Sajak Cinta Sepotong Alpokat
(buat: istriku, Muzayana)
Yang termangu di lebam waktu. Betapa biru betapa deru. Mengerlip malam, seperti pulang pada kenangan. Pelan-pelan saja, Sayangku, seperti biru yang tak berkeluh. Sepotong alpokat itu, empuk dan layu. Dan dengan mata yang dahaga, kita mencium gelora yang terlahir dari segala derita.
Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010
Spasi Sendiri
(buat: istriku, Muzayana)
Telah kukembalikan, lokomotif tua ke rel itu. Telah kupulangkan pula, kicau burung dan jejak gerimis pada rumahnya. Tapi, hujan tak menuntaskan wajahmu yang berkaca di mata jendela.
Taufiq Wr. Hidayat, 2010
Pintu-pintu tahun tersibak
seperti pintu-pintu bahasa,
menuju entah.
Semalam kau bertutur kepadaku: Esok
kita musti menemukan isyarat-isyarat,
mengurai lanskap, merancang rencana
di halaman ganda
helai-helai dan kertas kerja.
Esok, kita mesti menemukan,
sekali lagi,
kenyataan dunia ini.
…. …
(”1 Januari”. Octavio Paz, 1 Januari 1975)
Tiap-tiap puisi sebentuk upaya merujuk sejarah, untk kepentingan metafora yang sepanjang puja umat manusia: pesta dan kemurnian. Dengan walau tanpa mencentangkan tanggal tahun, pun puisi menjelas saja pentahbisan waktu yang bersih. Di situlah penyair hidup pula, menemu irisan-irisan hakiki dengan kedua mata yang bagaikan mengiris-iris bawang merah. Siapa berteguh dalam situ? Tak lain yang terus berupaya menemu diri baru dengan wajar di tengah kemeluluan. Mendefinisikan senantiasa segala sikap yang keluar dari kesewajaran. Penjagaan kehidupan membarakan api penyadaran yang aktual. Ia menyanyi di tengah bunyi riuh yang selalu dan tak berpeluh, bagai nyanyi merdu di dalam gerbong kereta yg terus melaju.
(Taufiq Wr. Hidayat, 2010)
Sabtu, 31 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar