Senin, 22 November 2010

Darmo Kanal


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Darmo Kanal adalah nama pemberian orangtuanya sejak kecil. Tidak ada tendensi dan prestise apa pun terkait namanya tersebut. Ia lahir sebagai seorang laki-laki. Genap berumur 40 hari setelah lahir ke dunia, ia diberi nama oleh bapaknya, Darmo Kanal. Darmo Kanal bagaikan sebuntal daging ayam segar yang selalu menarik perhatian orang, kemudian orang akan membayangkan jika daging itu digoreng atau dimasak merah bumbu pedas. Dagingnya berwarna kekuningan. Segar. Matanya seperti sumur, yang dalam dan gelap, kita tidak tahu apa yang terdapat di dalam lubang gelap itu. Alisnya yang tebal membuat orang yang memandangnya ingin bersembunyi di sela-selanya. Di sela alisnya. Warnanya hitam. Telinganya seperti telinga gajah, membuat kita yang memandangnya seolah menunggu kapan telinga itu mengibas-ngibaskan dirinya. Di perumahan yang mirip perkampungan itu, Darmo Kanal tinggal. Sebuah kota kabupaten.

Darmo Kanal tinggal di sebuah rumah yang berdinding sirap pohon kapuk. Tidak dicat. Tanpa eternit. Dan bila hujan, butiran air menyerbuk dari sela-sela genting rumahnya ke dalam ruang, di saat bersamaan, cahaya lampu 5 watt menerpa butiran itu, maka serasa terlihatlah taburan butir air bagaikan serbuk kristal. Bertaburan. Kopi pahit di atas mejanya. Ia hidup sendiri. Tidak punya isteri dan anak. Di perumahan itu, Darmo Kanal dianggap orang aneh. Daging ayam yang dibungkus kain itu, mengisi waktunya dengan bermain-main bersama anak kecil. Tangannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh membuat layangan, membuat tembak mainan dari kayu, atau membuat gasing. Anak-anak sangat senang datang ke rumahnya, ke rumah daging ayam kekuningan yang dibuntal kain. Darmo Kanal dengan riang memberikan mainan-mainan kepada anak-anak cuma-cuma. Anak-anak pun menaikkan layangan bersama Darmo Kanal. Anak-anak menarik benang layangan. Darmo Kanal mengunjukkan layangan. Layangan yang dibuat dengan kertas tipis berwarna-warni. Layangannya lumayan besar. Anak-anak harus mengikuti arah layangan yang dipermainkan angin bersama tubuh mereka.

Usia Darmo Kanal tidak terlalu tua. Usianya sekitar setengah abad. Tapi, matanya seperti sumur. Dalam dan misterius. Sumur yang tidak ada talinya. Namun mata itu adalah mata sumur yang tentu saja menyimpan air di dalamnya, sehingga anak-anak sangat gemar bermain-main di tepi pelupuk matanya karena menyimpan kesejukan, yakni kedalaman sumur itu dingin dan sepi. Namun anak-anak tetap tidak coba-coba untuk terjun ke dalamnya (walaupun di benak mereka, mereka ingin sekali masuk ke dalam lubang sumur yang gelap itu untuk mengetahui ada apa di dalamnya, mungkin ikan atau makhluk lain, mungkin juga layangan yang jatuh ke dalamnya). Tentu saja, anak-anak sangat suka sekali menyelinap di sela-sela alisnya yang tebal membelukar. Bersembunyi di balik sehelai alisnya, tangan mereka berpegangan pada sehelai alisnya itu. Mereka bermain petak umpet.

Para orangtua di perumahan seringkali melarang anak-anak mereka agar tidak terlalu asyik bermain bersama Darmo Kanal. Anak-anak bila bermain dengan Darmo Kanal, selalu lupa makan dan belajar. Padahal, Darmo Kanal selalu memasak untuk anak-anak kecil dan dimakan bersama-sama, sering juga Darmo Kanal mengajari anak-anak menghitung luas lahan persegi empat, menghitung segi tiga, atau menghitung lamanya gasing berputar.

“Bukankah itu juga belajar?” ujar seorang anak kepada ibunya. Anak itu cerdas. Ibunya sedang menyisir rambut.

“Bukan! Belajar tidak seperti itu! Belajar harus memegang buku dan alat tulis, bukan bermain-main, apalagi bermain gasing dan layangan,” jawab ibunya. Sisir terus menggaruk kepala ibunya.

Sang anak menunduk. Mungkin ia anak yang penurut pada orangtua. Sang anak masuk ke dalam rumahnya. Berpura-pura memegang buku agar terlihat oleh ibunya seolah tengah belajar. Masuk kamar, memeluk guling. Memejamkan mata seolah-olah sedang tidur. Sedikit dengkur yang palsu. Di dalam pikiran dan ingatan mereka terus terbayang wajah dan tawa Darmo Kanal. Wajah yang lapang, sehingga membuat anak-anak gemar bermain bola di permukaan pipinya yang empuk. Membuat dua buah gawang di situ. Kening Darmo Kanal adalah sungai dangkal yang bening. Selalu mengalir. Sejuk. Airnya bisa diminum. Dan setelah lelah bermain bola, anak-anak mandi di keningnya. Di sungai yang bening. Enak. Sambil bertelanjang. Sesekali minum karena haus.

Darmo Kanal adalah sosok orang yang akrab dengan anak-anak kecil. Siang hari, anak-anak ke rumahnya dan mendapati pintu rumah Darmo Kanal tertutup, mereka segera membuka daun pintu rumahnya yang tidak pernah dikunci itu. Anak-anak langsung saja masuk ke kamar Darmo Kanal yang kecil tak berpintu itu, mereka membangunkan Darmo Kanal dan menarik-narik tangan Darmo kanal mengajaknya bermain sambil merengek manja. Dengan kondisi yang agak lelah dan masih mengantuk, Darmo Kanal pun bangun dan menuruti kemauan anak-anak menghabiskan hari itu untuk bermain-main.

Kalian tidak usah iri. Darmo Kanal bagaikan seorang raja yang sangat berpengaruh di hadapan anak-anak walaupun ia tidak pernah bersikap seperti raja bagi anak-anak, kecuali jika bermain raja-rajaan. Pernah sekali waktu, Darmo Kanal melewati sebuah sekolah Tamana Kanan-kanak (TK). Dengan tanpa dikomando, anak-anak berhambur keluar dari kelasnya meninggalkan guru mereka yang sedang mengajarkan pelajaran berhitung, menghampiri Darmo Kanal sambil merengek-rengek manja. Pertama-tama seorang anak yang duduk di sudut kelas melihat Darmo Kanal sedang melewati jalan kecil di mana kelas berada di tepi jalan kecil itu.

“Darmo Kanal. Darmo Kanal di luar!” teriak seorang anak itu. Mereka tidak memanggil Darmo Kanal dengan panggilan “pak”, “pak de”, “paman”. Anak-anak memanggil namanya.

Mendengar seorang di antara anak-anak itu berteriak, spontan yang lain berdiri melongok jendela.

“Ya. Darmo Kanal.”

“Darmo.”

“Darmo, layanganku belum kau selesaikan.”

“Ya.”

“Ayoooooooooo.”

Seketika anak-anak berhambur keluar tanpa menghiraukan gurunya yang sedang mengajarkan pelajaran berhitung pagi itu di depan kelas. Anak-anak seusia 5 sampai 7 tahun itu berhambur mengerubut Darmo Kanal, ada yang bergelayut di tangannya, ada yang denga sigap melompat ke bahunya.

“Andi! Andi! Jangan! Nanti jatuh,” teriak Darmo Kanal kepada salah seorang anak yang nekat melompat ke bahunya.

Guru-guru TK keheranan. Para guru tidak bisa menghalangi murid-muridnya yang berhambur keluar kelas tanpa menghiraukan gurunya di depan papan tulis. Seorang guru perempuan berteriak-teriak.

“Ayo, anak-anak kembali ke kelas.”

“Tidak mau. Kita mau bermain dengan Darmo Kanal,” jawab anak-anak.

“Nakal ya! Kalau tidak segera kembali ke kelas, nanti bu guru kasih kalian hukuman.”

“Silahkan saja,” jawab seorang anak perempuan kecil yang menggelayut di tangan Darmo Kanal.

“Ya! Silahkan saja! Siapa takut,” sahut anak-anak yang lain.

Guru-guru tidak bisa berbuat apa-apa. Seorang guru perempuan mendekat. Dia berbicara kepada Darmo Kanal.

”Tolong Bapak tidak mengajari anak-anak yang bukan-bukan,” kata si guru.

”Maaf, Bu. Kami hanya bermain-main. Kami tidak melakukan apa-apa selain bermain.”

”Ya. Tapi, anak-anak sekarang perlu belajar.”

”Baiklah. Ayo anak-anak sekarang kembali ke kelas. Kalian harus belajar ujar bu guru. Ayo masuk,” kata Darmo kepada anak-anak itu. Sepontan anak-anak menuruti kata-kata Darmo. Satu persatu mereka berjalan memasuki kelas.

”Tapi, awas layanganku nanti harus selesai ya,” kata seorang dari mereka sambil berjalan menuju kelas.

”Ya. Dongeng ketela dan roti belum selesai,” sahut yang lain.

”Ya. Nanti harus ada dongeng lain.”

”Ya. Jangan dongeng ketela dan roti saja, terlalu panjang.”

”Ya. Segera tamatkan dong.”

”Terus ganti dongeng lain.”

”Aku setuju.”

”Aku ikut.”

”Ayo sudah cepat masuk kelas, bu guru sudah menunggu,” jawab Darmo Kanal.

Anak-anak kembali masuk ke dalam kelas. Tinggal Darmo Kanal dan Bu Guru di tepi jalan.

“Mohon maaf, Bu. Saya pamit pulang,” kata Darmo Kanal.

“Silahkan. Dan jangan mengganggu anak-anak lagi. Anda saya ingatkan,” jawab Bu Guru sinis sambil berjalan menuju kelas.

***

Siang itu komplek perumahan sepi. Suara ayam yang mau bertelur seperti memecah lengang. Darmo Kanal tengah tertidur di kamarnya yang sempit dan tanpa pintu. Terdengar ruang depan pintu diketuk keras.

”Selamat siang,” ujar suara dari luar.

Darmo Kanal segera terbangun dan menuju pintu.

“Selamat siang, Pak,” ujar tamu yang berseragam. Dua orang berseragam itu tidak masuk, hanya berdiri di pintu.

“Benar Anda yang bernama Darmo Kanal?”

”Saya, Pak.”

”Dengan ini, kami membawa perintah memanggil Bapak untuk kami minta keterangan di kantor polisi.”

”Atas tuduhan apa saya dibawa, Pak?” tanya Darmo kanal keheranan.

”Anda tidak kami minta berkata-kata lagi. Atas tuduhan menimbulkan perasaan tidak mengenakkan bagi warga di sini.”

”Saya...”

”Benar Anda Darmo Kanal?”

”Saya, Pak.”

”Ikut kami.”

Kedua orang itu membawa Darmo Kanal dalam sebuah mobil polisi. Mobil berwarna hitam, meninggalkan halaman Darmo Kanal yang berdebu. Knalpot mobil mengepul, kepulnya berwarna hitam.

***

Darmo Kanal duduk di kursi pengadilan. Siang itu tidak ada anak-anak yang boleh mengikuti persidangan atas tuduhan menimbulkan perasaan tidak menyenangkan terhadap Darmo Kanal. Padahal banyak anak-anak kecil hendak mengikuti persidangan itu setelah mereka mendengar bahwa Darmo Kanal disidangkan. Para orangtua mengurung anak-anaknya supaya tidak keluar rumah. Anak-anak dimasukkan ke dalam kamar dan dikunci dari luar oleh orangtua mereka, Bapak mereka tidak tahu karena sedang bekerja.

”Sidang dibuka,” kata hakim ketua mengetukkan palu.

”Saudara yang bernama lengkap Darmo Kanal?” tanya hakim.

”Saya, Pak,” jawab Darmo Kanal tenang.

“Saudara tahu kenapa berada di sini?”

“Saya, Pak.”

“Mengenai apa?”

“Mengenai tuduhan menimbulkan perasaan tidak menyenangkan.”

“Anda dituduh terjerat Pasal 335 KUHP.”

”Betul, Pak. Tapi, saya heran, siapa yang merasa tidak enak atas keberadaan dan tindakan saya?”

”Para orangtua dan para guru. Anda dianggap mengajari anak-anak mereka, anak-anak didik mereka hal-hal yang tidak baik. Sehingga para guru dan orangtua itu tidak senang. Jelas tidak senang, Anda selalu mengajak anak-anak itu beramain sampai-sampai melupakan makan dan beralajar. Para guru dan orangtua tidak senang terhadap perilaku Anda. Anda berhak memberikan pembelaan, tapi pembelaan Anda harus akurat dan masuk akal.”

”Baik, Pak Hakim.”

”Bagus.”

”Saya tidak membela diri, Pak Hakim. Tapi, saya tidak pernah melakukan hal-hal seperti yang telah dituduhkan kepada saya.”

”Anda bisa membuktikan?”

”Anak-anak kecil itu bisa menjadi saksi, Pak Hakim.”

”Tidak bisa! Mereka masih anak-anak, kejujuran dan kebenaran mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan. Boleh jadi, mereka akan bersaksi karena takut kepada Saudara jika mereka meringankan Saudara, dan akan memberatkan Saudara jika mereka takut kepada orang-orang yang menuduh Saudara. Mereka masih kecil, mereka tidak bisa disumpah. Mereka tidak tersentuh sanksi dari hukum.”

Sebagaimana kisah yang telah umum terjadi, orang seperti Darmo Kanal tidak akan pernah menang dalam persidangan. Ia divonis 1 tahun penjara, potongan tahanan 4 bulan, berarti ia harus mendekam selama 8 bulan.

Petugas membawa Darmo Kanal ke penjara. Di dimasukkan ke dalam satu sel bersama para pelaku kejahatan berat. Dalam satu ruang sel tersebut, Darmo Kanal berkumpul dengan dua orang pelaku kejahatan berat. Yang bertubuh tegap dan tubuhnya penuh tato itu bernama Nurandi alias Pandik, ia adalah pelaku pembunuhan. Pandik membunuh korbannya dengan keji. Motiv pembunuhan yang dilakukan Pandik sepele sekali. Pandik mengikat tubuh korbannya dalam gudang, menyumpal mulutnya pakai gombal, lalu Pandik memotong telinga korban yang masih hidup itu, menyiram korban dengan air panas, memotong kelamin korban, kemudian memotong leher korbannya. Pandik mengaku sangat menikmati perbuatannya itu di muka persidangan. Ia divonis seumur hidup. Wajah Pandik tidak pernah bersahabat dengan siapa pun. Dan seorang lagi bertubuh agak pendek, berkumis tebal, ia bernama Mahmudi alis Madi. Madi adalah tahanan pelaku pemerkosaan atau kejahatan seksual dan pembunuhan. Madi memperkosa perempuan berusia 14 tahun. Madi mengikat tubuh korbannya di atas ranjang rumahnya, korbannya dibius. Madi memotong payudara korbannya itu, memotong rambutnya sampai gundul, memutuskan urat leher korbannya. Dan setelah korbannya mati, baru Madi memperkosa korbannya berkali-kali. Madi dituntut hukuman mati, dan hakim memvonisnya seumur hidup. Seperti juga Pandik, Madi mengaku sangat menikmati perbuatann kejinya itu dan sama sekali tidak ada rasa bersalah. Madi selalu berliur ketika ia melihat gadis kecil usia belasan tahun, birahinya memuncak, dan ia akan melakukan kejahatan. Pandik dan Madi sudah sering melakukan pembunuhan demi pembunuhan, hanya saja yang terjerat hukum hanya satu perkara pembunuhan. Bahkan Pandik pernah menghajar sipir penjara hingga babak belur. Madi dan Pandik berkumpul baru setahun dalam satu sel, keduanya tidak pernah akur, mereka sering berkelahi, dan hasil perkelahian selalu membuat wajah keduanya bonyok. Sipir tidak lagi mengurus kedua orang kelas berat itu, itu lantaran keduanya memang susah diatur dan menyulitkan. Keduanya hampir tidak pernah dikeluarkan dari sel. Darmo Kanal dikumpulkan dalam satu ruangan dengan dua orang pelaku kejahatan yang sudah mendekam 3 tahun.

Tapi, sebagaimana kau ketahui, Darmo Kanal memiliki kelembutan yang memuat anak-anak lengket dengannya. Ia memiliki mata yang dalam seperti sumur, kening yang lapang dan mengalir sungai, alis rimbun, dan telinga yang lebar seperti telinga gajah. Telinga itu membuat orang yang memandangnya berharap mengibar-ngibaskan diri. Ia adalah sebuntal daging yang ranum. Keningnya sering digunakan mandi dan minum oleh anak-anak, pipinya digunakan lapangan sepak bola oleh, anak-anak melompat-lompat di pipinya yang empuk. Semua orang mengira, Darmo Kanal akan habis jika seminggu saja berkumpul satu sel dengan dua orang kelas berat itu. Para sipir dan penghuni penjara lainnya sudah menduga-duga akan terjadinya hal-hal yang mengerikan pada diri Darmo Kanal. Tapi, dugaan-dugaan mereka meleset.

Pandik dan Madi heran melihat wajah Darmo Kanal. Mereka seperti bertemu dengan sesosok malaikat. Darmo Kanal tersenyum. Ia tidak seolah tidak pernah memiliki rasa khawatir dan takut, seperti anak-anak. Darmo Kanal tidak kehilangan keriangannya. Pandik dan Madi merasa ada yang aneh, mereka tidak bisa memasang wajah kejam di hadapan Darmo Kanal. Mereka berdua yang selama ini tidak pernah bertegur sapa, akhirnya berdiskusi malam itu dengan berbisik-bisik agar Darmo Kanal tidak mendengar. Darmo Kanal tidur. Pandik dan Madi berbisik.

”Siapa dia? Kejahatan apa yang sudah diperbuatnya? Masa orang seperti ini melakukan kejahatan? Saya rasa dia tidak mungkin melakukan kejahatan,” bisik Madi ke telinga Pandik sambil matanya mengamati sebuntal daging yang tertidur pulas itu.

”Saya tidak tahu! Saya juga heran,” jawab Pandik pendek.

Darmo Kanal tertidur pulas. Sama sekali Darmo Kanal tidak khawatir apa-apa. Ia tidur dengan pulas seperti anak-anak. Dan dalam tidurnya, Darmo Kanal bermimpi bermain bersama anak-anak itu, anak-anak yang kulitnya putih dan tawanya juga putih. Darmo Kanal tertawa-tawa dalam tidurnya.

Banyuwangi, 2010

Minggu, 21 November 2010

Baginda Sulaiman, Semut dan Tongkat


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Baginda Sulaiman memerintahkan kepada pasukannya yang terhimpun dari bangsa manusia, jin dan jenis-jenis hewan untuk berkumpul.

“Kita akan melakukan perjalanan,” titah Baginda Sulaiman. Wajahnya memancarkan wibawa yang agung.

Seluruh pasukan dan para abdinya patuh. Pasukan berkuda, gerombolan jin, dan hewan mengikuti Baginda Sulaiman yang memimpin rombongan terbesar dalam sejarah. Burung-burung membentuk barisan di udara, jin dan manusia mengawal sang baginda mulia itu. Sebagai nabi Tuhan, Baginda Sulaiman harus memimpin dengan sebaik-baiknya, dengan kekayaannya yang paling melimpah di jagad raya, dengan kekuasaan dan kemampuannya berdiskusi dengan hewan. Hewan-hewan besar hingga yang terkecil berada dalam daya kepemimpinannya yang menghipnotis, dalam tanggungjawabnya dalam kewenangannya. Baginda Sulaiman dianugerahi tugas untuk memimpin semua makhluk dan mengayomi mereka, membawa semua makhluk ke jalan Tuhan, menyembah hanya kepada Tuhan yang esa.

“Wahai bangsa burung, aku perintahkan kalian terbang terlebih dahulu ke depan untuk memantau dan memastikan bahwa di depan sudah aman,” seru Baginda Sulaiman kepada burung-burung, tentu Baginda menggunakan bahasa burung.

“Daulat, Baginda,” jawab burung-burung penuh kepatuhan.

Baginda Sulaiman menaiki kuda. Ia memimpin rombongan dengan gagah. Debu-debu mengepul oleh derap kaki kuda. Kalimat-kalimat Tuhan mengumandang dari rombongan bergairah. Rombongan jin, manusia, dan hewan itu melewati padang rumput, bukit, dan sungai-sungai, memasuki hutan rimba. Di antara rombongan jin, hewan dan manusia yang dipimpin Baginda Sulaiman itu belum ada yang tahu ke mana tujuan mereka. Mereka hanya patuh kepada perintah rajanya.

“Sebenarnya kita ini mau ke mana? Sudah seharian kita berjalan,” bisik seekor singa kepada kawannya.

“Mana aku tahu. Kita hanya mengikuti titah Baginda,” jawab singa yang lain.

“Kita akan ke mana?” tanya seorang pasukan kepada sahabatnya.

“Aku tidak mengerti. Ini sudah kehendak Baginda, kita tidak memiliki hak bertanya. Sebab, kalau Baginda marah, habislah kita,” jawab yang lain.

“Tapi, ini sudah lelah,” bisik sesosok jin.

“Hus! Jangan keras-keras bicara seperti itu, jika Baginda mendengar percakapan ini, kita akan selesai,” bisik jin yang lain mengingatkan kawannya.

Mereka pun diam. Dan di depan, Baginda Sulaiman terus tegap dan bersemangat memacu kudanya memimpin rombongan terpanjang dan terlengkap dalam sejarah.

“Ayo! Maju! Terus berlari! Lari yang kencang. Perjalanan kita masih jauh dari tujuan,” seru Baginda Sulaiman.

Seluruh bangsa jin, manusia dan hewan serentak mengumandangkan kata: “Daulat, Baginda.”

Rombongan terus melaju dengan kencangnya. Ribuan manusia menunggangi kuda. Ribuan hewan dan jin mengiringnya. Rombongan melaju dengan gagah. Pacu. Pacu. Pacu.

Baginda Sulaiman adalah manusia pilihan Tuhan. Ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa. Sehingga grundelan pasukannya di belakang, ia mendengar dengan jelas. Cuma ia diam saja. Ia hanya memaklumi bahwa manusia biasa, jin dan hewan tidak memiliki kekuatan semangat sebagaimana dirinya, dan mereka hanya patuh pada kebesaran kekuasannya. Baginda Sulaiman sambil memacu kudanya tengah berpikir mencari sebentuk alasan untuk mengajak seluruh pasukannya beristirahat. Dan suara kecil itu pun masuk ke dalam telinga Baginda Sulaiman. Suara kecil yang terdengar oleh telinga Baginda itu berjarak beberapa kilo meter di depan. Itulah suara segerombolan semut yang tengah mencari makan di permukaan bumi.

“Wahai seluruh rakyat semut, ayo berkumpullah kalian semua. Segeralah masuk ke dalam lobang, ajaklah anak dan istri kalian dengan segera. Jalan ini akan dilewati ribuan pasukan Baginda Sulaiman. Cepat masuk ke dalam lobang agar kalian tidak mati terinjak kaki-kaki pasukan Baginda Sulaiman,” seru raja semut.

Semut-semut panik. Jarak pasukan Baginda Sulaiman sudah amat dekat, mana mungkin semut-semut itu bisa berjalan cepat masuk ke dalam lobang persembunyian mereka di bawah bumi untuk menyelamatkan diri.

“Kita akan mati terinjak pasukan Baginda Sulaiman yang besar-besar itu. Ayo cepat masuk ke dalam lobang!” seru semut-semut kepada sesamanya. Debum-debum suara pasukan Baginda Sulaiman makin mendekat.

Dari jarak jauh, Baginda Sulaiman mendengar dengan jelas percakapan semut itu, ia tersenyum penuh kasih sayang. Dan dengan satu acungan tangan sebagai tanda berhenti, maka seluruh pasukan berhenti mendadak.

“Ada apa ini? Kenapa Baginda berhenti mendadak?” bisik seekor gajah.

“Tidak tahu,” jawab yang lain.

“Mungkin ada yang tidak beres,” bisik sesosok jin bertubuh seperti menara.

“Segera periksa keadaan! Utamakan keselamatan Baginda!” seru salah seorang manusia bertubuh tegap.

Beberapa panglima mendekat kepada Baginda Sulaiman yang masih berada di atas kudanya. Mereka menghaturkan sembah hormat. Lalu salah satu panglima pasukan dari kalangan jin menanyakan keadaan kepada Baginda.

“Ampun, Baginda. Gerangan apakah yang menyebabkan Baginda memerintahkan kami berhenti mendadak? Adakah sesuatu yang membahayakan, Baginda?” tanya seorang panglima pasukan jin dengan suara gemetar karena pengaruh wibawa Baginda Sulaiman.

“Ada sesuatu yang harus kalian ketahui. Dan ini adalah sesuatu yang penting, wahai hamba-hamba yang besar,” jawab Baginda Sulaiman. Suaranya menggetar penuh wibawa dan kharisma. Seluruh pasukan terdiam. Sepi. Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara jika Baginda Sulaiman tengah bertitah. Semua tunduk, patuh dan mendengarkan dengan seksama, sepenuh jiwa raga.

“Kalian harus kuberi tahu, karena kalian tidak tahu. Di depan sana terdapat segerombolan semut kecil yang tengah mengalami kepanikan sebab takut terinjak oleh kaki-kaki kalian yang besar. Semut-semut itu sedang berlari-lari masuk ke lobang persembunyian mereka di dalam bumi, mereka takut terlambat masuk ke dalam lobang mereka. Karena jika terlambat, mereka akan mati terinjak oleh kita yang berlari kencang. Oleh karena itu, saya berkenan memberikan kesempatan bagi semut-semut sepele itu untuk menyelamatkan hidupnya. Kita tunggu sampai semut-semut itu telah masuk semua ke dalam lobang persembunyian mereka, sampai tidak tersisa seekor nyawa semut pun di permukaan bumi sehingga akan menyebabkan mereka mati terinjak-injak kita.”

“Daulat, Baginda.”

Seluruh pasukan jin, hewan dan manusia serentak tunduk dan patuh terhadap titah Baginda Sulaiman. Dalam hati mereka merasa nyaman terhadap sikap kepemimpinan Baginda Sulaiman. Tapi, ada juga yang memandang sinis namun tidak berani menampakkan wajah kesinisan mereka.

“Ah! Semut ajah ia pikirin. Injak saja kenapa?!” pikir beberapa makhluk di dalam hati mereka.

Dan tentu saja, tiap kata yang terucap di dalam hati, Baginda Sulaiman tidak dapat mendengarnya walaupun ia memiliki pendengaran yang sangat tajam melebihi apa pun. Soal kata dan kehendak hati, hanya Tuhan yang mendengarnya. Baginda Sulaiman tidak menyadari bahwa ada cukup banyak makhluk yang menjadi hamba-hambanya itu menyimpan kesinisan diam-diam terhadap dirinya, terutama dari kalangan manusia dan jin, namun tentu saja mereka tidak berani sedikit pun menampakkan sikapnya apalagi sampai terucap. Sedangkan di kalangan hewan tidak terdapat kesinisan itu, hewan-hewan lebih tulus jika dibandingkan kalangan jin dan manusia yang sama-sama menghamba kepada Baginda Sulaiman.

Rombongan pun berhenti. Baginda Sulaiman memerintahkan rombongan untuk beristirahat, meneguk air, dan mengendurkan otot-otot sambil menunggu semut-semut selesai masuk ke dalam lobangnya. Baginda Sulaiman menancapkan tongkat kayunya di atas bumi. Sedangkan ia duduk di atas sebongkah batu di tepi jalan di mana rombongannya berhenti. Baginda Sulaiman bangkit. Dengan tangkas ia melompat ke atas punggung kudanya. Seluruh hamba-hambanya pun ikut bangkit, membungkuk memberikan hormat.

“Kalian tunggu di sini. Saya akan ke depan memeriksa keadaan semut-semut itu,” kata Baginda.

“Daulat, Baginda.”

Baginda Sulaimana melaju dengan kudanya beberapa kilo meter ke depan menuju tempat semut-semut kecil itu memasuki lobang di bumi. Sesampai di depan lobang semut, Baginda Sulaiman mengamati aktivits semut-semut kecil yang berlarian memasuki lobang persembunyian mereka sambil tersenyum. Tampak sang raja semut tengah mengawasi rakyat-rakyatnya. Melihat kehadiran Baginda Sulaiman, buru-buru sang raja semut dan beberapa ekor semut yang masih tersisa di luar lobang itu memberikan sembah hormat yang mendalam kepada Baginda Sulaiman.

“Ampun, Baginda. Hamba tidak mengetahui kedatangan Paduka,” kata raja semut gugup dan penuh hormat.

“Baiklah, raja semut. Masuklah ke dalam lobang persembunyian kalian, dan tidak perlu merasa panik serta takut. Aku dan pasukanku akan menunggu sampai kalian benar-benar telah masuk semua dengan aman ke dalam lobang persembunyia kalian,” jawab Baginda Sulaiman.

“Dengan sepenuh hormat dan patuh, kami patuh, Baginda,” jawab raja semut, “ijinkan kami masuk dengan tenang ke dalam lobang persembunyian kami, Baginda.”

“Baik. Masuklah kalian.”

Semua semut telah masuk, dan yang tertinggal di permukaan bumi kini hanya seekor raja semut saja.

“Ijinkan hamba juga masuk ke dalam lobang persembunyian hamba menemui rakyat hamba di dalam, Baginda,” raja semut memohon diri.

“Masuklah. Aku akan meneruskan perjalanan. Salam sejahtera untuk seluruh bangsa semut,” jawab Baginda Sulaiman sembari kudanya berbalik arah menuju rombongan yang tengah beristirahat.

Raja semut menghaturkan sembah hormat. Lalu masuklah sang raja semut sebagai semut terakhir yang memasuki lobang. Baginda Sulaiman kembali kepada rombongannya. Seluruh rombongan memberikan hormat.

“Kita lanjutkan perjalanan,” titah Baginda.

Seluruh rombongan patuh. Perjalanan pun dilanjutkan.

***

Sampailah rombongan pada suatu tempat yang indah. Di situ sungai dan padang rumputan yang lapang. Baginda Sulaiman berkenan berhenti. Ia memerintahkan seluruh rombongannya berhenti. Baginda memerintahkan seluruh raja jin, manusia dan hewan berkumpul. Baginda akan menyampaikan sesuatu yang amat penting.

“Aku berkenan membangun istana di tempat ini,” kata Baginda Sulaiman.

“Daulat, Baginda,” jawab raja jin, manusia, dan hewan.

“Kuperintahkan kalian membangun istana yang paling mewah di sini. Perintahkan rakyat kalian untuk membangun istana dengan secepatnya. Dan setelah istana selesai, aku meminta kalian semua memberikan pelayanan kepada sesama kalian yang membutuhkan dan mengajak mereka yang tersesat untuk kembali pulang ke jalan Tuhan yang esa.”

“Titah Paduka dengan sepenuh jiwa raga, kami patuhi.”

“Bagus. Setelah istana selesai, maka kekuasaan kita makin tertancap kokoh di atas bumi, negeri Saba dengan ratu Balqis itu kini telah beriman. Ucapan terima kasih yang medalam kusampaikan kepada burung Hud-hud, yang di antara burung yang dulu pernah tersesat dan telah menemukan negeri Saba dengan ratu perempuan bernama Balqis.”

“Daulat, Baginda.”

Pembangunan negeri dengan istana yang megah pun dilakukan. Seluruh rakyat manusia, jin dan hewan bahu membahu membangun negeri. Dalam hitungan sekejap, istana megah dan negeri yang dipagari oleh dinding-dinding permata pun berdiri. Helaian sungai mengelilingi istana Baginda Sulaiman. Kerikil-kerikil yang menghias halaman istana adalah emas dan berlian. Sungguh kekayaan yang dimiliki Baginda Sulaiman tak terhingga. Setelah istana selesai dalam sekejap, Baginda Sulaiman pun berkenan menduduki istana dan duduk di atas kursi kerajaannya. Ditancapkan tongkatnya di sebelah kursinya. Tongkat kayu biasa itu nampak memancarkan wibawa karena ia adalah tongkat yang senantiasa dibawa Baginda Sulaiman. Itu hanya tongkat kayu, bukan dari emas. Hanya kayu biasa yang sederhana. Dan tongkat itulah yang menjadi benda kesayangan Baginda Sulaiman sehingga dibawa ke mana pun ia berada, bahkan ketika beliau tidur, tongkat kayu tua itu ia tancapkan di sebelah ranjangnya. Dan kini, tongkat kayu itu beliau tancapkan tepat di sebelah kursi kerajaannya.

Bertahun-tahun Baginda Sulaiman memerintah seluruh bangsa manusia, jin, dan hewan dengan bijaksana. Seluruh rakyatnya diliputi kesejahteraan dan menyembah kepada Tuhan yang esa. Tiap hari Sabtu, seluruh rakyat melakukan ibadah kebaktian rutin kepada Tuhan yang esa. Semua berjalan dengan baik-baik saja, penuh kemakmuran dan kesejahteraan yang melimpah. Baginda Sulaiman melelehkan tembaga yang kemudian dimanfaat oleh rakyatnya untuk pembangunan negeri serta membuat benda-benda kebutuhan hidup lainnya.

Seluruh hamba-hamba Baginda Sulaiman patuh kepadanya, tidak ada satu pun yang menampakkan sikap tidak menyenangkan. Semua tunduk dan patuh. Namun, diam-diam di dalam hati kalangan jin dan manusia tersimpan rasa sinis terhadap Baginda Sulaiman, akan tetapi sekali lagi itu tidak mereka tampakkan, mereka tetap memasang wajah yang manis dan patuh kepada Baginda Sulaiman, raja di atas raja jin dan manusia. Dan tentu saja Baginda Sulaiman tidak mengerti. Hanya hewan-hewanlah yang sangat tulus mengabdi kepada Baginda Sulaiman. Dari kalangan jin dan manusia menyimpan kekurangrelaan diperintah Baginda Sulaiman, tapi mereka tidak berdaya terhadap kekuasaan dan mukjizat nabi Tuhan itu. Sehingga mereka memilih diam dan patuh saja.

Berpuluh tahun Baginda Sulaiman memerintah. Usianya telah tua. Ia adalah raja yang sangat merakyat. Ia memerintahkan abdi-abdinya untuk membangun sebuah bangunan megah yang akan dijadikan tempat rakyat berkumpul untuk menyatakan pendapat. Seluruh bangsa jin dan manusia patuh, mereka mengerjakan perintah Baginda Sulaiman. Baginda Sulaiman mengawasi pekerjaan mereka. Siapa pun akan bekerja dengan sepenuhnya karena raja langsung yang mengawasi. Baginda Sulaiman duduk di singgahsana istananya, tangannya memegang tongkat kayu kesayangannya. Dan dalam keadaan duduk di atas singgahsana sambil tangan kanannya memegang tongkat kayunya, Baginda Sulaiman wafat. Tidak ada satu pun yang tahu jika Baginda Sulaiman telah wafat, karena Baginda Sulaiman wafat dalam keadaan duduk di atas singgahsananya dan tangannya tengah memegang tongkat kayu itu. Seorang raja yang bijaksana, mayatnya tidak mengeluarkan bau, mayat Baginda Sulaiman menyebarkan wangi, wajahnya tidak pucat, tapi matanya terpejam, ia telah wafat. Bertahun-tahun kematian Baginda Sulaiman tidak ada yang mengetahuinya, dan tidak ada satu pun yang berani menghadapnya atau menyampaikan sesuatu kepadanya karena dirasa takut mengganggu. Baginda Sulaiman dikira sedang tertidur pulas di atas singgahsananya sembari tangannya menggenggam tongkat yang ditancapkan di sebelah kursi singgahsananya. Bangsa jin dan manusia terus melaksanakan titah Baginda Sulaiman. Mereka tetap merasa diawasi oleh Baginda Sulaiam, padahal mereka menganggap raja mereka tengah tertidur dengan pulas di atas singgahsananya. Baginda Sulaiman telah wafat. Tidak ada yang tahu. Setelah beberapa tahun lamanya, rayap-rayap itu menggerogoti tongkat Baginda Sulaiman. Rapuhlah tongkat kayu yang menopang tubuh Baginda Sulaiman, dan tubuh Baginda Sulaiman ambruk. Seluruh abdi Baginda Sulaiman dari kalangan jin dan manusia baru tersadar bahwa raja mereka telah wafat.

Kalangan jin dan manusia melakukan pesta suka duka atas kematian Baginda Sulaiman. Mereka menghambur memenuhi istana, titah Baginda Sulaiman telah dihentikan, mereka pun menggelar tari-tarian di istana yang megah itu, menikmati fasilitas istana yang sangat mewah, menyediakan minuman memabukkan dan memandikan tubuh mereka dengan minuman-minuman syetan itu, mendatangkan perempuan-perempuan segar. Mereka melakukan pesta minum, pesta perempuan, bersenggama sesama jenis, bersenggama dengan hewan, dan tidak mempercayai Tuhan. Mereka tertawa. Mereka merasa benar-benar bebas. Mereka tertawa. Tertawa dengan sangat bahagia sekali.

Banyuwangi, 2010

LAUTAN JINGGA


















Lautan Jingga. Matahari merah. Lalu malam membawa bulan bunga mawar. Rahang-rahang waktu mengikuti sebentuk pergantian siang kepada malam, diikuti ruang yang tangkas. Degup jantung dalam pacu. Luruh dalam dekap. Leleh dalam dadamu. Para kembara, gelas-gelas air mata, dan jiwa yang mabuk cahaya. Sayap-sayap menggetar, abad-abad kesenyapan mendiami rumah tua. Jalan-jalan hilang. Sebangun kelam, sebentang kecemasan.

Lautan jingga.
Lautan jiwa.
Gunung sukma.
Menggelung derita.
Pun.
Telah.

2010
Taufiq Wr. Hidayat

Sabtu, 20 November 2010

Perjalanan Baru Musa dan Khidir


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Nabi Musa merebahkan badannya di atas rumputan. Beliau lelah. Segala perjalanan telah ia lewati, mulai dari melawan Fir’aun, melawan para penyihir Fir’aun yang menyerangnya dengan ular-ular kecil dan dengan kehendak Tuhan, tongkatnya menjadi ular raksasa yang menelan ular-ular kecil penyihir Fir’aun, menyeberangi samudra yang diiris menjadi sebentang jalan oleh tongkatnya atas ijin Tuhan, berlar-lari sampai sakit perut, sampai ia tak kuasa menyaksikan cahaya Tuhan di bukit Sinai. Cukup melelahkan menjadi Kalimullah, Juru Bicara Tuhan Yang Agung dan cukup melelahkan pula ketika ia harus menyampaikan Sepuluh Perintah Tuhan kepada manusia. Musa merebahkan badannya di atas hamparan rumputan. Ia sendirian kali ini. Ia menatap ke langit lepas. Ia terkagum-kagum atas kebesaran Tuhan. Dan dengan tanpa ia sengaja, “Kira-kira adakah yang melakukan perjuangan seberat aku dengan pengetahuan seperti yang kumiliki. Kalaulah ada, siapakah dia?” gumamnya pelan. Tapi, Tuhan Yang Maha Mendengar tentu mendengar setiap apa pun dari makhluk-Nya.

“Musa! Pergilah ke pantai. Temuilah seseorang yang bernama Khidir. Dan bergurulah kepadanya,” seru suara entah dari mana. Dan Musa meyakini itu adalah perintah Tuhan.

“Baik, Tuhan. Saya akan cari orang yang bernama Khidir itu, dan saya akan berguru kepadanya. Karena mungkin ia adalah manusia yang lebih segalanya daripada aku.”

Maka, berangkatlah Musa menyusuri sungai hingga ke tepi lautan. Dan bertemulah Musa dengan seseorang yang jauh lebih rendah penampilan fisiknya daripada Musa.

“Apakah, Tuan, yang bernama Tuan Khidir?” tanya Musa.

“Benar. Ada gerangan apakah, Tuan?” tanya Khidir.

“Saya mendapatkan perintah Tuhan, supaya saya berguru kepada Tuan.”

Khidiri merenung sejenak. Lalu, Khidir berkata heran; “Apakah belum cukup Tuhan menyampaikan Torat kepadamu sehingga engkau harus berguru lagi kepadaku?”

“Saya tidak mengerti rahasia Tuhan. Saya hanya harus patuh kepada-Nya,” jawab Musa.

“Ya. Ilmu Tuhan itu maha luas, ilmu kita sangat sedikit.”

“Benar, Tuan. Itulah mungkin kenapa saya harus berguru kepada Tuan Khidir.”

“Jika memang itu perintah Tuhan, maka Tuan aku terima sebagai muridku. Dan sebagai murid, Tuan harus mematuhi apa yang aku perintahkan kepada Tuan. Namun, apakah Tuan sanggup? Saya rasa Tuan tidak akan sanggup.”

“Saya sanggup, Tuan Khidir.”

“Baiklah. Tuan Musa boleh mengikuti saya, dan dalam perjalanan, Tuan saya larang untuk memperotes setiap sikap dan tindakan saya. Tuan harus bersabar mengikuti saya. Lihatlah saja tindakan saya, jangan Tuan protes. Tuan sanggup? Saya rasa Tuan tidak akan sanggup.”

“Saya sanggup. Ini sudah perintah Tuhan.”

“Baiklah.”

Keduanya pun berjalanlah. Musa berjalan di belakang Khidir. Keduanya lalu menumpang sebuah perahu. Dan ketika perahu itu berada di tengah samudra, Khidir melobangi perahu itu, lalu ia dan Musa menyelamatkan diri dengan perahu lain. Perahu yang telah dilobangi oleh Khidir itu pun tenggelam. Musa gelisah, dan ia pun memprotes perbuatan Tuan Khidir yang baru saja menjadi gurunya itu.

“Wahai Tuan Khidir, kenapa engkau melakukan kejahatan dengan melobangi perahu itu? Bukankah engkau telah mencelakakan orang-orang di dalam perahu itu?”

“Wahai Musa, bukankah telah kukatakan kepadamu supaya kamu tidak kuperkenankan memprotes segala tindakanku sebelum aku memberitahukannya kepadamu? Apakah engkau lupa dengan perjanjian kita?”

“Baiklah.”

Musa menahan kegelisahannya.

Sampailah keduanya pada sebentang jalan di sebuah desa. Melintaslah di hadapan mereka seorang anak kecil, dan dengan tangkas, Khidir menangkap anak kecil itu. Khidiri membawa anak kecil itu, menutup mulutnya supaya tidak menjerit, kemudian Khidir memotong leher anak kecil tak berdosa itu dengan sebilah pedangnya. Pedang itu mengkilap.

Musa kembali gusar. Ia tidak mungkin membiarkan perbuatan keji itu berlalu tanpa alasan.

“Tuan Khidir! Kenapa Tuan membunuh anak kecil yang sama sekali belum melakukan perbuatan dosa, anak yang masih bersih dan suci itu? Itu kekejian!”

Khidir tersenyum.

“Bukankah telah kukatakan kepadamu, Wahai Musa, janganlah bertanya sebelum aku menjelaskan semuanya,” jawab Khidir.

“Baik. Maafkan,” jawab Musa gugup.

“Bagaimana? Apakah kau masih sanggup mengikutiku tanpa bertanya dan mempersoalkan perbuatanku? Jika tidak sanggup, cukup di sini kita berpisah dan akan kujelaskan semuanya kepadamu,” kata Khidiri.

“Berikan aku satu kesempatan lagi, Wahai Tuan Khidir.”

“Baik.”

Keduanya pun kembali berjalan. Kemudian tibalah keduanya di sebuah desa. Khidir memasuki desa tersebut, dan dia memohon supaya diperkenankan bermalam di desa tersebut. Namun, penduduk di desa itu mengusir dan menolak Khidir dan Musa dengan keji. Maka, Khidir dan Musa pun meninggalkan desa itu. Di tengah perjalanan, sebangun tembok desa yang penduduknya mengusir Khidir dan Musa itu mengalami kerusakan yang sangat berat. Dengan penuh semangat dan cekatan, Khidir memperbaiki tembok desa yang mengalami rusak berat itu. Tentu saja Musa kembali bertanya.

“Tuan Khidir, kenapa engkau memperbaiki tembok desa yang penduduknya telah mengusir kita?”

“Tuan Musa, sebagaimana permintaanmu sendiri, kita tidak bisa lagi bersama. Kita berpisah di sini. Tuan Musa telah tiga kali melanggar janji Tuan untuk tidak mempertanyakan dan memprotes segala perbuatanku.”

Musa pun menyadari kesalahannya. Dan dengan penuh tanda tanya, Musa bertanya kepada Khidir akan apa maksud dan motif dari segala tindakannya itu.

“Sebelum kita berpisah, Wahai Tuan Khidir. Perkenankan hamba mengetahui apa gerangan maksud dan motif semua perbuatan Tuan yang menyimpang itu?” tanya Musa.

Khidir tersenyum.

“Wahai Tuan Musa, Wahai Juru Bicara Tuhan Yang Agung, Wahai Penerima Torat Yang Suci, apa maksud dan motif perbuatanku tadi, tidaklah sepatutnya kujelaskan di sini. Karena aku tidak punya alasan apa pun dan tidak mempunyai motif apa pun dari seluruh perbuatanku. Aku hanya menjalankan perihatah Tuhan sebagaimana Tuan Musa.”

Khidir pun menyelinap ke balik semak dan menghilang.

Banyuwangi, 2010

Rabu, 17 November 2010

Sampah Pemerintah (Cerita Sudangu)


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

SUDANGU tinggal di rumah biasa pada komplek perumahan di pinggir kota.Di teras rumahnya ketika malam,Sudangu duduk bersama kopi jahe dan keretek murah.Untuk mengisi malam,setelah seharian memetik biji-biji kopi dari pohonnya di desa Glagah,Sudangu bercerita, cerita-ceritanya disimak oleh istri dan anaknya yang masih 9 tahun. Cerita-cerita Sudangu tiap malam tidak terlalu istimewa,tapi istri dan anaknya cukup tenang mendengarnya.Cerita-cerita Sudangu kadang mengenai biji kopi dan para buruhnya.Sudangu adalah buruh pemetik biji kopi.Banyak tema dalam cerita-cerita Sudangu.Malam itu,Sudangu bercerita mengenai sampah.Sudangu bercerita tentang sebuah rumah keluarga sederhana yang diteror sampah.Sampai-sampai teror sampah itu menjadi mimpi Sadham yang mengerikan,kepala keluarga sederhana itu,kisah Sudangu.Istri dan anaknya mendengar cerita Sudangu dengan tenang dan anteng.

Sampah jahat itu,begitu cerita Sudangu,bermula dari kesewenangan Pemerintah Kota yang membuang sampah rumah tangga di atas sebidang tanah yang berada di antara rumah-rumah,dan sebidang tanah kosong yang dijadikan pembuangan sampah sementara oleh pihak Pemkot berjarak hanya 3 meter dari rumah keluarga sederhana itu.Keluarga sederhana yang terkena teror sampah menurut Sudangu itu,terdiri dari seorang kepala keluarga 67 tahun,Pak Sadham,istrinya 60 tahun,Winda,anak perempuan 24 tahun,Sisri,suami anak perempuan 27 tahun,Siswanto, cucu laki-laki 11 tahun,Sumirtano. Menurut Sudangu,Sadham adalah pendatang di situ.Lebih 20 tahun yang lalu,Sadham datang ke kota,ia merantau,tanpa rumah dan keluarga,tidur di teras gedung kesenian di kota itu.Sadham adalah seniman.Dengan ketekunan Sadham,ia memperoleh uang dari kerja keseniannya selama bertahun.Uang-uang itu ditabung oleh istri Sadham,sehingga terkumpullah sejumlah uang untuk membeli rumah tanah.

Bila pagi,bau busuk sampah yang menyengat masuk dalam rumah Sadham,menguasai ruangan,menempel pada baju-baju,korden, sprei,makan pagi.Pohon jambu di belakang rumah Sadham dikerubung lalat hijau.Lalat-lalat itu sebagian bermain-main di dalam rumah Sadham.Anggota keluarga sering muntah-muntah. Sumirtano,cucu Sadham muntah-muntah,ia sakit,masuk rumah sakit seminggu.Sadham yang paling menderita,darah tingginya kambuh.Istri Sadham batuk-batuk,dadanya seperti ditarik-tarik.Sadham sudah mengirimkan surat protes kepada pemerintah setempat berkali-kali,tapi sama sekali tidak digubris.Itulah Sadham marah,darahnya naik,lalu masuklah Sadham ke ruang rumah sakit.Menurut Sudangu,Sadham tidak sedang menunggu siapa pun di rumah sakit,Sadham hanya sakit dan akan sembuh lalu pulang.

Mi busuk,sisa daging sapi yang dipenuhi ulat-ulat kecil,nasi goreng yang membusuk karena terkena air hujan,plastik, kemasan-kemasan penyedap makanan yang sudah kotor. Sampah-sampah itu menggunung.Sisa makanan anjing dan kotoran anjing membusuk, tulang-tulang ikan,nasi bau yang sudah menguning.Hujan turun.Sebagian sampah meleleh.Angin mengusung bau yang sangat celaka, mengancam kesehatan.

Di ranjang rumah sakit, Sadham terbaring ditunggui istri, anak, menantu dan cucunya. Biaya rumah sakit tidak sedikit. Sadham akan sembuh lalu pulang, Sadham tidak sedang menunggu siapa pun di rumah sakit. Sadham hanya sakit, akan sembuh, akan pulang. Sadham tertidur. Ia bermimpi sampah celaka di belakang rumahnya. Sampah yang menjadi penyebab kemarahan Sadham sehingga darahnya naik ke angka yang menakutkan. Sadham bermimpi berjalan di atas tumpukan sampah yang menggunung, becek, dan membusuk. Sadham bagaikan menaiki gunung.Di puncak tumpukan sampah itu,Sadham menuding-nuding ke bawah,ia memaki-maki. Kaki Sadham dirambati ulat-ulat. Sadham memaki terus memaki.Sadham marah.

Suster memeriksa Sadham.Sadham dalam keadaan masih tertidur. Darahnya naik pada angka yang menakutkan. Suster menyuntikkan cairan obat ke dalam selang infus.Sadham tidak bergerak,ia tidur lelap.Tapi, jantungnya mendetak cepat mengerikan.Istri Sadham panik.

"Dia mungkin bermimpi yang menyebabkan marahnya, Suster," kata istri Sadham.

"Ibu tenang saja,biarkan kami menangani bapak," jawab suster.

"Tapi,suami saya kritis,Suster. Dia harus dibangunkan, mungkin dia bermimpi.Dia harus dibangunkan." Istri Sadham panik.

Layar petunjuk yang mengontrol kondisi Sadham menunjukkan tekanan darah Sadham makin menakutkan, jantungnya tidak stabil.Dan dalam mimpinya,Sadham melemparkan kaleng bekas dari atas puncak tumpukan sampah di belakang rumahnya.Kaki Sadham dikerubung lalat dan ulat.Rambut Sadham yang telah beruban dihinggapi lalat hijau. Dan tekanan darah Sadham semakin berbahaya.

Sudangu menyalakan rokoknya. "Selesai," kata Sudangu menutup ceritanya.

"Bagaimana nasib Sadham, Pak?" tanya anaknya.

"Ya, bagaimana," tanya istrinya.

"Nasib Sadham tentu berada di tangan Tuhan. Dia yang Maha Berhak atas nasib manusia," jawab Sudangu.

Istri Sudangu diam. Anaknya diam.Keduanya tengah berpikir.Sudangu menikmati rokoknya.Malam pun larut.

Muncar, 2010

Selasa, 16 November 2010

ISMAIL


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

"Kenalkan, nama saya Ismail," kata orang itu saat memasuki sebuah warung kopi di simpang kota itu. Orang-orang di warung tertawa kepingkel-pingkel, karena tentu saja mereka tidak percaya kepada anak muda dengan baju putih kumal, bersendal jepit lusuh, membawa gembolan di pundaknya.

“Apakah kamu Ismail yang seorang nabi itu?” tanya orang yang nongkrong di warung kopi.

“Benar. Sayalah Ismail. Nabi yang lolos dari penyembelihan oleh bapak saya sendiri karena kehendak Tuhan,” jawab orang itu meyakinkan.

Orang-orang semakin tertawa kepingkel-pingkel, mereka menganggap orang itu sinting.

“Edan!”
“Sinting!”
“Celeng!”

Orang yang mengaku bernama Ismail dan mengaku seorang nabi itu hanya tersenyum. Ia duduk. Ia memesan kopi. Salah seorang di warung menanyakannya dengan maksud mengejek.

“Kenapa kamu sampai di sini, Wahai Ismail? Dari mana kamu, Wahai Nabi?”

“Saya datang dari jauh. Kau tidak akan tahu. Saya tersesat di kota ini. Saya lapar dan haus,” jawab Ismail.

“Lalu kambing yang disembelih ayahmu yang dikirimkan Tuhan untuk menggantikanmu mana? Dagingnya dibagi dong, kita bikin sate.”

Orang-orang yang mendengar makin kepingkel-pingkel sambil memegangi perut. Ismail hanya diam. Anteng. Pemilik warung meletakkan secangkir kopi panas di hadapan Ismail.

“Jangan lupa membayar kalau sudah selesai, Pak Nabi Ismail,” kata salah seorang di warung. Orang tertawa lagi makin kepingkel-pingkel.

Pemilik warung nampak iba melihat orang-orang memperlakukan Ismail dengan kurang baik, mengejek dan menertawakannya.

“Wahai Pak Nabi, itu apa yang kamu bawa?” tanya orang di warung dengan nada mengejek.

“Ini pakaian saya,” jawab Ismail tenang.

“Nabi kok bawa gembolan.”

Orang-orang makin kepingkel-pingkel, mereka seperti menemukan hiburan baru. Pemilik warung iba melihat Ismail.

“Rumahmu di mana, Nak?” bisik pemilik warung.

“Rumah saya di negeri Arab. Saya membangun baitullah di sana bersama bapak, dan melaksanakan kurban tiap tahun untuk merayakan kemenangan atas kebinatangan kami,” jawab Ismail.

Pemilik warung menggelengkan kepala, ia merasa betul-betul iba melihat anak muda kumal di depannya. Ia iba karena anak muda ini sudah sinting.

“Kasihan,” bisiknya.

Ismail tenang saja. Ia sudah jelas paham bahwa memang demikianlah perlakuan orang-orang yang tidak beriman. Semoga mereka diampuni Allah, gumamnya dalam hati. Ismail meminum kopinya. Pelan. Anteng. Tenang.

“Wahai Pak Nabi Ismail, nomor buntutnya berapa?” ejek orang-orang di warung itu lagi.

Ismail tidak mengerti apa yang mereka maksudkan dengan nomor buntut. Ismail hanya tersenyum.

“Sudah sinting orang ini. Sudah tidak perlu diejek, kasihan,” kata pemilik warung.

Orang-orang pun melupakan Ismail. Mereka asyik dengan obrolan-obrolan lain. Dan Ismail tetap tenang. Ia hanya duduk dengan anteng. Dan orang-orang terus saja kepingkel-pingkel dalam pembicaraan mereka yang kini bertemakan soal-soal cabul.


Kanalan, 2010
Idul Adha, 10 Dzulhijjah1434 Hijriyah

Sabtu, 13 November 2010

Aset Budaya Banyuwangi

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat

DI samping beberapa situs budaya dan sejarah Banyuwangi, kita tidak boleh melupakan aset utama kebudayaan kita, yakni para penjaga dan pelaku budaya beserta basis pendukung kebudayaan itu sendiri. Ini penting kalaulah kita tidak sudi digolongkan ke dalam komunitas masyarakat atau sistem pemerintahan kabupaten yang tidak beradab serta bobrok. Menarik sehelai benang sederhana dari persoalan mendasar, yakni kebudayaan dan sejarah memang membutuhkan kearifan. Tentu saja kehendak bersama dan kejujuran pemerintah dalam menjadi fasilitas kelestarian budaya sebagai sebentuk perubahan yang terus-menerus, dinamis dan harmonis. Dinamika dan harmonisasi nilai-nilai dalam segenap unsur dalam masyarakat kita. Di sinilah kita membangun demokratisasi dengan semangat dan perilaku yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, penegakkan hukum dan keadilan dalam setiap lini kehidupan.

Budaya sebagai dinamika pergerakan yang dinamis dan terus-menerus. Memahami budaya dengan pandangan seperti itu akan menciptakan sebentuk sikap hidup yang tidak dangkal serta yang mampu mementingkan aktualisasi serta faktualisasi keadilan dan kemanusiaan. Kekuasaan musti memahami hal ini. Begitu juga segenap lapisan masyarakat. Memahami budaya dan sejarah hanya sebagai bentuk belaka pada gilirannya akan membawa pada sikap bergagah-gagah belaka dan hanya memulia-agungkan diri sendiri. Budaya sebagai bentuk dan hanya dirawat bentuknya, akan meninggalkan faktualisasi kehidupan masyarakat yang terus-menerus bergerak dalam dinamika kehidupannya, melupakan kebutuhan mendasar rakyat yang tidak pernah berhenti berdialektika dengan akar tradisi dan sejarahnya.

Kita memiliki aset hidup, yakni para pelaku budaya kita yang telah menghasilkan bentuk-bentuk budaya dari dinamika pergerakan kehidupan. Lagu-lagu Kendang Kempul kita, misalnya, adalah hasil-hasil kesenian yang legendaris yang terkenal ke pelosok dunia. Ini tidak berlebihan. Siapa tidak kenal lagu “Genjer-genjer” ciptaan Mohammad Arif dari Temenggungan itu? Lagu tersebut menjadi terkenal dan terdengar ke seluruh Indonesia dan dunia karena telah diperkenalkan oleh Soekarno ke Vietnam, Rusia, dan beberapa negara lain. Bagitu juga dengan lagu legendaris ciptaan Andang Cy. berjudul “Umbul-umbul Blambangan” yang melompat sebagai pemenang lagu terbaik etnis se-Asia. Berderet para pencipta lagu khas Banyuwangen yang hebat-hebat: Armaya, Fatrah Abal, Endro Wilis, dll.

Membicarakan hasil-hasil budaya Banyuwangi adalah sebentuk perjalanan pada dimensi ketinggian cita rasa seni yang adi luhung. Ini dibangun dan dihasilkan dari gerakan dinamis yang setia dan terus-menerus. Mereka para pelaku itu memiliki kesetiaan dan idealisme dalam berkarya. Mereka tidak hidup dari kesenian, tapi mereka menyatu dan menghidupi kesenian sebagai wujud kesetiaan pada dinamika gerak budaya sebagai panggilan jiwa. Berapa materi yang mereka dapatkan? Kecil! Bahkan cenderung mereka tidak mendapatkan apa-apa. Berapa penghasilan penari gandrung Temu’ yang tarian serta suaranya menjadi kebanggaan daerah dan membawa Banyuwangi ke pentas pergaulan dan eksistensi seni nusantara? Mereka itu aset budaya dan sumber aset budaya kita yang hidup dan terus bergerak. Tapi, sungguh kehidupan mereka terkadang jauh dari kelayakan. Kecuali beberapa saja, misalnya H. Armaya, sastrawan nasional yang memang berada. Namun demikian, Armaya tetap mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap kebudayaan dan kesusastraan lokal. Armaya mengeluarkan bantuan dengan memimpin secara tunggal perhelatan kebudayaan dan sastra di Banyuwangi. Beliau dengan bersemangat membangun situs sejarah makam Buyut Atikah di Giri ketika Pemkab tidak tau-menahu terhadap hal itu. Beliau secara rutin menerbitkan jurnal budaya dan buku-buku budaya dan sastra di Banyuwangi.

Nah, di mana peran pemerintah? Apa yang telah mereka perbuata terhadap budaya Banyuwangi? Saya belum melihat mereka melakukan apa-apa, kecuali hanya seremonial belaka bersama para budayawan dan sejarawan “tukang” yang bekerja untuk kepentingan keagungan kelompok tertentu (praktis). Sungguh itu bersifat tidak “kanggo enake” rakyat Banyuwangi dan dinamika kebudayaannya, bukan?

Muncar, 2009

Kamis, 11 November 2010

SUHITA

Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Dari balik jendela, embun menggantung di tepi dedaunan. Kupikir hari ini tidak ada yang benar-benar hadir dari dalam mulut-mulut berita, tentang kota tua yang tak tertata dengan rapi. Pohon mangga belum berbuah. Kain-kain dikibarkan. Barangkali pagi tak lagi menawarkan sebentuk penegasan tentang perjalanan burung. Di situ orang-orang menanam pohon pisang. Kota ini menjadi kota pisang, buah yang bentuknya lonjong memanjang mengandung vitamin C dan kalsium. Di sebelah barat desa Singotrunan, sejumlah orang menghalau bebek, memelihara sapi dan kambing. Sawah-sawah masih digarap dengan semangat hidup yang berkilau. Seyogianya kita masih bisa tersenyum manakala tanah ini masih memberikan kehidupan. Tapi, orang-orang tetap sibuk dengan banyak persoalan yang mendesak pada dinding kekuasaan. Buah semangka di kebun belakang belum juga bisa dipetik, hanya berbuah kecil yang entah apakah akan selamat hingga memberikan daging berwarna merah kepadamu dengan gerombolan bijinya yang hitam. Tapi, di pasar ada yang menawarkan buah semangka tanpa biji, katamu, itu semangka super.

Sebelum malam, sebelum segalanya menjadi sedemikian samar. Langit rindu memanjangkan kenang pada tepi alismu. Dia adalah Suhita, seorang laki-laki yang namanya mirip perempuan dan mirip sebuah nama yang terdapat dalam sebuah legenda. Suhita seringkali merenda di depan teras rumahnya, menunggu hujan dan orang datang. Sesekali Suhita mendesah, bahwa katanya kefakiran itu mendekatkan diri pada kekafiran. Ada yang lebih berbahaya dari sekadar kefakiran harta, desahnya, yakni kafakiran hati dan jiwa. Tentu saja, kita tidak hendak menafsir desahan Suhita yang mencangkung di teras rumahnya, di mana embun belum juga membawakan sebatang kretek untuknya.

Orang-orang sibuk menata pikiran-pikiran kelam berupa balok-balok persegi empat. Pasar menawarkan ruang segi tiga. Toko-toko baru mengecambah, orang-orang membeli produk asing dengan harga murah, katanya, dengan kualitas yang sama saja. Sejatinya kita hanya membeli label, ujarmu. Tapi, asap belerang mengepul dari tubuh-tubuh manusia. Suhita meratapi nasibnya. Nasib yang sesekali menjelma mata angin membuka daun cakrawala di langit jiwanya. Fitnah dan rasa tersinggung didaur ulang dari mimpi yang kemarin hari.

* * *

Suhita dilahirkan di Banyuwangi, dia termasuk keturunan raja, sehingga di depan namanya bergelar raden, namun dia tidak hidup di lingkungan istana. Seorang anak lelaki yang berkulit bersih. Suhita menempuh sekolah di SMA Giri. Hari-hari menggelinding seperti sebutir kelereng di lantai rumahmu, menegaskan sebentuk dunia yang bergulir dan berkilau. Sejak kecil, Suhita selalu rajin memelihara bunga. Bunga-bunga di halaman rumahnya beraneka warna, seperti pelangi. Dia pernah masuk sekolah tinggi swasta jurusan akademi koperasi, sebuah sekolah yang kemudian gulung tikar. Sehingga ketika Suhita membutuhkan ijasah untuk pencalonan dirinya sebagai wakil rakyat, ia harus meminta tanda tangan kopertis di Surabaya. Merepotkan memang, tapi itu harus ditempuh, tak lain adalah sebuah perjuangan. Namun sayangnya, Suhita yang lugu dan jujur itu, tidak terpilih sebagai anggota wakil rakyat tahun 2009. Sangat disayangkan, padahal aku banyak menaruh harapan pada sosok Suhita, nyaris tidak kutemukan lagi sosok manusia yang jujur sejujur Suhita.

Suhita bukan malaikat. Dia adalah manusia biasa yang selalu merasakan lapar di pagi hari dan harus berpikir keras agar kedua anaknya tidak ikut lapar. Suhita memiliki semangat hidup yang luar biasa, meski ia tergolong pengangguran yang selalu aktual. Segala impiannya tentang pohon nangka dan buah duren, terpaksa harus ia kuburkan dalam-dalam di bawah dipan setelah ia menerima kenyataan bahwa suara pendukungnya tidak memenuhi satu kursi wakil rakyat pada Pemilu Legislatif tahun 2009. Apa boleh buat? Hidup itu tidak ada yang normal atau tidak normal, hidup itu tidak ada yang sukses atau tidak sukses sebagaimana banyak kata orang. Yang ada hanyalah hidup saja, maka jalanilah itu, desah Suhita di dalam hati, di antara cahaya senja yang pelan-pelan tenggelam ke dalam kedua butir matanya yang hampir setengah abad. Isterinya sudah dua tahun lebih pergi meninggalkan Suhita, meninggalkan dua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Suhita tidak pernah menangisi kepergian isterinya. Bagi Suhita, kedua anaknya adalah permata sorga di dalam hatinya. Sedangkan cinta adalah biji jagung yang ditanam, tumbuh, berbuah, dipetik buahnya untuk digoreng atau dibakar, pohon jagung dipotong untuk makan sapi atau disampahkan, gumam Suhita.

* * *

Diam-diam bulan Agustus menguntumkan bunga di depan rumahnya. Seperti biasa, Suhita bangun pagi, menyeduh kopi, dan merokok, lalu berpikir bahwa hari ini ke mana ia akan mencari sebentuk penguripan buat sehari, tentu sekadar pengganjal perut dan kedua orang anaknya. Tidak ada yang benar-benar benar, tidak ada yang salah betul dalam hidup ini, desahnya. Yang ada adalah benar-benar hidup, itu kenyataan, bisik Suhita sembari menyedot kretek di bibirnya.

Secara filosofis, waktu itu abadi, kitalah yang mati, kata Suhita berfilsafat entah untuk siapa dan ditujukan untuk apa. Dunia rasanya seperti sebutir pasir yang mencemplung ke dalam segelas kopi di mejanya, jatuh ke dasar gelas dengan pelan, tenang, dan anteng. Sekali waktu ambeiennya kambuh, badannya lemas, dan cucian menggunung di kamar mandi yang dihuni ikan. Suhita masih di situ. Bertinggal di sebuah rumah besar tua yang sendiri. Kedua anaknya di situ, sering bermain, lalu tidur ketika sudah capek sekali. Anak-anak memang memiliki semangat hidup yang menggairah, menyala, dan kuat. Kau akan kewalahan mengikuti kemauan dan tingkah anak-anak, mereka tidak mengenal lelah, sebab pikirannya bersih, jiwanya bebas dan hatinya bercahaya. Beruntunglah bahwa usia belum mengalahkanmu, ia masih bersahabat dalam tiap denyutmu, menyediakan warna langit, segayung embun, dan bunga-bunga kates.

Suhita masih menegaskan keterpencilan di tengah gelombang. Daun-daun melambai mengikuti lambaian kain. Sampah di depan rumahmu dibakar oleh Bagas, seorang sarjana perikanan yang kere tapi kaya dengan wawasan, setiap hari datang ke rumahmu untuk melihat televisi, menyeduh kopi, dan membelikan rokok beradasarkan perintah Suhita. Bagas pernah kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, jurusan perikanan, skripsinya tentang pemindangan ikan dengan membuang terlebih dahulu perut ikan sebelum dipindang, ikan yang telah dikeluarkan isi perutnya akan menyebabkan minimnya mikroorganisme atau mikrobiologis dalam daging sehingga menjadikan daging ikan menjadi lebih awet, bertekstur baik, memiliki aroma enak, memiliki rasa yang lezat. “Ini sebuah dugaan ilmiah,” ujar Bagas kepada Suhita. Wawasannya sangat luas dan mendalam. Bagas tidak bekerja, pengangguran. Orang-orang menganggap Bagas adalah orang stres atau sinting. Tapi, bagi Suhita, Bagas tidak gila. Bagas selalu berhasil dengan cerdas mengomentari film-film yang dilihatnya dengan wawasan perfilman yang menakjubkan. Seperti pagi itu, Suhita masih berdiam di kursinya, menghadap ke timur, memandang kaca rumahnya, lalu kedua matanya bersemayam pada sebuah pohon mangga yang buahnya sudah dipetik bulan kemarin, semula pohon mangga di depan rumahnya itu ada dua batang, tapi yang sebatang ditebang sebab dijadikan sebuah kolam ikan (kolam ikan itu bentuknya mirip bak mandi). Musim memang tak selalu membacakan puisi perpisahan, tapi aroma kata-kata mengembun dari balik perjalanan kelereng waktu yang menggelinding di situ. Kupikir kau tidak perlu menyiapkan mie instan goreng, telor ayam, ikan asin, dan sambal.

* * *

Wangi kopi dari gelasmu masuk ke dalam hidungku. Di kursi itu, Suhita sering duduk, membaca koran dan mendiskusikan banyak hal dengan teman-temannya yang datang berkunjung bahkan kadang bermalam di rumahnya. Teman yang sering datang ke rumah Suhita adalah Sibudar, dia seorang pelukis. Dulu rambutnya panjang. Terakhir kali aku melihatnya, rambutnya sudah pendek. Aku tidak tahu alasan apa yang menyebabkan Sibudar memotong rambut panjang kebanggaannya itu. Dulu, kata Suhita, Sibudar adalah seorang pelukis dan pengantar turis di Bali. Bahasa Inggris Sibudar sangat bagus walaupun dia tidak pernah lulus kuliah, gelarnya adalah DO alias drop out. Suhita dan Sibudar sering menggoreng mie instan dengan irisan sayur, potongan tomat, dan kacang panjang yang digunting kecil-kecil.

Pagi ini Suhita sibuk. Tangannya bersilangan di atas meja, menyeduh kopi, mengaduknya hingga benar-benar kental dan pekat. Suhita cukup bingung memikirkan seragam sekolah anaknya yang kurang seratus ribu, belum buku-buku sekolah satu paket seharga delapan puluh ribu, buku tulis, dan dasi sekolah yang kurang panjang. Lalu pagi itu riuh, Suhita menyuruh anaknya sekolah, bel masuk sekolah kurang tiga puluh menit, anaknya belum mandi. Suhita benar-benar memperhatikan sekolah anaknya. Syukurlah, anaknya sudah masuk sekolah. Pagi itu Ramindo, sahabat Suhita yang sehari-harinya sebagai tukang ojeg, datang bertamu ke rumahnya. Ramindo bercerita tentang negeri jiran Malaysia. Menurut Ramindo, Malaysia adalah negara yang cukup percaya diri menunjukkan kepada dunia bahwa Malaysia adalah miniatur Asia. Ramindo juga merasa geram kepada Malaysia yang akhir-akhir ini bersitegang mengenai batas wilayah, soal karya-karya seni milik Indonesia yang diklaim milik Malaysia, pelecehan terhadap Indonesia, dan masalah-masalah TKI. Tapi, Ramindo juga mengakui kemolekan Malaysia yang para pemimpinnya berhasil mempromosikan diri sebagai negara miniatur Asia, tidak seperti pemimpin-pemimpin Indonesia dewasa ini. Suhita nampak mendengarkan cerita Ramindo dengan serius.

“Kapan kita ke sana?” tanya Suhita.

“Kapan?” balik Ramindo.

“Kapan?”

“Kapan?”

Perbincangan berhenti di situ. Keduanya kini tenggelam dalam samudera huruf-huruf koran di tangan mereka berdua.

* * *

Waktu membentuk putaran jarum pada lingkaran, melewati angka demi angka. Angin bulan Agustus menyampaikan lagi hidup sebagaimana biasanya, mengetuk daun pintu rumah Suhita, melewati meja lalu duduk di kursi yang biasa diduduki Suhita tiap waktu. Kupikir Suhita tidak perlu lagi berpayah-payah menyeduh kopi sendiri dengan air panas dari atas kompor gas. Bagas dan Sibudar sudah memilih untuk tinggal di rumah Suhita. Mereka berdua yang rajin menyeduh kopi bila melihat bahwa gelas kopi di atas meja sudah kosong dan tinggal ampasnya. Kecuali jika kehabisan bubuk kopi, Suhita akan menghubungi teman-temannya melalui telepon genggamnya supaya datang ke rumahnya dan diminta tolong untuk bersedia apatah kiranya sekadar membelikan bubuk kopi dan setengah kilo gula.

* * *

Matahari mulai bergeser pelan-pelan di langit barat. Rumah begitu lengang. Pintu rumah terbuka, angin masuk dengan leluasa, angin senja yang pelan.

Banyuwangi, 2010

Rabu, 10 November 2010

19 Nopember ---22 April

---istriku
di tepi malam, masih langit yang terus meluas.
Segala yang putih bagai komposisi benda-benda di kamar kita yang sederhana.

Kalau sejenak kau hikmati; suara desah daun anggur, gerimis, dan cahaya lampu bulan Nopember. Rindu kita diam-diam mengusik angin di daun-daun mangga itu.

Hujan masih kembara. Kusematkan sebutir gerimis di lengkung kulitmu yang putih. Apa yang bisa kukatakan, sebab cinta memang tak mewakilkan dirinya pada ungkapan.
Kesejatian ini bagai rona merah senyum anak kita. Putih seperti daging duren. Dan berdoa senantiasa.

Banyuwangi, Nopember 2009-2010

(mengawali kado ulang tahun dan kado perkawinan yang selalu kita rayakan dengan hidangan rambutan yang ranum)
Ofiq

Seberkas Cemas

Ia lari ke dalam parfum,
berburu dalam tiap tikungan pasar,
menemukan bayam, wortel dan daging ayam.
Lalu meratapi nama,
dan surat-surat yang tak ber alamat

2009

Taufiq Wr. Hidayat

Selasa, 09 November 2010

Politik dan Buto Cakil



Karya Fathony Rinaldy

Perut: Kenyang and Lapar

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat

PERUT adalah tempat makanan. Secara biologis, perut adalah tempat penyimpanan makanan dan pencernaan untuk diserap tubuh, juga tempat di mana sisa makanan itu disimpan untuk kemudian dikeluarkan. Teman saya seorang sarjana perikanan, Agus, menjelaskan kepada saya, bahwa dia pernah membuat skripsi tentang pemindangan ikan. Dalam skripsinya tersebut, dia mengupas bahwa ikan yang telah dikeluarkan isi perutnya akan menyebabkan minimnya mikroorganisme atau mikrobiologis dalam daging sehingga menjadikan daging ikan menjadi lebih awet, bertekstur dengan baik, memiliki aroma enak, serta memiliki rasa yang lezat. “Ini sebuah dugaan ilmiah,” ujarnya.

