Cerita: Taufiq Wr. Hidayat
“Baiklah. Akan aku mulai perjalanan ini dari sebuah pantai, ke laut selatan dan gunung emas,” katamu.
Angin laut yang jahat. Butir-butir hujan tak lebih baik dari sekadar air. Ikan-ikan menggelepar di dalam dadamu. Perahu-perahu pencari ikan tenggelam, bulan purnama cahayanya memantul di atap rumah-rumah dari alumunium.
Perkampungan terasa asing pada malam hari. Sesekali jeritan bayi yang tenggorokannya keracunan air sungai memecah sekutu malam: kegelapan. Nyaris udara tanpa embun. Beberapa butiran embun menetes juga pada helai-helai daun yang hitam. Asap dari sebuah lobang raksasa mengepul pekat menjadi selimut gelap yang tidak pernah pergi dari tatapan-tatapan merana dengan mulut yang bau. Kau bisa dengan leluasa melihat gerombolan wanita menyunggih potongan daging hewan. Tepi laut yang luka. Orang-orang asing terus menggali tanah, melobangi gunung, terus menggali, terus menggali hingga kedua mata tiap orang melotot melawan gelap malam hari. Menggali. Tak ada yang lain di dalam kepala mereka selain menggali dan terus menggali. Bila waktu istirahat, yang mereka perbincangkan adalah galian-galian sambil sesekali bercanda cabul tentang pelacur sintal yang ketiaknya beraroma amis ikan. Ya. Amis ikan adalah aroma yang tak terlupakan dalam ingatan tiap orang. Ikan-ikan sudah tak menyimpan amis khas ikan dalam dagingnya. Ikan-ikan yang mati atau yang lemah karena terpaksa masih hidup itu beraroma karbit dan kabel yang terbakar. Amis ikan adalah aroma yang mahal, tak terlupakan, dikenang, dan menjelma ke dalam mimpi malam yang gerah dan celaka.
Sesekali, pada waktu yang telah dijadwalkan, orang-orang yang menderita sakit gigi dan hernia datang ke perkampungan itu, perkampungan kaum penggali. Mereka datang dengan mobil mewah, di dalam mobil mereka duduk bagaikan seonggok daging busuk yang terbungkus jas tanpa dasi. Jas-jas yang mereka kenakan tanpa dasi. Kurang menarik. Onggokan-onggokan daging dengan bau tidak sedap namun dipoles aroma parfum yang mahal. Onggokan-onggokan daging itu turun dari mobil mengamat-amati perkampungan penggali. Melihat-lihat gubuk-gubuk yang di dalamnya terdapat anak-anak kena gondok dan kanker. Onggokan-onggokan daging itu ada yang memakai baju keagamaan yang megah, berwarna putih, wajah yang melembutkan-lembutkan rona bagaikan telah pernah melihat Tuhan.
“Jaga kesehatan Anda!” ujar perempuan bertubuh gemuk.
“Ya. Jaga kesehatan ya.. Ooo… kami sudah membangun Poliklinik dan tempat beribadah, Bu,” kata laki-laki yang kelaminnya terkena hernia sambil membungkuk-bungkuk di depan perempuan gemuk. Lelaki dengan baju keagamaan juga tersenyum mantuk-mantuk.
Rombongan menuju sebuah Poliklinik.
Sebuah bangunan baru tapi terkesan tua, tampak tak terawat. Halamannya kotor. Orang-orang sakit tergeletak tak ada yang merawat. Terkulai lemas tanpa harapan. Mata si sakit menatap langit-langit ruang yang lembab, serasa melihat gerombolan ikan di sana, di ujung cakrawala yang amis, berenang-renang.
“Baguslah. Tolong pelayanan kesehatan ditingkatkan lagi. Harus selalu ada orang sakit yang sembuh setiap harinya. Yang sakit harus segera sembuh. Berikan obat yang baik. Dan yang belum sakit, harap menjaga kesehatannya dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai sakit. Kesehatan itu penting. Satu orang adalah satu jiwa. Satu jiawa berarti satu suara. Ingat-ingat itu! Ini demi pelayanan kepada rakyat,” ujar perempuan gemuk.
“Ya. Kesehatan itu penting,” jawab lelaki yang kelaminnya kena hernia.
“Betul. Agama menganjurkan kita sehat dan bersih. Kebersihan sebagian dari iman,” ujar lelaki dengan baju keagamaan, berkopyah putih yang menandakan ia sudah pernah ke tanah suci menjalankan ibadah haji dan sudah mengaku pernah bertemu Tuhan di Ka'bah, Baitullah.
“Ya. Jaga kesehatan.”
“Itu penting.”
Rombongan memasuki kendaraan setelah lelaki bersongkok haji berpidato sejenak menyampaikan ayat-ayat Tuhan demi keamanan dan kesehatan warga perkampungan penggali. Kendaraan rombongan melaju. Pergi meninggalkan asap knalpot. Warna asapnya hitam. Mengepul.
***
Perkampungan penggali itu sepi. Tinggal asap knalpot masih sisa. Angin sore yang celaka. Dingin dan mencekam.
Pulau Merah, Pancer, 2009
Senin, 03 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar