Selasa, 28 Desember 2010

50-08 : Pomo Martadi

Tidak perlu langit menjatuhkan hujan,
pada petang,
pada lengang,
pada tenggelam,
pada benam,
pun kelam.

Mata-mata kelabu,
dongeng kijang yang biru,
seteru dari segala debu,
dan kerinduan,
dan jejak yang mungkin terlupakan,
dan kata memperpanjang usia,
dan umur yang menegas kapuk tua,
dan mencari yang tidak berhenti.

Apa boleh buat,
kita berjalan belaka,
langit hitam,
malam,
hujan pun,
jendela rumah tua,
dan tidak bertanya mengenai sofa,
kopi,
rokok,
berjalan belaka,
becek dan mengepul di bawah genting entah siapa.

Kucoba menemukan peninggalanmu,
tanda baca dan tata kata,
tak kutemu,
tak kaudatang.

Bukankah langit,
bumi,
dan sebatang dji sam soe,
malam,
lobang bumi kelabu,
seteru debu,
rindu,
melulu.

Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, Desember 2010

Selasa, 21 Desember 2010

Bulan Desember

Kemudian kita bergegas di malam yang benam.
Bulan tertawan.
Sedang hujan, katanya.
Jauh dari rumah.
Dan jendela tua.
Tak usah membayangkan sofa dan keripik tortilla.
Kita ke situ saja, melipat kemeja, basah.
Lalu bertanya arah pada seseorang yang berdiri di tikungan sana, yang entah siapa.

Taufiq Wr. Hidayat
Muncar, 21 Desember 2010

Rabu, 08 Desember 2010

Bupati yang Cantik dan Pasar Tradisional










Oleh: Taufiq Wr. Hidayat



Pasar induk tradisional Banyuwangi sudah ramai tepat pukul 02.00 dini hari. Orang-orang membawa dagangan; terong, cabe, bawang, alpokat, dll. Mereka mendasar dagangan di sepanjang jalan, tepatnya di belakang mall Sritanjung. Di sepanjang jalan itu, sejak dini hari, aroma timun dan sayuran, wortel dan bawang merah menggoda hidung. Warung kopi Pak Kopok menyediakan kopi panas dan nasi bungkus hangat, kerupuk dan tahu goreng. Riuh. Jam 02.00 dini hari, waktu di mana para pejabat sedang tidur lelap di kasur empuk dalam mimpi malam lelap berdua senyap. Tapi, waktu dini hari di pasar induk Banyuwangi itu sudah ramai dan diliputi semangat. Suasananya hangat walaupun ketika diserang hujan angin yang gemigil, akrab dan menyenangkan. Kita bisa mendapatkan keharmonisan di pasar tradisional Banyuwangi ini, keramahan, dan rasa kebersaudaraan yang lekat yang tidak mungkin didapatkan di dalam mall atau supermarket. Di pasar tradisional ini, kita akan melakukan tawar menawar, harga bisa berkurang dari nominal yang ditawarkan penjual. Proses ini pun menciptakan sebentuk kedekatan emosional antarorang yang tidak membedakan status sosial-politik-ekonomi, melainkan lebih pada suatu komunikasi kemanusiaan yang indah dan wajar. Tentu saja tidak demikian halnya di supermarket atau mall, barang telah ditempeli angka nominal yang lengket, tidak bisa ditawar, sudah harga bandrol.



Adanya pasar tradisional adalah satu indikator aktual dari kegiatan ekonomi rakyat di suatu daerah. Pemerintah semestinya melihat serius keberadaan pasar tradisional sebagai satu di antara sarana publik yang menyokong ekonomi kerakyatan. Keberadaan ruang dan rentangan waktu, life style yang diiklankan oleh media publik menjadi “iman baru” sudah membuat eksistensi pasar tradisional sedikit terusik. Tapi pada kenyataan yang tidak terpungkiri, pasar tradisional tetap mampu bertahan dan bersaing di tengah invasi pasar modern dalam segala bentuk dan caranya. Pasar tradisional mampu memutar uang sekian ratus juta dalam hitungan jam dibandingkan dengan supermarket yang 24 jam itu, lihat saja pasar tradisional induk Banyuwangi, Rogojampi, Genteng, dan beberapa tempat lain di Banyuwangi. Kualitas barang-barang di pasar tradisional pun tidak kalah, cuma tidak memakai bandrol harga dalam kemasan. Karakter dan budaya konsumen mempertahankan eksistensi pasar tradisional, yakni proses tawar-menawar, kekeluargaan, dan tentu saja murah meriah. Pemerintah semestinya bersungguh menata dan mempertahankan eksistensi pasar tradisional, ia musti sadar bahwa pasar tradisional sebagai pusat aktivitas ekonomi masihlah dibutuhkan rakyat. Perhatian pemerintah perlu dinyatakan dengan melakukan revitalisasi pasar tradisional di Banyuwangi. Sasarannya sederhana saja dan menyentuh kebutuhan mendasar para pelaku. Sejauh ini, pasar tradisional selalu memiliki citra sebagai tempat belanja kumuh, becek, bau, dan oleh sebab itu hanya dikunjungi oleh kelompok masyarakat kelas bawah, kecuali kunjungan calon bupati ketika berkampanye. Pencitraan pasar tradisional itu harus diubah menjadi tempat yang bersih dan nyaman. Dengan demikian, rakyat dari semua kalangan tertarik datang dan melakukan transaksi. Pemerintah mempunyai hak mengatur pasar tradisional dan pasar modern. Tetapi aturan yang dibuat pemerintah tentu tidak boleh diskriminatif. Pedagang kecil, menengah, besar, bahkan perantara (makelar) atau pun pedagang toko seharusnya punya kesempatan sama dalam berusaha.



Persaingan antarpedagang tidak mudah saja, tidak hanya saingan antara yang besar lawan yang kecil, melainkan pula antara yang besar lawan yang besar, yang kecil lawan yang kecil. Sebagai regulator, pemerintah perlu mewadahi aspirasi yang berkembang tanpa ada yang merasa dicelakakan, melindungi dan memberdayakan pedagang kelas teri karena jumlahnya mayoritas. Di lain pihak, peritel (pedagang) besar pun punya sumbangan besar dalam ekonomi; menyerap tenaga kerja dan justru memberdayakan dan meningkatkan kualitas ribuan pemasok yang umumnya pengusaha kecil menengah. Keseimbangan antara besar dan kecil mestilah dijaga dengan baik. Dan pemerintah mempunyai peran itu.



Di Banyuwangi, pedagang kecil di pasar tradisional selalu merasa disisihkan. Mereka bagaikan menjalani nasib “kutukan” sebagai pedagang sepele yang hak dan labanya selalu saja tidak mencukupi. Mereka bagaikan bekerja belaka, memutar roda kehidupan. Namun, tentu saja karakter dan budaya penjual-pembeli memberikan sebentuk ruang bernapas bagi mereka di tengah ruang dan rentang waktu yang menyempit, bahkan mengancam. Man Sardawat mengeluhkan kepada saya, bahwa akhir-akhir ini ia tidak memperoleh laba sebagai rejeki dari Tuhan yang tentu dibagi rata oleh-Nya di muka bumi. Man Sardawat adalah pedagang kecil di pasar tradisonal Banyuwangi, ia mengeluhkan dagangannya yang diambil tanpa sepengetahuannya oleh petugas pada malam hari. Cabe yang di bulan Desember 2010 ini berkisar Rp30.000,- diambil, dan untuk mendapatkan dagangannya itu kembali, Man Sardawat harus menyiapkan sejumlah uang tebusan (denda?), diberi penataran dulu, baru boleh membawa dagangannya. Berapa laba yang didapatkan Man Sardawat jika ia harus membayar uang tebusan? “Malah saya sering temblong,” keluhnya ketika berbincang dengan saya di warung kopi Pak Kopok dini hari itu. Keluhan Man Sardawat mewakili keluhan pedagang-pedagang kecil lainnya di pasar induk tradisional Banyuwangi. Tentu saja, “belum ada seorang anggota dewan pun yang telah mendengarkan keluhan kami,” kata Man Sardawat. Jangan berharap, gumam saya di dalam hati, dan Man Sardawat tidak mendengarnya.



Tempat itu memang bukan untuk berjualan, tempat yang digunakan untuk berjualan oleh pedangang kecil tradisional Banyuwangi adalah jalan raya. Sehingga mereka harus mendasar jualan mereka pada pukul 02 dini hari, sebagian besar mendasar dagangannya pada pukul 05 pagi, lalu mereka semua harus sudah membersihkan dagangan mereka dari badan jalan tepat pukul 07 pagi, karena jika mereka terlambat satu menit saja, maka dagangan mereka akan diangkut oleh truk petugas berseragam: disita. Mereka pun tergopoh-gopoh, padahal para pembeli masih banyak yang akan melakukan transaksi di pasar tradisional itu. Dan di warung-warung kopi, mereka akan meluapkan grundelan mereka, makian, juga rasa kesal yang menyedihkan. Bagaimana tidak, mereka kehilangan laba, pun setoran di “bank harian” dan setoran-setoran kredit lainnya menunggak, tentu saja berbunga. Keluhan itu bukan gaung suara besar, namun ia mewakili penderitaan kelompok kecil di tengah kehidupan kita yang terdengar begitu lirih, sesekali mendengung bagai lebah. Mereka bercerita, bahwa beberapa bulan yang lalu mereka pernah didatangi seorang calon bupati yang kini sudah terpilih sebagai bupati Banyuwangi. Calon bupati itu, menurut mereka, datang untuk berbelanja ke pasar tradisional, ia berjanji akan memperhatikan pasar tradisional dengan sebaik-baiknya dan mengijinkan pasar buka sampai pukul 09 pagi. Tapi, pada kenyataannya pasar harus sudah tutup persis pukul 07 pagi.



Tata kota kita tampak kumuh. Bukan pasar tradisional kita yang kumuh. Di situ sudah ada tukang sampah yang tentu saja didanai oleh dana dari rakyat. Kita memerlukan kebersihan, keindahan dan kecantikan. Kebersihan, keindahan, dan kecantikan tidak serta-merta datang bagaikan hujan dari langit. Ia harus diupayakan dan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dan seorang pemimpin harus melakukan hal itu dengan semangat mengayomi yang lemah, pun menurut regulasi yang ada. Di tengah keluhan dan kekesalan rakyat, di situlah seorang pemimpin berada. Sederhana saja mencari letak peran pemimpin itu, bukan?



Immanuel Kant dalam Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, 1784, mengetengahkan tentang keramahtamahan universal (cosmopolitan right) yang tentu didasari regulasi dan keperdulian yang tidak sekadar “abang-abang lambe” dari pemegang kebijakan. Ia mendasar pada hubungan simbiosis sejarah-budaya dalam istilah Antony Black. Dalam Islam, yang disebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori “amanah” dan “tugas publik” (waliyat). Dengan demikian, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil” (QS. An-Nisa [4]: 61-62). Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia, sebagaimana kaidah fiqh tasaruful imam ‘ala arro’iyatih al manutun bil mashlahah, yakni bahwa kebijakan atau tingkah pola pemimpin dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin harus mempertimbangkan dan demi kesejahteraan rakyat. Pemimpin seperti ini, yang dalam istilah kita disebut seorang “pemimpin yang cantik”. Bukan tampan, karena ketampanan tidak mencakup popularitas. Dalam kecantikan bukan tidak ada kejantanan atau keberanian mengambil keputusan untuk kebaikan bersama. Demikianlah seorang pemimpin. Jika ia sekadar cantik, yakni gagah dalam posisinya, dengan baju formal, senyum yang indah, kulit bersih yang mengkilau oleh hand body, dan retorika yang membuai, maka itu bukan kecantikan. Tapi sebaliknya.



Pasar tradisional Banyuwangi merindukan bupati baru atau pemimpin “yang cantik” yang telah mereka pilih dalam pemilu 2010 dan menyimpan kesempurnaan manusiawi sebagai pemimpin dengan segala perangkat formalitasnya. Mereka adalah rakyat, orang kecil yang memegang kedaulatan. Sungguh suatu yang wajar mendengarkan dan memenuhi harapan mereka, bukan?



Banyuwangi, Desember 2010