Aku pikir soal perut adalah soal makan. Soal seseorang itu memasukkan makanan ke dalam perutnya. Banyak persoalan penyakit disebabkan oleh perut, atau lebih tepatnya disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi seseorang. Ini artinya, menu makanan seseorang sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisiknya. Kesehatan fisik, tentu saja terkait dengan kesehatan mental dan kejiwaan seseorang. Orang gila atau gelandangan yang keluyuran di jalanan tak pernah memikirkan bersih atau tidaknya makanan yang dimakannya, mereka mengambil sisa makanan di tempat sampah lalu memakannya. Namun, kita lihat kondisi fisik mereka seolah tidak mengalami masalah.

Ada sebentuk anggapan aneh. Kenapa bupati, orang kaya yang kikir, pejabat yang korup itu perutnya selalu terlihat gendut? Seringkali penyakit yang mereka derita itu macam-macam. Ini karena perut mereka sering dijejali oleh makanan banyak, kurang mempertimbangkan unsur lemak atau kolesterol dalam makanan yang dikonsumsinya. Dibandingkan gelandangan yang makannya tidak higenis, diambil dari tempat sampah yang kotor, kesehatan para pejabat itu kalah dengan gelandangan yang kelihatan penyakitan. Terbukti mereka tetap sehat dalam usia yang terhitung cukup tua di jalanan. Ini karena, menurut Kang Fatah, karena walaupun yang dimakan gelandangan itu kotor, namun terhitung halal. Nah, pejabat itu banyak makan yang unsur halalnya sangat minim di dalam makanannya. Sehingga menyebabkan perut mereka gendut, penyakitan, gemuk tidak enak dipandang. Gak ideal. Coba kita lihat perut para anggota dewan kita, perut bupati, kepala dinas, dll. Kalaupun ada yang kurus kering, itu mungkin karena model tubuh mereka memang kurus, tapi perutnya lentur. Ada lho orang kurus yang makannya banyak sampai berpiring-piring. Yang gendut, lha itu makannya kadang sedikit tapi unsur lemaknya (terutama lemak yang “tidak halal”) banyak. Jadi, sebenarnya kurus atau gendut, kalau itu perut pejabat tentu saja kita curiga itu bersih dan higenis.

Itu subyektif. Gak logis!

Nah, ketika perut terlalu banyak diisi makanan enak, maka dampaknya adalah ngantuk. Ini ilmiah. Ada banyak makanan yang masuk ke dalam tubuh kita menyebabkan kita mengantuk. Mengantuk tentu membutuhkan tidur. Tidur adalah aktivitas yang sangat penting bagi manusia. Cuma tidak boleh terlalu banyak tidur. Terlalu banyak makan, menyebabkan sering mengantuk dan sering tidur. Sering tidur menyebabkan malas. Itu rentetannya. Makanya gak heran kalau banyak pejabat kita malas. Mungkin yang begitu itu. Ketika perut terlalu kenyang atau sering kenyang, maka badan lemas, namun kehendak hasrat tinggi. Maksudnya, kalau perut kenyang dengan makanan yang bergizi tinggi, yang di bawah perut akan bergerak-gerak bergairah. Karena yang di bawah perut bergairah, maka ia butuh pemuasan tidak cukup dengan satu lobang saja, perlu berlobang-lobang untuk memenuhi seksualitasnya. Kata Mbah Freud, libido orang yang suka makan itu lebih tinggi dari nafsu senggama binatang.

Subyektif lagi! Ngawur!

Ketika perut seringkali kenyang, seringkali ngantuk dan seringkali tidur. Bangun tidur, yang di bawah perutnya minta giliran. Sehingga prosentase hidupnya banyak terfokus pada makan, tidur, seks, buang air. “Mangan, turu, melek, kawin, nelek, nemplek,” kata sebuah kitab kuno berbahasa Jawa yang dituturkan Darmono. Maksudnya jangan jadi orang yang kayak gitu, yakni yang hanya banyak “makan, tidur, bangun, seks, buang air, dan merengek.” Yang demikian itu adalah kuantitas manusia yang sempurna sebagai penjelmaan binatang, dia tidak mampu menggerakkan kualitasnya; potensi keberadabannya, akal, dan kebudayaan yang bermanfaat bagi sesama. Hidup hanya untuk hidup, bukan lagi hidup untuk menerima, menjalankan, dan mengolah kehidupan.

Subyektif! Gak ilmiah!

Persoalan perut adalah persoalan manusia. Persoalan sejarah. Demi kepuasan perutnya (yang kemudian turun sedikit ke bawah perut) manusia melakukan hal-hal di luar kewajaran akal dan pikiran. Sejumlah ingatan tentang itu kita bongkar lagi di sini, tumpukan kertas dokumen terpaksa harus kita bongkar lagi dari dalam laci kesejarahan. Akan kita temukan sebentuk kengerian menjalar hingga ke ubun-ubun kepala. Tidak semua alasan kebrutalan dan kelicikan itu disebabkan perut. Tapi, ada harga diri, martabat, kejayaan, kekuasaan, dan sekeranjang alasan-alasan lain. Namun, setelah perut ini kenyang, bukankah kemudian kebinalan akan terangsang? Perut yang kosong sekosong-kosongnya, akan menyebabkan seseorang lemas untuk berbuat sesuatu. Meskipun perut lapar juga bukan alasan seseorang untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Karl Marx juga kelaparan sampai ia minggalkan dunia. Tapi, soal lapar di sini, tentu bukan soal lapar karena tidak makan. Lapar lebih saya artikan sebentuk susahnya nyari makan, kefakiran hidup yang sesungguhnya. Untuk makan saja susah, tidur susah, apalagi berdialektika. Kebodohan dan kedunguan merajalela, lalu kita terpaksa harus menjual harga diri, bersedia untuk dihina, bersedia untuk dipermalukan, bersedia membudakkan diri demi perut yang harus diisi kemudian demi kebutuhan hidup yang lainnya setelah perut kita kenyang, demikian ciri khas Indonesia mutakhir. Bukan alasan yang tepat memang jika kita katakan bahwa segala bentuk kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan lain-lain kejahatan itu karena disebabkan perut lapar. Pun tentu bukan sebentuk alasan yang benar jika perut kenyang lantas menyebabkan seseorang menjadi baik, tidak kriminal, tidak menyimpang, pendeknya tidak jahat. Soal kenyang dan lapar ternyata berpengaruh kuat terhadap mentalitas seseorang. Orang yang makan melebihi porsinya dan dengan nafsu makan yang enak-enak, cenderung rakus. Mungkin juga akan rakus dalam banyak hal. Kelaminnya akan berfungsi dengan panas, variasi kelainan pemuasan yang tidak masuk akal mungkin akan terjadi. Menahan lapar bukan berarti berkehendak untuk menjadi baik, begitu sebaliknya, memperkenyang perut bukan untuk menjadi jahat. Soalnya terletak pada sejauh mana kehendak kenyang dan kehendak menahan lapar itu memulai dirinya, demi kepentingan apa. Jika kepentingannya hanya untuk hidup, maka kenyang tentu diperlukan secara wajar. Namun bila hidup ini hanya sekadar untuk makan, sudah sedemikian parahnya kehidupan kita, bukan?.

Banyuwangi, 2010

Sabtu, 06 November 2010

Bencana dan Kemujuran

Allah Maha Memaklumi dan Allah Maha Berpikir dan Maha Berakal. Pikiran (rasionalitas) dan akal dikaruniakan Allah pada manusia dan Allah menyuruh manusia berpikir dan menggunakan akalnya agar manusia tidak semberono mengolah hidup, Allah pun menyuruh manusia pasrah agar tidak lalai dan sombong dengan akal pikirannya. Ketidakpasrahan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Allah, karena tidak pasrah maka ia lalai pada kenyataan kehidupan yang tengah berjalan yang dilingkupi kompleksitas dan keberadaan makhluk-makhluk lain dan pengetahuan obyektif. Dari mana dimulai revolusi "nurani"? Siapa dan bagaimana? Analogi tersia dalam kontekstualisasi. Manusia dan segala perangkatnya sudah menjadi "jenak" (praktis/instan) dan tidak berproses.kita hanya perlu keseimbangan (harmoni), sambil menikmati irama-irama kehancuran dan harapan-harapan kebangkitan. Manusia tidak bisa menjangkau bulan tanpa alat-alat dari hasil-hasil kebudayaan (akal pikir dan rasa), tapi manusia tidak bisa tiba di bulan tanpa pasrah (rasa sejati yang melupakan kecemasan-kecemasan dari kelalaian yang mungkin terjadi), ia punya alasan untuk pesimis sebagaimana ia punya alasan untuk optimis.

Karena tidak ada satu pun hal sekecil apa pun yang itu bukan nikmat. Hanya persepsi kitalah yang memilah-milah mana nikmat dan mana bencana atau azab. Bahwa sesungguhnya azab itu bukanlah letusan gunung, tsunami, atau banjir, kemiskinan, dan lain-lain. Tapi, azab yang sebenarnya adalah kebuntuan pikiran dan mengerasnya hati terhadap anugerah hidup yang telah Tuhan karuniakan dengan cuma-cuma. Letusan gunung, banjir, kemiskinan, dan lain-lain hanya akibat dari kerasnya hati dan buntunya pikiran yang melepas fungsinya sebagai "Ganjal Meja" (Penjaga keseimbangan alam dan nilai-nilai). Allah Maha Sabar, Maha Tidak Pemarah, Maha Ramah, Maha Kaya Maha Pemberi Nikmat, Maha Rahman, Maha Rahim, Maha Pengampun Maha Latif.

Taufiq Wr. Hidayat
Purwoharjo, 2010

Jumat, 05 November 2010

Pecahan-pecahan Catatan

Taufiq Wr. Hidayat

(1)
Bunyi yang ramai, ayam jantan, kleneng jam, gelas yang diletakkan secara agak keras. Harum kopi dan asap rokok. Ada sebentuk kecemasan hari yang menggelung di saku baju tiap baju yang ada sakunya. Bom meledak lagi. Lalu kalian memainkan bola di atas hampa.

(2)
Dan Sang Bima Suci (Brontoseno) menyelam ke dasar samudera. Ia masuk ke dalam tubuh kecil Sang Dewa Ruci. Pulang ia membawa tirta kesucian yang sejati. Maka Surendrajati-lah ia dengan segala keluhuran Mohammad-ku (Muncar, 27 Janurai 2008)

(3)
Aku lari ke atas bukit rindu yang setiap pagi selalu kau sirami dengan tanganmu. Hingga di situ aku telah meleleh bersama embun, dan udara membawakan sehelai namamu ke dalam ketiadaanku.

(4)
Malam. Begitu rebah. Setelah segala awal adalah kenisbian. Kita mendengkur pada malam. Kemudian bangun dini hari, membangun sebentuk sungai di muka jendela. Masih saja, canda cabul dan kata yang tak termaknai. Masih saja kita membudakkan diri, mengurai kenyataan menjadi lobang sampah. Malam. Begitu rebah. Pelan. Sunyi lecet dalam kelam.

Banyuwangi, 29 Agustus 2009

(5)
Perjalanan kita, bagian dari kehidupan itu, bukan lagi yang itu, tapi telah menjadi keharusan penerimaan kehidupan. Mari bertamasya pada bukit kesadaran. Mungkin di luar susah kering, daun akasia gugur usia. Para penambang hendak merusak bukit kita. Kita jangan diam, atau mati dalam kemusnahan. Mari merayakan pembelaan, sebab hidup adalah sebutir kerikil yang mencemplung di dasar segelas kopi, tenggelam, tenang dan angkuh.

(6)
‎"Wong kang soleh kumpulono" demikian sepenggal syair Tombo Ati. Tentu saja itu shoheh, tak terbantah. Itu adalah upaya menemukan penawar hati yang sedang tidak sehat akibat benturan sehari-hari. Namun, menjadikan teman dari mana pun dan siapa pun, kupikir merupakan sebentuk upaya pengendapan diri. Ikan di laut tentu dagingnya tidak akan seasin lautan yang ditempati, bukan?


(7)
Lihat saja. Orang-orang meminum bensin dengan harga 4500,- Tiap hari siapa yang sibuk berkendara di belakang sebuah bis kota. Hari ini, siapa yang tidak menipu? Siapa yang tidak mengatasnamakan? Siapa yang sinting dan ngawur? Ternyata mengucapkan sebentuk kesadaran itu mudah, tapi senyatanya susah dalam kenyataan. Waktu juga yang akan memilih apa-apa yang layak diterima dan apa-apa yang semestinya dicampakkan dari kehidupan.

(8)
Perjalanan waktu tak tertahan. Menyemai serbuk racun pada ruang. Hutan lindung yang agung, sebentar lagi akan menjadi bubuk kopi di gelasmu pagi hari. Transportasi emas sudah siap. “Gali! Gali!" bisik bupati. Kepalanya mengeluarkan asap belerang, mulutnya dipenuhi garam, sianida dan mercuri. Kalau ikan-ikan mati, dagingnya tercemar racun, anak-anak akan menderita sakit, Tumpangpitu roboh, bupati terkekeh-kekeh, pemodal tertawa lantang. Baiklah. Ini saatnya mengenakan seragam medan laga. Kalian pakai apa? Aku tetap memakai pena.

(9)
Hanya selintas. Mari melintas. Dan hati-hati, karena sungguh jembatan itu sangat licin.

(10)
Tidak ada yang salah. Dan tentu, perduli dan tidak perduli itu adalah kehendak tiap-tiap orang. Keperdulain dan ketidakperdualian pun bukan hal yang biasa, juga bukan hal yang tidak bisa. Wajar-wajar saja. Semua memiliki keperdualian dan ketidakperdulian. Begitu pun aku. "O, betapa dia ya," kata seseorang. "Apa perdulinya?" jawab orang lain. Buku tidak laku bagi seorang yang buta huruf. Apa gunanya selembar makalah pertanian bagi para petani di Curahjati, Tegaldlimo. Mereka hanya mengenal menanam. "Silahkan kopinya," kata si penerima tamu. "Terima kasih," jawab si tamu. Wajar, bukan? Jadi, tidak ada yang genting di sini. Semuanya biasa-biasa saja, seperti air yang mengalir ya mengalir saja, angin berhembus ya berhembus saja. Ha.ha.ha.ha. "Kenapa kamu ketawa," tanya Charlie Chaplin (si tokoh badut dunia). "Karena aku mencintaimu," jawab isterinya.

(11)
Sejenak Mengenai Darmo Kanal

Samiro juga menulis mengenai kesibukan Darmo Kanal sebagai Jogo Tirto dan kesibukannya bermain layangan dengan anak-anak. Darmo Kanal suka sekali berteduh di bawah pohon duren tanpa sedikit pun takut kejatuhan buahnya yang berduri. Sejumlah keterangan yang berhasil kuhimpun dari beberapa orang yang mengetahui perihal Darmo Kanal, memberikan sedikit gambaran tentang kebiasaan Darmo Kanal yang sering ketiduran di bawah pohon duren. Padahal menurutku: rawan. Siapa tahu tiba-tiba buah duren jatuh menimpa kepalanya. Tapi, menurut keterangan yang kudapat, Darmo Kanal memiliki keyakinan, bahwa kalau tertimpa duren alamat mendapat nasib mujur bagai kejatuhan bintang. “Lebih baik kejatuhan duren, itu nyata. Daripada kejatuhan bintang, itu mustahil,” ujar Darmo Kanal kepada Samiro yang pernah menanyakan perihal kebiasaannya tidur lelap di bawah pohon duren ketika siang hari.

Darmo Kanal bertutur kepada Samiro begini:

"Kita tidak perlu menggabung-gabungkan antara istilah "tulus" dan "profesional". Kedua hal itu bisa berkaitan, bisa juga tidak ada kaitannya sama sekali. Tergantung bagaimana kita memandangnya. Jika kita melihat segi empat dari sudut miring, maka segi empat akan terlihat seperti segi tiga. Ketulusan itu perkara hati, perkara hati yang tahu hanya Tuhan dan orang bersangkutan. Yang terutama perlu kita nilai adalah sejauh apa seseorang berjalan dengan jujur dan "sembodo" dalam setiap sikap hidupnya sampai pada hal yang terkecil. Bagaimana seseorang menjalani hal-hal kecil dalam hidupnya, itulah yang akan menegaskan jati diri seseorang dengan niscaya. Soal ketulusan, itu urusan Tuhan, dan Tuhan merahasiakannya, sebab kalau diketahui manusia, manusia akan sombong. Kenapa hanya Tuhan yang pantas untuk dipuji sebagai Tuhan Yang Maha Tulus? Ya. Karena hanya Tuhan yang kuat atas segala pujian. Selain Tuhan, yakni manusia, itu tidak kuat terhadap pujian, ia akan menengadahkan kepala, tersenyum malu, bahkan ngakak kepingkel-pingkel karena dipuji, sikapnya bisa berubah seketika. Agar ketulusan benar-benar dinilai Tuhan tanpa dibocorkan-Nya kepada siapa pun. Ada hal-hal yang mungkin perlu kita maklumi dalam hidup ini, ada hal-hal yang perlu kita renung-dalami dalam-dalam dengan kehalusan pikir dan rasa. Agar, tentu saja, pemahaman kita tidak sekadar bersifat kulit muka saja dan belum sampai pada sejati dan nikmatnya pengertian. “

(12)
Hujan dan Kolak Pisang

Hari ini Banyuwangi hujan. Lalu hendak apa lagi. Memang sudah air jatuh dari langit. Bahwa mungkin keindahan. Masih terpenjara dalam kosa kata. Dan susunan huruf yang selalu gagal kau rangkai-rangkai kembali. Bagaikan harum tubuhnya yang terus terkenang. Dan entah di liang bimbang.

Kali ini masih hujan. Kau pun merokok sambil menghadapi kecemasan. Atau tak tau entah apa yang akan dikerjakan lagi. Sebab daun-daun memang tak pernah mengeluh. Begitu tekun menampung air dari situ.

Memang hujan. Anak-anak berlari tak memakai baju. Mengejar masa kecilnya di jalan sebelum perempatan. Kau masih merindukan. Tidur di kasur empuk. Atau memandang hujan dari balik jendela. Sambil membayangkan ibumu yang tengah memasak kolak pisang dicampur duren. Dan bapakmu yang membaca koran di ruang tengah.

Tapi, memang sudah hujan. Segala yang sudah kau gariskan di atas tanah sudah terhapus. Dan mungkin tak mudah diingat kembali. Selain bahwa kau pernah menggores di atas tanah. Pada suatu tempat. Entah di mana.

Banyuwangi, 2010

(13)
Aku Telaga, dan Kamu

akulah telaga,
maka layarkan perahumu di atasnya;
di situ hayut pula, bunga-bunga kemboja,
juga melati,
dan mawar kali yang maunya abadi.

tapi, fana juga.
seperti juga senja dan fajar,
warnanya hampir serupa.

akulah telaga,
lalu berenanglah, mandilah di tepiannya
di saat jingga senja.
mungkin kau akan kedinginan sesudahnya,
kemudian masuklah ke dalam rumah kayu,
nyalakan api, agar kau hangat,
sambil memandangi api,
sedang tubuhmu meringkuk dalam selimut.

akulah telaga,
kemudian pandangilah dari balik jendela,
sebab mungkin akan kau temukan sebentuk cerita,
yang entah tentang apa

Banyuwangi, 2010

(14)
Aku Jalan, dan Kamu

akulah jalan itu,
lewatilah dengan sendalmu,
setibanya di ujung itu,
ciumilah harumnya derita,
lepaskan sendalmu,
dan biarlah aku yang akan menjaganya

Banyuwangi, 2010

(15)
Germis dan Kopi, Ibunya

Ada seorang gadis kecil di tepi gerimis
Rambutnya basah, sandalnya kecil dan berlumpur,
Ia telah berlari seharian di bawah hujan,
Kini reda, dan ia di tepi gerimis yang sisa,
Ia tidak pernah berhenti menciumi tangis,
Ketika ia ingat, bahwa ibunya
Pernah memasakkannya bayam,
Lalu merenda di balik jendela,
Sambil menikmati kopi
Bersama bapaknya

Sandalnya yang berlumpur,
Ia lepaskan di situ,
Di ujung halaman,
Dan kini aku tengah menjaganya,
Dari banjir yang mungkin akan menghanyutkannya,
Ia masuk rumah, mandi,
Lalu ia berpakaian rapi,
Kemudian memandang jauh ke pohon jambu itu,
Begitu lama,
Entah untuk siapa,
Dan ia tidak pernah ingin ada yang menanyakannya

Banyuwangi, 2010

(16)
Suraji van Houten bercerita, bahwa orang-orang selalu bertanya-tanya tentang siapa perempuan tua yang berleher jenjang itu. Percakapan di warung tepi jalan saat pagi tidak pernah selesai mempertanyakan siapa sebenarnya perempuan tua berleher jenjang itu yang setiap pagi menyapu halaman rumahnya yang tua, lalu masuk lagi, saat malam ia menyalakan lampu minyak. Tidak ada yang banyak tahu tentang perempuan tua itu, mungkin karena desa itu sudah jarang terdapat orang tua seusia perempuan tua itu, sehinga riwayat perempuan tua itu seperti terlipat dalam rahasia waktu yang misterius.

Tentu saja Suraji van Houten tidak tahu. Dia menceritakan hal itu. Pemuda desa yang biasa-biasa saja tidak tahu. Kadang-kadang perbincangan tentang perempuan tua berleher jenjang itu terbenam dalam percakapan lain-lain, tak lagi menjadi penting. Tapi, menurut Suraji van Houten, tak ada yang menggetarkan di desanya selain nada tembang perempuan tua berleher jenjang itu di bale rumahnya sembari memetik sayuran untuk besok pagi, dan bayangan tubuhnya terpantul di gedek rumahnya oleh cahaya lampu minyak. Kata Suraji van Houten, dirinya selalu menduga-duga tentang perempuan tua itu, tapi dia segera mengatakan bahwa dugaan-dugaan itu ia yakini tidak benar. Tapi kenapa ia terus menduga-duga? Dan sore itu, Suraji van Houten menutup ceritanya sambil tersenyum, seperti senyum menang dariku yang sejak awal menyimak ceritanya dengan seksama.

(17)
Siang itu memang panas. Matahari bagaikan dengung ribuan lebah menyegat kepala. Bulan puasa.

"Kau harus pulang," kata suara entah siapa.

Sepeda motor tadi sudah minum bensin lima ribu rupiah.

"Siapa di situ?" tanya suara entah siapa.
Para pengemis bergerombol di simpang lima. Ada di antara mereka bertanya kepada yang lainnya: "Kamu sudah dapat berapa?"

"Baru tiga ribu," jawabnya.

"Pernahkah kau bertanya; kenapa orang-orang mengemis? Pernahkah kau tahu, ada kerajaan pengemis di sebuah negeri pengemis di dalam suatu negeri yang tidak pernah bermimpi untuk menciptakan pengemis?" tanya suara entah siapa.

Dan akupun berbuka.

Banyuwangi-Muncar, 2009-2010

Kamis, 04 November 2010

Rabu, 03 November 2010

Panduman


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Sehelai sungai. Panduman duduk di tepi. Tentu saja itu bukan sehelai sungai yang jernih, bercahaya, di tepinya ada bunga-bunga, kupu-kupu, dan ikan-ikan berkejaran di dalamnya bagaikan keterangan-keterangan dalam dongeng. Tapi, sehelai sungai yang di tepinya terdapat Panduman duduk melamun memandang air, adalah sungai di tepi kota yang bau, bangkai anjing mengapung, kaleng-kaleng, dan kotoran manusia, tidak ada ikan, cuma cahaya lampu-lampu dari bangunan-bangunan besar bersusah payah menggapai air sungai. Bagi Panduman, menghabiskan malam dengan duduk berlama-lama di tepi sehelai sungai yang bukan sehelai sungai seperti dalam dongeng, adalah keharusan. Entah kenapa itu harus menjadi keharusan bagi Panduman. Dan itu dilakukan Panduman pada musim-musim hujan. Panduman tidak berteduh. Ia tidak takut banjir. Ia duduk memandang sungai saat hujan turun malam, jutaan butir air tumpah ke permukaan sungai. Panduman adalah pelamun. Dia bukan penyair, bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang laki-laki bernama Panduman.

Paduman memandangi dengan tekun air sungai yang mengalir pelan membawa kotoran entah apa saja. Remang cahaya lampu-lampu menyinar ke muka air. Hujan turun. Musim hujan, hampir tiap malam hujan turun. Dan pada saat hujan lebat, sehelai sungai itu banjir. Panduman duduk di tepi sungai, tepatnya di atas gundukan tanah. Air selalu hampir meluap. Tapi,tidak menggapai Panduman.Dan Panduman kembali mengingat mimpi itu.Mimpi yang paling ganjil.Ia bermimpi membunuh seorang wanita tak dikenal berulang kali.
***

Panduman selalu diganggu mimpi-mimpi ganjil itu. Sehingga Panduman merasa takut untuk tidur pada malam hari."Setiap malam,orang akan tidur,dan mungkin dalam tidur mereka berharap bermimpi indah tentang segala hal yang barangkali gagal untuk didapatkan dalam kenyataan. Tapi,bagi saya, malam dan tidur adalah teror. Mimpi-mimpi ganjil itu mencekik leher saya. Saya tidak bisa bernafas setelah sadar dari mimpi-mimpi ganjil itu. Dan anehnya, mimpi-mimpi ganjil itu selalu menerorku di musim penghujan," kata Panduman entah kepada siapa. Itulah karenanya, Panduman tidak mau tidur malam hari. Dia tidak berani menghadapi mimpi. Lebih baik menghabiskan malam di tepi sehelai sungai yang sama sekali tidak menyenangkan, hujan, bau, kotor, suara katak, dan nyamuk. Sehelai sungai yang tidak seperti dalam dongeng.

Di kota itu, Panduman adalah pengangguran. Dia tinggal di rumah buruk warisan orangtuanya. Kedua orangtua Panduman tidak di situ. Kedua orangtua Panduman telah meninggalkan kota itu dan tinggal di kota lain bersama adik Panduman yang sukses di kota lain. Sebagai kakak, Panduman tidak bisa memberi contoh kesuksesan bagi adiknya. Rumah buruk itu ditempati Panduman, orangtuanya menyerahkan rumah buruk itu buat Panduman, orangtua Panduman telah dibuatkan rumah di sebelah rumah adik Panduman yang sudah sukses di kota lain. Orangtua Panduman berpesan kepada Panduman agar Panduman tidak menjual rumah buruk itu, agar Panduman segera mencari pekerjaan lalu menikah karena sudah berumur, agar Panduman bisa sukses seperti adik Panduman. Panduman tahu itu. Dan Panduman tidak tahu bagaimana bisa mencapai sukses seperti adiknya yang sukses sebagai pengusaha di kota lain. Panduman menolak bantuan adiknya. Dia sebagai kakak. Panduman hanya lulus SMA. Kerja tidak mudah. Uang tidak gampang. Hidup tidak semudah adik Panduman dan tidak semudah orang lain.

Panduman terkejut. Kedua matanya menangkap ada sesuatu mengapung di sungai. Sesuatu itu bukan bangkai anjing. Tidak jelas. Lampu-lampu remang tidak memperjelas pandangan Panduman. Hujan turun. Tidak lebat. Panduman basah. Sungai tidak banjir karena hujan tidak lebat. Panduman melihat ke sungai. Yang mengapung itu, sepertinya adalah tubuh manusia. "Mayat!" pekik Panduman pada dirinya sendiri. Panduman ingin pulang. Tapi, di rumah pasti dia akan tersiksa karena harus menahan diri supaya tidak tidur. Tidur berarti mimpi. Dan mimpi adalah teror. Panduman tidak mau.

Panduman meyakinkan matanya. Ia menajamkan tatapannya. Dan yang mengapung dan hanyut dengan pelan bersama sampah-sampah itu sepertinya adalah tubuh manusia. Hujan turun tidak lebat, tapi hujan turun malam seolah tak mau berhenti. Panduman merasa gentar. Ia khawatir itu tubuh manusia korban pembunuhan. Tapi, mungkinkah yang mengapung itu mayat? Panduman belum yakin dengan matanya. Paduman meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang bermimpi. Panduman menoleh ke kiri ke kanan, ia khawatir ada orang lain selain dirinya. Panduman memutuskan meninggalkan sungai. Panduman bergegas. Hujan turun malam, tidak lebat dan seolah tidak mau berhenti. Panduman bergegas. Panduman mempecepat langkahnya.

"Berhenti!" sesesorang mencegahnya.

"Siapa?" Panduman tidak mengenal orang yang mencegahnya.

"Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan seorang wanita dan mayatnya Anda hanyutkan di sungai," petugas menangkap dan memborgol tangan Panduman. Hujan turun malam, tidak lebat, dan seperti tidak mau berhenti. Dan Panduman kini betul-betul yakin, dia tidak sedang bermimpi. Panduman tidak berkata-kata. Panduman dibawa petugas. Tangannya diborgol.

Banyuwangi, 2010

Selasa, 02 November 2010

SEBUAH KARANGANYAR

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Tetese Eluh
Cipt: Yon’s DD

Sedino-dino mung nangis gawene
Sing leren-leren sampek alum matane

Yo mesesegen ilang suaranae
Kesuwen nangis sampek nono iluhe

Kepingin seru ketemu, eman
Nong kembang hang biso ngudang atine

Kadung urip nong endi sangkane
Dung wes mati nong endi paesane

Arep sun kirim kembang hang wangi gandane
Arep sun kirim gending nawi tah biso nentremaken atine

Terjemahan bebas:


Hanya hari mengurai tangis hidupnya
Tiada henti hingga layu matanya

Ya. Tersedu sedan putuslah suaranya
Terlampau jauh menangis hingga keringlah air mata

Berharap sangat untuk bertemu, sayang
Bunga yang kuasa menghibur hatinya

Jika masih hidup, di mana alamatnya
Bilapun telah tiada, di mana nisannya

Akan kukirim bunga yang wangi semerbaknya
Akan kukirimkan nyanyi, andailah bisa menentramkan hatinya

Syair di atas menggambarkan situasi pada tahun 1965 di Banyuwangi. Menurut pengakuan pencipta lagu tersebut, Yon’s DD, kepada saya, bahwa memang benar syair lagu tersebut menggambarkan kondisi sosial-psikologis akibat geger politik pada tahun 1965. Secara utuh dan orisinil, syair Yon DD tersebut sangat berhasil, pun mengusung nilai-nilai sejarah dan kemanusiaan. Secara historis, di Banyuwangi terdapat banyak orang yang dulunya sangat mengagumi dan menganut paham komunis, sehingga banyak yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia). Tentu tidaklah mengherankan, sebab PKI pada tahun 1955 memenangkan Pemilu; berada di urutan tiga besar. Tentu saja, ajaran komunis di Banyuwangi musti kita pisahkan dari peristiwa geger politik 1965 yang banyak menelan nyawa manusia dengan banyak pembantaian yang tidak beradab: manusia dipotong lehernya, lalu mayatnya digeletakkan di selokan, atau kedua kaki dan kedua tangan seseorang diikat dengan rantai, lalu keempat ujung rantai itu diikatkan pada sebuah truk, truk dijalankan pada empat arah yang berlawanan, lantas tubuh seseorang tersebut menjadi tersobek empat atau lima bagian, kepala manusia menggelinding dengan mata melotot, bibir menjulur, dan badannya entah ada di mana.

Geger politik yang ditandai dengan istilah “Pemberontakan Gerakan 30 September/PKI” (G 30 S/PKI) yang hingga tulisan ini ditulis, masih menyisakan kontroversi dan trauma sejarah yang misterius, semisterius kenapa orang-orang melakukan pembantaian sedemikain sadisnya. Perebutan tampuk kekuasaan di Indonesia dan eskalasi politik secara internasional telah mengakibatkan hal itu terjadi. Mungkin saya terlalu awam terhadap sejarah. Tapi, tentu saja agama dan budaya mana pun tidak akan pernah setuju dengan perbuatan sadis sebagai imbas pergolakan politik. Bangsa ini telah melakukan pembantaian terhadap dirinya sendiri, atau kepentingan politik dan negara telah berakibat menelan mentah-mentah daging anak kandungnya sendiri. Karena keawaman terhadap sejarah itulah, maka nampaknya saya lebih tepat bercerita.
* * *


Karanganyar adalah sebuah desa yang terletak di Kab. Banyuwangi, Kec. Rogojampi. Desa ini, lebih tepatnya dusun, memiliki penduduk mayoritas berdialek Using, beberapa pendatang juga ada di sini. Di situ kebun kelapa dan sawah yang cukup luas. Cukup untuk menghidupi daging kehidupan. Di situ anak-anak bermain dengan riang, sebagaimana di dusun-dusun lain. Organisasi politik dan Ormas berdiri. Hingga ke Karanganyar, underbouw PKI seperti Lekra, BTI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat tumbuh dengan subur dan hidup rukun bersama NU dengan segala underbouw-nya, seperti GP Ansor. Lesbumi, dll. Keguyuban ini tentu saja sebagai sebentuk wujud betapa masyarakat Banyuwangi adalah masyarakat yang humanis, kita adalah bangsa besar yang sejatinya guyub, walaupun sejarah kita telah diwarnai oleh darah, yakni realisasi konkret dari Amukti Palapa-nya Gajah Mada. Tanpa sedikitpun mengurangi kecintaan kepada sejarah bangsa sendiri, saya mencoba kritis, bahwa ekspansi dan invasi Majapahit terhadap bangsa-bangsa lain adalah sebentuk kekerasan yang tidak demokratis dan humanis.
* * *


Pada suatu malam. Udara dingin di tengah dusun Karanganyar melelapkan penduduk. Ketakutan dan keputusasaan merebah kelam ke dalam jiwa. Sebagian ada yang gemigil. Sebuah pesantren kecil yang diasuh oleh seorang kiyai (sebut saja Kiyai Ali), malam itu pun lelap. Para santri kecil berusia antara 8 sampai 10 tahun lelap dalam kamar-kamar. Umumnya para santri itu adalah yatim piatu. Rumah sang kiyai sepi. Isterinya telah tertidur dengan lelap. Isteri sang kiyai adalah seorang janda beranak satu, yang dinikahi sang kiyai. Dari isterinya itu, sang kiyai memiliki seorang anak laki-laki baru berusia 9 tahun.

Malam itu terasa dingin bagai jutaan jarum yang menyerbu kulit sampai ke tulang. Sang kiyai yang jangkung, wajahnya teduh, dan alisnya tebal itu belum tidur. Dini hari. Ia tegar di atas sajadah malamnya. Memutar tasbih dengan mata terpejam. Sunyi dan mencekam.

Dalam wiridnya, sang kiyai tak henti-hentinya melafazdkan “Ya Rahman Ya Rahim” (Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang). Hingga kekhusyukan sang kiyai tersentak oleh suara riuh di halaman rumahnya. Sekitar 25 orang turun dari atas truk, lalu 7 orang di antara mereka menggedor pintu rumahnya yang sederhana.

“Keluar, Ali! Keluar!” teriak mereka tak bersahabat.

Dengan tenang sang kiyai beranjak dari sajadahnya. Langkahnya tenang bagai tak menyentuh lantai. Seolah ia telah tahu apa yang akan terjadi. Raut wajahnya sedikitpun tidak berubah. Tetap teduh tak berganti warna. Sang kiyai membuka pintu. Isterinya mengikutinya dari belakang bersama anaknya yang juga terbangun oleh suara riuh. Begitu pintu dibuka, sekitar tujuh orang yang mengenakan baju hijau bermotif seperti kulit harimau, menerobos masuk ke ruang tamu sang kiyai. Dengan cekatan, mereka meringkus sang kiyai. Sang kiyai tidak melakukan perlawanan. Beliau hanya berkata tanpa penekanan suara.

“Silahkan saya dibawa. Biarkan anak isteri dan santri-santri saya tetap di sini,” katanya. Tanpa sedikitpun memberikan penekanan. Lembut. Suaranya terasa sejuk. Seperti air dari sumur yang dalam.

Namun tujuh orang yang berbaju hijau bermotif kulit macan itu tetap terbakar. Mereka melempar sang kiyai ke atas meja. Meja pecah ditimpa tubuh sang kiyai yang jangkung. Tapi, seolah tak sedikitpun sang kiyai merasakan sakit. Beliau diam saja. Tidak mengerang sakit. Tidak apa-apa. Tetap tenang dan tak sedikitpun raut wajahnya berubah. Wajah dan kedua bola matanya yang bening itu bagaikan danau yang dilempari beberapa batu besar ke dalamnya, sejenak berdebur, lalu tenang dengan segera.

Sang kiyai bangkit. Ditatapnya sebentar wajah isteri dan anaknya yang masih 9 tahun itu. Sang isteri menjerit meminta tolong sambil menangis. Sang isteri berteriak: “Maling... Maling... Maling...”

Sang kiyai hanya tersenyum kecil melihat ketakutan isterinya.

“Ayo teriak! Tidak ada satu pun yang bisa menolong!” jawab salah seorang dari tujuh lelaki kekar berbaju hijau bermotif kulit macan.

Mereka mengikat tangan sang kiya ke belakangi. Puluhan santri terbangun. Mereka berhambur ke rumah sang kiyai. Santri-santri kecil berusia 9 tahunan dan yatim piatu, menyaksikan kiyainya dilemparkan ke atas truk berisi beberapa orang tak dikenal.

“Ini orang komunis! Harus ditangkap dan ditiadakan!” ujar mereka.

Sang kiyai ditutup kepalanya dengan karung diikat ke lehernya. Dalam karung itu, matanya terpejam. Bibirnya bergetar kalimat “Ya Rahman Ya Rahim”. Suara itu pelan namun tegas. Truk berangkat menembus tikungan gelap di dusun Karanganyar. Dalam perjalanan entah ke mana, dzikir dari mulut sang kiyai tidak henti-hentinya. Mereka yang meringkus, mendengar dzikirnya. Mereka membentak.

“Diam! Bahkan Tuhan pun tidak akan bisa menyelamatkan kamu, komunis!” gertak mereka dengan kasar sambil membenturkan kepala kiyai ke dinding bak truk. Benturan yang keras. Kepalanya bocor. Tapi, sang kiyai tidak mengerang sakit. Dzikir dari mulutnya berhenti.

* * *


Pada sebuah hutan, truk berhenti. Di tengah hutan yang gelap, hanya diterangi lampu petromak dan sinar bulan sabit awal Ramadan. Di tepi sebuah jurang yang dalam, terdapat sebatang pohon jambu hutan yang tua. Dalam keadaan tangan terikat ke belakang dan kepala ditutup karung, sang kiyai dilemparkan ke tanah, tubuhnya yang jangkung menghantam pohon jambu hutan yang tua. Terdengar suara patah dari tulang tangannya. Namun, tak terdengar erang dari mulutnya.

“Buka karung di kepalanya!” perintah salah seorang yang mengenakan baju hijau bermotif kulit macan. Tiga orang membuka karung di kepala sang kiyai. Dua orang lainnya memegang tangannya. Salah seorang berbaju hijau bermotif kulit macan, mengeluarkan sebilang pedang. Pedang itu mengkilat.

“Sebelum pedang ini saya tebaskan ke lehermu, katakan apa yang kau minta sebagai permintaan terakhir, anjing!”

Sang kiyai tetap tersenyum, membuat kesiur aneh pikiran orang-orang yang akan membantainya.

“Almautul Baabun,” jawab kiyai dengan nada lirih. Tersenyum.

Mereka tidak mengerti. Mereka segera menjalankan niatnya.

* * *


Pagi. Pesantren ramai. Santri-santri yatim piatu kehilangan pengasuhnya yang selalu bersahabat dan bercanda dengan mereka. Isteri dan anak sang kiyai tidak keluar dari kamarnya. Ketakutan dari kejadian tadi malam telah membekas di dalam jiwa mereka. Begitu dalam, begitu lengket, begitu mengerikan. Gemigil.

Beberapa saat kemudian. Sebuah truk datang lagi, menerobos ke dalam pesantren, menabrak pintu kayu pesantren hingga roboh. Tiga orang turun dari truk. Mesin truk tidak dimatikan. Tiga orang itu mendekati pintu rumah kiyai. Menggedor. Isteri sang kiyai sambil menggendong anaknya, membukakan daun pintu.

“Siapa?”

“Ini baju suamimu,” jawab mereka melemparkan baju putih penuh darah yang masih segar ke wajah perempuan yang menggendong anaknya. Mereka lalu melompat ke atas truk. Truk berputar. Lalu keluar dari pesantren. Truk itu berwarna hijau. Menghilang di tikungan sebelum ramai orang berangkat ke sawah dan ke pasar. Truk itu mengeluarkan asap knalpot. Hitam.

Baju putih sang kiyai, baju putih berlumuran darah segar. Sang isteri menangis meratap-ratap. Sang anak hanya terdiam memandang dan tak mengerti apa tengah terjadi. Sejak itu, setiap hari, setiap saat, malam atau siang, petang atau senja hari, perempuan itu selalu meneteskan air mata. Terus meneteskan air mata. Terus meneteskan air mata. Terus meneteskan air mata. Tiada henti-hentinya mengenang suaminya yang hilang entah ke mana. Tak ada kabar. Tak ada apa-apa.
* * *


Waktu terus bergeser. Politik pun bergerak membuat rumah-rumah kekuasaan dan kekayaan dari tangis dan kematian. Pesantren itu dirobohkan massa yang mengamuk. Puluhan anak yatim piatu penghuni pesantren menghambur pergi, dan entah ke mana mereka melanjutkan hidup. Rumah sang kiyai telah dikuasai oleh saudara-saudaranya. Beberapa hektar kebun kelapa dan sawah telah dirampas oleh saudara-saudara sang kiyai. Anak dan isteri sang kiyai pergi dari Karanganyar. Mereka keluar. Perempuan itu berjalan tanpa tujuan, medatangi kota-kota di luar Banyuwangi sambil membesarkan anaknya. Ia menjadi pembantu rumah tangga di tiap kota yang sempat disinggahinya, atau menjajakan kain ke tiap-tiap tempat asing dan jauh. Baju suaminya yang berlumur darah itu tetap disimpan di dalam tasnya yang lapuk. Tiap kuburan yang dilewati dalam perjalanan, ia singgahi, ia duduk di tepi kuburan entah kuburan siapa, perempuan itu meyakini bahwa kuburan itu adalah kuburan suaminya. Ia tidak bisa baca tulis. Ia tidak membaca tulisan pada batu nisan. Ia mengaji di sana bersama anaknya. Ia yakin itu kuburan suaminya. Ia mengaji sambil menangis. Membaca Surat Yasin. Berdoa.

Waktu menggelinding terus. Sang anak tumbuh dewasa dengan kelainan mental. Perempuan itu dianggap masyakarat Karanganyar sebagai perempuan tua tidak waras, karena tiap kuburan ia datangi dan ia yakini sebagai kuburan suaminya tercinta, ia mengaji dan menabur bunga. Waktu terus menggelinding seperti kelereng di lantai keramik rumahmu. Dan tak ada yang mengetahui kisah ini, mungkin juga tak ada yang mau tahu. Sebuah kisah di antara ribuan kisah lain yang lebih mengerikan lagi. Secuil kisah terpendam di antara hiruk pikuk politik. Hingga ia menghembuskan nafas terakhir di Karanganyar karena tua, lelah, dan kesepian. Ia kembali ke Karanganyar, dusun yang pernah melahirkannya, dusun yang mencabik hatinya, dusun di mana cintanya bersemi kala remaja, dusun yang pernah ditanami jutaan harapannya bersama sang suami, Kiyai Ali, beserta puluhan santri yatim piatu yang pernah dirawat dan disekolahkan. Ia sudah tiada dalam keadaan tua, kurus, tak terawat, dan sunyi sekali. Rambutnya rontok, kulit rambutnya terlihat. Warnanya putih.

* * *


Tentu saja, saya tidak mengerti sejarah. Saya hanya bisa bercerita. Cerita ini saya dapatkan dari perempuan itu secara langsung. Ia bercerita sambil menangis dan tak pernah berhenti mengeluhkan tulang kakinya yang selalu linu. Ada sebuah kalimat yang tetap saya ingat hingga kini: “Tidurlah! Waktu sudah malam. Besok kamu harus hidup sebagaimana biasa. Alah.. alah... alah...”

Banyuwangi, 2009

Catatan:

Almautul Baabun= kata Bahasa Arab yang berarti: “mati hanyalah pintu.”