Kamis, 24 Februari 2011

SIHIR LAMPU














Hujan.
Lampu-lampu sudah dinyalakan.
Jenak.
Seorang wanita mengibarkan payung,
Baju hitam, dan tatapan yang teduh.
Bibirnya basah, alisnya tenang, mengulum waktu.
Kerlip lampu.
Kerlip.
Jauh.
Dan terus mengerlip.
Mengerlip jauh.
Dan tidak ada yang terasa hilang di situ.

Taufiq Wr. Hidayat, 2011

Kamis, 10 Februari 2011

Sebentuk Wajah Sarkasme

Kata Pengantar Muncar Senjakala;
Sehimpun Sajak Taufiq Wr. Hidayat

Oleh: Rosdi Bahtiar Martadi

Dalam sebuah diskusi sastra bersama pelajar Banyuwangi yang berlangsung di sepertiga awal bulan Januari 2009, sebagai pembicara, Taufiq Wr. Hidayat menyatakan, seorang penulis itu sebenarnya dihadapkan kepada 2 hal besar, yakni isi tulisan serta cara menulis isi tersebut. Dalam diskusi yang berlangsung menjelang dhuhur di Aula Pelinggihan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Banyuwangi itu, Taufiq menyatakan bahwa 2 hal tersebut sama pentingnya, namun jika disuruh memilih, maka penyair yang masa kanak-kanaknya di habiskan di Hutan Sodung, Wongsorejo, Banyuwangi itu akan cenderung condong ke cara penulisan.

Ketika menulis esai—penyair yang kerap menuliskan alis dalam puisi-puisinya ini—memang lebih tertarik kepada tema-tema kebudayaan serta permasalahan sosio-politik (khususnya kebijakan dan kekuasaan). Namun, lain halnya ketika menulis puisi. Tema atau isi bukanlah soal bagi penikmat musik klasik ini. Tema besar atau kecil, baginya sama saja.

Tema kecil atau bahkan remeh temeh akan tetap dipuisikannya, asalkan tema tersebut menyentuh naluri estetisnya, ataupun membangkitkan “birahi” jiwa puitiknya. Dan, karena lebih cenderung “mementingkan” cara penulisan puisi, ketimbang tema, maka tak heran jika tema puisinya beragam. Dan dari sanalah karakter puisinya muncul. Sarkastik, sinis, dan tajam.

Ibarat sebentuk wajah, karakter puisi Taufiq Wr. Hidayat adalah wajah orang yang terluka tetapi tetap menunjukkan senyum sinis dan tawa mengejek kepada orang yang melukainya.

Membaca puisi-puisi Taufiq Wr. Hidayat, sebenarnya tak ubahnya membaca keunikan interaksi Using dengan Madura. Sindiran-sindiran khas Using mempengaruhi cara dia dalam melakukan simbolisasi, sementara darah Madura yang mengalir dalam dirinya telah “berperanan” membentuk irama patah-patah dalam sebagian besar puisinya. Sementara itu yang tak kalah penting adalah dunia pesantren yang pernah dikecapnya. Dunia santri mempengaruhi cara Taufiq dalam menyambungkan kalimat satu ke kalimat lainnya. Dalam beberapa antologi puisinya yang terdahulu, dunia santri bahkan mempengaruhi diksi puisinya. Karena itu tak heran jika, dalam antologi puisinya yang terdahulu, istilah-istilah khas santri Nahdliyin banyak bertebaran dalam puisinya.

Dalam antologi Muncar Senjakala ini, istilah-istilah khas santri Nahdliyin itu tak kita jumpai, tetapi bagi mereka yang akrab dengan barzanji atau karya-karya sastra arab klasik, tentunya bisa merasakan pengaruh itu dari cara dia menyambungkan kalimat satu ke kalimat lain.

Seperti antologi-antologi puisi Taufiq Wr. Hidayat yang lalu-lalu, arogansi kekuasaan, keperihan kaum kecil, serta seabrek persoalan aktual—seperti kontroversi rencana tambang emas Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu—tetap menjadi tema yang dibidiknya. Begitu juga getirnya cinta. Pendek kata, kemurungan bercampur geram dan sinisme tetap mendominasi puisi-puisinya. Namun ada yang baru dalam antologi Muncar Senjakala ini. Hal-hal yang mendasar tentang hidup menjadi tema dalam beberapa puisinya. Ibarat seorang petualang, Taufiq Wr. Hidayat tengah merunut sebuah sungai dari hilir menuju hulu.

Jika dimisalkan, maka hal-hal mendasarkan tentang hidup itu tak ubahnya sebuah sungai jernih yang mengalir di kaki gunung. Sedangkan Taufiq Wr. Hidayat adalah petualang yang tak puas dengan hanya meminum air sungai itu. Ibarat petualang, dia pun bertanya di manakah mata air sungai itu? Apa saja yang ada di sekitar mata air sungai itu? Bagaimana cara mencapai mata air itu? Atau, apa saja yang bakal dia temui ketika berjalan menuju mata air yang membuatnya penasaran.

Lantas setelah mata air sungai tersebut telah ditemukan, puaskah dia setelah itu? Rupa-rupanya tidak. Karena itulah, dalam sajaknya yang berjudul Samudera Senjakala dia pun berujar, Aku Ngembara mencari yang tak pernah bisa ditemukan, tak pernah bisa dipersembahkan.

Bila anda seorang penggelisah yang selalu bertanya tentang hal-hal mendasar tentang makna hidup, lalu menginginkan antologi ini menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka kemungkinannya ada dua. Mungkin antologi ini bisa jadi jawaban, bisa juga tidak.

Tetapi bila anda adalah penggelisah, rasa-rasanya antologi ini bisa dijadikan teman. Paling tidak, dengan membaca antologi ini anda tidak lagi merasa jadi satu-satunya penggelisah, karena di belahan bumi yang lain ada Taufiq Wr. Hidayat yang selalu gelisah.

Seperti penyair lainnya, Taufiq Wr. Hidayat tak hanya mencari jawaban atas kegelisahannya. Namun, dia juga “menyandera” kegelisahan itu ke dalam “ruang” kreatifnya hingga lahirlah sebentuk makhluk baru yang bernama puisi. “Penyanderaan” itu dilakukannya sebelum dan sesudah jawaban atas kegelisahannya ditemukan. Yang menarik, semua prosesi itu ujung-ujungnya tetap bermuara pada lahirnya puisi yang sarkastik, sinis, dan tajam.


Penataban, Giri, Banyuwangi
Pertengahan Januari 2010


Rosdi Bahtiar Martadi