidak seperti biasa pula. Hari ini rumah Qardowok sepi. Tidak ada teman yang datang ke rumahnya. Qardowok semakin mencekam. Sepi. Dan tentu saja diliputi kecemasan dan ketakutan. Anaknya telah berangkat sekolah. Dia duduk menghadapi meja kaca yang tua di ruang tamunya.

Qardowok memencet-mencet Hpnya. Dia menelepon polisi.

“Halo. Kantor polisi?”

”Ya. Ada yang bisa kami bantu, Pak?”

“Nama saya Qardowok Mulana, Pak. Saya mau melapor, Pak.”

“Laporan mengenai apa, Pak?”

“Mengenai ancaman pembunuhan terhadap diri saya.”

“Mohon Anda paparkan kronologinya.”

“Tiba-tiba ada orang aneh menakutkan datang ke rumah saya. Dia menagih hutang kepada saya. Padahal saya tidak pernah berhutang kepada siapa pun. Dia mengancam membunuh saya.”

“Mengenai hutang piutang, itu masalah perdata. Tidak perlu sampai membunuh. Itu tidak dibenarkan hukum. Tapi, kenapa orang itu akan membunuh Anda?”

“Tapi, Pak. Saya tidak merasa berhutang kepada siapa pun.”

”Ah! Mana mungkin ada orang menagih kalau Anda tidak pernah berhutang?”

”Sungguh demi Tuhan saya tidak merasa berhutang uang kepada siapa pun, Pak.”

”Ah! Anda jangan bersumpah. Sumpah sudah tidak laku, Saudara. Sumpah hanya untuk menutupi kebohongan di hadapan hukum.”

”Tapi, Pak. Orang itu besok akan ke rumah saya, jatuh temponya besok saya harus lunasi hutang yang tidak pernah saya lakukan itu. Dan jika saya tidak bayar, orang itu besok akan membunuh saya.”

”Bagaimana mungkin?”

”Ya. Orang itu mengatakan bahwa saya telah berhutang uang dan jika saya tidak bisa membayar, maka nyawa saya sebagai jaminannya. Padahal saya tidak pernah berhutang, Pak, dan tidak pernah menjaminkan nyawa saya. Mohon bantu saya, Pak.”

”Anda yang bodoh! Kenapa hutang kok pakai jaminan nyawa? Sudahlah. Kalau mau menipu jangan menipu polisi, polisi tahu siapa penipu dan siapa yang bukan penipu karena polisi sudah dididik untuk mengetahui secara pasti gelagat penipuan.”

”Tapi, Pak. Orang itu akan membunuh saya, Pak, dia akan memotong leher saya dengan belati, lalu akan mencongkel mata saya, kemudian daging saya akan dia potong kecil-kecil untuk dia jadikan sate, katanya, Pak. Tolong bantu saya, Pak. Alamat saya…”

”Cukup! Anda memang bukan penipu. Tapi, Anda sedang mengalami gangguan jiwa. Gila!”

”Halo! Halo! Halo, Pak Polisi.”

Telepon terputus. Qardowok mencoba menelepon lagi.

”Halo, Pak Polisi.”

”Maaf. Polisi sedang keluar,” jawab telepon dari seberang.

Qardowok makin cemas. Ia membayangkan tubuhnya akan dicincang untuk dijadikan sate, matanya akan dicongkel, dan sebelumnya, lehernya akan dipotong dulu dengan sebilah belati. Ia teringat anaknya yang masih sekolah. Ia teringat isterinya yang telah dua tahun ini bekerja di luar negeri sebagai TKW.

***

Dan inilah hari ketiga itu. Sang penagih hutang akan datang sebelum benar-benar siang. Dan Qardowok tidak akan bisa membayar hutang yang tidak pernah dilakukannya itu. Qardowok menutup pintu kamarnya. Menguncinya rapat-rapat dari dalam. Pintu kamar tertutup rapat. Anaknya mengetuk pintu, meminta uang untuk sekolah.

Banyuwangi, 2010

Sajak Cinta Sepotong Alpokat

Sajak Cinta Sepotong Alpokat
(buat: istriku, Muzayana)

Yang termangu di lebam waktu. Betapa biru betapa deru. Mengerlip malam, seperti pulang pada kenangan. Pelan-pelan saja, Sayangku, seperti biru yang tak berkeluh. Sepotong alpokat itu, empuk dan layu. Dan dengan mata yang dahaga, kita mencium gelora yang terlahir dari segala derita.

Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010

Spasi Sendiri
(buat: istriku, Muzayana)

Telah kukembalikan, lokomotif tua ke rel itu. Telah kupulangkan pula, kicau burung dan jejak gerimis pada rumahnya. Tapi, hujan tak menuntaskan wajahmu yang berkaca di mata jendela.

Taufiq Wr. Hidayat, 2010

Pintu-pintu tahun tersibak
seperti pintu-pintu bahasa,
menuju entah.
Semalam kau bertutur kepadaku: Esok
kita musti menemukan isyarat-isyarat,
mengurai lanskap, merancang rencana
di halaman ganda
helai-helai dan kertas kerja.
Esok, kita mesti menemukan,
sekali lagi,
kenyataan dunia ini.
…. …
(”1 Januari”. Octavio Paz, 1 Januari 1975)

Tiap-tiap puisi sebentuk upaya merujuk sejarah, untk kepentingan metafora yang sepanjang puja umat manusia: pesta dan kemurnian. Dengan walau tanpa mencentangkan tanggal tahun, pun puisi menjelas saja pentahbisan waktu yang bersih. Di situlah penyair hidup pula, menemu irisan-irisan hakiki dengan kedua mata yang bagaikan mengiris-iris bawang merah. Siapa berteguh dalam situ? Tak lain yang terus berupaya menemu diri baru dengan wajar di tengah kemeluluan. Mendefinisikan senantiasa segala sikap yang keluar dari kesewajaran. Penjagaan kehidupan membarakan api penyadaran yang aktual. Ia menyanyi di tengah bunyi riuh yang selalu dan tak berpeluh, bagai nyanyi merdu di dalam gerbong kereta yg terus melaju.
(Taufiq Wr. Hidayat, 2010)