Senin, 04 April 2011

Bertanya “Di Mana” dalam Sajakmu, Kang Ofiq


















Oleh: Fath Iki


“Setiap orang tentu tidak pernah lalai akan kediriannya, ia selalu sadar akan dirinya, dan tiap orang berdiri sendiri dalam mengetahui dzatnya sendiri, tanpa melalui citra dirinya pada dirinya sendiri.”

Begitu kiranya Syahrazuri dalam Hikmah al-‘Isyraq, selalu ada yang menyertai dirinya. Kerinduan dan pencarian diri melingkupi manusia rasional. Konsep akal dan misteri diri tema sentral subjek menuju dirinya. “Kembalilah kepada dirimu,” kata Aristoteles dalam mimpi Suhrawadi.

Berlaku hening dalam alur waktu dan sesaknya ruang tentu tak mudah, tapi bagi penghayat sejati justru itu menjadi medium. Bersila tafakur menekuni jangka-jangka segala, jarak dari segala jarak, demi waktu dan mencipta sajak.

Membaca sajak Menekun Renung, seperti dihadapkan pada mengulur-menarik diri, yang-aku lirik dan yang-mu intersubyektif, menjauh tapi mendekat, bentuk khalwat diri atas segala. Kerinduan yang ditempuh dengan jalan permenungan, laku khas kesunyian sang penyair. Yang jauh dan dekat menyatu di ‘dalam’. Cara mencari Kang Ofiq (Taufiq Wr. Hidayat) mirip dengan Kang Samsudin Adlawi, bersemadi Mencari Arah:

wajahmu kupahat di cawan hati
altar pemujaan kuhampar di semadi

di malam tanpa bulan di bulan tanpa malam
di siang tanpa matahari di matahari tanpa siang
aku terus berjalan mencari arah bertuhan


Namun, ia memilih memijak ruang dan menempuh waktu selalu menggoda upaya pencarian diri eksistensial. Kesungguhannya ‘demi waktu’ tak mudah memang menalar sesuatu yang tak terjangkau oleh ruang dan waktu, wujud ‘kefanaan’, kelumpuhan sekaligus ketidakmampuan logika, tapi Kang Ofiq memilih laku sastrawi. Laku sebiasanya, yang mendasari kreatifitas pada Tuhan, kata Whitehead. ‘Dalammu dalamku’ Kang Ofiq mencoba ‘bermain’ dengan ketiadaan dan sebab itulah keabadian.

Kang Ofiq menunda kehendak diri meski itu masih [aku] menekun, [aku] di luar, [aku] di jauh, [aku] bersila, dalamku—menunda dan mendahuluku ‘mu’ yang abadi yang sejati di luar segalanya [ruang, waktu, akal—tiada jarak, tiada bidang, tiada jangkau], ‘aku’ gagal-menjadi tapi di-dalam. Absurd!

“Benarkah manusia menciptakan hakikat keberadaannya sendiri?” tanya Sartre. Ya! Karena ia benar-benar manusia jika mampu memilih-bebas bertindak, dengan moralitas ‘aku’ menjauh lalu hening dan masuk, meski awalnya ‘aku’ menjauh, menunda diri hadir bukan meniadakan. Sehingga berbeda dengan Sartre mencoba menghapus nilai-nilai dan kekuasaan yang lain, di situ letak-posisinya ‘aku’ dan Sartre bersama menuju yang absurd, tapi tak mutlak absurd dengan bertahan di ‘dalam-ku-mu’. Berada di dalam diri [l’etre-en-soi]. Ada persamaan dalam modus of being. Seperti tak ada dilema dalam diri ‘aku’ penuh keyakinan tanpa ragu dan khusuk di ambang-dalam-diri. ‘Aku’ [coba] yang sadar segala sesuatu, jernih menjelaskan renungnya, memahami, menyelami, dan tenggelam, pasrah total secara alamiah, mengikuti garis-garis imaji.

Sepertinya, Kang Ofiq ingin menjadi pasti tenang dunianya, memahami dunia dari sisi lain, yang beda dari The Myte of Sisyphus. Camus terengah-engah mengikuti ketakmampuannya dengan segala ruang dan waktu. Ia memandang percuma. “Kamu menerangkan dunia ini padaku dengan suatu citra. Saya sadari kemudian, bahwa kamu telah mereduksi menjadi sebuah puisi: aku tidak pernah tahu.” Yang benar dan sempurna itu ‘entah’ di mana, maka tiada. Begitu absurd! Penggalan-penggalan citra meski pertemuan antara dunia dan pikiran hanyalah perasaan estetik. Maka, kata ‘aku’ menjauhlah dari segala ruang, jauh keluar dari segala jangkauan waktu, lalu renungkan dengan seksama. Ini sembahyang sunyi, ‘aku’ tidak gagal, tak pesimis atau nihilism. ‘Aku’ menjelma dalam dirinya sendiri. Seperti pengakuan Iwan Simatupang dalam Ziarah, tulis Opseter yang bunuh diri “demi kelengkapan dan kesempurnaan”.

Entah ‘aku’ itu apa, tapi tampak dalam “//akalmu/sejati”, seperti pengakuan mutlak pada ‘mu’. Menjadi tragis, kalaulah itu bukan kematian maka abadi pun bukan milik ‘aku’, tapi menuju penyatuan yang lain. Dari ‘mu’ ke ‘ku’, menuju dan menuju, menekun renung, bukan apa-apa. ‘Aku’ tak melihat seperti Kousbroek dalam Decorum [bergaya]:

Aduh, lihatlah bagaimana
Si kumbang kecil hitam
Melipat kakinya
Ketika ia harus meninggal-
Begitu rapi, begitu seksama;
Untuk keabadian.


Tema keabadian atau kesejatian menjadi pijakan Kang Ofiq, wahai keabadian, kata Nietzsche. “For I love you, O eternity!” Sebuah pengakhiran Sabda Zarathustra di bagian ketiganya. Namun segala musti manusia yang berakal, senjata ampuh yang melekat pada dirinya yang tak berdaya. Mekanisme akal musti menjauh dan merenung, menunda segala agar ‘dalam’ didalami. Logika modern tak mampu memasuki ‘dalam’, hal itu yang ingin ia pending sementara, menuju logika yang sejati. Tampak tetap berpijak rasionalitas, tapi rumusan sistematis diredam dalam. Sehingga meskipun condong sufistik tetapi tak penuh mistik.

Sajak Kang Ofiq tak serumit rumus-rumus matematis, ia menyederhanakan, sangat sederhana tapi dalam. Dan kesederhanaan ini menolongnya bertahan pada dirinya, sebelum kehilangan segala imagery. Tiada. Segala lelaku hidup itu luka, perih. Sebab yang hilang, pisah, tiada, itu fana, siapa tahu? Tatap dan sikap tak bermakna karena segala adalah lemah dan pasrah. Maka hanya satu cara dengan menekun renung, seperti sembahyang yang menginsafi dan menghayati. “aku rerumputan/tak pernah lupa sembahyang/…” Secara sadar, segara resiko apa pun dibeban, “walau kau bungkam suara azan/walau kau gusur rumah-rumah Tuhan/aku rerumputan/takkan berhenti sembahyang/…,” kata Ahmadun Yosi Herfanda. Barangkali sembahyang ‘aku’lah cara atau olah renung dalam. Segala gerak adalah sembahyang, maka perih luka-kehilangan pisah, lemah-pasrah adalah sembahyang, sebablah takdir dan kodrat siapa punya? Benarkah dalam itu memang ”di dalammu, dalamku”?

Tidakkah itu citra? Yang mencermin ‘mu’ dan ‘aku’, subjek menjaga agar tak merasuki ke ‘dalam’, ada beda di antara. Kang Ofiq seperti tidak tergoda satu hasrat ‘dalam’, tidak membelah kala sebelum, sebab ia tak menyentuh waktu, sebab di segala jangkau, belah mirror-image, ia tetap sadar berlaku. Demikian rasionalitas tetap utuh dalam sajak ini. Menolak Zizek, yang kehilangan utuh subjek karena memasuki tatanan kultural pada lubang yang menyertai kehidupan. Sebab ia tetap sadar menjaga dan menjarak terhadap apa pun yang ada, ruang dan waktu.

Arti, Makna, dan Sastra

Sebagaimana garis dan bentuk bagi pelukis, bahasa adalah medium bagi pengarang. Sedang karya, wujud totalitas kepenyairan. Wujud acapkali berupa simbol, yang kadang bersifat sosial, kultural, filosofis, dan sebagainya. Simbol adalah imaji pencerapan, lantas berbicara atau berlaku, seperti yang hidup. Shipley pada abad pertengahan menalar bahasa dalam empat pemaknaan: makna historis, makna alegoris, makna tropologis, dan makna anagogis. Makna historis adalah makna harfiah, alegoris merupakan kiasan yang kebenarannya berkaitan dengan utuh pada kemanusiaan. Makna tropologis berarti figuratif, sarat dengan ajaran moral, sedang makna anagogis bersifat mistika spiritual dan kebenarannya abadi.

