Minggu, 08 Mei 2011
KESAKSIAN ALLISA WAHID
Dalam kesempatan bertestimoni tentang Ayah, di nuansa Hari Ayah (Father’s Day) yang biasa diperingati pada pekan ketiga bulan Juni, Alissa Qatrunnada Wahid, putri pertama KH. Abdurrahman Wahid, bercerita tentang ayahanda tercintanya. Kesaksian Mbak Lisa melalui rangkaian jaringan sosial 'twitter' dengan kisah pandangan mata yang nyata di balik kebesaran nama almarhum. Gus Dur seorang yang sederhana, tidak berlebih secara materi, dan (yang terpenting) hatinya bersih, putih dan bening sebening salafunas shalihin. Gus Dur adalah pejuang, mujahid untuk orang banyak. Jadi wajar kalau beliau dicintai khalayak. Kepada kita, Alissa berpesan agar pengikut dan pendukungnya bisa meneladani dan meneruskan perjuangan beliau. Berikut penuturan lengkap Alissa Wahid:
Bapak bukan hanya milikku. Anak ideologisnya banyak sekali. Membuatku merasa nyaman, karena di mana pun aku aman. Tapi, ada yang nggak enak (jadi anaknya). Seumur hidup, hanya dua-tiga kali liburan keluarga yang full (untuk liburan). Di Indonesia, gak pernah blas, karena selalu ketahuan penduduk. Kenapa? Bapak akan terjebak pada “ceramah dadakan”, dibawa-bawa sana-sini, sampai hari terakhir liburan. He said: “Kalian harus terima. Buat Bapak perioritasnya itu Islam, NU, Indonesia, keluarga.”
Pelajaran pertamaku tentang harga perjuangan. Bapak jarang punya uang untuk keluarga, walau banyak yang memberi. Prinsip Bapak: Terima kasih: “Saya terima, lalu saya kasih orang lain.” Namun yang memanfaatkan Beliau juga banyak, membuatku lebih wise menilai orang. Tak semua yang tampak luarnya baik, itu baik. Demikian juga sebaliknya. Buat banyak orang, Bapak sumber uang. Tapi, waktu saya minta motor, (dan) ada uang di laci, tetep nggak dikasih. Katanya: “Itu uang titipan buat rakyat.” Waktu SMA, saya dikasih 40 ribu perbulan. Tanggal 20-an, sering dipinjem Bapak lagi, karena Beliau nggak punya uang. Di awal 2009, Bapak pernah sekali pinjem uang lagi sama saya. Untuk pegangan. Saya menangis, kok bisa Bapak nggak punya uang saat itu? Saya juga marah waktu itu, karena Bapak nggak punya uang. Sementara orang-orang yang menjual namanya hidup bermewah-mewah. Rasanya tidak adil. Tapi, saya sudah lama belajar ikhlas pada Bapak. Tiap hari, banyak orang minta sumbangan. Hampir semua diberi. Makanya banyak yang tuman. Kami protes: “Pak, mereka itu cuma bohongin Bapak!”. Jawabnya: “Iki uang titipan untuk rakyat. Perkara rakyat itu bohong, itu urusan dia dengan Allah!”.
Waktu minta dibayarin S-2, Bapak bilang: “Kamu cari beasiswa utk S-2. Siapa temen-mu yang butuh dibiayai, Bapak yang mbayari, sedekah atas namamu.” Waktu Anit (Anita Wahid) berantem sama Yenny (Yenny Wahid), dan nggak mau pulang ke Ciganjur, Bapak datang ke kost-nya di Depok. Bapak yang melerai hatinya. Waktu aku nangis karena kesel sama Mama, Bapak mengingatkanku: “Ingat-ingat selalu, kamu dan adik-adikmu bisa sekolah karena Mama jualan kacang dan es lilin. Mama nggak pernah mengeluh, (karena) Bapak nggak bisa kasih uang”.
Kenangan terindah adalah mendampingi Bapak berdua saja ke luar negeri untuk seminar-seminar. Beliau di Business Class, saya di Economy Class. Tega ya? Forum 2000 adalah perjalanan paling berkesan. Di Praha, Bapak semeja dengan Simon Peres, Dalai Lama, Prince Hassan bin Talal, Vaclav Havel. Juga ada Nelson Mandela, Elie Wiesel. Mereka share visi dunia di milenium baru. Mereka begitu menghormati Bapak. Di Praha itu (jauh sebelum jadi Presiden), kami bertemu dengan banyak keluarga PKI yang terbuang. Mereka mengeluh rindu keluarga, tanah air. Waktu ngobrol tahun 1995, kata Bapak: “Milenium baru yang paling dibutuhkan bangsa adalah pendidikan yang berkualitas, karena butuh cara pikir baru.” Menjelang lulus kuliah, Bapak bilang: “Bapak nggak masalah lho kalau kamu mau ngejar karir dan nggak ingin menikah..”. Tragedi Mei 1998 terjadi ketika Bapak baru saja stroke berat. Tiap hari marah-marah karena tidak bisa keliling. “Tempatku dengan masyarakat, bukan di rumah!!”. Tahun 1998, rumah Ciganjur seperti pengungsian. The house is open.. Banyak yang mencari petunjuk harus bagaimana di negara penuh angkara itu. Masa istana masa tergelap dalam hidup saya. Saya mendapat pelajaran: sebagai orangtua, apa pun keputusan kita berdampak besar dalam kehidupan anak-anak kita. Sepanjang hidupnya, saya tidak pernah melihat Bapak sebegitu tegang seperti waktu di istana itu. Hancur hati saya melihat itu. Saya bertanya kenapa Bapak harus ke Istana? Bapak menjawab: “Ini masa transisi berat buat Indonesia, Nak. Harus ada yang mentalnya kuat. Siapa lagi yang cukup kuat ngadepin ini sekarang?”. Saya belajar banyak tentang nilai sebuah perjuangan dari pilihan garis hidup Bapak. Semua pilihan ada konsekuensinya. My Bapak's greatest gift to me: “Not only he is my father, he's the father of my nation. He loved this country so much.” Cinta yang dilakoni Bapak dengan sungguh-sungguh pada bangsanya, sampai akhir hayatnya, dibalas cinta oleh banyak anak bangsanya. Bapak, I love you so much. And I know many people share this love with me, because you have touched their hearts & lives.. Bapak, semoga Allah menjagamu dalam Cinta-Nya, sebagaimana engkau menjaga kami dalam cintamu sepanjang hayat.
(Kesaksian Alissa Qatrunnada Wahid)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar