Aku merindukan suara seruling ajaib yg kemerduan dan keindahan nadanya yg menakjubkan itu hanya terdengar lewat kisah dari satu pengisah kepada pengisah lain, yg hanya terdengar dalam dugaan-dugaan langka di tengah keramaian nada-nada apa saja dan kata dan suara-suara makhluk dan bunyi yg terbanting pada waktu pada ruang. Aku merindukan nada ajaib seruling itu,yg dg khidmat ditiupkan oleh Daud yg agung,utusan Tuhan. Sehingga waktu dan ruang,seluruh makhluk udara dan darat, tumbuhan dan makhluk air dan hembusan angin dan aliran air, semua terhenti sejenak dari geraknya, memberi jeda yg khidmat dan dalam untuk sebuah nada yg membawa kepada Tuhan. Tapi, ke mana hati hendak mencari? Aku ingin meminjam seruling ajaib itu kepada Paduka Daud untuk kutiupkan di tengah lalu lintas yg panas dan macet, atau di antara kata dan segala tiruan tanpa makna. Paduka tentu mengenal duka, menghayati derita dan kenal baik dengan pencipta, sehingga seruling ajaib Paduka mengerti nada terdalam dalam hati manusia.
Muncar, 2011
Taufiq Wr. Hidayat
Sabtu, 29 Oktober 2011
Rabu, 25 Mei 2011
Berangkat Senja
Berangkat senja.Orang2 berlalu.Warna waktu,langit2 jiwa.Segala kelana meniru rindu.Menjelma luruh.Dingin dari angin,perih dari sunyi,luka tanpa derita.Dan berangkatlah senja.Dering2 seperti mengasing, mendatangi lagi sudut2 hati dg ketabahan bumi. Percakapan2 bagai dihentikan. Kembara laksana gegaris di pipi usia.Luka tanpa derita.Berangkat senja,renung telah menggunung, semesta tubuh terurai dari bisu, menggelantung murung. Berangkat pun senja,mau pulang pada malam yg menebal.Detak sepi masih merias diri,kalian menjelma dan terus melintas.Mau sepotong bayangan,mau diam untk mungkin mencuri gagasan,catatan yg dg hati2 kau sembunyikan. Jaman terus berkebutan meninggalkan tiap2 kecemasan.Dan kita pun belum tiba untk menguraikan segala penawaran.
Taufiq Wr. Hidayat
Bwi, 2011
Taufiq Wr. Hidayat
Bwi, 2011
Minggu, 08 Mei 2011
KESAKSIAN ALLISA WAHID
Dalam kesempatan bertestimoni tentang Ayah, di nuansa Hari Ayah (Father’s Day) yang biasa diperingati pada pekan ketiga bulan Juni, Alissa Qatrunnada Wahid, putri pertama KH. Abdurrahman Wahid, bercerita tentang ayahanda tercintanya. Kesaksian Mbak Lisa melalui rangkaian jaringan sosial 'twitter' dengan kisah pandangan mata yang nyata di balik kebesaran nama almarhum. Gus Dur seorang yang sederhana, tidak berlebih secara materi, dan (yang terpenting) hatinya bersih, putih dan bening sebening salafunas shalihin. Gus Dur adalah pejuang, mujahid untuk orang banyak. Jadi wajar kalau beliau dicintai khalayak. Kepada kita, Alissa berpesan agar pengikut dan pendukungnya bisa meneladani dan meneruskan perjuangan beliau. Berikut penuturan lengkap Alissa Wahid:
Bapak bukan hanya milikku. Anak ideologisnya banyak sekali. Membuatku merasa nyaman, karena di mana pun aku aman. Tapi, ada yang nggak enak (jadi anaknya). Seumur hidup, hanya dua-tiga kali liburan keluarga yang full (untuk liburan). Di Indonesia, gak pernah blas, karena selalu ketahuan penduduk. Kenapa? Bapak akan terjebak pada “ceramah dadakan”, dibawa-bawa sana-sini, sampai hari terakhir liburan. He said: “Kalian harus terima. Buat Bapak perioritasnya itu Islam, NU, Indonesia, keluarga.”
Pelajaran pertamaku tentang harga perjuangan. Bapak jarang punya uang untuk keluarga, walau banyak yang memberi. Prinsip Bapak: Terima kasih: “Saya terima, lalu saya kasih orang lain.” Namun yang memanfaatkan Beliau juga banyak, membuatku lebih wise menilai orang. Tak semua yang tampak luarnya baik, itu baik. Demikian juga sebaliknya. Buat banyak orang, Bapak sumber uang. Tapi, waktu saya minta motor, (dan) ada uang di laci, tetep nggak dikasih. Katanya: “Itu uang titipan buat rakyat.” Waktu SMA, saya dikasih 40 ribu perbulan. Tanggal 20-an, sering dipinjem Bapak lagi, karena Beliau nggak punya uang. Di awal 2009, Bapak pernah sekali pinjem uang lagi sama saya. Untuk pegangan. Saya menangis, kok bisa Bapak nggak punya uang saat itu? Saya juga marah waktu itu, karena Bapak nggak punya uang. Sementara orang-orang yang menjual namanya hidup bermewah-mewah. Rasanya tidak adil. Tapi, saya sudah lama belajar ikhlas pada Bapak. Tiap hari, banyak orang minta sumbangan. Hampir semua diberi. Makanya banyak yang tuman. Kami protes: “Pak, mereka itu cuma bohongin Bapak!”. Jawabnya: “Iki uang titipan untuk rakyat. Perkara rakyat itu bohong, itu urusan dia dengan Allah!”.
Waktu minta dibayarin S-2, Bapak bilang: “Kamu cari beasiswa utk S-2. Siapa temen-mu yang butuh dibiayai, Bapak yang mbayari, sedekah atas namamu.” Waktu Anit (Anita Wahid) berantem sama Yenny (Yenny Wahid), dan nggak mau pulang ke Ciganjur, Bapak datang ke kost-nya di Depok. Bapak yang melerai hatinya. Waktu aku nangis karena kesel sama Mama, Bapak mengingatkanku: “Ingat-ingat selalu, kamu dan adik-adikmu bisa sekolah karena Mama jualan kacang dan es lilin. Mama nggak pernah mengeluh, (karena) Bapak nggak bisa kasih uang”.
Kenangan terindah adalah mendampingi Bapak berdua saja ke luar negeri untuk seminar-seminar. Beliau di Business Class, saya di Economy Class. Tega ya? Forum 2000 adalah perjalanan paling berkesan. Di Praha, Bapak semeja dengan Simon Peres, Dalai Lama, Prince Hassan bin Talal, Vaclav Havel. Juga ada Nelson Mandela, Elie Wiesel. Mereka share visi dunia di milenium baru. Mereka begitu menghormati Bapak. Di Praha itu (jauh sebelum jadi Presiden), kami bertemu dengan banyak keluarga PKI yang terbuang. Mereka mengeluh rindu keluarga, tanah air. Waktu ngobrol tahun 1995, kata Bapak: “Milenium baru yang paling dibutuhkan bangsa adalah pendidikan yang berkualitas, karena butuh cara pikir baru.” Menjelang lulus kuliah, Bapak bilang: “Bapak nggak masalah lho kalau kamu mau ngejar karir dan nggak ingin menikah..”. Tragedi Mei 1998 terjadi ketika Bapak baru saja stroke berat. Tiap hari marah-marah karena tidak bisa keliling. “Tempatku dengan masyarakat, bukan di rumah!!”. Tahun 1998, rumah Ciganjur seperti pengungsian. The house is open.. Banyak yang mencari petunjuk harus bagaimana di negara penuh angkara itu. Masa istana masa tergelap dalam hidup saya. Saya mendapat pelajaran: sebagai orangtua, apa pun keputusan kita berdampak besar dalam kehidupan anak-anak kita. Sepanjang hidupnya, saya tidak pernah melihat Bapak sebegitu tegang seperti waktu di istana itu. Hancur hati saya melihat itu. Saya bertanya kenapa Bapak harus ke Istana? Bapak menjawab: “Ini masa transisi berat buat Indonesia, Nak. Harus ada yang mentalnya kuat. Siapa lagi yang cukup kuat ngadepin ini sekarang?”. Saya belajar banyak tentang nilai sebuah perjuangan dari pilihan garis hidup Bapak. Semua pilihan ada konsekuensinya. My Bapak's greatest gift to me: “Not only he is my father, he's the father of my nation. He loved this country so much.” Cinta yang dilakoni Bapak dengan sungguh-sungguh pada bangsanya, sampai akhir hayatnya, dibalas cinta oleh banyak anak bangsanya. Bapak, I love you so much. And I know many people share this love with me, because you have touched their hearts & lives.. Bapak, semoga Allah menjagamu dalam Cinta-Nya, sebagaimana engkau menjaga kami dalam cintamu sepanjang hayat.
(Kesaksian Alissa Qatrunnada Wahid)
Kamis, 14 April 2011
Sejarah Sastra Periode 1961-sekarang dan Sajak-sajak Armaya
1. Sastra dan Politik
Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada di antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat a-politis. Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.
Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme sosials yang paling keras teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”, orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.
Yang paling bernilai diantara polemik-polemik itu karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah yang terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.
Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara lain HB Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.
Dalam gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.
Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham.
Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.
Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).
Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
2. Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang se Indonesia
Mei 1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketua : HB. Jassin, Redaktur penyelenggara : DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga sajak, kritik dan esai.
Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah tersebut.
Pengarang-pengarang cerpen dalam majalah sastra antara lain B. Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan lain-lain.
17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.
Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa-bangsa. (Jakarta, 17 Agustus 1963)
PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Manifes ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes itu mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.
Perkataan ‘Manikebuis’ menjadi istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.
Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan period ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, Abdul Kadir Zaelani Armaya (lebih dengan nama pena “Armaya” saja) dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit majalah Horison ynag dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin, terbit pula majalah cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.
3. Para Pengarang Lekra
Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.
Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat” yang dipimpin oleh NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai Apin. S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian “Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan.
Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar “Bintang” (timur) minggu yang resminya ialah koran Partindo.
Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.
Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncuk selaku dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain.
AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra. Sajak-sajaknya diterbitkan dengan judul “Rangsang Detik” tahun 1957 dan karangan-karangan Polemis dengan H.B Jassin dan lain-lain.
Bachtiar Siangin banyak menulis Sanoiwara, ia menerbitkan beberapa buku sandiwara, diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934. Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).
S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah” (1964).
Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962).
Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954). Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.
4. Para Pengarang Keagamaan
Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiraatmdja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur.
Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan Ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh Pembangunan. Dan kumpulan sajak delapan orang penyair Islam (Armaya (Abdul Kadir Zaelani Armaya, lebih dengan nama pena “Armaya” saja), Goenawan Moehamad, Djamil Suherman, Hartojo Andangdjaja, Muhamad Diponegora, M. Saribi AFN, Taufiq Ismail dan M. Yoesmanan) yang berjudul “Manifes” (1963 diterbitkan oleh penerbit Tintamas)”.
Sementara itu orang-orang Katolik mempunyai sebuah majalah bulanan kebudayaan umum yang terbit di Yogyakarta, basis yang terbit sejak tahun 1951, tetapi baru pada paruh kedua tahun lima puluhan memberikan perhatian dan tempat yang lebih banyak buat masalah sastra dan karya-karya sastra.
Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M, B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro dari agama Islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakti Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.
5. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani
Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abduk Wahid Sitomorang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain.
Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.
Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.
Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan)”.
6. Beberapa Pengarang
a. B. Soelarto
Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi dari orang-orang Lekra. Kemudian drama itu ditulis dalam bentuk novel yang berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai Pustaka juga menerbitkan sramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).
b. Bur Rasuanto
Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai dan roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam menjadi wartawan Perang Harian Kami. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Bumi Yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajaknya berjudul Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan stensil. Romannya berjudul Sang Ayah (1969), dan Manusia Tanah Air.
c. A. Bastari Asnin
Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja sebagai anggota redaksi Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan yaitu Ditengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.
d. Satyagraha Hoerip Soeprobo
Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai tentang kebudayaan. Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang suami politikus. Ia juga pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi Bisma. Tahun 1969, ia muncul sebagai editor sebuah buku Antologi Eser Sekitar Persoalan-Persoalan Sastra yang memuat esai karya Asrul Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.
e. Gerson Poyk
Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya sebuah roman pendek berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.
Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.
Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan, Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.
7. Beberapa Penyair
a. Taufiq Ismail
Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini, beliau memakai nama samaran Nur Fadjar. Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28 Februari 1966 dan diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psycholohi. Kali ini Taufiq sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.
Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan harganya, ongkos bis kota dinaikkan lima kali lipat. Tanggal 24 Februari kabiner Dwikora yang baru dan malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan ditantik. Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif Rahman Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan pelajar lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan dan orang yang mengiringi jenazahnya pe pekuburan sangat banyak.
Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Tirani yang menggugah rangsang emosional pembacanya secara meluas.
Peristiwa di Skeretariat negara (penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka) direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’. Penembakan Arif Rahman Hakim direkamkan dalam sajak ‘Karangan Bunga’, Salemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya’.
Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.
b. Goenawan Mohamad
Dikenal sebagai penulis esai yang tajam dan penuh dengan kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair berbakat dan produktif. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa kata banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jafi Kecil, Kota pun jadi Putih’ (Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki yang Roboh di Taman ini ?’ (Basis 1964).
Juga masalah agama banyak menjadi tema. Situasi kehidupan agama menyebabkan ia berpendapat : “………manusia tak lagi bebas, di mana agama bukan lagi merupakan kekuatan rohaniah, tetapi sudah merupakan kekuatan jasmaniah yang mengontrol tindak tanduk manusia. Manusia lama-kelamaan tidak lah menyembah Tuahn, tetapi menyembah agama dengan segala aturan-aturannya yang mendetail”. Selanjutnya ia berkata: “Tak lain adalah bersikap kreatif yang membawa kita ke arah cara berfikir yang dialektik, sehingga segala macam ortodoksi setapak demi setapak akan luntur, dekimian pula segala macam fanatisme dan segala bentuk sektarisme. Bagi kehidupan keagaman itu sendiri sikap kreatif itu amat diperlukan untuk membawa agama kearah modernisasi dalam cara berfikir dan dengan demikian, juga modernisasi seluruh masyarakat” (Horison 1966).
Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak da esai-esainya belum diterbitkan sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afn.
Penyair-penyair lain
Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat majalah-majalah sekitar tahun enam puluhan. Selain itu, beliau juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.
Sapardi Djoko Damono menulis sajak yang kesederhaan pengucapannya langsung menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan judul “Duka Mu Abadi”.
Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu-dua sajaknya pada masa itu. tetapi baru setelah ia bermukim di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah. Selain itu, ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan seni umumnya.
Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W.M, Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.
Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya Kamal Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing” (1965), dan Rachmat Djoko Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten) menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air” (1967) dan Slamet Kirnanto menerbitkan “Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).
8. Para Pengarang Wanita
Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswandi, Ernisiswati Nutomo, Enny Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soerharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.
Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962). Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan “Kalimutu” merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua Kerinduan” (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa depan.
Sugiarti Siswandi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya “Sorga di Bumi” terbit tahun 1960. Disamping itu masih banyak lagi cerpen-cerpennya yang lain belum dibukukan.
Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah Sastra. Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis cerpen dengan produktif dalam cerpen-cerpen Titis banyak dilukiskan sifat dan tabiat wanita yang kadang-kadang tak terduga, merupakan misteri.
Enny Sumarjo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia telah menrbitkan sebuah roman berjudul “Sekeping Hati Perempuan” (1969).
Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961). Tetapi sajak-sajak itu tak lebih dari pada hanya menjanjikan kemungkinan saja, seperti juga dengan sajak-sajak Dwiarti Mardjono yang dimuat dalam majalah sastra.
Yang menulis sajak lebih dewasa dan lebih baik ialah Isma Sawitri dan belakangan ini Toety Heraty Noerhadi. Isma Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain pada awal tahun enam puluhan. Kumpulan kwatrinnya yang diberinya berjudul “Kwatrin” terdiri dari lebih 100 buah, sedang menunggu penerbitannya. Sambil terus mengikuti kuliah di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta ia lama menjadi anggota redaksi surat kabar Angkatan Bersenjata, kemudian pindah ke Pedoman.
Toety Heraty Noerhadi yang kalau menulis mempergunakan Toety Heraty, dilahirkan di Bandung tahun 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam Horison. Ia merupakan seorang sarjana psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis esai.
9. Drama
Penulisan drama pada masa dulu lebih banyak dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang drama baru lebih erat hubungannya dengan pementasan. Para penulis drama kebanyakan ialah orang-orang yang aktif dalam bidang pementasan, baik sebagai sutradara maupun pemain. Contoh pengarang drama:
1. Mohamad Diponegoro seorang ketua group drama teater muslim di Yogyakarta. Contoh karyanya antara lain : Iblis, Surat pada Gubernur. Dia juga dikenal sebagai penulis cerpen dan penerjemah ayat-ayat Alquran secara puitis. Namun sampai sekarang karnyanya belum diterbitkan.
2. M. Yunan Helmy Nasution ketua Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI).
3. Saini K.M seorang penyair juga pemain teater Perintis Bandung.
4. B. Soelarto dengan karyanya Domba-domba Revolusi.
5. Arifin C. Noer aktif di teater Muslim dan group drama di Yogyakarta tahun 1968 dia pindah ke Jakarta dan membentuk Teater kecil.dua aktif sebagai sutradara dan pemain. Ia banyak menulis sajak, drama, kritik dan esai. Bahkan dramanya yang berjudul “Matahari di sebuah Jalan Kecil” dan “Nenek Tercinta” mendapat hadiah sayembara penulisan drama teater Muslim tahun 1963.
10. Esai
Pada angkata 45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari. Setelah itu bermunculan penulis-penulis esai dan yang paling dikenal Iwan Simatupang. Dia banyak melontarkan gagasan-gagasan dan perspektif-prespektif baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-majalah yang pertama memuatnya hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan sastra telah diterbitkan oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul “Antologi Esai sekitar persoalan Sastra (1969).
11. Armaya, Salah Satu Penggagas Manifes Kebudayaan
Armaya (Abdul Kadir Zaelani)
Armaya, yang bernama lengkap Abdul Kadir Zaelani, terkenal sebagai salah satu di antara sederet sastrawan bersejarah dan berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia sejak tahun 50-an. Kecintaan dan eksistensinya di dunia tulis-menulis, baik sastra maupun kajian-kajian budaya dan sejarah Banyuwangi (tempat kelahirannya), tidak terbantahkan. Di pertengahan tahun 1980-an, Armaya pulang ke Banyuwangi dari perjalanan studi dan pekerjaan. Di kota-kota yang pernah ditinggalinya, Armaya menulis. Armaya juga mengelola media-media sastra dengan uangnya sendiri. Dia berkeyakinan, bahwa dengan membiayai media tulis-menulis meski dengan terbatas, berarti telah beramal bagi peradaban sebagai ibadah. Militansi dan kecintaannya inilah yang menjadi aset penting sebagai “benteng pertahanan” idealis dunia menulis.
Armaya pernah bersekolah di sebuah SMA Katolik di Solo. Sahabat sekelasnya adalah WS. Rendra. Menurut cerita yang pernah disampaikan WS. Rendra, bahwa sahabatnya, Armaya, adalah orang yang sangat konsisten. Masih menurut WS. Rendra, Armaya terkenal tegas namun pemaaf, dermawan dan menyukai binatang. WS. Rendra terkenang ketika dia, waktu itu, mencintai seorang gadis Solo, dia meminta sahabatnya, Armaya, untuk mengantarkan surat cintanya buat gadis yang ditaksirnya itu. “Armaya sangat berjasa buat saya secara pribadi. Armaya juga sangat berjasa menghidupkan dunia tulis di tempat kelahirannya. Saya pernah diundangnya dalam peluncuran buku puisi penyair-penyair Banyuwangi dan Bali di Banyuwangi pada tahun 1998. Saya sangat berharap Armaya tetap mendanai media tulis di tempat kelahirannya itu. Saya kangen Armaya,” kata WS. Rendra ketika masih hidup. Dari “jasa pos” surat cinta oleh Armaya itu, akhirnya WS. Rendra berhasil menikahi gadis yang dicintainya kemudian dikarunia beberapa orang anak.
Sebagai seorang sastrawan berpengaruh, karya-karya Armaya banyak dimuat di media-media bersejarah di negeri ini, seperti di Sastra, Siasat, Konfrontasi, Bendera Sastra di Bandung tahun 1980-an yang dikelolanya, dan dalam antologi puisi bersama Goenawan Mohammad, Hartojo Andangdjaja, dll. Mansur Samin, Taufiq Ismail dan HB. Jassin adalah orang-orang yang mengenal Armaya cukup baik. Karya-karya Armaya banyak didokumentasikan oleh HB. Jassin. Armaya sendiri, sebagaimana kebiasaan kebanyakan penulis, tidak cukup mendokumentasi karya-karyanya sendiri, dokumentasinya buruk. Namun, Armaya menerbitkan karya-karya penulis-penulis lain di tempat kelahirannya (Banyuwangi) dengan senang hati dan dengan biayanya sendiri. Itu dilakukan Armaya, tak lain sekadar untuk mendokumentasikan karya-karya agar tidak hilang. Tidak ada tujuan untung-rugi, melainkan itu dilakukan Armaya dengan tulus. Tulisan-tulisan Armaya juga dimuat sebagai tulisan inspiratif di Jambi, tempatnya bekerja di tahun 70-an. Armaya juga pernah menjadi dosen Bahasa Indonesia di IKIP Jambi.
Selepas dari SMA Katolik di Solo, Armaya tidak pulang ke kampung kelahirannya. Dia merantau, kuliah di Jakarta pada Universitas Indonesia (UI) jurusan Ilmu Hukum, kemudian pada periode berikutnya ia tercatat sebagai pegawai pemerintah di Jambi, kemudian Bandung, Jakarta dan terakhir (di masa pensiun) Armaya kembali ke Banyuwangi pada pertengahan tahun 1980-an. Nama Armaya tidak asing lagi dalam sejarah sastra di tanah air. Dia adalah salah satu sastrawan (penulis) dan sekaligus penggerak kebudayaan. Tidak banyak penulis yang mengorbankan dananya untuk sastra dan budaya, dan Armaya salah satu di antara yang tidak banyak itu. Dan Armaya adalah penting. Langka dan keberadaannya sangat berarti. Karya-karya Armaya di awal-awal kepenulisannya adalah karya-karya yang sudah sangat matang dan diperhitungkan. Puisi-puisinya eksotis dana sederhana namun dalam dan orisinil. Armaya juga menulis naskah-naskah drama radio. Beberapa penyair terkemuka kita, seperti Hartojo Andangdjaja, Taufiq Ismail, Mohammad Diponegoro, dan Goenawan Mohammad mengaku banyak terpengaruh dan terinspirasi oleh karya-karya Armaya. Kemudian beberapa generasi sastrawan berikutnya dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia pun banyak terpengaruh atau terinspirasi oleh karya-karya Armaya. Itulah karenanya, nama Armaya termasuk salah satu nama yang karya-karyanya memiliki pengaruh, sehingga menempatkan Armaya sebagai salah satu dari sejumlah sastrawan Indonesia yang berpengaruh.
Di tahun 60-an, di mana pernah terjadi Polemik Kebudayaan yang kita kenal dengan Manikebu, Armaya adalah salah seorang yang sangat diincar oleh kelompok Lekra. Tanpa mungkin disadarinya, Armaya memiliki sejumlah pendapat dan pendirian yang sangat cemerlang tentang kebudayaan. Bersama WS. Rendra, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail dan Hartojo Andangdjaja, Armaya menyuarakan sikap tegas menolak terhadap membredelan karya-karya atasnama politik. Armaya berpendapat, bahwa karya dan pendirian kebudayaan hanya dipertimbangkan oleh ruang dan waktu serta masyarakat, bukan oleh kekuatan politis dan kepentingan tertentu. Dengan demikian, Armaya sangat membenci pembatasan atau pembrdelan karya oleh persoalan politik, bahkan dia sangat tidak menyukai pengekangan karya oleh masalah teknis sehingga karya-karya tersebut menjadi gagal terdokumentasikan. Walaupun Pramoedya Ananta Toer waktu itu termasuk “sastrawan Lekra”, namun Armaya tetap menghargai karya-karya Pram sebagai karya bermutu di Indonesia. Sikap obyektif Armaya inilah yang membuat sebentuk pusaran baru yang di dalamnya tercatat nama-nama seperti WS. Rendra, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, dll. ke dalam arus pemikiran Armaya. Armaya adalah pelopor, dan mungkin ini tidak ia sadari. Untuk itulah, sejarah sastra Indonesia harus melakukan penelusuran yang sangat mendetil pada wilayah geo-sosiologis, sehingga nama sepenting Armaya tidak terlepas dari catatan.
Sikap Armaya yang bersahaja dan penuh perhatian meskipun dengan gaya yang terlihat cuek, membuat sejumlah penulis-penulis kenamaan kita merasa nyaman dengannya. Di samping karya dan pemikirannya tentang seni-budaya yang orisinil dan memiliki pengaruh, dia tergolong orang yang sangat konsisten dan simpatik. Paling tidak demikianlah Goenawan Mohammad pernah menceritakan pengalamannya bersama Armaya. Di masa sulit, Goenawan Mohammad selalu dekat dengan Armaya. “Di antara para penulis waktu itu, Armaya itu paling banyak uangnya. Jadi, saya sering bersamanua waktu itu, saya ditanggungnya, makan dibayari, dan saya sering meminta beras untuk makan kepada Armaya. Saya sangat kagum kepada Armaya. Seperti pernah diceritakan Mas Willy (WS. Rendra), bahwa Armaya menghidupi media sastra-budaya di tempat kelahirannya. Itu luar biasa. Saya berharap Armaya tetap begitu,” kata Goenawan Mohammad suatu ketika kepada penulis. Seniman-seniman dan penulis-penulis terkemuka Indonesia sangat mengagumi Armaya, misalnya Ali Audah dan Syu’bah Asa yang meletakkan sebutan kepadanya sebagai seorang “pembela dan pemberi hidup” yang menyimpan komitmen membiayai media tulis di tempat kelahirannya, ini lantaran dengan penuh keyakinan, Armaya pulang kampong dan menarik diri dari pergulatan sastra nasional di Jakarta, namun dengan ketekunannya, justru media cetak sastra-budaya di tempat kelahirannya yang “lokal”, Armaya semakin memiliki fungsi penting di tengah kehidupan secara universal, lebih dari sekadar “nasional”, ia telah melampuai batas-batas ruang dan waktu, ia kokoh dalam gerakannya itu, yang oleh Syu’bah Asah disebut dengan istilah “sosok kuat yang secret narration”, kokoh dengan konsistensinya menghidupi tulisan-tulisan.
Armaya lahir di Banyuwangi pada 10 Juni 1930. tulisan-tulisan berpengaruh Armaya termuat di media-media berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia, yakni di Majalah Kisah, Berkala Siasat, Konfrontasi, Sastra, Indonesia Raya, Majalah Budaya (Yogyakarta), Koran Dwi Warna, (Surakarata), Koran Tribun Pemuda (Jakarata), Buletin Bendera Sastra (Bandung), dan lain-lain.
Mari kita simak puisi Armaya, sebagai berikut:
Kepada Sapiyah
Hari ini gerhana bersalam pagi
karena keduanya telah pada hatinya
padu dalam menerima kedatangan lelaki tualang
Lelaki miliknya bumi miliknya
nyanyi pohon manggis sendu bernaung keduanya
janji mewarna dalam kebenaran kata-kata: Hiduplah
Hanya dalam daerah ini aku bertahan pagi sekali
memandang jalan yang memanjang dari sisi kehidupan
kelahiran sajak-sajak padu dalam hijau matamu
Sumber:
Konfrontasi
Nomor: 18 Boelan Mei Tahoen 1957)
Berita dari Solo
bagi: Untung Kertapati dan Nanny, kasihnya.
Begitu diri pernah kedinginan dari lembah
Begitu kehidupan menyapa lalu mengunci diri terlalu kejam
Begitu ungu langit di mulutnya berbagi cerita
Lalu menebar kedamaian dalam diri sendiri
Lalu habiskan hari untuk satu kerajaan dunia
Lalu sama mendekati karena hijau rembulan pada keningnya
Jadi berdua pisahkan kuning lembah yang memucat
Jadi kehijauan hutan bersenyawa pada dirinya
(Sumber:
Konfrontasi
Nomor: 18 Boelan Mei Tahoen 1957)
Sumber Tulisan: http://duniasastra.com
Armaya,
Sang “Penjaga Gawang” PSBB
Oleh: Komang Harbali
Kepekaan rasa yang telah terasah sejak remaja, membuatnya mampu melahirkan tulisan-tulisan sejak kecil. “Penjaga Gawang” Pusat Studi Budaya Banyuwangi ini telah menyandarkan gelar penyair dan budayawan gaek dan banyak menimba inspirasi dari lingkungan sekitar.
Semua berawal dari kota Surakarta, Jawa Tengah. Setelah tamat dari SMP, Armaya yang bernama lengkap Haji Abdul Kadir Zaelani Armaya ini melanjutkan sekolahnya di SMK Santo Yosef di kota yang sama, dan tamat pada tahun 1952. Pak Haji Armaya—demikian kalangan penyair dan budayawan Banyuwangi memanggilnya, lalu melanjutkan ke Universitas Indonesia di Jakarta pada fakultas hukum.
Semasa sekolah di SMK Santo Yosef di Surakarta inilah, jiwa kepenyairannya bangkit. Ketika itu ia mengasuh majalah sekolah Vita, yang sekaligus menjadi media baginya untuk menulis puisi, cerpen serta naskah drama remaja. Di sekolah itu pula, Armaya muda bergaul dengan penyair “Si Burung Merak”, WS. Rendra. Pada saat pendirian Lembaga Seni Sastra, Armaya muda menjadi ketua untuk wilayah Surakarta, dan WS. Rendra sebagai ketua wilayah Yogyakarta.
Ketika itu ia sanga produktif menulis karya sastra, khususnya puisi dan cerpen, hingga ia duduk di perguruan tinggi. Beberapa tulisannya telah dimuat di Kisah, Gelanggang, dan Siasat pada ruang sastra yang diasuh oleh HB. Jassin. Semasa itu, semasa di Surakarta, tulisan-tulisannya juga dimuat di Koran Dwi Warna, tepatnya pada kolom Sumbangsih yang diasuh oleh DS. Moeljanto, serta kolom Simposium yang diasuh oleh Hartojo Andangdjaja bersama Mansur Samin.
Armaya sangat aktif mengikuti berbagai seminar, konggres, dan berbagai pertemuan yang berhubungan dengan sastra dan kebudayaan selama kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta. Ia pun sempat menjadi wartawan free line, di mana pada saat itu ia banyak mendapatkan pengalaman dalam menuangkan ucapan dan pikiran ke dalam tulisan dengan baik dan tepat. Ia mengaku, pengalamannya di dunia sastra dan jurnalistik sangat membantunya dalam pencarian dan pembentukan diri sebagai seorang penulis.
Tahun 1973-1978, Armaya ditugaskan sebagai Kepala Humas pada Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, Jambi. Selama tinggal di Jambi, ia selalu melakukan kegiatan sastra dengan mengisi Ruang Sastra dan Ruang Ilmu dan Seni di RRI Jambi. Di Jambi pula, ia sempat mengajar sebagai dosen Bahasa Indonesia di IKIP Jambi dan SPG Jambi. Tahun 1979-1986 ia bertugas di Bandung pada bidang Pendidikan Luar Sekolah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ia pensiun pada tahun 1986 dan kembali ke Banyuwangi pada tahun 1987.
Di tanah kelahirannya, Banyuwangi, Armaya mendirikan Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) sambil terus konsisten menulis dan mendanai penerbitan-penerbitan dengan dana pribadinya. Di PSBB ini pula ia memotori penerbitan antologi puisi berbahasa Indonesia maupun berdialek Banyuwangen, menerbitan majalah budaya, dan buku-buku. Selain itu, ia juga duduk sebagai penasehat Dewan Kesenian Blambangan Reformasi, bersama Mas Soepranoto. Penyair dan budayawan ini juga sering diundang sebagai pembicara dalam pelbagai pertemuan budaya. Pemikirannya orisinil dan kritis.
***
Armaya, Mengusung Nilai Sastra Bertendens
Oleh: Fatah Yasin Noor
Haji Abdul Kadir Zaelani Armaya. Saya pikir nama beliau yang panjang itu, cukup disingkat saja dengan sebutan baru: HAKA. HAKA, terus terang, mengingatkan saya pada nama tokoh ulama termasyhur Haji Abdul Karim Amrullah, ialah HAMKA. Saya tidak bermaksud Haji Abdul Kadir Zaelani Armaya dengan HAMKA, melainkan jelas, bahwa dua sosok manusia ini sama-sama memiliki dedikasi pada dunianya yang boleh dibilang sangat intens. Kita tahu kini HAKA telah banyak mencurahkan banyak perhatiannya pada dunia kesusastraan dan budaya lokal Banyuwangi. Diam-diam beliau banyak menulis tentang sejarah dan budaya Banyuwangi, selain masih juga menulis prosa, esai, cerita pendek, dan novelet. Menulis, bagi HAKA, adalah sebuah dunia yang sungguh mengasyikkan. Oleh sebab itu, bisa dimaklumi, walau ia memilih pulang kampung, tapi kebiasaan menulis terus berlanjut hingga sekarang. Dengan demikian kita menyadari, bahwa ada pandangan hidup yang tampak kokoh, yang berangkat dari kesetiaannya menekuni, menggeluti dunia pemikiran dalam teks. Buku-buku memang gudang ilmu yang tak pernah habis diungkap. Pandangan beliau tentang teks sastra adalah bahwa sastra itu haruslah mampu memberikan jalan kebaikan, mengusung kebenaran lewat potret kemanusiaan yang dalam. Artinya, bagi HAKA sastra dan budaya itu tak sekadar untaian kata-kata kosong yang tak bermakna. Di dalamnya harus ada pesan-pesan moral yang mengajak pembaca pada kebenaran. Dengan kata lain, karya-karya beliau, kalau saya amati, adalah karya-karya yang mengusung nilai sastra bertendens. Jenis sastra ini sangat dominan dalam khazanah sastra kita di jaman Pujangga Baru, yang dipelopori Sutan Takdir Alisahbana.
HAKA memilih kembali pulang ke kampung halamannya setelah mengembara lama di pusat-pusat budaya tanah air. Ada beberapa kawannya di Jakarta menyesalkan keputusan HAKA pulang kampung itu, tapi saya, sebagai generasi yang jauh di bawahnya, bisa memahami pilihan hidup seperti itu. Saya ingat tamsil ini: “sejauh-jauh burung terbang meninggalkan sarang, suatu saat ia akan kembali pulang”. Memang, ada kesan beliau seakan “tak tahan” bermain dalam percaturan seni di ibukota, yang konon sebagai pusat kebudayaan tanah air. Saya teringat ucapan Mas Willy, panggilan akrab WS. Rendra, saat ia pertama kali ia datang ke Banyuwangi. Rendra sengaja mampir ke Banyuwangi karena kangen sama HAKA, teman akrab sejak mereka pertama kali membangun komunitas di Solo, yang menurut pengakuan Rendra: “ikut menentukan perjalanan hidup di kemudian hari”. Ketika itu HAKA adalah pelajar SMK Katolik yang lagi-lagi menurut pengakuan Rendra, pernah menjadi kurir pengantar surat untuk Sunarti, putri keratin yang cantik dan menakjubkan. Dalam hal ini saya sekaligus bangga, bahwa ada seorang penyair mampu menaklukkan hati perempuan dengan puisi. Kata-kata puitis memang menjadi sihir, walau kadang bertolak belakang dengan kenyataan hidup peyair yang selalu bermasalah dengan penghidupan ekonominya. Kita tahu Sunarti akhirnya bisa dipersunting Rendra walau akhirnya mereka bercerai. Perempuan dalam kehidupan Rendra begitu tampak transparan, itu juga tercermin pada sajak-sajak cinta Rendra. Dalam hal ini sangat bertolak belakang dengan “watak”. HAKA yang sampai hari ini, kita tidak tahu banyak tentang perempuan dalam kehidupannya. Hasnan Singodimayan mengatakan ia adalah tipe laki-laki pemalu dan tidak ingin menonjolkan diri.
Tentu saja banyak kenangan menarik, suka duka, dan sejumlah anekdot mereka. HAKA pernah bilang akan menulis dan mengirimkannya ke Majalah Sastra Horison tentang kelucuan dan kekonyolan-kekonyolan itu. Horison tahun 80-an masih memuat rubrik tentang sastrawan dalam kroniknya. Tapi, sangat disayangan rubrik itu kini tak ada lagi di Horison, sehingga niatan HAKA untuk menulis pengalamannya itu tenggelam oleh kesibukannya yang lain.
Dan berkat bantuan HAKA pula, WS. Rendra mau datang lagi ke Banyuwangi, tanggal 24 Mei 1998, menyampaikan pidato budaya di Gedung Wanita dalam acara peluncuran antologi puisi “Cadik” (ed. Fatah Yasin Noor dan Samsudin Adlawi. Kelompok Selasa, 1997), sebuah buku kumpulan puisi 24 penyair Banyuwangi. Jauh-jauh hari, rencana kedatangan Rendra itu sempat dicekal penguasa karena suasana politik nasional yang memanas, aksi demo mahasiswa untuk menurunkan Soeharto. Sementara kita tahu WS. Rendra adalah salah satu ikon penggerak reformasi total waktu itu. Orasi-orasinya dalam kemasan puisi pamflet yang isinya menetang penindasan melambungkan namanya. Peristiwa lengsernya Soeharto tanggal 21 Mei 1998 itu barangkali berkah bagi saya sebagai ketua panitia penyelanggara peluncuran ”Cadik”. Sehinga tiga hari setelah peristiwa reformasi itu, acara berlangsung sukses. Situasi dan kondisi perpolitikan nasional sejak 21 Mei menyisakan chaos, perekonomian nasional semakin amburadul. Beberapa hari sebelum dan sesudah 21 Mei, HAKA ada di Jakarta, ikut aksi pelengseran Soeharto bersama kawan-kawan lamanya, seperti Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Rendra, dan sejumlah sastrawan dan seniman lainnya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ketemu Rendra di Jakarta, HAKA langsung menyerahkan dua buah tiket kereta api aksekutif untuk segera berangkat ke Banyuwangi.
HAKA ”terpaksa” pulang ke kampung halaman setelah kenyang mengembara dari kota ke kota, mulai dari Solo, Bandung, Jambi, dan Jakarta. Di Banyuwangi, sementara itu, telah terimbas juga oleh seni teater gaya urakan yang tengah ditawarkan WS. Rendra. Di pertengahan tahun 70-an itu, HAKA justru menjadi salah satu pelaku utama di wilayah pusat-pusat seni dan sastra tanah air. HAKA menjadi bagian dari komunitas kecil para sastrawan “pusat” itu, hingga tak mengherankan ia pun salah seorang penggagas lahirnya Manifes Kebudayaan. Sekarang banyangkanlah bagaimana sebuah komunitas kecil itu ikut menentukan corak kebudayaan, yang kini telah menjadi sejarah perkembangan sastra Indonesia. Para pelakunya selalu berada di pusat kesenian (Jakarta) dan kota-kota besar lainnya. Banyuwangi, sementara itu, seperti halnya kota kabupaten lainya, suaranya tak bisa ditangkap Indonesia. Dari Jakarta, Banyuwangi hanyalah sebuah titik yang begitu kelam, ia hanya sebuah wilayah lakal yang terus-menerus merayakan kesenian tradisional yang konon merupakan warisan paling berharga dari nenek moyang. Ia senantiasa menerima arus informasi satu arah, banyangkanlah bagaimana derasnya informasi dari Jakarta khususnya, sehinga kita yang di Banyuwangi lebih banyak tahu tentang kehidupan di kota itu tinimbang perkembangan yang terjadi di daerah kita sendiri. Kegiatan sastra dan budaya di Banyuwangi cukup puas dikenali oleh komunitas kecil di kalangannya mereka sendiri. Hal itu hanyalah persoalan publikasi, yang pada hakikatnya (publikasi media) tak ada sangkut pautnya secara ensensial. Kini, usia HAKA berkepala delapan lebih. Tapi Haji Abdul Kadir Zaelani Armaya justru masih produktif menulis. Kebiasan menulis yang sudah mengurat mengakar sejak masa remajanya. Taufiq Wr. Hidayat misalnya, sudah merasa mantap sebagai sastrawan, barangkali seperti HAKA muda dulu. Barangkali sudah jadi takdir manusia, bahwa ruang dan waktu ikut membatasi kemampuan makhluk-Nya. Bagi saya, HAKA muda adalah seorang penyair yang sangat berwibawa. Usia HAKA sekarang sudah kepala delapan. Tulisan-tulisan sekilas ini, saya pikir masih belum layak disebut biografi HAKA.
Tulisan beliau terbesar di pelbagi media cetak lokal maupun nasional, dan barangkali agak susah untuk mengumpulkannya lagi. Sejumlah tulisan beliau sebagian kecil sudah terselamatkan, itu pun kalau diterbitkan kembali akan menjadi sebuah buku yang sungguh sangat tebal, barangkali tak kurang dari ratusan halaman banyaknya. Kini memang jadi tugas PSBB mencari sponsor untuk menerbitkan karya-karya klasik HAKA yang berserakan di pelbangi media itu. Dalam hal ini, sangat terasa dokumentasi itu sangat diperlukan untuk mengusung sosok tokoh nasional seperti HAKA yang ikut mengukir sejarah kesusastraan kita secara utuh. Haji Abdul Kadir Zaelani Armaya sendiri mengaku kurang primpen mendokumentasikan tulisannya yang besar di media masa itu. Dokumentasi tentang beliau yang ada di Pusat Dokumentasi Budaya Banyuwangi (PDBB) dan PSBB sangat minim, tapi PDBB dan PSBB beruntung sempat menyelamatkan sebuah buku langka yang monumental, yakni antologi puisi ”Manifestasi”, penerbit Tintamas, Jakarta (1963). Buku itu memuat 30 sejak dari para penyair yang kini namanya terpatri dalam khazanah sastra Indonesia: Armaya, Goenawan Moehamad, Djamil Suherman, Hartojo Andangdjaja, Muhamad Diponegora, M. Saribi AFN, Taufiq Ismail dan M. Yoesmanan. Buku itu diberi pengatar oleh Ali Audah. Juga tulisan-tulisan beliau di Bendera Sastra (terbitan Bandung, 1980-an). Koran Mingguan Tribun Pemuda, di mana beliau manaruh rubrik seni Citra. Posisinya sebagai “penjaga gawang” seni dalam rubrik Citra itu membuatnya harus menulis usulan tentang beragam karya seni, buku-buku sastra yang terbit waktu itu. PSBB memang merasa perlu mengumpulkan lagi teks-teks HAKA itu, barangkali untuk memperoleh dokumen yang lengkap kita harus memburunya sampai ke Perpustakaan Nasional, Jakarta, atau di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin. Di Banyuwangi, kita beruntung masih menemukan beberapa tulisan beliau yang disimpin oleh Pak Chozin Djauhari.
Sebagian dari mereka, kita tahu, sudah tiada. Saya teringat bagaimana mata HAKA berkaca-kaca saat mendengar penyair ”Perempuan-perempuan Perkarsa”, Hartojo Andangdjaja meninggal dan Si Burung Merak, Rendra yang juga telah tiada. Akhirnya, saya pun ikut sedih apalagi saat ia mengisahkan sosok temannya itu yang pendiam, menyesal ketika diberitahu Hartojo tidak makan selama dua hari karena kehabisan uang, padahal beliau waktu itu ada di Jakarta. Tampaknya peristiwa ”penyesalan” itu jadi ingatannya yang terus melekat sampai sekarang.
***
“Dialog” Armaya
yang Nyata
Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
Kami memanggilnya Pak Haji, panggilan akrab untuk H. AK. Armaya, SH. Mari sejenak menenggelamkan diri dalam sebuah sajak Armaya berjudul “Dialog”.
Di bukit Jayagiri yang biru
kujamah kesetiaannmu yang lugu
dan memasuki hari penuh bicara
dan berkepanjangan
Sumber:
Buletin Bendera Sastra.
No.01, Januari 1982.
Terbit di Bandung)
Dalam puisi Pak Haji yang pendek itu, menjelas khasnya yang kental. Sosok Armaya adalah sosok yang penuh kesetiaan di dalam ketegasannya menentukan pilihan. Dan pilihannya adalah sastra, budaya, sejarah. Dalam sajak pendek yang ditulisnya di tahun 1982 itu, melekat sifat dan ciri khasnya. Kami mengenal Pak Haji sebagai tokoh yang tidak banyak bicara, namun beliau konsisten. Pak Haji mencintai ilmu, sehingga beliau sangat menyukai adanya adu argumentasi yang logis di dalam mempertahankan suatu pendapat dan kebenaran yang diyakini. Benturan argumentasi dalam mempertahankan pendapat dan kebenaran yang diyakini itu, menurut beliau, akan melahirkan pemahaman-pemahaman baru dalam suatu pengetahuan, juga menciptakan semangat belajar. Hal itu dapat ditempuh dengan adanya sebuah dialog. Bukan monolog.
Pengertian dialog dalam sajak pendek Pak Haji itu, jika kita pahami secara harfiah adalah saling menukar sebentuk pengala-man, wawasan, kebenaran, dan entah apa lagi antarorang dengan pengertian dan pendirian yang berbeda-beda. Dan dengan dialog, kita akan saling menghargai keberbedaan pengertian dan pendirian itu. Dialog pun memantapkan kita dalam memahami suatu kebena-ran, suatu pandangan, suatu peneguhan karena hal-hal tersebut diuji bersama-sama. “Kujamah kesetiaanmu yang lugu”, baris kedua. Bahwa dengan “kesetiaan yang lugu”, yakni ketetapan pendirian dan kejujuran juga kerendahan hati, maka suatu dialog akan terba-ngun, kita berbicara dan mengurai pelbagai hal yang tak pernah se-lesai dalam kehidupan nyata sehari-hari. Akan terbangun kesadaran dan memunculkan hikmah-hikmah. Dan tulisan (teks) mengabadi-kannya dengan senyata-nyatanya melalui ruang dan waktu (sejarah).
Sejak di Solo, Pak Haji tidak pernah berhenti bersastra. Di mana pun beliau berada, beliau menulis dan terus menulis serta mendanai penerbitan-penerbitan. Karya-karyanya dimuat di media-media sastra dan budaya bersejarah dan berpengaruh di negeri ini, di Siasat, Sastra, Konfrontasi, dll. Dalam buku Leksikon Sastra Indonesia, nama beliau (Abdul Kadir Zaelani Armaya) bersanding dengan nama-nama sastrawan legendaris Indonesia, seperti Armijn Pane, Taufiq Ismail, Hartojo Andangdjaja, WS. Rendra, dll. Pak Haji menulis pada tahun 1940-an. Beliau adalah pemuka, bersama WS. Rendra, Mansur Samin, Hartojo Andangdjaja, dll. Kesetiaan dan pilihannya yang kokoh terhadap dunia tulis-menulis membuat-nya tidak berhenti berkarya, mengkaji, berdiskusi. Beliau tidak ingin kebebasan berkarya terkurung oleh sempitnya media. Memang kita ketahui, bahwa amat jarang sekali media cetak yang mendedikasikan halaman-halamannya untuk karya-karya ideal termasuk sastra. Dengan melihat kenyataan itulah, Pak Haji menghi-bahkan dana pribadinya untuk penerbitan Buletin Jejak, Majalah Budaya Jejak, Buletin Baiturrahman, LK, dan penerbitan buku-buku (hanya menyebut beberapa media yang dengan setia dihidupi oleh Armaya di Banyuwangi). Sebelumnya beliau juga menerbitkan media-media seperti Bendera Sastra di Bandung pada tahun 80-an, dll. Eksistensi dan kesetiaannya inilah yang merupakan aset bermutu bagi sejarah, dan membuat para kreator tidak terjebak pada miskinnya media-media cetak yang sebagian besar tidak menerima tulisan-tulisan ideal. Dan PSBB tiap bulan memberikan ruang seluas-luasnya untuk tulisan-tulisan ideal dalam penerbitan LK, sehingga kita tidak berkecil hati di dalam mengisi perjalanan sejarah.
“Dialog” Pak Haji mengajak kita pula untuk menghubungkan diri dengan segala sesuatu yang berada di luar diri sendiri. Mari berdialog, merumuskan segala hal, mempertemukan perbedaan da-lam keharmonisan yang wajar dan indah. Pak Haji akan terus kon-sisten mencetak dan menerbitkan tulisan-tulisan ideal kita yang berbentuk sastra, budaya, sejarah atau tema-tema lain selama itu memiliki nilai ideal dan patut untuk diketengahkan di tengah ke-ringnya kehidupan dari nilai-nilai ideal. Pak Haji pun mengajari kita untuk jujur pada suatu pilihan hidup dan memperjuangkannya dengan sepenuh hati demi mencapai manfaat bagi sesama. Saya pun teringat kata-kata Pak Haji Armaya pada sekali waktu: “Saya tidak akan berhenti mengeluarkan dana untuk keberlanjutan penerbitan dan kegiatan-kegiatan sastra, budaya, atau sejarah melalui PSBB. Walaupun terbatas, tapi eksis atau rutin. Jangan sampai tidak ada yang kita kerjakan. Tiap bulan harus ada yang diterbitkan, sekali waktu harus ada kegiatan untuk merayakan kreatifitas. Mengenai penilaiannya, kita serahkan kepada Tuhan dengan ikhlas,” kata beliau. Dan kami, sebuah komunitas kecil di Banyuwangi, akan terus menulis, berkarya dan terus berkarya. Dan Pak Haji selalu gembira dengan adanya penulis-penulis baru dan bersemangat berkarya yang bermunculan. Ini menjadi sebuah ibadah. Amin.
Banyuwangi, 2011
***
Tentang “Anang Ayak”
(H. AK. Armaya)
Oleh: Basuki Rosyidi
Banyuwangi mungkin lebih dikenal dengan “Kota Santet”, padahal selain santet yang terdengar bernada negatif, masih banyak hal-hal positif yang belum diketahui. Budayanya, masyarakatnya, dan penyair-penyair kota ini yang mampu membius warga Banyuwangi dengan biusan kata-kata indah dari puisi-puisi mereka. Untuk kali pertama, dengan penuh rasa hormat saya menyebut KH. Abdul Kadir Armaya, SH., Sang Empu Sastra Banyuwangi dan Sang Kyai Budaya, yang biasa dipanggil dengan sebutan Anang Ayak (Kakek Ayak) oleh remaja seumuran saya atau Om Ayak oleh Ibu-Bapak saya.
Anang Ayak yang disebut berusia Abu Bakar bersemangat Sayyidina Umar oleh Abdullah Fauzi yang juga merupakan salah seorang penyair Banyuwangi, memang penuh semangat. Beliau yang juga teman sekolah WS. Rendra, Hartojo Angdangdjaja (alm), Goenawan Mohammad, Taufik Ismail adalah jebolan Fakultas Hukum UI. Lahir di Banyuwangi, 10 Juni 1930. Tahun 1984, sepulang dari merantau ke pelbagai daerah di Indonesia untuk memenuhi hasrat seni dalam tubuhnya, Anang Ayak kembali ke tanah kelahi-rannya dengan menenteng berkopor-kopor pengalaman. Gebrakan awal, beliau membuka pelatihan penulisan naskah drama di Aula Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Setelah itu masih wira-wiri Jakarta-Banyuwangi (Abdullah Fauzi dalam “Bunga Rampai Esai, Armaya, Fajar Kebudayaan Banyuwangi, 2004: 2). Anang Ayak di usia senjanya semakin hari semakin kinclong, semakin bersinar dengan karya-karyanya yang tak pernah mati. Kontras dengan warna tubuhnya yang kurus dan gelap. Selain jagoan membuat esai, naskah drama, cerpen, beliau juga tak kalah jago membuat puisi. Ada beberapa judul puisi yang dimuat dalam “Armaya, Fajar Kebudayaan Bayuwangi” Bunga Rampai Esai, di antaranya:
1. Bila Aku Pulang (buat ibu & yunda)
2. Kepada B. B
3. Kepergian
4. Pedan
5. Dialog
6. Pijoan
7. Cinta dalam Nyanyian
8. Dadapan
9. Nostalgia
10. Berkemah
11. Renungan Panjang
12. Tiada dalam Ada
13. Nyanyian Sejarah
14. Suara Itu di Sana
15. Segenggam Permata
16. Lapangan
Dari sekian judul yang menarik hati adalah “Cinta dalam Nya-nyian”, sekilas isinya seperti menceritakan Anang Ayak. Mari kita intip bersama-sama puisi “Cinta dalam Nyanyian”.
Cinta yang biru
Cinta yang kelabu
dalam sepotong nyanyian
Bayangan hari ini
mengusap wajah
mengusap sejarah
Di sini dalam hati kotaku
Banyuwangi yang berderai
mandi keringat
mencari masa lampau yang hilang
dan masa kini penuh polusi
Cerobong pabrik kertas Basuki Rachmad
kota yang kering kerontong oleh panas
dan pantai selat bali tak banyak bicara
selain debur ombak dan angin gersang
Kelepak sayap burung camar
saling berpacu dengan perahu nelayan
di pantai banyuwangi yang sunyi
menembus polusi, di kota kesayangan
Dan aku terus berjalan
dalam menyimpan cinta dalam nyanyian
cinta yang biru
cinta yang kelabu
sambil menatap burung camar
dan angin berlalu
Banyuwangi, 1981
Anang Ayak dengan sejuta pesona aura dalam dirinya mampu menyihir semua orang dengan ketajaman dan kesederhanaan dalam puisi-puisinya, yang tercermin juga dalam puisi “Cinta dalam Nyanyian” ini. Agar kita lebih mencintai Anang Ayak seperti Anang Ayak mencintai kita, kurang lengkap rasanya jika kita tidak men-cari tahu makna dalam puisi “Cinta dalam Nyanyian” ini.
Menganalisis puisi bertujuan memahami, menangkap dan memberi makna kepada teks sastra. (Pradopo, 2007: 124). Pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budayanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abraham dalam Prado-po, 2007: 254). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak lepas darinya (Pradopo, 2007: 255).
Begitu juga dengan Anang Ayak yang menjadi bagian dari masyarakat Banyuwangi tidak akan lepas dari pengaruh sosial-budaya masyarakat Banyuwangi. Terlihat sekali dalam puisinya kali ini, Anang Ayak seolah resah dengan aroma kota Banyuwangi yang mungkin sebelum ditinggalkannya merantau ke pelosok Nusantara adalah sebuah kota kecil “kulon gunung wetan segara”, namun saat ini yang terhirup adalah kerikil-kerikil polusi dan nada-nada kebisingan.
Di sini dalam hati kotaku
Banyuwangi yang berderai
mandi keringat
mencari masa lampau yang hilang
dan masa kini penuh polusi
Semua kata yang Anang Ayak tulis dalam puisi “Cinta dalam Nyanyian” adalah sebuah pelampisan, rasa kesal, dan segala rasa yang bergumul bersatu mengalir bersama aliran darahnya, ikut serta berpacu dengan jantung, berpacu dengan deru polusi, terbang bersama awan-awan kegelisahan, tapi Anang Ayak tetaplah Anang Ayak yang akan terus berjalan di atas duri-duri tajam yang disebar zaman, menahan perih demi perubahan.
Dan aku terus berjalan
dalam menyimpan cinta dalam nyanyian
cinta yang biru
cinta yang kelabu
sambil menatap burung camar
dan angin berlalu
Semoga tidak berlebihan jika saya menyebut Anang Ayak adalah sosok pemoles Banyuwangi, yang memoles hutan rimba dunia sastra, sejarah, dan budaya di kota ini dengan pensil warna emas, sehingga membuat geliat sastra yang mati suri kembali berdiri. Beliau mendedikasikan dana pribadinya untuk penerbitan-penerbitan dengan tanpa berhitung. Dan untuk itu, Anang Ayak tidak mengharapkan apa-apa selain hanya demi manfaat bagi sesamanya. Beliau selalu berkata: “Semua ini biarlah Tuhan yang menilainya”. Anang Ayak, kami bangga memilikimu.*
***
Sastra pada hakikatnya adalah pengucapan tentang kebebasan, apa pun bentuk sastra yang diungkapkan semuanya sah. Mungkin orang bilang bahwa dalam sastra harus ada idea, harus ada tanggungjawab, harus indah, harus ekspresif, dan sebagainya. Sekali lagi apa pun yang diharuskan dalan sastra, dan wujud yang dihasilkan adalah sah sebagai karya sastra. Seorang sastrawan bukan karena besar bicaranya, bukan pula besar koneksinya, dan lain-lain, tapi dia menjadi besar karena karyanya. Karena apa yang diungkapkan dalam karya sastranya, yang merupakan pengucapan kemerdekaan dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dan dalam sastra tidak ada monopoli-monopoli, siapa saja boleh tampil berkarya dan sah.
Jayagiri, Juni 1982
Armaya
***
Elegi
Burung terbang melayat senja merah-merah ujung musim
sayap menciumi kaca-kaca langit mengelam hati tak berusia
guntur mencoreti kilat perak pagi tak berfajar
mengurung diri dukana mencelup bagi kehadiran
karena darah mengeristal daerah bongkah-bongkah kelanjutan
hanya membawa kenang beku di pangkuan perempuan
karena tak berumah kemanddulan bukit-bukit pagi
dalam memandang bumi yang tak seindah kemarin
Sumber:
Konfrontasi
Nomor: 18 Boelan Mei Tahoen 1957)
* * *
Kepada Sapiyah
Hari ini gerhana bersalam pagi
karena keduanya telah pada hatinya
padu dalam menerima kedatangan lelaki tualang
Lelaki miliknya bumi miliknya
nyanyi pohon manggis sendu bernaung keduanya
janji mewarna dalam kebenaran kata-kata: Hiduplah
Hanya dalam daerah ini aku bertahan pagi sekali
memandang jalan yang memanjang dari sisi kehidupan
kelahiran sajak-sajak padu dalam hijau matamu
Sumber:
Konfrontasi
Nomor: 18 Boelan Mei Tahoen 1957)
* * *
Berita dari Solo
bagi: Untung Kertapati dan Nanny, kasihnya.
Begitu diri pernah kedinginan dari lembah
Begitu kehidupan menyapa lalu mengunci diri terlalu kejam
Begitu ungu langit di mulutnya berbagi cerita
Lalu menebar kedamaian dalam diri sendiri
Lalu habiskan hari untuk satu kerajaan dunia
Lalu sama mendekati karena hijau rembulan pada keningnya
Jadi berdua pisahkan kuning lembah yang memucat
Jadi kehijauan hutan bersenyawa pada dirinya
Sumber:
Konfrontasi
Nomor: 18 Boelan Mei Tahoen 1957)
* * *
Rumput Laut
Cerita dalam kaca salam setia pada segala
rerumput laut hijau segar menyatu cinta
dalamnya hidup, bisik lumut waktu dan getar rasa
telah meniupi setiap pantai cita di bening udara
dan sudah tergali keindahan kekasih untunya
hanya satu kiblat suara nurani bagi segala dan merasa
rerumput laut untuk sekian kali membangun cinta pada dada
baginya demi hidup berlaut dan menatap cita manusia
Sumber:
Konfrontasi
Nomor: 18 Boelan Mei Tahoen 1957)
* * *
Korbanan
bagi: sahabat Tatang
Daerah ini daerah pengungsian karena bencana
aku tinggalkan sebab pembunuhan berlangsung di sana
di mana terasa cahya matahari
Ah! Anak-anak yang tak berdosa membawa bunga
ibu-ibu mereka menangis menekan nestapa
kibaran bendera harapan tinggi jauh di menara
Duhai ramainya kota derum mobil caya kesenangan
aku pengungsi dari daerah pedalaman
menyusuri jalanan orang-orang gelandangan
Hari seakan lambat melangkahkan kakinya di sini
jejak tertimbun kemiskinan berdebu mimpi
dan aku pandang orang tenggelam dalam kesibukan
Terdiam dalam memandang hidup terkaca nasib sendiri
selalu-selalu berjalan kaki sepanjang jalanan
di sini didirikan gedung-gedung besar dan kesibukan tertimbun
Bila malam terasa penat membaringkan tubuh di bangsal stasiun
dari jauh aku pandang etalase toko-toko dengan penuh warna-warni
ah! Aku pengemis kota tak seorang pun memandangnya
Bogor-Jakarta, 1961
Sumber:
Bulanan Budaya (diterbitkan oleh” Pusat Departemen P.D.K urusan kesenian DI Yogyakarta. Edisi bulan Januari-Pebruari 1963-No.1/2-Tahun XII)
* * *
Dari Cahaya Harapan
Cahaya lampu-lampu kotaku berat dan lelah
membentang jalan-jalan lempang
kendaraan dan orang berjalan
tanpa menoleh siapa yang datang
Kesebalan yang ditinggalkan di jalana
menyeret berat kaki tanpa bicara
malam yang diterangi bintang jauh di barat daya
seakan lonceng perpisahan telah memanggil
Masih didengarnya di sampingku suara lain
kesibukan malam hari yang lepas dari sisi waktu
orang-orang yang memasuki ruang panjang dan terus menunggu
hidup sehari-hari dari segala tuntutan kehadiran
Di seberang jalanan orang berpesta ria
hari kemenangan dari segala harapan
membidikkan beban setiap kerja yang berharga
dan di sini orang kembali memerangi kemiskinan di dunia
Memasuki segala cerita, pengalaman dan piker
seperti tiada hentinya memukul malam yang lebam
serasa tersisih dari duka yang terus mengalir
dalam menekan kesabaran dan nyala harapan
Jakarta, 1961
Sumber:
Bulanan Budaya (diterbitkan oleh” Pusat Departemen P.D.K urusan kesenian DI Yogyakarta. Edisi bulan Januari-Pebruari 1963-No.1/2-Tahun XII)
* * *
Lautan
Insanlah yang datang kemudian kepadaku
Kemilau ruang waktu bagi kehadiran
tertuang dari kendi emas wahyu dan iman
berburulah mereka ke tiap padang laga
Berbatas padang dengan lautan
suara ikan-ikan gaib suara hijau yang lepas
padaku datang kemudian insan
tiada lautnya bersinggungan udara hijau
Tenang ombak menghalau perahu hitam
dalamnya mereka memburu dengan panah-panah waktu
nyala kaki langit berlubuk iman
insanlah yang datang kemudian padaku
Tertangkap kumur suara lautan
jauh keributan di balik awan putih perak
suara hijau yang lepas ke segenap penjuru
tertuang air wahyu dan iman
Mereka-mereka yang datang ke tepi
tapi laut betapa luas dari angin hijau
padaku datang hidupnya kemudian insane
matanya sejuk menatap betapa luas lautan dalam diri.
Sumber: Konfrontasi No.18 Mei 1957
* * *
Penjelajahan
Keluruhan musim yang mengakhiri diri
berkembangan merah mawar fajar yang pingsan
mengendap di bumi kehadiran semesta
alun anginlah mengisar haluan kapal
Tenang kami menembus kaki langit
pulau-pulau hitam menggaung suara desis awan gaib
tak satu pun kami mengerti di luar ini
kapal amat lambat menuju teluk yang biru
Dari deru suara lautan jauh mengimbau
insan nampak hitam di pantai yang baka
nampak pada kami geliatan sinar asing
nyala api yang abadi jauh di luar diri
Kapal menyibak-nyibak air laut hitam
hidup seperti terayun di tangan-tangan musim
tak terasa dahsyat waktu bening berbeda
teluk yang biru jauh di luar ini
Kami termangu di gejolak kapal tanpa siapa
warna air laut cepat berganti dari mula pandang
semua mewarna di degup dada insan
hidup di luasan bumi menuang seluruh.
Sumber: Konfrontasi No.18 Mei 1957
* * *
Nyanyi Kerinduan
Nyanyi adikku yang kecil begitu iba
nyanyi tanah airku begitu padat
nyaris kehidupan mendung pagi hari
begitu padat suara meminta dari insan
Kemakmuran hati dunia cinta
kemakmuran segala pandang wajah
siang telah tua terantuk senja bisu
riuh di dalam tenggelam desah suara
Tanah airku hatiku dan perempuan
menatap jauh nyanyi lautan
dalam malam redup dan bulan
daratan tiada beda nyanyi lautan
Haruskah ke lingkar langkah-langkah berat esok hari
nyanyi adikku yang kecil begitu iba
melihat redup malam di tingkap hati
mendung yang tumpah suara insan
Keluruhan damai cinta menempa dengus malam
deras mengalun tuntutan bening waktu
jauhkan suara sendiri dalam khianatan semesta
begitu iba tenggelam desah suara lautan
Sumber: Konfrontasi No.18 Mei 1957
* * *
Pertemuan
Betapa ributnya hidup sehari-hari
nyanyian kota yang lepas-lepas dalam diriku
warna menggambari hijau jalan-jalan
membenam dalam diri di keasingan padang
ya. Itulah perempuan menjenguk di pintu-pintu dunia
syahdu wajah iklim di binar dada
hati geram bila berpaling diri sendiri
aku datang di akhir malam tanpa berita
kalaulah hidup sehari-hari yang ngilu
tersibak atas dada arti rumah seluruh
padanya yang tiada memiliki cinta
sedang bulan redup di laut biru tua mimpi
bangkit dera kasih melumuri tubuhnya
istri setia merangkul segenap cahya nafsu
saat-saat berangkat tiba
di mana terpandang hakiki dunia ini
kuhirup segenap nafas jaman
melulur jalan yang beda lingkr-lingkar hidup
keributan hidup sehari-hari
kehadiran dan kelahiran di tanag fajar nasib
dan bersama pagi ia kutinggalkan
dalam menentu hidup lebih jauh
arti tanah air yang membakar diri
salam kasih kusampaikan hidup padanya.
Sumber: Konfrontasi No.18 Mei 1957
* * *
Selat Bali
Angin putih dan elang putih di tangan dewata
ombak yang menghempas sebuah perahu
putrid mahkota pelarian daerah Klungkung
dijejakkan kakinya daratan Banyuwangi
Elang putih yang memburu dendam dewata
mengalir sungai perak membelah rimba
dan di sungai ini matinya bakal tertemui
kasih sayang mengendap di ubun-ubun
(Putri daerah Klungkung, Sritanjung tersurat nama
dan perahunya yang mendampar di Watu Dodol
dari pertemuan pertama di sungai matinya yang indah
tersulam kedamaian dari angina putih)
Sidopekso, panglima perang darah dewata
setiap yang ditemui dari angin putih
manusia terdampar matinya tanpa kata
dileburkan sekali daerah Klungkung yang biru
Peperangan yang lahir karena dendam hitam
dari satu perjanjian sebelum matinya
Sidopekso dengan kuda putih menghadap istana
dan wajah-wajah tawanan mengeristal laut cintanya
Rimba yang berlingkar antara sungai
putri mahkota daerah Klungkung membenam diri
disibak-sibakkan air di keindahan keningnya
sekali tertangkap tertenung di segenap janji
Rambutnya yang mengurai di tubuhnya yang gemerlapan
wajah bersih antara sungai yang biru
Sidopekso dan nyala birahi lelaki
tumbuh dendam cinta jauh warna kejantanan
Elang putih dari tatapan awan perak
Sidopekso tameng rakyat perintah sang raja
dari darah leluhurnya wajah dewata
dan lahirlah satu perkawinan yang luar biasa
Sidopekso, panglima perang darah dewata
dipersatukan rakyatnya dari satu perkawinan
dataran Banyuwangi dan Klungkung yang biru
lewat elang putih memburu dendam dewata
—dari cerita rakyat
Sumber: Konfrontasi No.24 Mei-Juni 1958
* * *
Balada Sritanjung
Satu tahta kerajaan sepi dilingkungan gunung
terpijak pada lembahnya tanah subur
sejak mentari pertama mendukung cinta
ter-babad-lah cinta di kehidupan yang agung
Sritanjung istri setia intipan setiap lelaki
segenap perintah suami lunas di sari wajah pendar ikhlas
keagungan cinta membakar darah gaibnya
setiap pandang terasa pingsan di warna iklim
Lahirlah atas wajahnya yang bersih laknat dunia
karena lelaki dengan nafsunya
Sritanjung tersisih dari kedamaian diri
dan suaminya nyelesaikan peperangan tanpa sebab
Kerinduan dan nyala birahi membenam dada
ronta hari jauh surup sore
raja rampas keagungan dari dunia cintanya
mengelak setiap kata-kata manis Sritanjung jelita
Kegarangan peperangan di wilayah asing
dewata dan setan-setan hitam yang berimba mimpi
kemenangan jauh kasih sayang
tertumpah darah pahlawan tanpa cinta
Canang berunyi kemenangan yang tiada tara
peperangan tanpa sebab di pusar bumi
Sritanjung jelita menyongsong sang suami
panglima perang dari dahsyat maut gumul kasih sayang
Sinar mentari yang biru duka
menepis nasib dari kehidupan yang beda
sebab wajah cantik menimpa bencana atas dirinya
Sritanjung, istri setia di warna bumi
Di suatu pagi, Sritanjung diiringi kesunyian
karena dunia pingsan di pendar mata suami
karena hasutan lelaki dan nafsunya
membakar darahnya hitam kebenaran
Suatu janji membersit dari mulut mungil
menampar wajah suami deru kasih sayang
darah wangi setia yang lebur bagi dunia
karena setia kepada suami dan alir sungai
Terhunus keris dengan gelap dendamnya
berakhir Sritanjung yang membakar bening udara
sang suami gila, keris siap hunus nyala waktu
sinar mentari mendera hitam duka
Dari segenap pandang jauh kasih sayang
terkurung dera dirinya nyala rindu
dan terhabisi sekali dalam pandang penghabisan
lebur di Selat Bali, suami yang malang
Sinar mentari membakar warna bumi
laknat dewata membakar segenap dendam
angin berpasangan menyebar di ruang waktu
raja yang tertikam wajah Sritanjung
Dan leburlah lembab kerajaan karena dendam
dari hari penghabisan laknat muntahnya nafsu
di satu sungai deras alir wangi dendam yang hitam
dan pedusunan bertanah wangi tangan dunia padanya kini
Sumber: Konfrontasi No.24 Mei-Juni 1958
* * *
Malam Tebal
Kristal kehidupan angguk malam yang terbakar
sungguh gemilang pergumulan bersama maut
bayangku bersama Tuhan hidup terlepaskan
disentakkan oleh teriakan hati: aku ada!
Perempuan wajah membosankan tapi menggilakan
hakiki musim bersumber hidup yang kokoh
dan warna rembulan teramat lembut padaku
bola usia dalam baling-baling karang hitam
Dipandangnya diri dan diri jauh kembara
bunga-bunga hitam di pembaringan cinta
dan burung malam nyaris bersiul atas rumah-rumah
datang kabar sekali kabur malam terdera
Dari lembut rembulan menembus diri dan asing
dan teriakan menyentak: diri dan aku ada!
bayanganku belum lepas dari ujung kehendak
berat menikam di pembaringan bunga-bunga hitam
Sekali kuteriakkan pada ruang malam
bebaskan aku dan bayanganku dari pandangnya!
aku ada bersama maut, kau perempuan masih tak pergi
pendar-pendar usia di karang hitam dalam malam.
Sumber: Konfrontasi No.24 Mei-Juni 1958
* * *
Nyanyi Kehidupan
Kilauan matamu menyayat rabu hidup tersiksa
kembali pada diri sendiri pagi terbang ke senja
warna jingga yang merangkum naluri kehidupan
terhampar segenap harapan serupa di hari tua
Tangan-tangan kuasa tentukan pendar nasib diri
sejuk wajahnya yang kunikmati arah barat daya
tenggelam manis cinta dalam kerjanya sehari-hari
mimpi dan mimpi menggugah kebakaan hidup
Lantun suara tegas datangnya selalu pasti
matanya hidup menggapai ketentuan kehadiran
dan kau yang di sisiku gembira dan kehilangan
dalam percaya tak berbeda serupa di hari tua
Sekali kucium rambutnya gemerlapan di kamar asing
kadang terasa hampa bila kembali ke diri sendiri
hidup tersiksa di kejauhan tangis dunia yang sendu
hingga sayap cintaku di matanya cerlang mimpi
Masih saja alun suara pisah hidup sehari-hari
nikmat hidup bersarang di naluri kehidupan seluruh
dan kau tinggalkan keramaian ini saat penghabisan
di mana aku terdiam memandang kau dalam derum motor sedan berlalu.
Solo, April 1958
Sumber: Konfrontasi No.24 Mei-Juni 1958
* * *
Bila Aku Pulang
Bila aku pulang ke kampong untuk kesekian kalinya
selalu kutemui Si Luri dan Hasnan
cerita dan ketawa
meminum musim-musim yang terus berjalan
Lelahku terasa terbang di sini
damai dan jauh dari kesibukan sehari-hari
kuliah dan kerja yang tertinggal di kota
dalam memandang pedusunan, laut dan gunung bertambah biru
Luri dan Hasnan yang sangat sederhana
bersamaku dalam langgar masjid tua
masa bocah dan santri yang setia
tergelak ketawa waktu menggoda Fatimah gadis kampungku
Di sini terjamah bumi persahabatan yang paling murni
dari dalam bening matanya nyala bertanya
adakah perang bakal terjadi lagi di sini?
samar bayang musyawarah dunia terjaga dari tidurnya
Sehari sebelum aku kembali ke kota
aku bisikkan pada Si Lurid an Hasnan dengan mesra
—tiada perang tiada apa-apa lagi di sini, tenanglah bertani
dan aku masih seperti dulu-dulu jua
masih miskin dan taat kepada Muhammad dan Tuhan
sedang di luar hari telah berangkat senja
Sumber: Manifes, antologi 30 sajak. Penerbit: Tintamas-Jakarta, 1963
* * *
Kepada B. B.
Membentang sepanjang langit biru mimpimu yang abadi
karena Tuhan telah memberikan kehidupan cinta
dan aku yang tertinggal dalam ruang penghabisan
serta mencari memancarkan cahaya rembang pagi
Bersama angina melintasi bunga kecewa di sisi waktu
melihat padaku hilang warna, oi anak durhaka
betapa mengaduh suara jiwa membayang diri
hidup penuh duka memasuki gerbang api kerinduan
Kalau hanya banyak berbuat dosa di baying bumi
ke mana sisa mimpi dari arti yang tak kembali
hanya berdendang cahaya dari matamu yang abadi
di mana harta cintamu tak terpendam dalam mati
Sekali terdengar tangismu yang suci di depan Tuhan
—maaf anakku yang malang dalam durhaka
—karena hartaku di dunia sepanjang mimpi
kejadian dari cahaya keagungan dalam hidup
Angin kesadaran membangkitkan segala kerinduan
aku menyusulmu di tebing-tebing sesalan
terhenyak dari mimpi yang indah dalam duka
karena hartamu adalah cinta yang kekal di dunia.
Sumber: Manifes, antologi 30 sajak. Penerbit: Tintamas-Jakarta, 1963
* * *
Kepergian
Pagi-subuh di mana rumah itu telah kami tinggalkan
mentari lelap tidur di telanjang kabut
tak jauh tak beda suara benda membentak
—he! Anak durhaka, tinggalkan bumi berbasah darah ini
pembunuhan tanpa cinta menembus liang hatinya
Pelan ia berjalan nanap-kaku segala jari-jarinya
kesungguhan sia-sia waktu diremuk duka
dan harapan hitam merejam matanya
kemarau dalam menanti angin lapar mengkhianati
Dengan segenap panas mentari merelung kudus di dadanya
kesetiaan dalam mengelana di bumi ini tanpa perhitungan
dan pencari yang mengetahui tiap pintu-pintu
Dalam pandangan tertegun-tegun ke dinding baja
atas kesayuan rumah dan buminya
di mana adik bungsu pulas bermimpi indah gemilang
tentang pahlawan-pahlawan cinta yang durhaka
Masih termangu kami memandang kepadanya
ke sosok sinar mentari yang kami nikmati dari jendela
dan masih mengiang bunda membentak penuh kecintaan
—he! Anak durhaka, pergilah dari hidup-hidup tiri
pagi-subuh itu kami tinggalkan di dalam kesayuan diri.
Sumber: Manifes, antologi 30 sajak. Penerbit: Tintamas-Jakarta, 1963
* * *
Pedan
Wajah kakek setiap kasih menatap putu-putu-nya
begitu ramah wajah Rini nyala birahi
laparnya menutupi seluruh daerah tenun
di mana bertingkah rang-dagang dari kota
Daerah tenun gadis setia wajah yang berseri-seri
ditanamkan kasih sayang di lumpur bumi syahdu
di ruang waktu terlahirkan padat cinta damai pedusunan
dan kami tualang tak berumah menjabat wajahnya
Padi berbondong-bondong dimasukkan ke lumbung penuh cinta
Rini yang setia bercanda kehidupan antara kami yang papa
senyumnya membakar warna pedusunan dan birahi lelaki
kami menatap lengkap nyala kasih segenap darah-darahnya
Ramainya suara jantra dan tenun di ruang-ruang penghabisan
dalamnya kami berkumpul keluarga seluruh
kakek setia kasih bercerita sepanjang hari
tentang kasih sayang dilumur bumi syahdu
tentang kitab-kitab kejawen hakikat hidup segala
Kami yang memandang Rini nyala birahi keibuan
hidup yang sederhana pekerja-pekerja setiap bertenun
ramainya suara jantra dan tenun mewarna hidup
di mana dalamnya bertingkah rang-dagang/
Sumber: Manifes, antologi 30 sajak. Penerbit: Tintamas-Jakarta, 1963
* * *
Dialog
Di bukit Jayagiri yang biru
kujamah kesetiaanmu yang lugu
dan memasuki hari penuh bicara
dan berkepanjangan.
Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.01, Januari-Maret 1982. Terbit di Bandung
* * *
Pijoan
Hati ini sewarna
Desa ini senada
Kerinduan
Malam
Siang
Benar suatu kenyataan.
Pijoan adalah nama desa di Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Batanghari-Jambi)
Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.01, Januari-Maret 1982. Terbit di Bandung
* * *
Cinta dalam Nyanyian
Cinta yang biru
cinta yang kelabu
dalam sepotong nyanyian
Bayangan hari ini
mengusap wajah
mengusap sejarah
Di sini dalam hati kotaku
Banyuwangi yang berderai
mandi keringat
mencari masa lampau yang hilang
dan masa kini penuh polusi
Cerobong pabrik kertas Basuki Rachmat
kota yang kering kerontang oleh panas
dan pantai Selat Bali tak banyak bicara
selain debur ombak dan angin gersang
Kelepak sayap burung camar
saling berpacu dengan perahu nelayan
di pantai Banyuwangi yang sunyi
menembus polusi, di kota kesayangan
Dan aku terus berjalan
dalam menyimpan cinta dalam nyanyian
cinta yang biru
cinta yang kelabu
sambil menatap burung camar
dan angin berlalu.
Banyuwangi, 1981
Sumber: Buletin Bendera Sastra.
No.01, Januari-Maret 1982.
Terbit di Bandung)
* * *
Nostalgia
Terekam rindu dan warna bianglala
sejumput sejarah
Banyuwangi yang biru
Banyuwangi tempat bicara
sempat mengharu biru
dan
semangat menggebu-gebu
kesenian wajah tersendiri
Gandrung, Angklung, Rebana
semua dalam sebuah makna
kebenaran! Milik siapa saja.
Bandung, 1982
Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.01, Januari-Maret 1982. Terbit di Bandung
* * *
Dadapan
Panen
yang gelisah oleh hama wereng
mengendap-endap sepanjang malam
dalam hati ini
Di mana
suara Angklung begitu sayu
rintihan suara petani
tentang panen dan hama wereng
Ternyata memang
Tuhan Maha Tahu dan Kuasa
kami pasrah pada-Nya
dalam sayup wajah yang hilang
dan sebaris doa terkunyah dalam gema
Dadapan, sayang. Dadapan, sayang!
Banyuwangi, 1982
Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.01, Januari-Maret 1982. Terbit di Bandung
* * *
Berkemah
Malam pun jadi dingin
di sini di kemah yang menyala
di Desa Pasiripis, desa kesayangan
Hati ini
menjadi sewarna
dalam mencari arti
dua hari berekreasi
Di sini
kami mencari jejak jaman
dalam lembah dan bukit membiru
dalam hati manusia
yang penuh duka cerita
yang penuh tanya
dengan sejumlah jawaban-jawaban
Lalu menyadari kehadiran ini
di desa kesayangan, desa tercinta
desa kami di mana selalu mencari
hanya tak pernah sampai
kecuali suara-suara sendiri
atau suara-suara angin
derai pohon-pohon cemara
dan beberapa bayangan
pada hakikatnya hidup
pada hakikatnya alam, dan
pada hakikatnya berkemah
hari ini
kita terus mencari jawab
karena kita adalah manusia pencari
entah sampai di mana
yang tak pernah sampai-sampainya
Hari ini mari kita catat
apa saja yang ada di sini
kegiatan-kegiatan sendiri
dalam mencari cita dan cinta
dalam mencari jejak dan bayangan
di balik desa kesayangan
di bumi parahyangan
tanpa pernah letih
dan semangat yang berkobar-kobar
Apabila kami temukan diri kami
dalam sejuta jawaban-jawaban sendiri
engkau jangan kecewa
engkau jangan ingkar
karena Tuhan Maha Tahu dan
Maha Esa
dan mungkin
Tuhan sendiri tersenyum
melihat kita
dalam suatu kehadiran
dengan kebebasan bicara
dengan kesenangan
yang belum dapat jawaban
antara pasti dan tiada
dalam hakikat hidup
selain pengabdian
dan kerja keras
Mari kita renungkan bersama
pada kehadiran ini
karena kita adalah satu kemah
karena kita adalah satu hati
karena kita adalah manusia pencari
dalam alam
dalam sorak sorai kehidupan
Dari sini
dari Desa Pasiripis, desa kesayangan
kita jejakkan langkah
pada awal permulaan
mencari jejak jaman
dalam bayangan dan cinta
dengan segumpal cita
yang terus menyala.
Jayagiri, 8 Pebruari 1982
Catatan:
Sajak ini dibacakan dalam upacara Api Unggun pada penutupan berkemah, latihan pembinaan petugas rekreasi pendidikan pada tanggal 8 Pebruari 1982 di Desa Pasiripis
Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.01, Januari-Maret 1982. Terbit di Bandung
* * *
Renungan Panjang
Bila kerja itu suatu ibadah
terasa matahari dekat di hati
dan orang-orang lama memandangnya
perubahan malam menjadi siang
ada yang masih lelap dalam keindahan bulan
dan sejumlah impian-impian
Saat pintu terbuka lebar
kegemparan terjadi dalam hatinya
belum bisa percaya pada matanya
dalam melihat bocah jadi dewasa
dalam gambaran yang alami
yang penuh huru-hara
dan memandang tanpa kepastian
Seperti tersadar dalam kehilangan yang tiada
doa pun tidak menyelamatkan dirinya
yang ada hanya sumpah serapah
kalut terbakar dalam matahari
yang tiba-tiba datang menyambarnya
dalam pergumulan panjang
tanpa pernah selesai
Dalam debu
bersama debu
kembali debu
renungan panjang.
Banyuwangi, 1985
Sumber:
Antologi puisi penyair Banyuwangi Cadik, 1998.
Penerbit: Kelompok Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi
* * *
Tiada dalam Ada
Di sini membentang lautan
ada tanah petani
ada dalam ada
masuk dalam waktu
Bukan semangat, tanpa semboyan
bernama kerja dengan huruf kecil
terentang asa dan duka
perjanjian dengan nasib
Sejak itu
makin jauh
jauh sekali, dan
tanpa nama.
Banyuwangi, 1985
Sumber:
Antologi puisi penyair Banyuwangi Cadik, 1998.
Penerbit: Kelompok Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi
* * *
Nyanyian Sejarah
Lembaran kertas
sejumlah angka-angka
dan nyanyian suka duka cerita
aku di sana, kamu dan dia
juga Tuhan penentu semesta
kamu baca awal dan akhir
semua hilang dalam warna
berulang-ulang dikaji
ada apa di sana
seperti bekas impian yang indah
dan berjuta ujian
menggeliat kenyataan dalam keringat waktu
ada patung batu
ada langit bersimbah maut
tangan mengacung tinggi-tinggi
suara deru angin dan senjata
sudah tiba perang
genderang dipukul bertalu-talu
oleh tangan rakyat
dalam baju laskar-laskar
dan diri sendiri
dalam aku, dalam dia dan mereka
jendela angker yang dibuka
secara paksa dan sukarela
berlapis barisan melaju
siang berdebu
menjadi terang jalan panjang
kemerdekaan yang abadi
Siapa saja mencatat dengan pasti
dalam lembaran kertas dan dalam hati
yang dibaca anak cucu
tentang aku, kamu dan dia
sejumlah nama
besar dan kecil
antara diplomasi dan senjata
Tertimbun kebenaran dan kepalsuan
dengan jernih dibaca sendiri
nyanyian sejarah
digali dalam timbunan tanah
cita dan cinta
bernama sang perintis
dan api revolusi
Pejuang ada di mana-mana
semua ditulis oleh tinta waktu
apa aku, kamu atau dia
atau siapa saja
dalam awal dan akhir
yang merentang panjang
bernama Sriwijaya
Majapahit
Nusantara
dan Indonesia
Masih ada langit cerah
kadang mendung menyaput wajah awan
ada angin
ada siang dan malam
ada ketegaran dan kegelisahan
di sana mereka menjadi satu
dalam ruhku, ruhmu dan kibaran bendera
dalam tangan para pejuang tanah air
yang berteriak: merdeka atau mati
dalam keikhlasan yang utuh
dalam kenangan dan kerinduan
jauh… jauh dalam gemeretak jarak waktu
bernama sejarah dan nyanyian abadi
antara senjata dan diplomasi
kini cerobong-cerobong pabrik mengepul
Dan di sini anak cucu berdoa dalam sayap waktu
sayapku
sayapmu
dan sayap Tuhan.
Banyuwangi, 30 Mei 1995
Sumber:
Antologi puisi penyair Banyuwangi Cadik, 1998.
Penerbit: Kelompok Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi
* * *
Suara Itu di Sana
Adakah ini suaraku
atau suara orang lain
aku tidak tahu
Di sini berbatas tembok lautan
di sini berbatas dingin langit
di sini suara itu bergaung kembali
Malam menjadi panjang
pohon-pohon menjadi diam
seperti menangkap baying yang hilang
Lalu, itukah suaraku
suara kita
atau suara mereka
aku tidak tahu
Semua menjadi asing
hanya masih kukenal suara itu di sana
dalam misteri malam
dalam berjuta tanya
dalam bayang jawaban
yang tak pernah satu pun yang bisa kumengerti
Ah! Mengapa kita saling kenal
apakah itu suara kita
apakah itu suara mereka
atau suara sendiri
Benar kita kehilangan kelahiran kita sendiri
benar mereka menjadi asing dengan dirinya sendiri
dan suara itu di sana
masih seperti dulu dalam perubahan wujud
wajah sejarah yang berulang kita pelajari
Ya suara itu di sana
dalam jejak langkah yang panjang
sebelum malam menjadi asing
seberkas cerita tak pernah berakhir
karena, suara itu di sana
Banyuwangi, 1990
Sumber: Buletin Baiturrahman No.01/7 Desember 2001
* * *
Segenggam Permata
Aku terus berjalan
di semenanjung jalan ular
antara ranting-ranting rapuh berguguran
dalam cahaya bongkahan jurang
aku dapatkan permata di perutnya
warna-warni bintang
merah menyala
sisk-sisik ular keemasan
berdesir angin lautan
hutan diam
bersimpuh usapan tangan
bayangan pepohonan
terbelenggu ruang dan waktu
Daratan melambaikan topinya
ada duka cerita
tangis misteri
jauh, jauh sekali
aku jadi terdiam
entah sampai di mana
bermunculan telur-telur di atas pasir
perjalanan memasuki belukar
kenyataan yang hilang
tinggal membekas dalam jiwa
nyanyian spiritual
lalu turun kupu-kupu dan kumbang
memegangi bunga mawar dan melati
memuntahkan sejumput permata
antara ular dan permata
begitu ganas menyebar angin
orang-orang menyebut permata merah delima
entah punya siapa
dalam buruan binatang buas
ada macan
ada ular
aku tergagap
melihat nenek tua menunggui di sana
tangannya menggenggam permata
senyumnya tak pernah putus
kepada siapa saja
yang melihatnya
Aku menyendiri
istana hutan belantara
karena sang raja
menjadi pertapa
tanpa memiliki ruang dan waktu
lama telah dicampakkan
leluhurku sendiri terkubur di sana
begitu sejarah mencatatnya
bersama duka cita
bernama Majapahit
bernama Belambangan
dan Banyuwangi
Orang-orang banyak bicara
mungkin tentang segenggam permata
perburuan harta karun
dalam hutan ini
dari kerajaan yang hilang
ternyata permata itu
ada pada ular
ada padaku
ada pada nenek tua
semua dalam gelap hutan
yang makin legam
angin laut
bersimbah pergulatan waktu
begitu saja
permata itu lepas
entah kemana
Nanar mata menatap pendar mentari
saat burung-burung berkicau
orang-orang pulang sendiri-sendiri
kesan timbul tenggelam
wajah nenek tua
ular melingkar di semenanjung
sang raja masih bertapa
antara goa dan goa
terbang ke samudera selatan
bersama angin laut
orang-orang belum sadar
antara mimpi dan kenyataan
aku masih terduduk di pesisir
di antara telur-telur spiritual
nampak nyata
segenggam permata
tanpa nama
desir angin
dan terus berjalan.
Banyuwangi, 2002
Sumber: Buletin Baiturrahman No.11/Oktober 2002
* * *
Lapangan
Cahaya dalam garis bayangan
sepanjang aliran sungai tercampakkan
karena orang-orang memasuki bayang-bayang
dan suara dentum senjata
sangat memekakkan telinga
rasanya seperti mimpi
terjadi kekerasan lagi
Menemui puing-puing hati yang retak
sejarah dan tangan-tangan
beku untuk menuliskannya
dan jejak kaki tegar tanpa bekas
untuk menemuinya memasuki bayangan sendiri
bertubi gelegar bom di mana saja
ah! Wong cilik berebut sampai
dalam keputusan sendiri-sendiri
pengungsian besar-besaran
tercatat dalam abad di kelepak sayap burung
rasanya masih seperti mimpi tak terselesaikan
dalam aliran sungai dan bayang senja
Dan hati ini menggugat cinta
yang terbang bersama nyanyian burung
pohon-pohon itu berbicara sendiri
saat dentum senjata makin dalam
pada batas mimpi dan kenyataan
tak pernah tergapai di kekosongan waktu
lewat sederetan tank-tank bedebah
dan panser-panser yang kehitaman
Masih jelas keluhan wong cilik
di kepalanya merah putih dan darah
memasuki garis bayangan
kemerdekaan yang diperdebatkan
entah untuk siapa
membujur lapangan panjang
tak pernah sampai
walau dalam hati masih ada cinta
terenggut oleh detak waktu
saat bedil dan meriam
dihadapkan ke dadanya
ah! Tuhan, Engkau masih bersamaku
bagaimana kelanjutan cerita ini
orang-orang itu sunyi
duduk-duduk dan galau hatinya
sejarah perang amat panjang
menatap cahaya dalam bayangan
harga suatu kemerdekaan
Lalu aku, dia dan mereka
berjalan sepanjang jalan kehidupan
ternyata cinta itu masih ada
bersama wong cilik berharap dan cemas
bila berondongan senjata
tiba-tiba berdentum dahsyat sekali
ah! Perang
ah! Kekerasan
berulang tanpa henti
sejarah itu masih berjalan di tempat
tanpa merasa kehilangan
Semua berjalan dalam bayang-bayang senja
bila terdengar suara nyanyi dan doa
anak-anak yang beranjak dewasa
benar cinta itu masih ada
datang dan pergi
lapangan tambah ranum
oleh cerita orang-orang tua
sepertinya suara dentum senjata makin jauh
was-was berkejaran dengan waktu
berjalan dalam hati
ada apa besok pagi
sepi…
Sumber: Buletin Baiturrahman No.22/September 2003
* * *
Langganan:
Postingan (Atom)