Sajak bisa bermakna apa pun, tergantung dari sense, feeling, tone, atau intensinya. Kang Ofiq barangkali berniat [intention] mendalam, mencoba segala dikomunikasikan, dengan sikapnya ia pun sadar menyampaikan dan merefleksikan wujud sajak setiap kata. Sehingga menahan diri agar tak lampau anyir, aroma diramu sadar waktu hingga tak mambu [busuk], tapi di balik sadar atau tidak, kompleksitas makna mendedah suara meski lirih terpapah, sajak ini bukan cenderung insidental yang biasa menekan vokal menjauh dan bertolak dari topangan konsonan, imaji menjadi jeda dan kosong. Dan, arti kembali terlingkup bahasa, makna dicipta Kang Ofiq lewat bahasa. Sedangkan arti, arti adalah milik penyair, makna milik pembaca. Ada semacam ruang kosong [Wolfgang Iser] yang sedia maka sedianya di-kongkretisasi. Sebagaimana jejaring intern-teks sendiri, mengkongkret dalam mengkonteks. Sajak menjadi writterly [Barthes]. Sajak berirama merdu; ruang waktu luar dan jauh. Alunan dengung pun mengalir mengiring segala, dari bidang ruang renung dipadu jangkau waktu, tersembunyi arti yang satu, ku dan mu. Pleasant sounding ini, sederhana, dijaga agar abadi, hingga sejati, sampai akhir sajak. Melodi yang tampak pada sajak-sajak euphonious sound perlahan sekaligus berlaku berburu, rindu bertemu. Ibarat nyanyian pada sang kekasih, memanfaatkan indera untuk mendekap absurditas. Namun kesan melulu dan menunggu mengiringi kerinduan itu.

Menunggu itu jemu tapi bagi ‘aku’ tidak sebab lelaku itu bukan sia-sia, cukup dengan renung menekun, ‘aku’ kan bersua yang abadi, di dalam. Tiba-tiba ia sadar, dan kembali, ternyata pengakuan adalah penemuan itu, sumpah!

Menimbang kompleksitas permainan bahasa, tentu complicated, tak mudah. Kadang berarti menggambarkan, sekedar laporan, menyuruh, bertanya, menentukan, mengandaikan, atau lainnya. Belum lagi maksud dan penggunaan ragamnya itu. Lazimnya, pengarang mencari ketaklaziman, menentukan aturan permainannya sendiri. Ia keluar dari pakem, yang dengan alasan dan tanggungjawabnya, khusuk bebas dan berimaji. Entahkah sengaja atau benar-benar tak paham dengan tatalaksana bahasa? Tak ada pertimbangan pasti apa pun bila tanpa 'harga' mati, sebuah kemutlakan, kematian aturan. Di manakah aku lirik? Sebuah pertanyaan dan sebuah perenungan; aku di dalammu dan dalamku, dan akalmu sejati. Tidak, sepertinya tak ada keraguan, sebab pengarang telah berlalu dan sajak tercipta. Beserta makna, manakala kembali direnung tekunkan barangkali timbul 'ada banyak yang lain'. Hanya pengandaian dan sajak spasial temporal, yang sementara. Sebab laku tulis dan baca adalah kejadian. Sebagaimana penggunaan bahasa itu sendiri, sebentuk ungkapan. Sehingga pesan boleh jadi di luar segala, di jauh segala jangkau.

Namun, sebuah kejadian itu milik siapa? Dalam politik kepemilikan bisa jadi klaim. Bila tak keberatan sajak ini adalah klaim metafisis. Dan, lingkup ini memang tak sedang politisasi makna. Tak ada klaim, pun kebenarannya. Maka bahasa menjadi gejala, peristiwa luaran, yang mencari posisi dan perannya. Dalam sajak adakalanya bahasa berselimut, menyamar segala apa. Wittgenstein pernah berujar, agar melewati saja penyamaran dari sesuatu yang tidak terpahami dengan menunjukkan bahwa itu sebenarnya omong kosong belaka. Kekosongan berarti ketakmampuan resepsi makna.

Setidaknya A. Teeuw pernah mengucap dua hal. Pertama; mengupas sajak hampir dapat disamakan dengan berfilsafat mengenai sajak. Kedua; membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Selalu warna, selalu sirna. Sebagian kata sebungkus waktu. Kadang, kata Mardi Luhung, …/waktu tak pernah terang, tak pernah gelap. Dan aku tak pernah lagi terbangun atau tertidur. Selalu abadi”. Membicarakannya pun abadi dan pemaknaan tak ada matinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar