Sabtu, 30 Oktober 2010

Catatan Akhir Oktober

Orang boleh terkena masuk angin, kedua lobang hidungnya mengeluarkan lendir, bersin-bensin dicampur batuk, tenggorokan seperti lengket di dalam karena pilek. Musim hujan tahun ini tidak konsisten, kadang panas tiba-tiba saja lalu hujan tiba-tiba pula. Perubahan cuaca yang cepat membuat orang gampang flu. Kau boleh mengusir flumu dengan minum jamu atau obat di toko, boleh juga dengan cara lama, yakni dikerok.

Ia pun menulis. Diam-diam sebenarnya ia mengimpikan rumah. Penulis itu, tentu saja ada yang punya rumah sendiri dan ada pula yang belum punya sendiri. Kau boleh meyakinkan dirimu bahwa sejatinya menulis itu adalah menyelenggarakan pesta pemikiran dan keindahan, bahan bacan yang kaya akan menjadi penentu pula kualitas tulisan.

Hari ini tubuhmu lemas akibat flu, padahal sudah minum jamu dan obat toko. Istrimu bermain bersama anakmu yang masih tiga tahun. Melihat istrimu, kau terkagum-kagum. Bagimu, istrimu adalah wanita seksi dengan kulit bersih yang selalu membuatmu ingin selalu bercinta dengannya di atas spring bed baru. Kau merasa sudah lama tidak bercinta dengan istrimu pada siang hari. Seks yang panas akan menyembuhkan flu, kata seorang pakar seksologi, karena itu membakar karbon dioksida dalam tubuh, tambahnya.

Sementara di luar sana, orang-orang berlalu-lalang di jalanan. Kita tidak tahu apa yang disibukkan oleh mereka satu persatu. Kita hanya melihat kesibukan yang begitu ramai dan terburu. Bulan ini Merapi menelan nyawa, termasuk juru kunci yang mati begitu indah itu, Mbah Maridjan. Kehidupan ini terkadang penuh misteri, tentu saja apa yang terpegang hari ini belum tentu terpegang esok hari. Apa boleh buat, waktu terus berlalu dan kehidupan hanya mengenal perubahan yang terus-menerus.

Tadi malam, seseorang telah menabrak kucing dengan motornya yang berlari kencang. Mayat kucing itu dibungkus bajunya, lalu dikuburkan menghadap ke utara dengan bunga pada pukul 23.00 Wib. Itu harus dilakukan untuk menghindarkan kesialan, nasehat Mbah Buyut. Ya. Lakukanlah dengan baik. Karena sejatinya, kau dididik untuk menghargai setiap makhluk ciptaan Tuhan sekecil apa pun, setelah menabrak kucing atau binatang lain hingga mati, sudah seyogianya kau menghormati bangkai binatang sebagai wujud penghormatan dan kerendahhatianmu kepada setiap ciptaan Tuhan yang Dia ciptakan dengan cinta. Jika kau tak menghargai ciptaan-Nya, seperti bangkai kucing itu, maka level kehambaan sama saja dengan kucing. Ironis. Manusia kayak kucing, itu merusak kehidupan.

Muncar, 31 Oktober 2010
Taufiq Wr. Hidayat

Hanya Menulis

Sebagaimana bersama kita ketahui, teks adalah sarana yang teramat penting. Dengan teks kita mencatat sejarah, mendedahkan sejumlah gagasan dan hasil-hasil pemikiran, teks mengabadikan sastra, teks menjadi acuan aktual dalam mendefinisikan kontruksi kehidupan. Tuhan menurunkan wahyu dengan bahasa manusia yang kemudian diabadikan dalam sarana budaya sebagai teks kitab suci. Kita tidak percaya bahwa seseorang akan dianggap memiliki eksistensi dan pengaruh keilmuan tanpa memproduksi teks. Ini sekadar propaganda bahwa teks itu penting dalam kehidupan kita.

Seorang penulis, demikian menurut Hemingway, adalah manusia yang senantiasa menghadapi dirinya sendiri dalam kesunyian saat ia tengah sibuk memproses rangkaian teks. Ia akan mati dalam arti harafiah jika ia telah terlena dalam sebentuk aktivitas yang berada di luar teks yang dibuatnya. Penulis akan melahirkan tulisan "kacangan" bila ia dengan lena mencebur dalam keramaian di luar teks itu sendiri. Tendensi berlebih terhadap "keramaian" atau pembaca akan menjebak penulis dalam keasyikan menulis hal-hal yang tidak berkualitas dan hanya pemuasan tanpa kesejatian nilai. Ini bukan 'sok moralis'.

Kembali dalam kesunyian dan menghadapi diri sendiri setelah ia melepaskan diri dari belenggu "keramaian" adalah keniscayaan bagi penulis yang baik. Jika tidak, maka ia hanya menulis dan merasa teksnya adalah segalanya. Padahal hanya tulisan, bukan bahan bacaan, tetapi sekadar rangkaian huruf-huruf yang dibuang sejarah setelah cukup dibaca atau dilihat-lihat. Kira-kira demikian Ernest Hemingway dalam pidato penerimaan hadiah Nobel Sastra di tahun 1954.

***

Kemudian waktu membentuk benda persegi empat. Dan malam menyalakan lampu-lampu. Hujan dari suatu musim masih kembara dari negeri-negeri jauh yang dihiasi sejarah menjelma cukup rangkaian bunga. Orang-orang mendiskusikan sesuatu yang lain dari perjalanan panjang suatu peradaban. Kali ini, siapa yang meratap dari balik jendela rumah yang basah? Ia ialah mata yang mencari-cari makna yang tak terpahami, ia menjadi sia-sia, seperti buku dan koran yang hanya menerbitkan huruf-huruf dan angka-angka. Tulisan belaka.

Muncar, 31 Oktober 2010
Taufiq Wr. Hidayat

TV dan Kotak Rokok Pakubuwono (Surat Terbuka Kepada Yth. Sastrawan Pelopor RSP, Kusprihyanto Namma)


Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Di tahun 1990an, ketika itu saya masih SD,bapak saya yang seorang PNS rendahan berlangganan Jawa Pos dan koran Karya Dharma. Di Jawa Pos dan Karya Dharma itulah, saya membaca puisi-puisi, juga cerpen dan tulisan-tulisan sampeyan, Mas Kus. Apa yang masih lengket dalam ingatan saya hingga hari ini adalah tulisan dan cerpen Mas Kus. Baru kali ini saya sempat bisa menulis untuk sampeyan tentang kekaguman saya pada tulisan-tulisan sampeyan.

Waktu itu, membaca cerpen dan tulisan sampeyan di tahun 90-an, tak menitik sedikit pun dalam benak saya untuk bisa kenal dan berkomunikasi dengan sampeyan. Waktu itu, saya hanya bisa membaca. Dan karena ketidaktahuan akan pentingnya sebuah dokumentasi (karena memang masih usia SD), koran-koran yang memuat tulisan sampeyan itu tidak saya miliki, karena koran-koran itu dibakar oleh ibu saya di dapur untuk menanak nasi atau mendidihkan air demi secangkir kopi malam hari ketika kami tidak bisa lagi membeli minyak gas untuk menghidupkan kompor. Kami sekeluarga selalu ngumpul bila malam, berbincang, minum kopi, bapak melinting tembakau apek, dan nonton tv hitam putih.Kami hidup di sebuah perumahan PNS yang sempit, satu kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi dan wc, dan dapur menjadi satu ruang yang menumpang-tindih; sempit. Bila hujan, air menggenang di rumah kami. Gaji PNS bapak saya tidak cukup menyejahterakan kami, walaupun kami tetap hidup dan saya bisa bersekolah hingga dua kali DO fakultas sastra dari universitas: UGM dan Unej. Dalam perumahan PNS yang sempit itu, kami hidup bertujuh, ibu dan bapak saya, adik, dan tiga orang kakak saya. Bapak tidak pernah patuh pada KB yang merupakan anjuran pemerintah waktu itu.

Tulisan-tulisan Mas Kus saya baca dalam kondisi yang seperti saya gambarkan tadi. Saya tidak tahu (waktu itu) sastra baik atau tidak baik, yang saya tahu bahwa tulisan Mas Kus itu bagus, dan saya selalu membacanya berulang-ulang, sehingga tercipta bayangan dunia baru yang nikmat di dalam benak saya. Saya suka itu. Walaupun hingga kini saya tidak memiliki koleksi tulisan-tulisan sampeyan, namun beberapa tulisan sampeyan yang pernah saya baca sekitar 19 tahun yang lalu, masih sebagian kuingat dengan baik. Ada tulisan yang mengisahkan tentang Ronggowarsito yang diminta menebak isi sebuah kotak rokok oleh Pakubuwono IV. Sebelumnya, Pakubuwono IV telah mengeluarkan seluruh rokok di dalam kotak rokoknya tersebut tanpa sepengetahuan siapa pun. Esoknya, ia memanggil Ronggowarsito ke istana. Pakubuwono IV meminta Ronggowarsito menebak, apakah kotak rokok yang isinya sudah dikeluarkan oleh Pakubuwono IV tanpa sepengetahuan siapa pun itu kosong atau masih ada isinya. Kotak rokok itu diletakkan tepat di depan Ronggowarsito. Pakubuwono IV mengejek Ronggowarsito yang tidak bisa langsung memberikan jawaban apakah kotak tersebut bersisi rokok atau sudah kosong. Pakubuwono IV berkata: "Mana mungkin kamu bisa melihat sesuatu yang jauh dan gaib, jika melihat isi kotak rokok tertutup yang di depan matamu ini saja kamu tidak mampu." (Saya masih mengingat dialog dalam tulisan sampeyan itu, Mas Kus). Setelah merenung (di dalam renungannya, Ronggowarsito hanyut dalam dimensi ketuhanan yang mendalam, batinnya berperang tentang ada dan tiada isi di dalam kotak rokok yang tertutup dan tidak terlihat oleh pandangan matanya itu, hingga ia menemukan keyakinan yang final bahwa ada dan tiada menyatu dalam keutuhan), Ronggowarsito lalu menjawab:

"Kotak rokok itu berisi, Sinuhun," kata Ronggowarsito dengan mantap dan seyakin-yakinnya.

Pakubuwono IV ngakak-ngakak, tertawa kepingkel-pingkel, karena jelas jawaban penasehatnya itu, Ronggowarsito, salah besar. Pastinya isi kotak itu sudah kosong sebab tadi malam ia telah mengeluarkan seluruh isinya. Setelah Pakubuwono IV puas mengejek dan menghina penasehatnya sendiri, Ronggowarsito meminta sinuhun Pakubuwono IV untuk membuka kotak tersebut. Pakubuwono IV membuka kotak tersebut. Dan memang kosong.

"Coba sinuhun periksa lagi," kata Ronggowarsito tenang dan tetap yakin.

Pakubuwono IV memeriksa lagi kotak rokoknya itu. Takjub! Ternyata masih ada sebatang rokok yang tersangkut di sela lipatan penutup kotak rokok, hal itu terjadi tentu tanpa disadari sama sekali oleh Pakubuwono IV tadi malam saat mengeluarkan seluruh isi rokok dari dalam kotak. Dan dengan demikian, jawaban Ronggowarsito benar. Pakubuwono IV merasa tersudut, ia marah, lalu melemparkan kotak rokok itu ke hadapan Ronggowarsito dan mengusir Ronggowarsito dari hadapannya.

"Keluar!" teriak Pakubuwono IV dengan wajah yang terbakar.

Tulisan selesai. Ketika saat ini saya mengingat kembali, betapa satire dan kritis, tajam dan menyehatkan tulisan sampeyan itu, Mas Kus, di mana tulisan itu terbit di tahun 90-an saat Soeharto masih gagah perkasa.

Ada lagi tulisan sampeyan tentang televisi (tentu saja judul dan isi detil tulisan-tulisan sampeyan itu, saya sudah lupa). Sebuah keluarga kecil yang memiliki tv hitam putih yang tv mereka selalu gangguan, muncul bintik-bintik hitam di layarnya. Dialog pun terbangun antara tokoh aku dengan istrinya tentang tv mereka. Anak-anak mereka selalu protes, kenapa tv selalu mengeluarkan bintik hitam dan gambarnya tidak bisa dilihat dengan jelas. Malam hari, ketika tv gangguang dan diperbaiki berulang-ulang tetap saja tidak beres, tokoh aku mematikan tvnya. Anak-anak mereka sudah tidur. Tokoh aku dan istrinya berdialog tentang masa lalu mereka, saudara-saudara mereka, juga teman-teman mereka dulu. Hingga larut malam dan keduanya tertidur melupakan tv mereka. Itu tulisan sampeyan yang segar menurut saya, yang saya baca dulu ketika saya berusia SD, 19 tahun yang lalu.

Mungkin sampeyan sudah lupa bahwa sampeyan pernah menulis tulisan-tulisan yang pernah saya baca 19 tahun yang lalu itu. Tapi, saya masih cukup mengingatnya dan memetik manfaat darinya. Andai saya bisa memiliki koleksi karya sampeyan, betapa senangnya saya. Karena di toko-toko buku saya cari tulisan sampeyan, saya tidak menemukan, mungkin karena toko buku di kota kabupaten yang saya tempati ini hanya ada satu toko buku yang kurang lengkap. Untuk ke kota besar mencari buku-buku, saya mungkin tidak bisa melakukannya karena kendala waktu dan uang. Jika Mas Kus berkenan memberi saya koleksi tulisan-tulisan Mas Kus yang lama-lama, saya akan sangat berterima kasih. Entah bagaimana caranya, lewat pos, lewat email, atau apalah. Saya hanya meyakini, bahwa jika Tuhan menakdirkan saya bertemu kembali dengan tulisan-tulisan sampeyan, maka saya akan menemukannya. Teman-teman saya bilang, bahwa Kusprihyanto itu pelopornya "revitalisasi sastra pedalaman". Jika iya, saya berada dalam "barisan" itu. Karena sastra kadang kala dipengaruhi oleh jaringan, uang dan tempat ("pusat" atau "non-pusat"). Lalu bagaimana dengan mereka yang berkarya di tengah keterpencilan tempat dan miskinnya uang dan jaringan? Saya rindu kebersamaan dan kesejajaran yang obyektif, sehingga karya ditimbang dari kualitasnya, bukan kuantitasnya.

Salam Kebudayaan

Kamis, 28 Oktober 2010

Pantat Mbah Maridjan

Sejumlah orang menjemput Mbah Maridjan di rumahnya untuk mengajaknya segera meninggalkan rumah, mengungsi karena Merapi emergency. Mbah Maridjan tahu bahwa Merapi akan memuntahkan "wedhus gembel" dan menelan nyawa. Karena ketahuannya itulah, dia memerintahkan seluruh warga Kinahrejo mengungsi segera. Dan setelah semua warga mengungsi, tinggal Mbah Maridjan hendak mengungsi belakangan setelah yang lain telah dipastikannya aman.

"Ayo, Mbah, kita ngungsi," kata salah seorang yang menjemputnya.

"Yo ayo! Aku sembahyang disek yo, entenono sedilut," jawab Mbah Maridjan.

Lalu dia pun sembahyang. Di saat sujud, Merapi muntah, Mbah Maridjan wafat dan mayatnya ditemukan dalam posisi sedang bersujud membelakangi Merapi. Mbah Maridjan tahu bahwa Merapi itu hanya level "silit" (pantat) dibanding kepasrahan penghambaannya kepada Tuhan yang ia sembah. Dan para penemu mayatnya dan yang melihat posisi mayatnya (baik itu ustad atau ulama'-ulama' karbitan yang menyeru-nyeru moral, para pemimpin mulai lurah sampai presiden, anggota dewan atau siapa pun yang pengabdiannya hanya untuk dirinya sendiri dan gemerlap segala hal selain ketulusan) hanya selevel pantat Mbah Maridjan. Dan dengan tanpa beban Mbah Maridjan memantati mereka seperti ia memantati Merapi. Itu benar-benar "roso", pengabdiannya lebih roso daripada sekadar Merapi, pengabdian sejati yang mengabdi-sembah hingga akhir. Mbah Maridjan meyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa bukan Merapi atau sultan mana pun yang ia jaga dan ia junjung dengan jiwa raganya, tapi bahwa sejatinya ia mengabdi kepada Kang Murbheng Dumadi, Allah, sesembahan manusia dan muara segala pengabdian total. Karena "tidaklah diciptakan segala makhluk selain hanya untuk mengabdi-nyembah kepada Allah Kang Murbheng Dumadi", dhawuh-Nya. Kematian Mbah Maridjan itu kematian paling indah dan yang paling dirindu-dambakan bagi tiap-tiap kita yang berhati nurani dan yang mengorbankan seluruh jiwa raga hanya untuk mengabdi-sembah kepada-Nya dengan menunaikan selunas-lunasnya pengabdian pada tanggungjawab kemanusiaan yang sejati. Sampai akhir. Sampai tiba nyata segala rindu pada perjumpaan dengan Tuhan Yang Maha Menguasai Segalanya.

Muncar, 29 Oktober 2010
Taufiq Wr. Hidayat

Rabu, 27 Oktober 2010

Simponi 2006


(buat Muzayana)

diam-diam embun membasahi jendela
di antara kecemasan
udara yang dingin menjadi jaket
lama kumaknai cahaya matamu, Za
ketika lidah lautan
mengusung banyak kisah pelayaran
yang tak sepenuhnya tercatat
dalam nyanyian musim gugur

di lengkung alismu, Za
ketemukan hening
di mana segala jawaban
menemukan diri
dan aku ingin tenang, Za
bersama Za
bermain makna bersama kanak-kanak
berpanjang usia hingga tua
dan pasrah segala

Ofiq
Desember, 2006

SEEKOR MOTOR HONDA

Catatan “Di Penjelang Hukum”

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Orang-orang bersilangan dalam kecemasan. Suara-suara kembali pulang ke dalam kesunyian. Hujan turun. Dari balik jendela, kepergian seolah seorang dengan wajah yang dingin-basah melambaikan tangan pada perpisahan. Hamba-hamba hukum merasa yang paling menghamba, segalanya dipersembahkan bagi sang tuan. Telah menjadi yang lain antara penderitaan dan obat penawar.

Lalu bumi. Di situ kau berdiri sambil bersandar pada tiang kantor pengadilan yang megah. Kasus korupsi sampai kasus orang jompo yang mencuri setengah kilo biji kopi disidangkan, dan terus disidangkan. Kantor pengadilan yang ramai selalu bagai pasar, seperti juga kantor kejaksaan dan kantor polisi. Orang-orang dikerubung kegelisahan dan dikeroyok kecemasan. Kecemasan dan kegelisahan sebesar-besar gajah; mengeroyok, mengerubung. Jari-jari tangan bersembunyi di dalam kantong celana yang dalam. Hujan yang mengerikan, angin celaka, asap rokok, bau keringat bercampur aroma parfum para hakim dan jaksa. Kegelisahan dan kecemasan bersekutu bersama udara jahat, orang-orang menanti-nanti keputusan mejelis hakim, menunggu kemungkinan-kemungkinan yang tak terpastikan sembari meyakini koran, buku, pasal-pasal, ingin meninggalkan alangkah sayang. Segalanya terlanjur dipersembahkan bagi yang telah dipertuan-agungkan. Orang-orang mondar-mandir, di antara mereka terbatuk-batuk bagai mendapat firasat buruk. Menanti. Menanti keputusan hukum. Menanti sebuah hukum, suatu hukum (tidak jelas), seekor hukum, ataukah sesosok hukum, seorang hukum. Pranoto membuat film yang memvisualisasikan “ilustrasi sastra”-nya Franz Kafka; “Di mana hukum?” atau “Di mana Tuan Hukum?”. Maka, dijawablah oleh sang penjaga: “Hukum sedang keluar”, atau “Tuan Hukum sedang sibuk, sehingga tidak bisa segera ditemui. Silahkan menunggu. Terima kasih.” Lalu, sang pencari itu pun menunggu hingga rambut dan cambangnya memanjang tiga meter.

Seorang hukum. Ya. Seorang hukum. Bernyawa ia, berpikir, berkata-kata, dan mengantuk layaknya manusia. Atau sebuah hukum, lebihkah itu? Sebuah hukum; diam tak bergerak seperti batu. Atau seekor hukum; bertindak dengan insting, tanpa kebenaran dan tanpa keadilan, memakan tanpa perasaan. Tak sebagaimana layakkah Kafka dengan “seorang hukum”-nya? Iakah kedaulatan? Seorang kedaulatan? Seekor? Sebuah benda? Kata tak mendedah! Para penjaga itu sekadar penunggu pintu kandang seekor hukum atau seekor kedaulatan. Seekor itu boleh ular, singa, komodo, cicak, buaya atau apa pun terserah tafsirmu.

Tapi, di manakah seorang keadilan? Kenapa seorang? Kenapa tidak seekor atau sebuah keadilan saja? Tak lebihkah segala ini hal ini ikhwal ialah abstraksi absurditas kita? Ia belaka sajakah?

“Di Penjelang Hukum”, judul film yang dibuat oleh Dwi Pranoto dengan uang dari penjualan “seekor” motor honda lamanya. “Di Penjelang Hukum”-nya Kafka, film menafsir teks, menafsir keterpencilan. Tafsir yang membuih-buih. Di penjelang yang jatuh dalam penantian membosankan, dalam tragedi yang tak terjelaskan, penantian yang mustahil, kenyataan yang mustahil namun merupakan hasil tafsir yang membuih-buncah aktualitas. Ia nyata. Di depan mata. Jelas. Up to date. Tapi, mustahil dalam jangkau kewarasan. Di penjelang yang mustahil terjelang, tetapi ia menjelang. Di penantian yang mustahil dinantikan, namun ia menanti. Tapi, ia berharap dalam pengharapan yang mustahil diharapkan. Dan orang-orang membincangkannya dengan serius, bersungguh-sungguh dengan ilmu, teori, metode-metode, tentu saja sangat mendalam, bersama dugaan, tafsiran, anggapan, mungkin juga kecurigaan, dan entah apa lagi. Mereka membincang sambil minum kopi dan menghisap rokok di sebuah rumah makan atau kafe. Sambil tertawa dengan gigi yang beberapa telah tanggal, gusi hitam oleh nikotin. Menggairahkan. Dan diam-diam ada yang mengendap-endap di pojokan.

Banyuwangi, 2010

Senin, 25 Oktober 2010

Dongeng Buat Istriku

Baiklah, istriku.
Ada sehelai sungai yang bercerita tentang sebuah batu besar hitam di dasarnya,
ia diam begitu tenang,
tua dan angkuh,
seperti rindu.

Ada pula hujan yang menceritakan perjalanannya melintasi negeri-negeri jauh,
ia merintik dengan tekun pada malam hari,
selalu dan menolak untuk beku.
Tentang halaman rumah yang teduh,
sehelai sungai,
dan pohon jambu,
seperti juga rindu.

Ada laut yang menggelombang selalu,
menampakkan pulau-pulau asing,
dan perahu-perahu yang samar diselimuti kabut.
Kedalaman, gelombang yang menggelora bagai gairah,
langit jingga,
dan sebongkah karang di dasar palung samudera,
yang tak mengadu aduh karena tiap hempasan,
seperti rindu yang bermimpi harum tubuhmu,
dan nafas perburuan pada warna kulitmu.

Baiklah, istriku.
Baiklah selalu.

Taufiq Wr. Hidayat
2010

Minggu, 24 Oktober 2010

BAIKLAH

Mencintaimu, istriku.
Bulan-bulan lepas dari dadaku.
Musim penantian tak mengulum kesepian.
Ladang-ladang, telaga rindu, dan awan yang tenang melintasi jembatan.

Istriku,
Hujan menyiram petang.
Lampu-lampu pun temaram.
Dan kita duduk di situ,
Menceritakan tentang sepatu kecil anak kita.
Merumuskan bayangan gerimis yang melintas di balik cemas.

Istriku,
Puisi-puisi terbit dari warna kulitmu.
Dan aku pulang ke dalam hatimu.
Mengupas apel dan meramu rindu yang melampaui waktu.

Baiklah.
Istriku.
Baiklah selalu.

Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat

Sabtu, 23 Oktober 2010

Dan Hujan

Dan hujan
Orang-orang mengenakan jas hujan
Pada petang
Penjual sate
Dan hujan

Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat

Jumat, 22 Oktober 2010

KALUNG EMAS

(Riwayat dalam Tujuh Tumpang)


00.01

—secara diam-diam, isterinya menyeringai,

menyimpan nafas yang kelam, pada

mimpi emas tengah malam.

—laki-laki yang menderita hernia itu,

menatap haus pada selendang tipis

yang menghelai menutup tubunya,

tubuh wanita yang berlemak dan becek.

—lampu 5 watt menggantung pada eternit kamar mewah.

Laki-laki itu bangkit, duduk di kursi

dengan pandangan dendam, menjadi candu geram

di punggung kekuasaan. Nafasnya pecah dalam petang.

00.02

—tubuh bergula itu telah bermimpi kalung emasnya sendiri,

yang menjuntai sunyi.

—musim hujan juga belum selesai

mengusung gejala alam, menjelma nyeri

pada doa para penanti para pengabdi

di kaki istana yang dibangun dengan api

derita purba dan nafas-nafas sangsi.

—isterinya menyeringai lagi, mengeluh

lehernya gatal, nafasnya bernafsu

pada aroma emas yang panas.

—laut hitam. Sungai-sungai berbau minyak,

angin malam yang jahat. Aroma celaka

menusuk hidung kita. Kekuasaan menggelar meja.

Melingkar dalam ruang.

“Kita segera membangun pos jaga tepi pantai.

Lalu membangun lapangan terbang, membangun

jalan lintas selatan memecah hutan,” cetus bupati.

“Untuk apa?” tanya seorang anggota.

“Untuk rakyat! Jangan membantah!

Kamu di sini hanya mendengar dan melaksanakan perintah!”

—bau amis nanah menyerbu ruangan. Kipas angin

menerbangkan serbuk besi. Di luar, orang-orang berteriak

dengan tenggorokan yang putus. Kaki kekuasaan

bagaikan kaki raksasa kejam dalam kisah wayang.

Keputusan pun dilaksanakan. Dan tanpa sanggahan.

Dan tanpa hambatan.

00.03

—aroma emas dari bukit Tumpangpitu telah masuk

ke dalam hidungnya, menjalar ke dalam otaknya,

dari otak menjalar ke dada, turun ke perut, dan turun

ke dalam kelaminnya yang menderita hernia.

—gerombolan politisi sibuk dengan putusan. Ladang-ladang

uang terendus dalam pekat, menjadi candu, menjadi

tubuh wanita setengah telanjang yang menggemaskan.

Sepatu-sepatu tanggal di bawah dipan, kopyah-kopyah agamawan

lepas dalam kelam.

—“Sarana transportasi emas sudah siap. Segera

lakukan proses penggalian,” bisik bupati.

Kepalanya mengeluarkan asap belerang,

mulutnya dipenuhi garam, duri, sianida dan mercuri.

00.04

—“Saudara-sudara! Banyuwangi adalah daerah yang kaya.

Sebentar lagi kita akan kaya. Dan kalian semua akan

mengenakan kalung emas 24 karat. Mahal.”

—Dan segala yang mahal harus dibeli dengan sekarat.

—para wakil rakyat berjalan seperti keong memasuki paripurna.

Palu dewan menegaskan persetujuan. Langit hitam. Nafsu dan

ketidakpastian masa depan orang ramai, campuraduk dalam

hawa yang kotor. Ribuan malapetaka mengintip lobang kunci rumah.

—politik telah membangun peta kegelapan. Tumpangpitu jadi bahan Pemilu.

Sibuk para wajah penyamun membentangkan spanduk. Tapi, surat penguasa

sudah ditandatangani. Kalung emas di lehernya menjuntai tenang,

isterinya yang lembek dan bertubuh becek.

“Gali! Gali! Dan segera gali!” teriaknya dari dalam gelap.

“Dengan emas, kita akan membeli Tuhan.”

00.05

—perjalanan waktu tak tertahan, menyemai serbuk racun

pada ruang. Hutan lindung yang agung, sebentar lagi

lumat menjadi bubuk kopi dalam gelasmu di pagi hari.

—“Gali! Gali! Gali!”

Gerombolan binatang lapar datang bersama berkopor impian,

sebuntalan sorga, dan tumpukan modal.

Kaum agamawan pun jatuh dalam pelukan wanita,

membungkuk tanpa tengkuk.

“Dengan emas, kita akan membeli Tuhan, menjual Tuhan, bahkan

menyulap-Nya menjadi perempuan binal,” ujar laki-laki

yang terserang herniat itu. Kepalanya botak, rambutnya uban.

—seuntai kalung emas di leher isterinya berayun. Dan tanpa terasa,

kalung emas itu putus lalu terjatuh. Ia kehilangan.

“Cari! Cari! Temukan! Kalung emas itu sangat berharga

daripada leher kalian! Temukan! Kalau ada yang mencuri,

tangkap pencurinya! Potong leher isteri pencuri itu!

Kalung emas itu bisa membeli seluruh hidup kalian,

bahkan Tuhan pun,” gertak laki-laki

yang menderita hernia itu di hadapan rakyat.

00.06

—kalian pun. Bersorak pada batas-batas yang mengabur.

Kehidupan berbau racun, orang-orang asing

menjual emas lalu tertawa setelah menenggak minuman

dan meniduri wanita. Ribuan orang keracunan ikan,

ribuan berbondong mengantri cemas dan kematian.

Namun, kehendak hidup layak tak harus diam tanpa gerak.

Kebusukan dan luka sudah membengkak. Maka, untuk hidup

musti berontak. Sampai lantak. Lalu tenteram dalam kepuasan nurani.

Bergerak ke belakang berarti meminum racun lautan,

berdiam berarti mandi dari air yang tercemar. Tak ada

peluang untuk dihitung. Teruslah engkau membendung.

—warna laut akan menegaskan kehilangan. Wahai laut selatan yang gila,

masuklah ke dalam jiwaku yang terpenjara,

membebaskan segala hempasan, membentur segala keterpencilan,

lalu tegap sendirian.

—kalung emas menjadi cemas. Angin laut mengabarkan kedatangan

orang asing yang menggeledah bajumu, membalik dipanmu, dan

menjilati bukitmu, Tumpangpitu.

00.07

—laut menggemuruh. Tuan-tuan datang ke tepi.

Menumbuk batu. Memproduksi mimpi.

—Diam-diam aku membuka sebuah kotak tua dengan gemetar.

Menyatakan kecemasan. Pun perlawanan.

Menjadi kesaksian. Bagi sejarah. Bagi hidup yang dusta.

Mungkin kelak anak cucuku memahaminya.

Tapi, bukankah kini kita masih bisa berbuat?

Maka, hentaklah batang-batang pohonan. Usir tuan-tuan asing.

Agar bumi tidak terasa pesing: sejuta kabut keluh.

Di kaki Tumpangpitu.

—Tuan-tuan datang dengan sejuta nama samaran.

Mengendap-endap di antara perkampungan nelayan.

Mendirikan rumah pelacuran, dan menyeringai dalam kelengahan.

Leher isterinya gatal, karena kalung emas yang baru matang.

Sebuntal badai dikemas dalam bentuk giwang, juga gelang.

Kemudian terbahak, bayangan giginya terpantul dalam segelas anggur.

Aroma nafasnya sebusuk kekuasaan di dalam telur ular. Mulutnya

penuh garam dan amis ikan. Seragam perang, dan daging srigala.

Sejuta angsa di kaki bukit, lari dalam perburuan.

Lalu peralatan perang mengejar para buronan.

Pertambangan yang mengerikan.

Tapi, di meja kekuasaan, darah dan air mata

adalah makan malam yang teramat lezat rasanya.

—diam-diam, pada malam. Tumpangpitu roboh.

Banyuwangi pecah di atasnya.


Muncar, 2009

Taufiq Wr. Hidayat

Kamis, 21 Oktober 2010

PENEGASAN BELAKA

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat

SEJARAH bercerita, aromanya seperti dongeng di masa kecil. Baiklah. Politik dan kekuasaan tak dapat dibantah telah membangun rumah pribadi seorang pucuk pimpinan formal di atas hamparan darah dan mayat, keputusasaan dan ketakutan menjadikan rakyat tidak mengenakan mantel di tengah kedinginan yang mematikan. Dalam bukunya “Republik”, Plato menulis: “… ketika muncul pertama kali ia bertindak sebagai pelindung. Di saat-saat awal kariernya ia penuh senyum dan penuh hormat pada setiap orang yang dijumpainya—ia kemudian disebut “tiran”, mereka yang berjanji di depan umum dan secara pribadi… berkeinginan menjadi baik dan ramah pada setiap orang! Kemudian ia membuat rakyatnya melarat dengan menarik pajak… memaksa mereka mengabdikan dirinya kepada kemauannya setiap hari, dan mencegah mereka bersekongkol.”

Sejarah bercerita dan pengalaman umat manusia yang tidak pernah rendah hati dalam memahami sejarah secara kritis, malah membuka sebentuk repetisi cerita yang sing mari-mari (tak kunjung selesai). Hingga hari ini, kekuasaan tetap menempatkan dirinya sebagai penafsir tunggal terhadap kebenaran dan kebijakan negara yang pada gilirannya akan menentukan hidup orang banyak dengan pelbagai argumentasi yang “dilogiskan”. Dalam bukunya “Selamatkan Indoensia”, Amien Rais menulis, bahwa untuk menolak perbedaan pendapat, penguasa berseru: “Jangan mengeluarkan kritik tajam dan perbedaan pendapat, nanti masyarakat bingung…”.

Menjadi sedemikian kentara, bahwa penguasa tidak pernah bersahabat dengan para penentang dan kritik. Ini dilakukan atasnama rakyat dan hukum, dengan atau tanpa apa yang disebut keadilan, kata kusam yang mustahil masuk ke dalam laci pemerintah dan kekuasaan para penegak hukum. Semangat menyeragamkan tiap hal adalah ciri utama dalam banyak argumentasi dan apologi kekuasaan. Gus Dur yang termasyhur itu menulis, bahwa kehendak obyektif dari masyarakat secara inheren ditarik ke dalam wilayah kekuasaan dengan subyektif menjadi kehendak kekuasaan dan para pemegangnya. Sehingga bukan lagi aturan hukum dan ketetapan publik yang berlaku, melainkan kehendak kekuasaan dan pribadi yang menjadi “mesin” sistem. Dengan demikian, rakyat tetap berada pada sebuah posisi tawar yang tidak memiliki samasekali nilai tawar.

Persoalan diperparah dengan segala bentuk simbolisme dari selera penguasa, bahwa seseorang harus berpakaian rapi dan berbicara tertata dengan aksentuasi yang dibagus-baguskan, santun, dan seremonial. Persoalan simbolisme menjadi utama dan karuan saja menjadi sebentuk komoditas politik. Keberhasilan ekonomi disimbolkan dengan bagi-bagi BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan beberapa “program nasional bagi-bagi uang atau pinjaman lunak” yang, tentu saja, bersifat simbolis dan pencitraan politik. Tidak nyata, dan keberhasilan ekonomi dengan demikian hanyalah tipuan, karena dari bagi-bagi uang itu tidak menggeser nasib ekonomi rakyat.

Berkali-kali Gus Dur menegaskan, bahwa beliau tidak pernah setuju dengan pemimpin dari militer atau unsur-unsur militer. Itu subyektif. Tapi, bila kita sadari hal itu bersama, sesungguhnya militerisme akan memudahkan seorang pemimpin politik menjadi diktator atau tiran. Sebuah pernyataan tidak obyektif dan naif. Namun sejarah selalu membuktikan bahwa sarana utama menjadi diktator adalah kekuatan militer. Lihat saja Soeharto, Hitler, Franco, Musolini, dan yang lain-lain itu. Mereka memperkokoh dan mepertahankan kekuasaannya dengan militerisme. Sejatinya kekuatan militer adalan untuk melindungi rakyat. Tetapi di tangan seorang diktator, militer justru menjadi “mesin” intimidasi dan pembatai demi kelanggengan kekuasaan. Seorang diktator Spanyol, Fransisco Franco, yang memahami betul jati diri militer, akhirnya tetap memanfaatkan kekuatan militer demi kekuasaannya. Dalam pidatonya, Franco berteriak-teriak dengan semangat idealis di hadapan para tarunanya: “Kehidupan militer bukan jalan menuju kesenangan dan kemasyhuran. Jalan itu penuh penderitaan, kekerasan, pengorbanan dan juga kegembiraan, seperti halnya bunga yang harus tumbuh di tengah barisan pedang.”

Namun setelah ia berkuasa, maka ia lupa dengan pidatonya dulu, ia merubah bunga itu menjadi tombol bagi robot-robot pembunuh, penekan, dan teror untuk menyapu setiap orang yang mencoba mengusiknya, yang melawan atau tidak sejalan terhadap kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat. “Ojo riko nyulayani janji. Riko kang nggawe lorone ati…” kata lagu Banyuwangen. Mari, siapa giliran berikutnya yang mau mengingkari janjinya di Banyuwangi ini?

Muncar, 2010

Kamis, 14 Oktober 2010

Mimpi Laut Muncar


Bulan akan datang dan nelayalan akan ada yang pulang setelah puisi ini selesai.
Tapi, hujan belum membawa kabar menepi.

Perahu-perahu mengambang,
Tiang-tiangnya menanti sandar tiap pertanyaan nelayan
Yang tersangkut pada angin Sembulungan.
Alangkah gemar, jutaan lemuru bermain di situ,
Dan udara dingin senja yang amis,
Melambai bagaikan tarian
Yang menggerakkan jari-jari lautan,
Menggerayang alis pantai pelabuhan Muncar
Melentik di atap-atap rumah,
Ternak kambing
Di akhir kali mati.
Sebentar lagi, juga hujan,
Tegur angin selatan
Yang berpusar sejenak di ujung menara surau tua,
Bersetia meniup lumut bulan-bulan yang lepas.
Kemudian seseorang memungut sehelai daun akasia
Lalu berlari ke bawah atap warung kopi,
Perlahan menghitung sisa hujan
Pada penjelang petang
Dan pandangan yang berawan.
Laut dipayungi mendung, gerimis luruh di mata para pencari ikan
Sebentar lagi, laut menerima cahaya lampu
Dan entah siapa akan mengantarkan kepak bangau
Ke atas samudera
Lalu duduk menyaksikan orang-orang kekar
Yang bergairah mendekap bahu-bahu gelombang.
Kerlip lampu yang jauh itu
Perlahan mendekati pelabuhan
Pada musim-musim yang samar,
Pada pergantian antara kelam dan ratapan
Di antara batu-batu yang ditata bagai jembatan
Dan sebuah rumah perahu yang kelabu.
Kulit ungu seorang kemudi,
Menyatu angin senjakala.
Para pendatang singgah,
Meyakini mimpi
Yang bertabur dari mata mendung,
Menggulung waktu.
Pada tatapan seekor elang yang sunyi
Dan ampas-ampas buih menepi
Pada pasir hitam
Dan muara yang membawa bangkai-bangkai ikan.
Hujan menyerbuk pelan,
Ikan-ikan berpesta.
Seseorang yang asing
Mematung di pintu sebuah rumah tua,
Topi hitam berselimut sarung yang kelabu,
Tatapan petang,
Dan tembakau.
Mulut radio di warung
Mendendangkan dangdutan,
Menyelinap di rerimbun waktu
Mendesak ke dalam keyakinan
Tentang kaki pantai dari balik daun pintu-pintu yang gaduh
Tangis bayi yang menggairah.
Seorang bapak
Mengurai hidup dari simpang cuaca
Seperti menakdirkan cemas pada segumpal daging,
Telah lama laut dijaring
Orang-orang dari tempat yang jauh,
Bahkan dari negeri lain,
Melayarkan perahu diam-diam.
Namun tarian para nelayan
Begitu terang menjaring riang,
Menghitung hujan,
Memungut butiran-butiran
Untuk sebuah makan malam.
Pelan-pelan sebutal angin Oktober
Meniupkan syair
“Layar-layar kumendung”.
Tiap kapal bergoyang.
Tatapan-tatapan mendung, kaki pantai.
Tersering murung, tapi
Tak henti bersenandung.
Pada amis udara, ia mengendap di pasar ikan
Yang meneteskan liur para pendatang
Dari pulau-pulau jauh yang tak tampak
Terbenam pada jalanan basah,
Keranjang ikan, peti-peti pendinginan.
Ada yang tertinggal, Tuan.”
Sebatang dahan pohon waru
Jatuh di tepi alis lautmu, Muncar.
Air mati yang menggenang,
Dan siang tadi masih merayapi matahari.
Petang merebah dalam lubukmu,
Angin Oktober membawa pada sebentuk percakapan ramai
Pada ruang pelelangan yang menghangat,
Tapi, entah siapa
Diam-diam menyembunyikan sebutir hujan
Pada jaketnya yang hitam
Lalu menyelinap di tikungan.
Jembatan tua di wajah muara.
Bila laut pasang, air menyentuh tepian.
Perahu-perahu tak menampak lelah,
Pelan mengarung muara.
Pada batas lautan, senja yang gamang itu,
Seseorang melempar mata kail dari atas jembatan
Seperti telah menegaskan angan
Pada tiap pemberangkatan segenap perjalanan
Lantaran sebutir mimpi
Tak tersia dari semesta
Mengenakan busana cinta
Di tengah mata pandang segala bangsa.
Suku kecil, suku yang tak pasti dalam peta;
Rumah-rumah tradisional
Masakan yang aneh, juga siul yang kelabu.
Laut selatan, kulit ungu melepuh,
Fatwa mimpi yang sembunyi
Di balik hujan Oktober.
Entah siapa, menghitung singgah angin
Yang telah melintas di atas kuburan para pelaut
Menyanyikan irama dari dunia yang lain,
Memungut sehelai sepi
Yang jatuh di halaman.
Jari-jari gelombang terus menggerayang
Jembatan tua yang tak tersentuh air lautan
Seperti telah menegaskan lagu
Pada sebuntal daging rindu
Di tengah abad-abad yang berlalu
Hingga ke ujung keluh.
Belum sampai dipikirkan
Biografi laut
Belum sudah pelayaran
Sebab tak pernah menghitung pencapaian
Dari segala kewajaran.
Musim sudah berganti, waktu berenang
Mengabar kembali segenap pelayaran
Yang tak pernah menunda diri
Lewat udara siang yang membakar atap-atap rumah di alis pantai.
Pasar ikan
Orang-orang menati pembeli
Para pendatang memungut embun yang jatuh
Di jalan becek yang amis.
Pabrik melahirkan asap dan limbah dari perutnya,
Ikan-ikan busuk didaur menjadi tepung.
Para pekerja bergerombol pada istirahat siang.
Kemantapan hari akan tempat tinggal
Mengendap pada dinding pabrik tua
Dan perahu-perahu yang lenyap ke dalam kabut.
Langit kelabu, pasir hitam yang basah,
Mata waktu yang berawan,
Kecemasan, wahai Muncar.
Lubang karang ungu,
Kulit hitam, keresahan,
Mengendap di wajah-wajah nelayan,
Mengurai hujan pada nasib pelayaran.

Muncar, 2010
Taufiq Wr. Hidayat


Rabu, 13 Oktober 2010

DKB dan Kecemasannya

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat

Dewan Kesenian Blambangan (DKB) di Banyuwangi dianggap oleh beberapa budayawan di luar DKB, sebagai lembaga “imajinatif” untuk sekadar memberikan penilaian bahwa keberadaannya sama dengan ketidakberadaannya. DKB dianggap tidak cukup memberikan sumbangan berharga bagi kebudayaan Banyuwangi dan sejarah lokal, juga tidak menjadi media transformasi bagi eksistensi kesenian daerah yang dijalankan oleh kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat Banyuwangi dan insan kesenian pada umumnya. Anggapan dan penilaian itu, tidak dapat dipersalahkan juga jangan ditanggapi dengan sikap sinis atau fatalistik oleh DKB dan pemerintah. Kita perlu memahami kenapa anggapan dan penilaian budayawan di luar DKB, yang jumlah dan kualitasnya jauh lebih bagus daripada para budayawan DKB, itu muncul. Hal ini harus dipandang secara baik dan proporsional kalau kita menghendaki adanya dinamika kebudayaan yang bermafaat bagi kehidupan rakyat Banyuwangi, baik melalui DKB maupun yang di luar formalitas DKB.

Cara kerja dewan kesenian selama ini di Banyuwangi sangat bergantung pada jalinan sistem pemerintahan. Membincang pemerintahan, sama halnya bersentuhan dengan birokrasi sebagai perangkatnya. Dalam hal ini, DKB menjadi kepanjangan tangan dari Dinas Pariwisata. Dengan demikian, setiap aktivitas DKB yang berkaitan dengan seni-budaya Banyuwangi semata tercurah pada penguatan promosi. Sehingga peran penjagaan dan media penghubung antara pelaku seni-budaya di satu pihak dengan pemegang kebijakan formal di pihak lain dalam menyuguhkan nilai-nilai seni-budaya secara sinambung, tidak tercapai. Penerbitan buku-buku budaya dan sejarah lokal banyak dilakukan oleh kelompok kecil dengan dana swadaya seadanya, sehingga hasil dan target yang dicapai terasa kurang maksimal. Sedangkan DKB hanya bersibuk diri menyelenggarakan karnaval-karnaval, pawai budaya, lomba-lomba atau even-even lainnya yang merupakan suatu kegiatan yang lebih bersifat promotif, dangkal, dan merupakan “pesanan” (dalam tanda kutip) Dinas Pariwisata yang adalah perangkat pemerintah. DKB tidak bisa berdiri secara kokoh menjadi fasilitator seni-budaya Banyuwangi dalam menyampaikan nilai-nilai orisinil seni-budaya rakyat secara aplikatif dan bersifat pemberdayaan. Hal ini karena beberapa hal, di antaranya yang pokok adalah lemahnya keorganisasian DKB dan kecemasan orang-orang DKB, karena jika tidak memenuhi “pesanan” khawatir “tidak diberi jatah” atau “jatah dikurangi”. Kecemasan yang kurang beralasan.

Padahal peran DKB justru akan lebih bermanfaat jika DKB mampu memperbaiki keorganisasiannya secara demokratis, misalnya dengan melakukan penguatan dan penegasan AD/ART DKB serta memilih ketua dan pengurus secara pemilihan atau musyawarah. Langkah ini bertujuan agar keberadan DKB di Banyuwangi mendapatkan legitimasi dari insan kesenian dan rakyat. Bukan melestarikan kebiasaan “tunjuk hidung”, sehingga DKB ada karena proses kekuasaan bukan dari proses aspiratif dan demokratis. Dengan demikian, DKB justru menjadi lembaga yang asing di tengah insan seni-budaya dan rakyat, tidak mampu memberikan sebentuk harapan dan angin sejuk bagi perkembangan seni-budaya yang dibutuhkan rakyat. Kenapa demikian? Karena DKB belum menjadi milik bersama, melainkan menjadi milik “birokrasi kesenian” dengan segala kehendak praktisnya. DKB menjadi lembaga eksklusif justru dalam sebuah kerangka paradigma budaya Banyuwangi yang memiliki karakter terbuka dan humanis. Idealisasi nilai-nilai luhur kita ini, terasa sekali tidak tertangkap sebagai semangat gerak DKB. Padahal dengan mengukuhkan gerakan praksis yang dijiwai nilai-nilai luhur ideal tersebut, maka tidak mengherankan jika nantinya “kelompok seni-budaya” akan menjadi pusat pertimbangan dari setiap kebijakan formal, menjadi “timbangan” sosial-politik-ekonomi rakyat yang keberadaannya akan sangat integratif, lebih jauh menjadi “corong” utama penjaminan adanya sturuktur masyarakat yang adil di mana para “hamba” tradisi hidup di dalamnya. Sikap bijaksana, keserasian tanpa menghilangkan kreatifitas individu, kerelaan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan bersama, bekerja dengan tulus, kesabaran menghadapi penderitaan, dan lain-lain yang seperti itu adalah nilai-nilai ideal yang luhur dari karakter budaya kita. Penterjemahan nilai-nilai ideal luhur ke dalam tataran teknis semestinya menjadi pola gerak berbagai kelompok budaya di Banyuwangi, terlebih DKB yang secara formal adalah lembaga yang “dihidupi” dari dana rakyat.

Penterjemahan nilai-nilai luhur ideal kita itu secara teknis ke dalam DKB, dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama; DKB bersama para budayawan-seniman non DKB duduk bersama untuk merumuskan langkah-langkah pemberdayaan seni-budaya rakyat. Misalnya saja ikut membantu dana dan fasilitas grup-grup Mocopatan di masyarakat yang di beberapa tempat “dihidupi” dengan arisan Mocopatan, mengupayakan pengkajian Lontar Yusup, dll. Kedua; melibatkan para penikmat seni dan masyarakat umum untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan DKB. Sehingga dengan demikian, partisipasi dan keterlibatan masyarakat inheren mewarnai corak dan ragam budaya daerah. Tentu saja harus dimulai dengan semangat menjadikan DKB sebagai milik bersama. Hal ini dapat ditempuh hanya dengan penguatan DKB sebagai organisasi yang demokratis dan berjalan pada jalur AD/ART secara konsisten. Jika tidak, maka DKB hanya akan menjadi “birokrasi seni-budaya” yang bergerak demi kepentingan sistem belaka. Yang kemudian akan duduk di DKB justru orang-orang yang tidak mengerti perihal seni-budaya Banyuwangi, melainkan hanya orang-orang yang “dekat” dengan penguasa atau hanya politisi yang sekadar mengejar gemerlap politik dengan pencitraan di dunia seni-budaya Banyuwangi melalui DKB, seperti yang mungkin sudah kita lihat bersama. Sehingga bentuk seni-budaya Banyuwangi hanya kegagahan belaka, namun tidak menyentuh kebutuhan naluri berkebudayaan rakyat. DKB harus merubah diri. Mudah diucapkan, tapi akhirnya terpulang pada kesungguhan semua pihak, bukan?


Banyuwangi, 2010