Jumat, 25 Maret 2011
Sejumlah Sajak
Menekun Renung
di luar segala ruang
di jauh segala jangkau waktu
bersila menekun renung
waktu sumpah waktu
ruang ke bidang ruang
tetapi keabadian
dalammu dalamku
akalmu
sejati
2007
Sembahyang
Mata Hati
Tatapan yang menginsafi kehidupan
Memandang luka
Menimang perih
Kefanaan menegaskan kehilangan
Memastikan perpisahan
Menyatakan ketiadaan
Dan di dalam segala gerak-gerik semesta
Aku terkantuk lemah dalam hatimu
Pasrah takdirmu
Menghayati kodratmu
2007
Biografi Sehelai Nama
Matahari membakar padang.
Sungai panas berkilau.
Prosa waktu.
Auditorium sejarahmu terberai di angkasa berupa awan.
Dan burung-burung yang terbakar.
Tetesan pikiran dan darah, menyepuh luka.
Mendenyutkan hari.
Hari yang mendebarkan.
Kota-kota membara dalam kepalamu.
Kaca terbanting di lantai, suaranya menikam tenggorokanmu.
Ada yang belum selesai.
Sungai nasib mengalirkan sepotong mawar.
Dalam kecemasan.
Wajah layu.
Meratap.
Waktu.
Memburu.
Keluh.
Tak habis.
Memburu.
2007
Catatan Seorang Santri I
—W o n g s o r e j o
rumah kecil itu tak pernah tua dalam ingatanku
—januari menguntumkan air mata rinduku jadi lumut—
masih kala dulu halamannya ditaburi mawar-mawar perawan dan melati melampar seperti jubah resi terjurai dan anggrek mengembang
air mataku
telah jauh kutinggalkan rangkai waktu keemasan seperti secangkir teh hangat yang dulu
kau hidangkan saat sore pulang
lalu kini pada jalanku turun gerimis
rindu aku di keningmu harum edelwis
aku pandangi sobekan kenangan, sayang
segelas sunyi netes di biru keharuan menguntum diam khalwatku
—batu-batu di situ bisu—
sekeras bisu perjalananku sejati sepi penantianku yang perjaka
manis, rumah kecil kita itu kini dalam puisi
—januari-januari mulai mengembang bunga lumut di alisku—
kala dulu tanamannya hijau menghijau cita-cita seorang santri desa dan sehelai namamu
ada burung-burung walet ada layang-layang putus di ranting sore
dan rumputan liar senakal candamu
kini senyap di senyap waktu menggelinding seperti kelereng di lantai
maka dalam puisi ini abadinya
tempat istirahat jiwanya dimana kueja ia setiap saja
tambah kental aku dalam rindu rantau ini dan ke sana, sayang, aku tak lagi bisa
dan dengar bermurung kalbu berhari-hari memanggul rindu dan cinta pada
sepi jalanan kota dan pedihnya sebuah gelas pecah
rentangkan jemarimu kemudian bukalah kembali pintu rumah kecil itu
di suasana petang remang, dimana kita melihat kanak-kanak melintasi jendela
aku ingin mengalir pulang pada ketentramanmu
membaringkan keletihanku yang telah begitu menjelmakan
bulan-bulan jadi embun dan bunga-bunga lumut
dalam lubuk hatimu
2002
Catatan Seorang Santri II
Kemudian malam rembulan mangkuk perlahan rebah rindu seorang perjaka pada dedaun mangga. Diamku saksi sejauh jalan gerimis. Pada suatu patah menangis aku. Pada sekuntum bisu itu berkawan aku. Pada secoreng luka berkaca aku. Dan, wahai rindu, gelasku telah penuh darah. Harapku telah berkulai pada gugur daunan mangga di halaman rumah.
Tak pernah selesai
aku
mencarimu.
Tiup udara malam tropika menggigilkan jendela. Sepaku aku pada pucuk jarum arloji di tembok. Dentingnya, manis, begitu jauh dan basah gerimis awal musim hujan yang lewat bersama gugur dedaun mangga setelah kemarin kemarau mencokot pintu. Aku mencarimu dengan sepenuh ingin sendiri yang tak pernah terucapkan pada irama angin mengombak di seluruh dedaun mangga oktober ini. Aku merindumu seperti jiwa kanak di pematang masa kecil. Aku mendambamu bersama desah pohonan yang menyambut musim suatu persemian. Namun, rindu, aku belum menemuimu. Sejauh berpasir jalan aspal kutulisi puisi dengan langkahku. Sepanjang musim pada detik arloji kulewati. Sampai sejauh denting yang terkadang pecah di atas beling-beling pecahan merkuri jalan yang hancur karena tangan siapa. Bahkan hingga nyeri gerimis di atas serpihan hancur seperangkat gelas pada sebuah meja.
Tak pernah selesai
aku
mencarimu.
Aku mencintaimu. Mencari. Merindukan sembahyang dalam keranuman dadamu. Atau dalam nafas-nafas dzikirmu tentang mimpi kita itu. Manis, aku selalu berdo’a untukmu. Dan pasti datang aku bersama sekuntuman kembang mangga dari halaman sebuah rumah yang belum jelas alamatnya.
Tak pernah selesai
aku
mencarimu.
11.10.02
Catatan Seorang Santri III
Manis, ada hening di keningmu.
Tunggu. Aku pasti datang. Dari dalam segubahan irama biola
yang menggantung di leher seorang gadis kecil
yang senar-senarnya digesek angin.
Setia. Aku pasti kembali. Dari sebuah jendela jauh
yang berkaca pada daun-daun gugur.
Rindu. Aku pasti rasa. Dari darahmu
yang menjadi galau dara.
Merpati yang melayang rendah di antara sobekan-sobekan kenangan,
beritahu aku bagaimana merekam pesan galau
gelas pecah pada segumpalan dada.
Manis, segala musim jadi bunga lumut di alisku. Aku pelihara keresahan
dalam menujumu. Maka aku pun belajar
pada perjumpaan dan perpisahan
yang letak bedanya begitu musykil
atau bahkan tiada.
Hujan telah menjadi daunan luruh sisa kemarau di jalan itu,
denting arloji tua membawa berita
tentang surat rinduku yang tak pernah
sampai pada alamatmu.
Namun, ini rindu telah sampai dalam do’aku
pada bening tetesan subuh.
Tunggu. Aku pasti datang. Membawa cerita panjang
daun-daun gugur waktu.
Manis, ada hening di keningmu.
2002
Aquarium Rembulan
–pada suatu pertemuan kopi di Yaman 1450–
Kemudian lihatlah sinar itu jatuh pada basah cermin ia mencokot jendela. Ada busa alkohol, arloji tua menempel di tembok, wangi anggur di tenggorokan para pendatang, dan denting piano gemerincing seperti bunyi gerimis di antara gelas.
Bismillahirrohmanirrohim, kautilawahkan sebuah hujan—pesta tari ikan-ikan bernyanyi berputar-putar dalam aquarium—kauletakkan sebugil rembulan. La ila ha illallahu, kausemburkan butir-butir tilawah—ini tapa ketidakberhinggaan—Subhanallah, gerimis pecah seperti neon jatuh di altar kota.
Kemudian kautilawahkan ketiadaan seperti. Rumi merindukan yang tiada wujud Yang Ada —Kau-aku satusetubuh—
Kauletakkan bulan pada secangkir kopi itu “ini Yaman, Bung!” ujarmu sembari menyentuhkan gelas dengan gelas hingga berbunyi seperti dentingan waktu yang jauh.
Lalu gelombang gemuruh biru.
“demi Allah berikan padaku iramanya!”
Kautermangu seperti perawan menunggu kekasih di pinggir kali, “masya’ Allah! Siapa yang telah mencuri sekuntum jiwaMu dari dalam khalwatku?”.
Kemudian kembali kau pada kembara ketidakberhinggaan. Cahaya semembur pada jendela kaca. Galau ikan-ikan kelelep dalam pencarian berputar-putar. Kaulukiskan suatu aquarium rembulan.
2002
Layang-layang di Ranting-ranting Randu
Ada kutilang basah embun pada sayapnya, ia ingin jadi anak-anak; menaikkan layang-layang begitu tingginya lalu tersangkut di ranting randu pada pucuk itu. Kembang-kembang merah bergelayutan setia menandakan ada sekuntum rindu kembara mencari beda pertemuan dan perpisahan yang merahasia dalam kemusykilan hujan. O, musim bergulir seperti kelereng anak-anak yang berkejaran di lantai.
Ada rembulan pada ranting randu. Ada sayap pembawa ayat-ayatmu mengelilingi irama semesta, ia mendamba menjadi musik bagi seorang anak gadis di bibir tidur. Kautemukan butir-butir cahaya pada ranting randu ini ketika rindu merekam mangu perawan di pinggir kali. Lalu sirnalah pada ujung segala keheningan; dimana seorang kanak gadis itu sudah lelap dalam tidurnya dalam sajadah buainya setelah dicium ibunya. Ada malaikat paling indah melayang-layang ringan badannya lentur di daun-daun mangga. Ada berkuntum-kuntum kembang randu. Ada ayat-ayat cinta menggema dari pasujudan-pasujudan malam. Terdengar pelan sekali seruling Daud, terkenang sekali gurat wajah Yusuf, terpancar mata air pencerahan dari ke-khalil-an kening bumi Ibrohim sang pembangun rumah itu.
Layang-layang itu biarkan tersangkut di ranting randu di antara kembang-kembang merah itu. Lalu kipaskan udara tropikamu. Subhanallah! Anak gadis itu menangis tersedu sebelum kau kembalikan layang-layang tersangkut itu dalam haribaan jemarinya. Ya Allah, ia telah merintis jalannya dengan lelehan air mata.
Ia telah mendanai hidupnya dengan iman dan harapan.
Ada sekuntum bunga randu yang selalu mewakili rindu saat suratku melayang-layang ringan bersama angin pada musim hujan. Ada semesta puisi penghayat iman dan keintian diri saat berjalan aku atas jembatan dengan segelas embun pada nurani tawazun.
Ada seperangkat do’a yang tak pernah selesai kuutarakan. Ada do’a tentang rumah kecil di pinggir telaga, do’a tentang sepasang mata yang mengalir sungai di dalamnya, do’a tentang ribuan hewan ternak yang gemuk, do’a tentang padang rumput terbuka, do’a tentang bermilyar sajak seperti bunga-bunga melati hanyut di sungai Kaveri. Do’a tentang cita-cita, manis kurindu.
Ada cemburu melihatmu bersolek ayu sambil mengembangkan senyum yang menghangatkan sajadahku dalam segulungan rindu. Maliqulhayyah, pelihara cintaku dalam keteduhan matamu. Sang maha cinta, lestarikan kesetiaan dan iman sampai labuh akhir segala pencarian pada lubuk akhir segenap penungguan.
2002
Senin, 21 Maret 2011
Ranting Usia
Kemana mimpi kau letakkan
Kita masih di tikungan
Kau membuka jendela
Airmata dan tas tua
Hatiku tergantung di ranting usia
Penantian menjelma cuaca
Pertanyaan dan kecemasanmu
Hujan jatuh pada tepi bibirmu yang ungu
Kembalikanlah rindu
Pada peluh yg ringkuh
Sungai-sungai jiwa
Mata sunyi di tepian luka
Kita lelah dan membiru
Untuk pulang di rimbun rindu
Taufiq Wr. Hidayat
2011
Kita masih di tikungan
Kau membuka jendela
Airmata dan tas tua
Hatiku tergantung di ranting usia
Penantian menjelma cuaca
Pertanyaan dan kecemasanmu
Hujan jatuh pada tepi bibirmu yang ungu
Kembalikanlah rindu
Pada peluh yg ringkuh
Sungai-sungai jiwa
Mata sunyi di tepian luka
Kita lelah dan membiru
Untuk pulang di rimbun rindu
Taufiq Wr. Hidayat
2011
Selasa, 01 Maret 2011
MALAM PUN MALAM
Malam, masih saja. Orang-orang menyalakan lampu-lampu. Menangisi kesendirian, mengimani ketakpastian. Belum hujan. Di bibir jendela rumah, sepasang mata menengok jalanan. Belum hujan. Jari-jari waktu mengelus bayang-bayang ruang. Kemana akan Tuan bawa kopor tua, surat-surat perjalanan, dan keinginan-keinginan yang tanpa persinggahan? Langit jiwa, gunung kehendak, sungai usia. Lautan kebosanan mendebur di permukiman-permukiman padat. Kecemasan bersekutu dengan udara, berputar-putar dalam kegalauan kehidupan. Tuan melepaskan sepatu, meninggalkan parfum di ketiak lelah. Kamar-kamar purba, lampu-lampu berdebu, dan pertanyaan yang kandas di dinding malam hari. Tuan masih di situ, menjilat daging dan membayar tagihan keriangan. Malam. Belum hujan. Sepasang alas kaki sederhana dilepaskan di tikungan itu, dan dengan kelelahan kuciumi harumnya penderitaan. Waktu yang melulu. Segala paruh, pun lepuh.
Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2011
Langganan:
Postingan (Atom)