Sabtu, 18 Juli 2009
Saja-sajak Taufiq Wr. Hidayat
Aku mengenalnya sejak dalam rahimmu yang gelap.
Dari kedalamannya aku mengintip celah cahaya
Melalui pusarmu yang agung
Kesunyian sedemikian menggetarkan
Mengibarkan warna-warna jagat raya
Menjalani keniscayaan dari ketidakberhinggaan yang hampa
Ladang-ladang kerinduan
Menyampaikan harum tanah dalam kesunyian rahimmu
Menghendakkan aku lahir menyeutuh kefanaan
Ladang-ladang kesetiaanmu
Memastikan satu keutuhan abadi
Tak akan sirna
Lepas dari ruang dan waktu
Kau ajari aku bercocok tanam
Menanam kesabaran pada ladang-ladang
Menghitung helaian gerimis yang luruh pada senja hari
Memusykilkan waktu dan ruang
Di tepi segala pengasingan
Aku melambaikan kenangan kecil
Di tengah hutan
Aku tersesat pada sehelai sungai
Dan suaramu menggema menguasai segala ruang kesejatian
“Ke mana kamu, wahai belahan jiwa?”
“Di dalam rimbun rindumu.”
Ibu.
***
Gembala
Pada sebuah rumah
Puluhan kambing dan beberapa ekor bebek
Kau ajarkan padaku menggembalakan harapan
Menyeduh rindu saat senja bertamu
Pada pundakmu, setiap sunyi menjadi putih
Saat tak ada lagi kesombongan berdiri
Tak ada lagi embun jatuh tanpa sebatang pohon
Dan luka meneruskan diri dalam kecemasan
Dunia sebentuk ruang tunggu
Di situ setiap nafas menghisap bau kabel yang terbakar
Wajah-wajah muncul dari dalam kaca
Dengan segala kegamangan dengan segala ketidakutuhan
Aku lari ke atas bukit rindu yang setiap pagi
Selalu kau sirami dengan tanganmu
Hingga di situ aku telah meleleh bersama embun
Dan udara membawakan sehelai namamu
Ke dalam ketiadaanku
***
Anak-anak yang Berlari
Pengembaraan cahaya pada semesta
Lampu-lampu lokomotif tua menyorot ke dalam dirinya sendiri,
Mentasbihkan sebentuk keredupan usia,
Menimang gelisah
Segala jawab menjadi gerombolan debu menghambur
Pada tiap keasingan yang kabur
Pada kesedihan yang lezat
Bersarang pada dinding-dinding kota
“Apakah kita akan ke pesta?”
Sejuta kunci dari pintu-pintu kesunyian
Mematahkan ruang yang tenggelam
Anak-anakmu berlari mengerubungi jaman
Hendak menemukan kesejatian
Di antara radio, tv, koran, monitor yang menyala senantiasa
Dan pada atap-atap Warnet
Yang tidak pernah berhenti
Meminumkan air matamu
Yang bertahun-tahun menetes ketika kau mengepel lantai rumah
Saat udara senja mulai terasa
Hingga petang
Menjadi gamang
***
Samudera Senjakala
Samudera senjakala redup cahaya. Rimbun
Rindumu menyemak di ladang-ladang air mataku. Akulah
Kehampaan yang ngejawantah, menjadi batang pohon
Tumbuh di tengah keramaian kota. Aku
Rindu rahimmu yang sunyi. Tenang sebagaimana perjamuan
Makan malam redup, pada batas segala persoalan
Yang tak memerlukan jawaban. Kesunyian samuderamu
Mengajariku melambai seperti kenangan kecil sebelum malam terpejam. Aku
Ngembara mencari yang tak pernah bisa ditemukan, tak pernah bisa dipersembahkan.
Muncar, 2009
***
Ambang Juni
—Muzayana
Juni perlahan mengetuk daun jendelamu,
begitu pelan. Udara dingin rebah pada kaca,
pada sebuah musim yang bercerita
mengenai pergulatan dalam tiap jenak,
tiap denyut memanggil-manggil
nama-nama agung dari kejauhan,
dan rindumu sederhana
Diam-diam Juni membawa melati, pelan-pelan membisikkan
tentang halaman rumah yang teduh, di mana kau hendak hidup dengan cerita
mengenai hujan yang turun semalaman
Sebelum hawa tropika dengan lembut menyentuh hidungmu,
dan keresahan Juni berlari di atap-atap kota
rasakanlah bulan akan menguntum pada alismu
Masih sebentar lagi, bulan-bulan berjatuhan
bersama butiran jarum jam di halaman yang kita rencanakan
pada ambang segala kegelisahan
Dari balik jendela, ambang Juni diam-diam
melepas kerinduan musim yang merahasiakan
segala awal dari tiap pergulatan
orang-orang masih menghitung butiran gerimis
yang musykil dengan tangis
pada segenap perjalanan ruang,
pada tiap kuntum jam dindingmu
yang membiru berdebu
Pada ambang Juni, kita masih meratap di balik kegelisahan
segala kerinduan berdiam di tikungan
Langit perlahan terus melebar
tanpa mengungkapkan kisah
tentang teka teki sang penebang kayu yang mendesah
Kota hujan, dan Juni melambaikan udara
sebelum ia duduk
di kursi rumah kita
Muncar, 2009
***
Perkotaan
Aku ingin kembali ke dalam rahimmu yang sunyi dan gelap.
Akulah yang tumbuh menjadi sebatang pohon di tengah-tengah kota.
Sehelai sungai mengalir dalam mataku,
Saat dinding-dinding jaman terbakar oleh hasratmu.
Muncar, 2009
***
Sejenak
Kau mengarung lautan ketidakberhinggaan
Memantapkan tatap pada kaki langit senjakala.
“Ke mana, Tuan?” tanya sahabatnya.
“Ke tempat yang tak terjangkau kata
atau pantai yang tak menyediakan ruang bagi kepicikan.”
Di tengah segala kesemestaan
Sang tuan nahkoda
Merebah badan, menatap langit
Pergi tanpa pamit
2009
***
Senjakala Para Pemuja
Dari balik ruang pada tahun-tahun yang sisa,
laut menegaskan panggilan jauh seperti kesepian.
Orang-orang berkerumun di tepi meja perjamuan,
tak ingin disapa kala perjalanan usia.
Sayap-sayap bergemetar,
selampau lena mendera berderas-kemas pada batas yang melampau keras.
Pesta bulan diselenggarakan dalam bangunan tua dengan tarian,
pemujaan-pemujaan dan air mata di mangkuk cahaya,
darah dan daging berbusuk puja,
bergema menggagah abad-abad menggetar bersama golak bergelegar.
Mereka bercanda bersama derita.
2009
***
Panggilan
“Waktu sudah petang, anakku,” panggil seorang ibu.
Sang anak bermain,
Mengejar bola seperti waktu.
Pelan-pelan langit kesumba, turun senjakala,
Angin berdesing.
“Bergegaslah pulang pada ibu,” panggil ibunya.
Sang anak menoleh tangkas,
Namun ia tak mendapati sang ibu.
Hanya angin berpelan hembusan
Seperti kesepian yang panjang.
Malam menjelma ke dalam semesta.
2009
***
Menuju Samudera
Jarum-jarum arloji berguguran,
pada musim hujan yang tak pasti.
Bulan ini, para pedagang ikan mengenakan
jaket hitam di pasar ramai.
Tepian laut yang amis, ikan-ikan disiram hujan,
ada ketidakberhinggaan diam-diam mengamat pasar.
Matamu terpaku pada ikan-ikan mati. Di situ
anak dan cucumu dibesarkan gelombang.
Seekor ikan meledak di tengah jalan,
orang-orang meramu rindu
pada waktu yang berguguran dengan pasrah.
Laut berderu, berguruh langit senjakala.
Tahun ini gerimis begitu kurang,
menghantam diam pada karang.
Kalian masih mengeja kecemasan,
menyusupkan debu bergagah kata,
mengurai makna yang luka.
Pada laut sepi, perahu-perahu tambat,
orang-orang pulang di senjakala yang gamang.
Ikan-ikan didasarkan, beramis hidup menggairah,
tapi masih berbenam dalam galau kata.
Ke mana Tuan akan berlayar?
Dipecah sunyi dengan segelas kopi,
di mana hujan masih kembara.
Dari perkampungan di luar datang, pasar menjual ikan dan wortel,
bayam dan kentang. Tuan menyiapkan sebentuk persembahan,
bagi laut saat pantai masih memendam keengganan.
Dinding-dinding tua, malam turun pada tiap harap yang sidekap.
Kapal Tuan mengambang di tepian,
di situ jauh,
gelombang membawa jarum-jarum arloji
Gemetar hati.
Ke laut tak berpantau hingga,
sekeranjang wortel masih dingin,
di tengah pasar yang mulai ramai kembali.
Para pedagang menimbang gamang,
dan embun membasah pada jendela kantor pemerintah.
Kantor urusan pelabuhan peninggalan Belanda,
meja-meja berdebu, jendelanya basah dengan lara.
Kapan pulang, Tuan?
Jangan bertanya pulang
sebab kepergian tak menjanjikan datang.
Hujan jatuh di atas samudera,
senjakala tenggelam, petang berdatang.
Jaket hitam, celana hitam, selimut hitam,
topi hitam, tatapan yang hitam.
Kapal kayu, mesin tua, kemudi renta,
ruang tidur yang kosong, mata kail sepi.
Sebentar lagi ada panggilan laut,
turun hujan pada lelampu redup.
Berharap cuaca, menunggu bulan dan tata bintang.
Berlayar dengan sepi. Atau dengan pengikut,
yang jiwanya berlobang tak turut,
Kkrena samudera tanpa dinding tanpa tebing.
Samudera berluas,
berlepas.
Maka segala beban kandas.
Segenap wajah hanya malang,
setiap desah itu serah,
tiap harap.
Gelap.
Tak mengaduh berkeluh darat,
samudera ikan-ikan,
kapal karam ke dasar ketakberhinggaan
ke lubuk samudera,
berlapang
tenang
pulang
ke
dalam
Muncar, 2009
***
Pelabuhan Tua
Minyak dari tubuh Lemuru, berserak di jalan separuh aspalan.
Bumi padat. Diding tua warisan Belanda,
beranda malam dan angin yang kejam.
Orang-orang bergumul dengan waktu,
pada remang bergamang.
Kapal-kapal sandar, lelampu terus menyala seperti lelah.
Seorang penjaga kantor pemerintah
melepas asap dari hidungnya,
bertidur di lantai amis,
dan malam terus berdiam dalam sapu tangan,
rembulan kapar,
pada ruang yang lapar.
Muncar, 2009
***
Ruang Tiga
Ruang tak menemukan pasar; wortel dan bayam.
Tawa-tawa liar, bau kaporit yang nyengat.
Orang-orang dikumpul cinta
Yang diam-diam menyerbak dari sisa makanan tadi malam.
Aku tiba-tiba menjelma laut, memenuhi ruang.
Orang-orang naik perahu sambil bercanda bersama duka.
Di kedalaman cintamu yang agung, aku bercekung mencipta lubuk.
Lubuk kedalaman.
Kedalaman tenang, duka suka tidak merasa.
Baiklah akan mereka mulai dari mana perjalanan samudera ruang.
Tak ada sabda.
Dari yang abadi berlayar pada keabadian.
Rogojampi, 2009
***
Para Penunggu Kereta
Inilah perjalanan yang menggetarkan, langit dan lautan, budak waktu dan kesunyian. Di tengah kehendak ruang, orang-orang menyiapkan perbekalan, ransel besar dan berat, sepatu dan jaket hitam yang tebal. Dan terus melintas pada tiap batas yang tak pernah menegas.
Kota-kota diserbu kecemasan. Ribuan gajah memasuki kota, bergerak maju entah ke mana tuju-maksudnya. Toko-toko ditabrak, rumah-rumah dilantakkan, diratakan. Lalu ribuan gajah menghilang tiba-tiba, yang tersisa adalah sunyi dan puing-puing berleleran segala arah. Orang-orang mematung, wajahnya dingin menunggu. Stasiun kereta api sepi. Bangku-bangku biru. Jam tua mendetakkan detik-detik yang lelah. Kisah para penunggu kereta, berabad sunyi memecahkan jendela.
Sebuah pintu model kolonial berdiri di depan tatapan, surat-surat perjalanan bertumpuk dalam laci di kepalamu. Orang-orang cemas mengharap keajaiban, dan waktu mencair ke tempat-tempat yang tak dimengerti.
Lalu lintas udara menyesakkan paru-paru manusia, laler berkerumun pada tiap kebusukan yang terluka hari dalam jantungmu. Orang-orang menabur tanda tanya ke atas lantai keramik putih dan dingin. Bangku-bangku tua memasang diri di tengah kesepian yang mati, lumut-lumut bersemak oleh kelembaban udara dari mulut-mulut para penunggu. Kereta teronggok lena, kesabaran dalam hati tak mungkin lebih dalam lagi, mata-mata tajam dan waspada. Gajah-gajah entah hilang ke mana. Keriuhan tertinggal dalam kenangan dan bau rambut yang terbakar lengket dalam ingatan tiap orang.
Langit hitam, mendung hitam, udara yang kejam. Para pencuri masih lelah juga, berkomplot malam berganti warna, berganti ruang dan malapetaka. Stasiun penuh. Tiap sosok adalah patung yang tidak sempurna. Kecemasan lalu menjelma ketakutan mengeram dalam dada. Kepala-kepala benjol bekas benturan keras. Stasiun penuh, sosok-sosok padat, hingga berjubal-jubal sampai keluar ruangan. Langit luka. Darah mengering. Hukum mendasari kakus yang panjang. Undang-undang mengelap meja makan. Orang-orang bisu, tangannya batu, matanya beku, mulut-mulut melepuh.
Kanak-kanak tergeletak kehabisan tenaga, kereta tak memunculkan tanda untuk mengular ke cakrawala. Pintu-pintu rumah tertutup senantiasa, jendela-jendela pecah, dan air mata menggenang di selokan kota. Burung gagak mengintai, seolah isyarat gajah-gajah hendak tiba lagi. Gerombolan gajah purba akan datang lagi, menabrak manusia dan janji-janji. Orang-orang ketakutan menjadi iman, melerai segala kesadaran. Orang-orang panik saling sapa tanpa kata. Darah mewarnai udara, menjelaskan kegelisahan yang tak menemukan bahan air mata. Jendral-jendral gajah berkuasa lagi, bagaimana nasib padi?
2009
***
Siul Pasar Kecil
Ikan-ikan segar dini hari.
hari-hari, pun yang tak pernah berhenti,
menyuap kehilangan dan pergantian
pada kemesraan pasarmu,
yang diam-diam mengeluarkan sayur-mayur
dari keranjang.
Wortel dan bayam telah tumbuh
dalam kebun kesibukannmu
yang melengkung tenang.
Lalu ribuan lebah menunggu dengan sabar,
untuk meneguk manis tatapanmu
yang berkejaran di dingin bulan
2009
***
Burung Malam
Beburung yang tidur di pohon-pohon itu,
terjaring dini hari yang gelap.
Pada jalan yang dingin dan gagasan
tak menagih angin.
Orang-orang menanyakan janji kemarin hari,
ruang memojok di siku waktu.
Harapan-harapan tak menganak sungai.
Kekuasaan begitu mencekam di saat malam.
Melindas rambut yang terbakar sampah.
Kekejaman tanpa buku sekolah,
keserakahan tak mengandung bocah,
dan kegarangan tanpa warna.
Aku menyudutkan luka pada segenap luka
pada kecemasan jiwa yang bunting tua
2009
***
Pada Sebuah Pelabuhan
Kadang-kadang angin sudah
membawakan harum tubuh seseorang,
bersetubuh dengan sepi malam hari.
Tiap siang juga perahu.
Segelas minuman di tepi laut, di bawah pohon waru,
daun-daunya jatuh kekuningan di mana
usia serta memungutinya.
Pelabuhan, perahu-perahu menepi dari kembara
menjaring ikan, penguripan yang tak terbantah
lalu diam-diam kita menghitung duka
seperti membersihkan daging semangka dari biji-bijinya.
Kita pun tak sadar, tiap kata
meminta airmata, kita bercanda dengan derita
2009
***
Sang Penjaga
Warna malam bertukar cerita,
tapi ia tak pernah menggetarkan dadanya
untuk menegas
segala luka di dalam hatinya.
Dengan sunyi ia tenggelam
dengan lemah ia tak berkawan
dengan diam ia menyatu
dengan kuat ia tak berburu
dengan ajakan ia sendiri
dengan cinta ia maknai
2009
***
Pulang
Dia adalah kantuk bangku lokomotif.
Senjakala. Ada yang tiba. Dan sepi berkali-kali.
Dia adalah butir mata daun akasia.
Seperti rindu. Berderu. Lokomotif tua,
keluar masuk di matamu,
suara-suara menata dari dalam dadanya.
Halaman, maaf, ayam jantan. Dia jatuh
di lantai. Seperti senja.
Lengang.
Ambang.
Hilang.
Kekal.
Muncar, 30 September 2008-Juli 2009
***
Kemarau
Kembali kemarau,
balok-balok pikiran menyusun segala parau,
nafas Jibril rambut-rambut gelombang
menyiku rindu yang bimbang.
Salam yang takberhingga,
nyambut duka.
Hara. Dan usia
2008
***
Berjenak
Sepotong daging dingin
di jendela bertiup angin
membisikkan nama-nama dari waktu
Demi ruang yang menyusun bangku kereta
kesunyian purba
orang-orang membuat luka dalam hujan
pada cekungan jalan
Pun luka ngembun kata
Terbelah samudera oleh tongkatmu
segala cerita
biru
2007
***
Musim
Angin hari ini kurang bersahabat.
Bumi. Relung yang jauh.
Berpeluk gamang.
Kemudian gelombang.
Menumbuk kecemasan
di cekung waktu berburu.
Tertusuklah duka
di ujung tombakmu
berdebu
2007
***
Yang Terus Bergegas
Sejenak. Biografimu terkubur dalam iklan.
Daun-daun masa tumbuh, bercerita matahari pagi.
Sayur bayam, bawang putih, dan waktu yang terbata.
Sekilas. Ruang membawa bunga berdekap lalu. Sejarah.
Dan perjalananmu berhenti di dinding asing.
Hujan bergegas di kotamu. Kecemasan memercik jendela.
Orang-orang bertanya; kenapa Tuhan meninggalkannya.
Sunyi dan pinta bermakam di meja pengadilan,
Pada rahang para hakim yang sibuk dengan putusan.
Sisa basah di lehermu menyimpul tanya.
Hendak ke mana, Tuanku?
Lorong-lorong tua menghadang.
Keyakinan Paduka tumpas.
Dari yang terus bergegas tanpa berbekas
2007
***
Laut dalam Lubukmu
Matamu tak selesai menerima kapal-kapal sandar
dalam pelabuhan di dadamu
hingga batas malam kota-kota dilelapkan
Lautan di jantungmu tak selesai
mengeja segala kepergian dan kesunyian
sampai murung menyentuh. Dini hari
Kapal-kapal tanpa penumpang labuh
dalam dukamu. Kecemasan berseru
ketertinggalan yang terasing. Begitu terasing
Orang-orang menggali batu-batu karang
dari kedalaman lautan. Rahang-rahang gelombang
kelopak-kelopak waktu yang layu. Purba dalam matamu
Lemak dalam tubuhmu meminta kehangatan dari segala pelayaran.
Dari seluruh perjalanan yang melelahkan.
Kebanggaan terkubur dalam naifnya ruang,
di situ anak cucumu mengeluh. Pada waktu
yang berkeluh selalu
2007
***
Kronologi Malam
Ada mata diredup cahaya,
mengurai hening yang tumbuh dari belukar bunga.
Sunyi lecet dalam luka.
Menafsir angka dan tetesan makna,
yang terperangkap tanda.
Kita masih terus berdiskusi.
Lokomotif tua tersesat dalam usia.
Musykil hujan menjarumi bumi.
Masih siapa menimbang arah.
Dan tertawa bersama derita.
Banyuwangi, 2009
***
Ruang Lima
Lengah waktu,
mendesak galau pintu-pintu.
Tatapan-tatapan kejam,
kata-kata menjadi kecurigaan.
Orang-orang menyulam kecemasan
dalam ruang kegamangan.
Kota-kota hujan berlari bertegas luka,
melampau makna, membatas ruang tafsir
berpenjelas angka pembilang lelah
pada sayap dunia.
Mengalir berderas ia.
Kembara pulang ke lubuk samudera.
2009
***
Di Atap-atap Kota
Air mataku mengaliri langit
Menegaskan keterpencilan rumahku
Dari tiap jaring waktu para pemburu
Aku kira kau tak sabar lagi
Lokomotif tua diam dalam sunyi
Siapa mendesakkan mimpi
Pada lorong-lorong purba para pencuri
Tarianku memadati ruang
Mentasbihkan kegelisahan para urban
Ribuan kecemasan meminum darah dari kesunyian
Di ujung bangunan-bangunan tua
Namamu mengembun di antara kota
Yang tak bisa bersuara
Darahku melabur udara
Bersaksi pada segala yang sia-sia
Pada kekuasaan yang selalu memasak tanda tanya
2009
***
Garis-garismu yang Tegas
—Surendrajati Mohammad
garis-garismu yang tegas
terbentang antara laut dan cemas
antara darah dan langit
antara nama dan kenyataan yang gegas
mengeras pada tiap getar nafas
garis-garismu yang tegas
mecoret tiap halaman yang terbuka
pada hening yang menggetarkan jiwa
menanam nama
pada jendela rumah tua
garis-garismu yang tegas
menjelas
pada tangan yang berkeras
2009
***
Ketika Sang Gandrung Menari
Orang-orang berkerumun
pada waktu yang malam,
titik embun menyerbuk pelan
dan tarian digelarkan
pada ruang yang terang
lampu nanar
sayap-sayap khayal menggetar
Para penguasa meminum darah dari sunyi
lalu bercanda bersama duka
merampas canda dari luka
mengihisap air mata dari tawa.
Orang-orang menegaskan bunyi
pada diam yang lengang
di kedalaman lena riang.
Sang penari menabur senyum
melempar selendang kecemasan
yang diam-diam ngembun
dalam ruang hati yang perih.
Minuman-minuman kekuasaan ditatakan
tawa dan derita dicampur-adukkan
disantap di atas meja perjamuan.
“Inilah kebisingan. Pecahkan gelasmu
pada ketidakberdayaan yang bisu!”
Politk mendirikan bangunan keju
dari tangis rakyat
menertawakan derita yang karat.
Para penari berputar bernyanyi
menyilau pandangan dari api
hingga tak ada sinar bulan di sini,
hanya sisa makna di kaki para pencuri.
Kekuasaan hanya membutuhkan tawa
canda cabul dan kemolekan wanita,
pasar-pasar raksasa
dan kata yang bergetar.
“Mari bersulang! Hentikan segala ocehan
kengawuran dari dapur yang tak memasak!”
Maka tiap kata menyimpan penjara
tiap penjara tak memuja samudera
tiap ketetapan harus dihitung hutang
seperti kesurupan
di akhir malam.
Muncar, 2009
***
Desau
menggelung ramai waktu berderu berasap
derap lekat dideras pekat dilengket desak
tiap derak mengasap lukamu lukaku
menolak kesia-siaan menggeleng
tak menafsir di dasar sunyi yang pergi bernuai
galau melampau desaumu desauku
berbiru melulu. Mari berontak
tembok-tembok yang berdiri
angkuh di tengah derita
bercanda di atas air mata
dan ketawa di lubuk duka nestapa.
2009
***
Satu Semisal
Suatu kata apa berjudul siapa,
begitu molek ke langit, bermendung
berluruh mengecambah di hamparan bumi
memamah waktu meremah cahaya
lampu-lampu lokomotif yang berjulur ke dalam
Suatu di mana menegas apa
yang dinamai duka tak bertepi
Memanjangkan penegas cetusan sejarah
mengular sebagai gerbong biografi
melulu kepurbaan yang sunyi
Lelampu dari rambut-rambut api,
menuaikan badai dan aroma kata.
Dunia menegas kerapuhan
yang keliling dan mengasing,
lalu kita bergetar
pada ramai piring yang terbanting
2009
***
Perjalanan Urban
Kau menata kesemerawutan dalam galau
tapi cemas mengemas kado-kado parau
halaman jemuran yang ramai
mendung memayung pantai
yang belum bersedia ditinggalkan
orang-orang berkaca dalam percakapan
Kanak-kanak, ke mana kalian seharian
rumah dan kamar berleleran coklat
kesialan mengendap di bawah dipan
daun-daun menata helai karatan
Jendela membiarkan melirik cakrawala
yang menciut di atas atap-atap kota
siapa mendesakkan tanya berkeras
dari meja makan yang ranggas
Sekolah hari ini ialah pagi
keriuhan memojokkan sepi pada api
berita-berita mencokot telinga
lebah-lebah semembur dari suara
dan ikan-ikan keluar dari opini
menjelaskan hidup yang tak berbagi
Orang-orang mengutuk tubuh-tubuh berlemak
maksud siapa terhimpit pintu
menanti yang tak pernah kemari
mengingat segala yang tak kembali
Para urban berhambur camar
yang meninggalkan pantai
sampah menjelaskan singgah
dari hidup yang selalu tak bersedia
Kalian, kenapa masih di tepi pantai
bersama sepeda mini milik bocah
mengkacakan nasib yang sibuk oleh batuk
membungkus hujan buat makan malam
Kalian, mengapa terus mengulum luka
dengan senyum yang tak membuka
baju-baju pesta tak bercerita
tentang tatapan manis saat purnama
Lagu-lagu hanya tunggu yang keluh
tapi terus-menerus bergegas
dari tiap denyut tetap meratap
seperti kenangan tua tak bertempat
pada halaman sesak bernafas
dan udara tak melepas
Kaki-kaki kota menginjak resah
kanak-kanak menyelinap di sana
mengejar maksud mimpinya
yang bersembunyi di balik singgah
Lidah-lidah gerimis menjilati kaca
retak menggerak duka
pada pertemuan dengan petang
pada perpisahan dengan riang
yang kadang datang tanpa undang
lalu berkalang darah di malam hilang
Para urban, ke mana kalian menulis surat
ketika tagihan bulanan menikam-nikam
menggedor pintu dan kamar
mengunci pembelaan yang samar
Pintu-pintu ramai membuka lebar
mencemaskan seragam dan sepatu
yang menggambar kupu-kupu
dalam jenak mimpi-mimpimu
Lalu lintas di pinggang kota
membawa terbang buku-buku nota
di mana angka-angkanya
melengket di dalam kepala
Malam-malam yang lelah
menimbun mimpi ribuan lebah
mengurus hidup itu-itu saja
membubuh cemas yang terus mewabah
di kaki kemegahan yang tambah meraksasa
Banyuwangi, 2009
***
Jalan Raya
Orang-orang diam sendiri
pada batas yang hitam
nasib celaka mendatangi hari
menggelung air mata
Tiap mata saling memandang
tatapan tanpa tujuan
kata tak mengeluarkan suara
kebingunan tak berpulang dari udara
2009
***
Drama Tumpangpitu
Seseorang tiba-tiba datang kepadamu,
menyampaikan gerimis kecil-kecil.
Menawarkan sebatang rokok
dan membawa sehelai sungai di matanya
“Orang-orang asing menggali emas
di tanah kami, mereka merobohkan
bukit Tumpangpitu, sumber mata air kami,
dan sekarang laut berkilau
oleh racun yang mematikan.”
Aku yakin kau iba
atau sesekali tertawa
Kini tiba-tiba banjir datang
mengetuk daun pintumu
lalu masuk ke ruang tamu
tidur menggenang di kamarmu
menenggelamkan nyawa keluargamu
Orang itu datang lagi
menawarkan makan malam kepadamu
membawa sebatang rokok
dan tatapan sunyi dari matanya,
kau mungkin berkata:
“Nasib kita sama saja,
dan terima kasih atas perhatiannya.”
Tragedi begitu jenaka
meramaikan ruang
mengenyangkan.
Maka, siapa yang tiba-tiba datang lagi
pada batas yang gawat ini?
Muncar, 2009
Catatan:
Tumpangpitu adalah nama bukit yang terletak di Kab. Banyuwangi bagian selatan. Bukit ini mengandung ratusan ton emas, dan kini tengah ditambang (masih dalam ijin eksplorasi) oleh PT. IMN
***
Laki-laki yang Selalu Gemetar
Pada sebuah padang
laki-laki yang selalu gemetar itu
menunjuk bulan di atas bukit
dalam mimpimu yang lalu
Kini di tengah belantara kota
siang yang diramaikan suara
dan malam dipekatkan derita
lelaki yang selalu gemetar itu
menuding lampu-lampu merah
juga neon-neon tua
Jejak dari hujan terasa berkisah
tentang perjalanan dari ruang ke ruang;
rumah makan dan kamar-kamar penginapan,
sepatu, jas hujan, dan tas besar
tak menyisa harumnya segenap kelelahan
2009
***
Biografi Pelaut
Buat: Surendrajati Mohammad
Dari atas gelombang
laki-laki yang dalam itu
meredam lebam digulung rindu
mari bernyanyi sebelum labuh
pada pantai tua, warung ramai, pasar ikan
dan pertanyaan yang senantiasa lengket
di pintu-pintu penginapan.
Baju kumal, topi hitam, celana tebal,
mantel bergambar perempuan,
lelah tapi terpana pada dansa,
aroma tembakau dan amis lautan.
Kemarin sudah jangan ditagih malam ini
sebab hidup selalu beranjak dari kenangan
lantaran dari kaki pantai dibesarkan.
Sekali waktu, sediakanlah ruang hangat
anggur hitam dan lampu panas
sampai lelahnya
menidurkan diri dalam sunyi
hilang dalam ramai
pisah dari para penggelayut
air mata dan tumpahan
Disinggahinya pula dinding kantor pelabuhan
yang berlumut bulan-bulan lepas
guna memeriksa rahang gelombang
yang tersangkut rahasia matanya
pada sekuntum badai penghabisan.
Hidup adalah sebongkah batu
mencemplung dalam samudera
yenggelam ke dasar palung
diam dalam kesunyian.
Tapi kesibukan terus bermain di permukaan pantai, air,
rumah tua, para sahabat dan orang-orang
yang terus-menerus gemigil bersilangan
menerima malam dan melayani kehidupan,
jauh nun di tepi keasingan,
penduduknya melepas cinta
pada huruf dan jutaan tanda
yang tak terbaca.
Jendela senja, kecipak ombak, jerit camar
dan pantulan cahaya berkilau
di muka air yang tak pernah istirah
dari debur yang juga tak kunjung tua.
Kau memanggul jeritan langit
melabur udara dengan darah yang hangat
susur waktu, surat-surat, foto-foto
sempat juga mengenalkan diri,
berkeluarga, punya anak cucu
lalu digores usia.
Jaring, mata kail, perahu kecil
dan ingatan tak menggenang
adalah sayap elang yang menggetar.
Tangis dan air mata
mengirama pada hari-hari yang jauh
mengelanai hujan
pada rekah Desember yang berbias
tahun-tahun akan datang
selalu saja mendekam dalam dada
dan perubahan cuaca
Jalanan berminyak ikan, tua dan lelah
namun tiap kesibukan di atasnya
adalah geliat samudera saat jelang
menghitung pertukaran cemas
yang selalu kandas.
Laut berhampar pada kaki langit,
tenang pula di musim sengit
dari tiap pergumulan duka-tawa
bahwa tiap denyut adalah derita
yang tak membatas di cakrawala.
Kau usap embun pada dinding malam hari
di mana segala peristiwa mengalir
sebagaimana nyanyi sendiri
ketika para kurcaci membuat mimpi
para pengembala-pengembala sepi.
Hidup pun perjalanan tanpa perhentian
namun karena kau cipta pula
singgah lelah lantaran fana,
labuh juga pada ibunda kerinduan
di tiap garis pelabuhan,
rumah tua,
warung singgah,
penginapan dengan dinding yang kelam.
Malam ini kau ingin bernyanyi
menggelung sepi dalam pekat.
Jangan lagi bertanya,
sejuta tanda tak perlu makna.
Dentingkan saja nadanya,
jatuhkan iramanya pada lantai tua
agar air mata
menangisi kekonyolannya sendiri.
Begitu putih tawanya
menagih derai dari derita.
Selalu saja, sebentuk cerita
tak memerlukan kata-kata
seperti malam menyetubuh gelap
tiap dekap tiap harap, pelan-pelan menari.
Pelan-pelan menjadi,
hingga jarum-jarum arloji
gugur ke atas tumpukan nyanyi.
Pun masih sendiri, sebab yang pergi
tak diminta kembali,
yang datang tak berpesta,
ia mengurat pada nadi gelombang.
Laki-laki yang dalam itu,
aromanya terus berdatangan
lalu hilang tanpa perpisahan.
Muncar, 2009
***
Puisi Sehelai Daun
Sehelai daun pun tak akan jatuh,
sebelum ia berpamit padamu
untuk menjatuhkan dirinya
pada bumi yang rebah
Muncar, 2009
***
Petualang Cahaya
Bahkan tiap butir debu
menggetarkan abad-abad yang lalu.
Isa bersabda pada domba-domba,
menggerakkan tali para pemetik kecapi,
tarian pemabuk memenuhi langit-langit,
menyegerakan senja pada petang.
Lesatan waktu, embun sampai sepotong wajah.
Dari balik jendela itu,
kau saksikan daun akasia gugur hari
kecemasan mengusap luka
seperti menghamba sendiri
hingga tiap kata
menyebut kelana.
Hidup hanya di sini
tiap kematian
cukup sendirian.
Muncar, 2009
***
Ekosistem Kemiren
Bahkan tiap butir waktu,
Menyedot perhatian langit.
Kau lelapkan mata angin di situ
Di antara rumah-rumah gebyok yang anggun,
Dan daun kelapa yang tua
Penuhilah gelasku dengan teh manis
Agar segala dahaga tumbuh sebagai belukar bunga
Di tepi kedho’an, perempuan menari
gandrung yang masih perawan
gendhing merayapi udara daun-daun padi kita,
menusuk cakrawala dan orang-orang mau pulang
sebentar petang segala, kaki Kemiren pada
langit senjakala,
senjakala yang berbusana sederhana
Aroma musim hujan
menegaskan wangi kopi
mengurai malam kalau saja angin
tak mengibaskan rambut Kemiren,
sawah-sawah membentang rindu,
sungai-sungai meliuk jauh
pada mata barong,
gendhing Lontar Yusup
dan wangi tubuh sang gandrung
Kemiren, harum tubuhmu
menuruni sangai-sungaimu
menjalar ke lautan
2009
Catatan:
1. Kemiren adalah nama sebuah desa tradisional Using di Banyuwangi
2. Mocoan/Gendhing Lontar Yusuf: adalah karya sastra kuno yang ditulis dengan huruf Arab Pegon (campuran antara aksara Arab dan aksara Jawa) yang menceritakan plesetan kisah Nabi Yusuf as. Mocoan/Gendhing adalah sebentuk kegiatan membaca Lontar Yusuf secara berkidung/bernyanyi dengan diiringi oleh ritual kepul dupa, sesajen, dan ayam jantan.
3. Gebyok: Rumah adat atau rumah tradisional suku Using di Banyuwangi.
4. Kedho’an = sawah
***
Senjakala Purba
Orang-orang berjas hitam,
di tengah hujan yang mendesak
pada tembok-tembok kota tua yang tak mengenal manusia.
Di sini, dinding gang lautan kebosanan,
mendaur mimpi dengan sunyi,
darah muncrat di jalan sempit yang renta.
Aku
terduduk
di
tepi
itu.
Bunyi-bunyi kembali mengacak diri dalam ruang,
waktu dan wajah berdebu dari jalan yang menderu melulu.
Tiap-tiap kata menyembunyikan api,
tiap-tiap detik memungkinkan banyak lagi sesuatu yang tak terduga.
Seorang perjaka mengecat jalan raya dengan peluh,
rambut panjang tak terkira.
Mengurailah matahari yang tak pernah nyanyi.
Orang-orang tak lagi berpikir yang lain,
semua demi hidup sendiri-sendiri;
keluarga dan kejayaan yang tak pasti,
dirangkai melati pada siang dan malam hari.
Mari menenggak racun, tawar waktu kepada kita.
Bangunan-bangunan tinggi menikam cakrawala,
sayap seriti gemetar pada pintu senja yang tak terbantah.
Bersemayamlaha irama semesta dalam gamang.
Orang-orang itu berlalu-lalang,
datang dan pergi lalu entah ke mana lagi.
Sementara
Aku
terduduk
di
tepi
itu.
Muncar, 2009
***
Seribu Jalan Raya
Seribu jalan raya.
Orang-orang mentasbihkan kenyataan dari segala kesibukan.
Tatapan-tatapan berdesakan dari segala ruang yang bergantian.
Lalu lintas kecemasan memadati waktu yang berburu.
Nafsu liar adalah harum parfum yang menusuk hidungmu bersama udara.
Raung mesin, dan kesunyian diam-diam mengendap dalam setiap nafas yang menumpas.
Aku diantar senja, menekuni jalan yang tak pernah basah dengan air mata,
Memantulkan ramai atau menegaskan kesia-siaan,
Meminum keringat segala desah yang menyayat.
Seribu jalan raya.
Dan kita yang terus berkata-kata.
Muncar, 2009
***
Jenak
Di dalam batas segenap kegentingan
Pendiaman diri yang terdesak dalam dada
Aroma lautan, amis ikan
Udara panas
Menyisakanmu yang meranggas
Perjamuan yang terserak
Di antara nyaring yang ramai
Kehausan yang memuaikan kecemasan
Sungguh tiada waktu berseru
Segala yang bermakna ungu
Membekas pada bibirmu
Yang dengan tabah
Menyulam waktu yang terus memburu
Muncar, 26 Maret 2009
***
Semenjak
Ada yang gelisah. Pada
Malam yang diam.
Ada yang tiba-tiba datang,
Di wajah jendela.
Di situ batas menegas,
Menyampaikan sunyi pada sejarah
Banyuwangi, 2009
***
Riwayat Bulan Desember
Kau mengingat pulang,
ibumu menyiapkan handuk
kopi kental yang pahit,
rambutmu basah terkena hujan di jalan
Pelan-pelan kau letakkan nyanyi
di sudut-sudut ruang,
mengendapkan sepi
mencium aroma kecemasan
yang dangkal
meletakkan sebuntal rindu
di laci kamar
pelan-pelan lelaplah
merengkuh kecemasan
dalam kedinginan
2009
***
Aquarium Rembulan
tibalah pada suatu cerita tua.
para pendatang itu memutar dzikir gamang pada malam.
cahaya lampu, kedai tua yang mendesah.
orang-orang masih sibuk dengan kejenakaan,
kupu-kupu itu begitu ringan
melayang dalam ketidakberhinggaan.
ikan-ikan berputar dalam sebuah aquarium
di situ cahaya lampu, kupu-kupu dan sepotong rembulan
mencemplung ke dasar kedalaman.
para kelana datang juga
melepas lelah
melonggarkan baju dan melepas sepatu.
gairah pada sekuntum mata
masih juga menggoda.
dan di sudut itu, sunyi duduk sendiri.
“tuan-tuan, silahkan dilunaskan
tarian mabuk dan denting gelas.
malam ini tak ada yang sedang gelisah
berkeluh berkesah.”
belum ada kabar
tentang orang asing yang terluka,
juga belum datang juru tafsir cuaca.
malam seperti biasa.
meja tua, gelas berserak, dahak yang parah
dan lampu di atas kupu-kupu.
para pendatang masih sibuk
dalam suatu pembicaraan tentang
orang asing yang kemarin datang
bersama seekor anjing.
mereka tidak mengerti,
kenapa juru tafsir tak pernah
memberitahukan sebelumnya.
angin mendesing di luar,
jendela-jendela kedai kedinginan.
lampu-lampu menggantung di atas kupu-kupu,
bulan berenang dalam aquarium itu,
ikan-ikan bercahaya, kilaunya
jatuh di atas lantai dansa.
orang-orang menyusun tanda tanya
kemana perginya sejumlah orang asing
yang membawa seekor anjing
padahal baru saja bayangannya melewati dinding.
waktu melesat seperti petaka,
tapi gelisah tak menyurutkan desah.
kedai tua, aquarium, kupu-kupu di bawah lampu,
rembulan jatuh di dasar,
ikan-ikan bercahaya.
para pendatang
masih belum lelah
memutar ingatan pada kenangan tua
sementara perdebatan tentang sejumlah orang asing
yang bersama seekor anjing, terus berdesing.
Muncar, 2009
***
Sore yang Mengambang
Sore duduk
sekadar singgah.
Kesibukan istirah dari lelah.
Jutaan kupu-kupu ringan menyebar
hinggap pada sekuntum senyum.
Perahu-perahu labuh,
laut bergerak tenang.
Orang-orang menghitung butiran keringat
di beranda yang tua
beraroma amis ikan.
Pasar ikan sehabis kerja.
Tepi Muncar, lepas tatap Sembulungan.
Di tepian itu, kau hidup
mengarung abad-abad yang merambat.
Sehelai rindu
terus mengayuh perahu anak cucu.
Kadang-kadang keuntungan
datang tak menyilang
pada meja makan.
Tapi di sini, hidup mati diterima
dari sejuta kerlip dunia
yang mencoba mengunyah saja.
Abad-abad merambat pada laut berkilau
dan terus kau menegap
meski tertatih di segala tepi.
Hidup adalah
ikan-ikan lemuru
yang tak habis diburu.
Muncar, 2009
***
Catatan Seorang Santri
Ada yang masih tersisa
dari suara lirih pagi hari
dalam sehelai alis matamu
mendatangi malam kota
anak-anak yang menghampiri layangan
pada penjelang segala kehilangan
diam-diam mengendap dalam-dalam
Pada sepi jalanan kota persinggahan
ada banyak bayangan
yang tak bisa dikembalikan.
Di mana tiap perapatan
tak pernah menjanjikan pulang
pada sore di pinggir angan-angan
2009
***
Laki-laki yang Dalam
pada sore yang menjelang
sejumlah kupu-kupu begitu ringan
melayang di sudut alismu
bulan-bulan melepas kenangan
di atas jembatan musim hujan
menghilang di perkampungan nelayan
laki-laki yang dalam
menghadap samudera yang menganga
suara-suara jauh datang
mendebur pelan ke dalam dada ruang
mengabar ketidakberhinggaan yang lapang
lautan, ikan-ikan melimpah
susu segar, dan jalanan berminyak
dari tubuh ikan berleleran
rumah batu, lagu-lagu
surat-surat perjalanan, sepatu tua,
jas hitam, mantel musim hujan,
topi hitam dan bekas luka di tepi matanya,
siul angin, perahu-perahu.
segalanya bercerita tentang hidup
yang terbenam di dasar samudera,
menggulat perubahan cuaca
bertenang mengarung musim-musim ikan
yang menggetarkan
laki-laki yang dalam
menegur udara dengan wajahnya
bersengketa dalam diam
mengusap lukanya yang harum
meneruskan jejak pada pasir hitam
sebelum kupu-kupu kembali datang
dan mengajaknya pulang
Muncar, 2009
***
Sepotong Bulan di Kedai Para Nelayan
angin membawa sebuntal cemas
tapi lampu-lampu tak membalas.
Ruang ramai yang terang,
tari dan tangan-tangan menyilang
dibur samudera meniupkan aromanya
menyusup diam-diam di perkampungan nelayan
sampai pada dinding rumah kayu,
bayi lelap di gendongan ibunya
dan para pemburu ikan
melepas keringat laut di alis pantai
sebab sebentar lagi
ada malam mengusir malam dalam kedai
dan hidup
hanya menjadi saksi
jalan-jalan ramai
yang basah
sepotong bulan
tergantung di kedai nelayan
minuman dan perempuan
menghangatkan dekapan
dengan amis ikan yang masih lengket
di ketiak perburuan
diam-diam
cuaca dingin
mengendap
dan rapat
Muncar, 2009
***
Gerimis di Indonesia
gerimis di matamu
jatuh di bumi fosil biografimu
terkubur di situ
gerimis basah di Indonesia
kau tanam pecahan jendela
maka tumbuhlah pohon-pohon kaca
berdaun pecahan beling tajam bibirnya
Indonesia adalah jutaan huruf jutaan angka
pecah-pecah di udara angin berputar
membawa kemusykilan siasat
yang menghabiskan jutaan orang
pada halaman-halaman pemberitaan
ada yang terasa begitu hilang
hutan di rambutmu
menjelma debu
mengepul dari segelas susu
di meja makanmu
tanda baca tanda tanya sepanjang angka
begitu keluar dari sakuku
mengerubungi lehermu
Indonesiaku
Nopember 2002
***
Musim Rindu
sudah kucium musim bunga
matahari pagi dan aroma semi
pada matamu yang sunyi
sudah kukembalikan
huruf-huruf, siul kereta
dan tanah datar
ke dalam rumahnya
Desember 2002
***
Herbarium Cemara
musim hujan menyuburkan tanah-tanah tandus
pada malamnya.
sunyi lecet pada jendela.
siul kereta gemeretak jalan
dan kesendirian.
waktu membuat bunga
tapi yang tak tercatat melompat.
di sini, kau urai segala
dalam ruang yang mendentangkan pulang
kau kumpulkan kembali bangkai cemara
yang dibawa para kembara
Desember 2002
***
Jalan-jalan Kerinduan
—WS. Rendra
masa-masa darurat
masih belum lewat
para perias salon
pun masih saja
jutaan anak tak sekolah
juga tetap ada
kau malah berlalu ke jalan rindu
mungkin aku
akan mengabarkan pula
masa-masa daruratmu
sebelum seratus waktu
pecah di mulut sejuta dewa
menjaga mimpi-mimpimu
Muncar, 6 Agustus 2009
***
Ayat Senjakala Satu
aku datangi engkau
berkilau memukau
aku datangi engkau
senja yang berpesta cahaya
redup
menyiku
di tikungan rindu
yang angkuh
2004
***
Ayat Senjakala Dua
gerimis kembali membawa kasat senyummu
kerinduan yang menggigil
fatalitas dan keperihan
persembahan bagi puncak
begitu Vasili Ivanovich
dalam dunia Claud, Castile, Lake
awan lalu membentuk peta
perjalanan pada rusuk keabadian
; sebuah danau bening
kastil tua yang menyimpan kenangan
pohon-pohon menumbuhkan
perjalanan kereta
tamasya pada belukar puisi
gemeratak roda kereta
pemberangkatan yang tak menemu kelelahan
tafsir perih ditegas kembali
pada tarian bahasa
warna kupu-kupu Vladimirovich
stasiun kereta;
sebuah pengabdian akhir: Tolstoj
2004
Catatan:
“Claud, Castile, Lake” adalah sebuah cerpen karya Vladimir Nobokov.
Cerpen ini hanya berkisah tentang sebuah kastil tua dengan bahsa yang indah dan sangat menawan.
***
Ayat Senjakala Tiga
langit senjakala, roda kereta gemetar
kemudi angin
kefanaan yang gemigil
rindu, danau biru yang tenang
ruang yang mengurai
kusapa ia di batas waktu
peluit memekik, asap mengepul
langit senjakala, roda kereta gemetar
cahaya berkilau
suara burung, kerinduan
kesendirian, dan angin ujung jarum
langit senjakala, roda ketera gemetar
kereta mendesah
jangan mengintip suara di belakang rumah
tatap roda kereta
menuju awan; simpang segala kemustahilan
senajakala, roda kereta yang menggetar
2004
***
Orang Tua yang Tegar
usia menggapaimu begitu indah
tubuh yang tua
dan tatapan lelah
bila malam
tenggorokanmu diserang batuk
doa-doamu merambat
pada aroma waktu yang lugu
harum tanah sehabis hujan
dan ruang rumah yang gelap
menjahit benang pada pejam
dan sunyi melompat dari kegelisahan
diam-diam embun rindu
rebah di dadamu
Banyuwangi, 2009
***
Laki-laki yang Menunggu Itu
Laki-laki yang menunggu itu,
duduk dengan bahu melengkung.
Diam, musykil
dan berat.
Di tepi muara,
matanya lembah setelah hujan.
Air menenggelamkan kecemasan yang gelap.
Perahu menepi,
melepaskan lelah yang kosong.
Angin juga kandas di tepi alismu.
Segala yang lalu,
tak menderu. Segala yang riuh,
tak berparuh.
Leki-laki yang menunggu itu,
diam-diam tatapannya terbenam.
Matanya redup, teduh
dan malam.
Di antara sepatu lusuh,
jaket hitam, topi hitam,
gedung-gedung peninggalan Belanda.
Lak-laki yang menunggu itu,
menghisap jarum-jarum arloji
dalam nafasnya yang sunyi.
Banyuwangi, 2009
***
Dalam Darahku
yang mengalir dalam darahku
langit pucat, rembulan macet.
Diam-diam gerombolan hantu
menyelinap di rimbun malam,
akan menikamkan petaka
ketika kita lengah.
Malam dan seterunya,
kecemasan yang mengendap di bawah dipan,
menggambar anggur dan roti,
yang mengalir dalam lapar kita.
Mendung berarak di atap-atap kota,
mengubur bayang-bayang kereta.
Yang meratap di alis jendela,
mengalir dalam darahku.
Banyuwangi, 2009
***
Riwayat Sempi
orang-orang berjalan pelan
pada jalanmu yang menurun tajam
setiap malam yang tak kehilangan mimpi
pada ranjang tua
di kala ibu bapakmu masih remaja
terminal bis, televisi hitam putih
dan masa lalu yang kusam
mengendap pada jantung deru
saat anak-anakmu telah tumbuh
menjual sawah dan mendirikan bengkel
Sempi, pusat perutmu menggerutu selalu
bercerita remaja-remaja
yang pernah ada
2009
Catatan:
Sempi adalah nama sebuah desa/dusun di tepi jalan raya yang terletak di Kec. Rogojampi Kab. Banyuwangi
***
Sungai Bakungan
di cericik air mengalir
kau besarkan anak cucumu
wangi perawan dan koko ayam pagi hari
bunga kangkung dan kembang turi
jhangan kelor dan Seblang yang sunyi dalam tari
sungai-sungaimu mendesah
sampai hari tak berlari
rumah tua kolam ikan
batu-batu hitam di sungaimu
menggambar tatapan kecil di jendela
pada malam yang mengembun setelah hujan
angin mendesahi lampu-lampu remangmu
stasiun kereta di ujung jalan
menjelma bunga penitian
orang-orang tidak pernah lelah
bertamasya pada puncak cakrawalamu
tercium olehku, bila saja udara tak menyibak bajumu
Bakungan yang selalu menderu
pada tiap tikungan waktu
dan jalanan para perayu
kunang-kunang pada sawah-sawahmu
mengudara di pucuk-pucuk padi
harum malam yang pertama
segala tari melelapkan impian dunia
di pipi jingga dan air mata
Banyuwangi, 2009
Catatan:
1. Bakungan = adalah nama sebuah desa di Kec. Banyuwangi Kab. Banyuwangi. Desa ini terkenal sebagai desa yang setiap tahun pada musim panen, masyarakatnya menyelenggarakan ritual Tari Seblang, yakni tari penutupan pada tarian Gandrung. Penari Seblang adalah seorang perawan (tua atau muda), yakni seorang perempuan yang benar-benar dijamin keperawanannya. Dia menari dalam keadaan tidak sadar (trance). Tarian ini merupakan sebentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan hasil-hasil pertanian.
2. Jhangan Kelor = adalah kuah lezat yang terbuat dari bahan daun kelor. Daun kelor ini, di tempat lain selain di Banyuwangi digunakan orang untuk makanan babi, tapi di Banyuwangi dimanfatkan oleh masyarakat sebagai masakan yang enak dan nikmat. Biasanya kuah kelor ini dimakan bersama nasi jagung, sambal terasi, dan ikan kering dalam kondisi yang masih panas.
***
Pulau Merah
kadang-kadang jutaan kunang
bertaburan di kaki laut dengan hamparan sawah
menyeret penghambaan
dari kaki Tumpangpitu hingga Rajegwesi
dari desah pantai Pancer hingga aroma ikan pelabuhan Muncar
anak-anak berlari memburu belalang
dan malam diam-diam
merahasiakan kabut dari wajahmu
orang-orang asing mendarat dengan bis kota
yang tak mungkin menjangkau kakimu
tapi mereka melata
melingkar pada pinggang bukitmu
memburu emas
dan menabur racun pada mata airmu
2009
Catatan:
1. Pulau Merah adalah nama sebuah pantai yang terletak di Pancer, yakni sebuah daerah pantai yang di sana terdapat bukit Tumpangpitu yang kini ditambang emasnya oleh PT. IMN.
2. Rajegwesi adalah pantai sepanjang garis Pulau Merah ke arah timur. Rajegwesi adalah nama sebuah pantai di bagian selatan Banyuwangi di Kec. Pesanggaran, Kab. Banyuwangi, yang di tepian pantai Rajegwesi tersebut, terdapat hamparan pasir putih, batu laut (padas), karang yang besar-besar dengan ombak Pantai Laut Selatan yang menggelung dengan ganas, ombak laut Rajegwesi di sepanjang Pantai Laut Selatan Kab. Banyuwangi, terkenal sebagai ombak terbesar di seluruh dunia, kemudian Hawaii, Amerika Serikat. Pantai Rajegwesi adalah sebuah pantai yang sangat indah yang diapit dua taman marga satwa, yakni Merubetiri dan Alas Purwo yang terkenal di dunia. Di sepanjang helai pantai dari Merubetiri ke Rajegwesi sampai ke Alas Purwo, dihuni oleh satwa khas yang terlangka di dunia, yakni penyu. Keindahan dan kemolekan Rajegwesi dan sekitarnya, kelak akan musnah bila penambangan emas di gunung Tumpang Pitu tetap dilaksanakan, penyu-penyu itu akan mati, ikan-ikan pun akan mati, keindahan akan tertinggal di dalam impian.
3. Muncar adalah pelabuhan ikan yang merupakan salah satu di antara pelabuhan terbesar di Indonesia sebagai pelabuhan penghasil ikan, termasuk juga salah satu pelabuhan ikan terbesar di Asia.
***
Hutan Purwo
aku mungkin akan terlelap pulas
di tengah kabut dupamu yang gaib
kalau saja hutan Purwo tak tercerabut dari rambutmu
hingga tengah malam yang pekat
kau pun bangkit
menatap Laut Selatan yang gila
bertumpu pada satu kaki, berputar di atas batu
membaca mantra dan meramu jamu
sebentar lagi
segerombolan penyamun yang berani
menyetubuhi pohon-pohon tanpa rasa ngeri
pura kembali sunyi
sebab sepi tak mau menepi
apa lagi yang akan aku tangisi
dari kedalaman matamu yang sunyi
lewat hari-hari yang berlari
dalam sebuah bis kota yang meraung
mengguncangkan dadamu
menyaksikan tangis deritamu
Hutan Purwo
menyemaklah terus
dalam hatiku
dan dengan penasaran
boleh kau berkubur dalam tidurku
Hutan Purwo
tambang emas di ujung barat garis pantaimu
menyobek kegaibanmu yang kelabu
sebab racun dari Pulau Merah
menjalar ke pusat perutmu
Hutan Purwo
kupanggil kau pulang
ke dalam mimpiku
lalu menjelmalah raksasa
menelan orang-orang asing
Hutan Purwo
pulanglah ke semak-semak air mataku
membuat puisi indah sebelum senja
atau bermain sendiri bersama sunyi
Hutan Purwo
menangislah engkau dalam puisiku
2009
Catatan:
1. Hutan Purwo adalah hutan terangker dan terlebat di Jawa, yang terkenal dengan sebutan Alas Purwo. Hutan ini terkenal dengan mistiknya, terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, yakni di Kec. Purwoharjo Kab. Banyuwangi. Hutan ini merupakan hutan yang memiliki marga satwa yang langka di dunia, kini Hutan Purwo terancam rusak dan marga satwa terancam mati akibat dampak pertambangan emas di Tumpangpitu.
2. Laut Selatan Kab. Banyuwangi, adalah pantai yang terkenal memiliki ombak terbesar di seluruh dunia, kemudian Hawaii, Amerika Serikat.
***
Tangan-tangan Kemiren
kau tenggelam di dalam mata seekor lembu
dalam dan teduh
sapi dan kambing menjalar di jari-jarimu, Kemiren
lapang dan merekah
kau denyutkan hidup
sehari-hari yang terkadang asing
pada aroma kopi
urat-urat padi
dan kehangatan senyum
pada segelas persembahan
Kemiren
aku mencair dalam iramamu
dari ketinggian bukit
ribuan tanganmu menggapai-gapai
kaki langit yang terasa sepi
kota yang berdesakan
begitu diam dari tatapanmu
gending Lontar Yusup,
parutan kelapa dan mata lembu
mendebu dalam dupamu
meramu rindu di tanah sendiri
meringkuk dingin malam hari
menjelma semak-semak rumputan
lalu menebang sebatang pohon pisang
Kemiren
bawa aku ke dalam impianmu
tentang cahaya mata sepasang lembu
2009
***
Muncar
jalan-jalan berminyak ikan, kau riwayatkan
bianglala pada jendela gedung tua.
Padhangan Sore yang membawa pulang malam
dalam sebuntal angin Agustus. Bayangan karang
menggapai-gapai dipanmu, seribu kembara
menjelma lelah di kaki pelabuhan.
Perahu-perahu datang ke dalam matamu
yang menyimpan seekor sapi dan lemuru
bulan sabit Agustus, merapatkan jeket hitam
melayari laut selatan yang gila, bermalam pada
mukim-mukim yang asing. Tahun-tahun pada langit
yang menyimpan kehendak wingit,
demikian jutaan bintang menyorot lampu pelayaran
mendesis menegas pada lautanmu yang amis
2009
Catatan:
Padhangan Sore adalah istilah waktu para nelayan di dalam berburu ikan di luat Muncar (sebuah kecatamatan di Kab. Banyuwangi yang menjadi salah satu pusat pelabuhan ikan terbesar di Asia) di mana perjalanan mencari ikan ini dilakukan selepas bulan purnama. Padhangan Sore tepatnya waktu berangkat mencari ikan pada siang hari dan pulang pada malam hari pada pukul 00.00 WIB.
***
Hutan Sodung
aku belum sempat membubuh makna
pada namamu pada harum rambut kanak-kanak
pada langgar yang tua
rumah yang lama, pohon jambu yang tua
puluhan bebek dan kambing
bulan putih di halaman pohon kates
Hutan Sodung
airmu menggericik jauh pada kaki waktu
lantaran untuk melupakan ingatan
pohon-pohon tua yang perkasa
ikan-ikan tawar yang segar.
Lalu perlahan kau tidur dalam dadaku
tenang, sepi, dan hilang
2009
Catatan:
Hutan Sodung = Bernama Hutan Sodung. Hutan Sodung adalah hutan desa yang terletak di Kec. Wongsorejo Kab. Banyuwangi, wilayah utara Kab. Banyuwangi. Sekitar tahun 1980-an, Hutan Sodung adalah hutan yang lebat dengan pohon-pohonnya yang meraksasa berusia tua, dikenal angker dan wingit. Hutan liar ini memiliki sungai dengan mata airnya yang sangat jernih dan dihuni oleh pelbagai jenis ikan tawar yang melimpah. Pada sekitar tahun 1990-an, Hutan Sodung digunduli oleh orang, pohon-pohonya ditebang sehingga hutan ini kemudian menjadi seperti lapangan sepak bola. Penebangan liar itu ternyata direstui oleh pemerintahan desa Wongsorejo yang di tahun 1990-an adalah pemerintahan yang gagah dalam rezim Orba. Alasan penebangan Hutan Sodung dengan liar dan habis-habisan itu adalah untuk membangun kantor desa Wongsorejo, di mana kayu-kayunya akan digunakan untuk pembangunan. Padahal kenyataannya tidak. Kayu-kayu Hutan Sodung ditebang dan dijual dan menguntungkan secara pribadi para penebang hutan tersebut beserta kroni-kroni penguasaa desa Wongsorejo, yang waktu itu kepala desanya adalah seorang purnawirawan militer. Terakhir (sekitar tahun 2007-an), kepala desa Wongsorejo ditahan polisi atas tuduhan penggelapan beras subsidi pemerintah terhadap rakyat miskin. Gundulnya Hutan Sodung menyebabkan mata air sungai Sodung kering, ikan-ikan mati dan juga banyak yang diracun untuk diambil dagingnya. Hal ini mengkhawatirkan para pecinta alam di Banyuwangi, sehingga reboisasi pun dilakukan. Namun, reboisasi itu gagal karena tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah desa dan kecamatan Wongsorejo. Kini, Hutan Sodung sudah tidak ada, ia sirna bersama kenangan yang terlupakan.
***
Mata Kemiren
sepasang matamu adalah mata sepasang sapi,
angin meniup rambutmu menggerai wangi kopi
perjalanan setiap makan siang
menjelma sepasukan pecel pitik di mejamu
dan tentang jalan-jalan menurun
pada bahu kota di bawah alismu
bulan di dingin angimu
mengurai pada hari-hari yang terkadang sunyi
pada sungai-sungai di kelopakmu
rapatkan kembali pintu-pintu sejarahmu
sebab sebentar lagi
kunang-kunang hinggap di ujung bulu matamu
2009
Catatan:
Pecel Pitik (Bahasa Jawa) Kemiren: adalah makanan khas tradisional masyarakat Kemiren, yakni hidangan berupa daging ayam yang dirobek-robek lalu dicampur dengan parutan kelapa. Ini adalah makanan khas Kemiren yang terkenal dengan sebutan Pecel Pitik Kemiren.
***
Duka Daun Pisang
pada tepi Kemiren
sang penari menatap butir cahaya
yang jatuh menyerbuk di antara atap-atap rumah
setelah hujan semalaman
bulan-bulan berkejaran
dari untaian waktu yang terus berderu
harum kopi pada rambutnya
mencair bersama aroma musim
yang dengan setia membongkah sunyi
pada siul angin Kemiren
kesendirian sudah menjelma gunung
menanak jagung
dan melupakan masa lalu
kerut pada tepi alisnya
lukisan ruang kenangan
diam dan terlipat di bawah dipan
Podo Nonton dan Seblang Lukento
terus menggairah bagaikan birahi masa muda
kehilangan dan kelahiran
bukan lagi putaran bagian dari kehidupan
melainkan keharusan penjagaan hidup
yang diterima dengan kancing baju yang terbuka
embun dini hari yang menjarum
jatuh di helai daun pisang
yang lusa akan ditebang
sebagai menu untuk makan malam
2009
Catatan:
Podo Nonton = adalah syair tua yang dinyanyikan saat tari Jejer Gandrung (tarian pembukaan). Syair ini berisi tentang semangat pemberontakan dan heroisme orang-orang Blambangan melawan penjajahan.
Seblang Lukento = adalah syair yang dinyanyikan saat tari Sebalang (tarian penutupan gandrung pada dini hari menjelang subuh). Syair ini berisi renungan hidup pun bernuansa pemberontakan terhadap segala bentuk penjajahan.
***
Batang Muara
rumah-rumah berjajar
sungai tawar, ikan segar,
dan ternak kambing
pada tepian
tubuhmu mencair pada embun
tatkala senjakala mengendap
sepanjang sungai
sebelum laut menguraikan rindu
muara yang menghidupkan anak-anak
dalam gendongan ibunya
jala, mata kali, dan wangi kopi musim hujan
segelas teguk
daun-daun membungkuk
jembatan tua setia pada cakrawala
2009
***
Sajak Percintaan Bima
—Isteriku
inilah percintaan yang aku inginkan:
—dan perlahan, malam rebah di atap rumah kita.
Ruang remang, dan pahamu yang bercahaya,
sekuntum senyummu mengajak-rayu kelelakianku
berlabuh di situ
—ayo! Ayo dahului aku!
Sebelum aku mendahuluimu,
desah Bima.
—lantas saling mendahului saling memburu,
berpagut mesra menikmati yang bersatu
—serang! Seranglah!
Seranglah sebelum kau diserang!
Dan jangan menunggu serangan!
hentak Bima perkasa.
—lalu kau rambatkanlah jari-jarimu
mengelanai sekujur tubuhku,
melepas helai demi helai busanaku
menciumi seluruh tubuhku hingga ke jari-jari kakiku.
Menelan menghisap kuat pedang purba di bawah pusarku.
Menciumi segala rasa apiku,
hingga terbakar begitu lama dan lupa
jarum-jarum jam jatuh tak terasa
—bersemangatlah!
Seperti api yang menggila,
seru Bima.
Lidahmu menjilat-jilat sekujur tubuhku
hingga ke jari-jari kakiku,
lalu asin tubuhku
adalah keluasan samudera.
Kemudian kau terkulai, menuruti,
pasrah dan berserah
menyerahkan seluruhnya
ke dalam gairah apiku.
—kemudian dengan memburu,
biarkan aku menjilati asin ketiakmu,
sebab segala hasratku terasa terbakar dari situ.
Asin dan aroma ketiakmu jangan kau semproti parfum,
endapan keringat di ketiakmu
adalah aroma
yang mengobarkan api nafsu putihku
yang abadi cinta-Nya
yang dianugerahkan rahman rahim
kepada kita.
Maka, biasakanlah selalu
percintaan sakti ini.
Sampai nanti,
sampai tak berbatas hari.
Amin...
Banyuwangi, 13 September 2009
Selasa, 14 Juli 2009
Dadi Wong Banyuwangi
Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
MENJADI manusia, tentu saja, adalah tugas manusia. Lha kita ini hanya berbeda warna kulit dan budaya, tapi senyatanya kita adalah satu ras, yakni ras manusia. Menjadi manusia berarti meninggalkan watak binatang, karena dari banyak segi fisik kita ini sama saja dengan binatang. Nah karena kita berakal, akallah yang menjadikan kita sebagai manusia. Itu artinya ialah memanusiawikan orang lain dan memanusiawikan di luar diri kita. Memanusiawikan kuda artinya tidak memforsir kuda untuk terus-menerus bekerja dan dipacu di luar kemampuan kuda itu sendiri. Di sini makna “menjadi” adalah sebentuk proses aktual, konseptual dan kontekstual dari akal kemanusiaan.
Nah bagaimana menjadi manusia? Ya. Sudah menjadi takdir. Sebelum lahir kita tidak bisa berkehendak terlebih dahulu untuk lahir sebagai kucing atau Hitler, umpamanya. Sudah ketetapan Tuhan Yang Maha Esa bahwa saya lahir sebagai Taufiq beserta segenap identitas dan keberadan saya. Lalu bagaimana menjadi orang Banyuwangi? Menjadi apa pun itu terletak pada dari mana dilihatnya. Orang Amerika, ya karena dia tinggal di Amerika, lahir dan besar di sana serta menyandang identitas budaya Amerika.
Kali ini adalah bagaimana menjadi orang Banyuwangi? Tentu saja seorang manusia yang tinggal di Banyuwangi, lahir besar di Banyuwangi kemudian memiliki identitas budaya lokal sebagai watak rakyat Banyuwangi. Bisakah orang yang lahir dan besar di luar Banyuwangi kemudian bertempat tinggal di Banyuwangi karena suatu kepentingan disebut “wong Banyuwangi”? Bisa saja! Karena daerah mana pun di wilayah Indonesia boleh ditempati oleh orang Indonesia dari daerah mana pun, bahkan orang luar negeri juga boleh, tentu dengan pelbagai perlengkapan formalitas sebagai warga negara. Ratna itu lahir di Banyuwangi, besar di luar Banyuwangi, tinggal di Bali, beragama Hindu lalu menikah dengan bupati Jemberana, I Gede Winasa. Lantas dia pindah ke Banyuwangi, mencalonkan diri sebagai bupati Banyuwangi, dan jadi. Apakah dia kemudian kita anggap bukan orang Banyuwangi? Kita lihat dulu dari perspektif apa kita menilainya. Sudahkah Ratna menyandang identitas kearifan lokal rakyat Banyuwangi dan sudahkah dia berbaur dengan dinamika rakyat Banyuwangi? Itu pertanyaannya. Tidak penting dia itu Islam atau Hindu, dia itu berbudaya Bali atau Bugis, sama sekali itu gak penting! Yang terpenting bahwa sebagai bupati Banyuwangi (pemimpin formal), Ratna harus bisa memahami watak dan budaya Banyuwangi, kebutuhan rakyat secara mendasar dan menjalankan ban pemerintahan dengan kebijakan yang memihak kepada rakyat Banyuwangi tanpa mencerabut rakyat dari kearifan lokalnya.
Menjadi orang Banyuwangi, tentu saja, tidaklah sekadar menempati daerah Banyuwangi, hidup di Banyuwangi dan bekerja di Banyuwangi serta aktif dalam sistem formal di Kab. Banyuwangi. Lebih dari itu, mestilah memahami watak budaya, sejarah dan dinamika sosial-politik rakyat Banyuwangi yang majemuk, berbaur dalam harmoni, aktif dalam setiap pengolahan kehidupan dalam lingkup yang sekecil apa pun. Menjadi naif dan tidaklah bijaksan jika hanya hidup dan mengolah kehidupan di Banyuwangi demi kepentingan pribadi belaka atau hanya kebutuhan politik saja, atau sekadar memburu popularitas. Itu sama halnya dengan “ada” dengan kepicikan, dengan kuantitas tanpa kualitas, kayak kebo yang patah kakinya, tenaganya tidak berguna nah otaknya adalah binatang. Susah!
Memahami dan mengenali diri sendiri adalah suatu pencerahan dan memahami serta mengenali orang lain atau lingkungan adalah kebijaksanaan. Dalam sebuah film berjudul The Last Samurai, betapa seroang letnan tentara Amerika jadi orang Jepang sebagai seorang samurai yang sejati, hingga dengan itu ia rela mengorbankan segalanya dari hidupnya, jabatannya, pensiunnya, bahkan nyawanya dipertaruhkan. Sang letnan diselamatkan dan dirawat luka parahnya oleh sebuah keluarga Jepang tradisional. Keluarga itu adalah keluarga yang kepala keluarganya dibunuh oleh sang letnan dalam peperangan. Seorang wanita Jepang dengan dua orang anaknya yang masih kecil dengan tulus merawat sang letnan Amerika yang sedang terluka itu, padahal sang letnan telah membunuh suami dan bapak mereka dalam pertempuran. Di tengah kampung tradisional Jepang dengan para samurai itulah, sang letnan dirawat dan mempelajari kearifan tradisional orang-orang Jepang (para samurai) yang terkesan kasar namun santun dan memiliki loyalitas persaudaraan yang luar biasa. Ketika kaisar Jepang hendak mengeluarkan kebijakan politik yang tidak memihak rakyat Jepang, yakni perjanjian dengan pihak Amerika untuk mempersenjatai tentara kaisar dengan senjata modern, justru sang letnan Amerika itu membela kepentingan orang Jepang (para samurai) dengan menjadi seorang samurai sejati. Dia berperang melawan tentara kaisar karena menentang kebijakan politik kaisar yang merugikan rakyat lemah itu. Dia melawan tentara kaisar yang telah dipersenjatai dengan senjata-senjata modern dari Amerika dengan senjata-senjata tradisional Jepang seperti tombak, panah, dan samurai. Sang letnan dengan yakin mempertaruhkan nyawanya sendiri bersama para samurai lainnya melawan kaisar demi mempertahankan tradisi dan kehormatan jati diri samurai, yakni membela rakyat yang lemah hingga kalah dalam titik darah penghabisan. Pembelaan terhadap yang lemah telah menjadi kewajiban yang telah dilakukan turun-temurun selama ratusan tahun oleh para samurai, sebuah pengabdian yang sejati, ini sesuai dengan hakikat sebutan “samurai” bermakna pengabdian terhadap yang lemah terhadap kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan. Sang letnan Amerika secara sempurna telah menjadi samurai sejati dan berperang mempertaruhkan nyawa mempertahankan kepentingan rakyat lemah yang masih mencintai tradisinya yang menjadi tulang punggung kesejahteraan. Dengan demikian, sang letnan Amerika telah sempurna menjadi orang Jepang, seorang samurai. Dia tak membela kepentingan negaranya sendiri (padahal dia adalah seorang tentara yang telah didoktrin dengan “right or wrong is my country”) yang dalam hal ini telah melakukan sebentuk pemaksan terhadap bangsa lain untuk kepentingan mereka sendiri, mengalahkan dan menghisap pijakan kehidupan rakyat Jepang, para samurai.
Mejadi orang Banyuwangi, saya kira pemahamannya mirip dengan kisah film The Last Samurai itu. Bukan harus menjadi apa pun, tapi pengabdian sejati terhadap jati diri rakyat beserta kebutuhan dasarnya dalam hal ekonomi, sosial-politik, budaya, melakukan pembelaan dari ancaman yang akan datang merusak akar kemanusiaan rakyat Banyuwangi, sekecil apa pun bentuk pengabdian dan pembelan itu dan siapa pun yang melakukannya untuk Banyuwangi, tidak peduli apa pun agama dan kepercayannya, etnis dan posisi sosialnya. Jika ia melakukan pengabdian dan pembelaan serta upaya penjaminan adanya struktur masyarakat yang adil di Banyuwangi, maka ia layak disebut sebagai “wong Banyuwangi” dan pahlawan Banyuwangi yang sejati, yang dalam sebutan yang lebih luas ia adalah sang penjaga nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar kehidupan.
Menjadi “wong Banyuwangi” adalah menjadi manusia yang manusiawi, berjalan dalam kewajaran hidup, memanusiawikan manusia, memanusiawikan tradisi dan berbaur dalam harmoni rakyat Banyuwangi, pun melakukan pengabdian yang sebenar-benarnya (sejati) jauh dari kehendak untuk popularitas dan kepentingan politik atau kekuasaan belaka. Mudah diucapkan, tapi harus kita buktikan dengan nyata, bukan?
Watak Rakyat dan Watak Birokrasi
Oleh Taufiq Wr. Hidayat
Watak Budaya
PERSOALAN watak adalah persoalan tingkah laku, persoalan gaya hidup dan cara kerja, cara menyelesaikan masalah, cara bicara, dan lain-lain cara yang terkait langsung dengan aktifitas manusia atau komunitas masyarakat. watak suatu masyarakat atau suatu daerah tertentu tentu sangat dipengaruhi atau dibentuk oleh kondisi ruang, sejarah, dan kebiasaan dalam kehidupan mereka. Watak kasar seringkali dibentuk oleh keberadaan tempat tinggal serta kebiasaan seseorang atau suatu masyarakat, umumnya masyarakat tepi pantai yang sehari-harinya sebagai nelayan memiliki watak yang keras. Misalnya orang-orang Madura yang cenderung memiliki watak keras karena secara geografis mereka hidup di tepi laut sebagai pelaut, di samping itu mereka juga hidup dalam kondisi alam yang kering tandus.
Watak suatu masyarakat adalah cermin dari budaya dan kebiasaan masyarakat tersebut di dalam beradaptasi dengan kondisi ruang yang ditempatinya, yang terbentuk oleh sejarah atau oleh kurun waktu yang cukup lama.
Watak “wong” Banyuwangi dipengaruhi oleh budaya pantai/pesisir. Meskipun secara keseluruhan, di Banyuwangi ada berbagai komunitas masyarakat multi etnis yang memiliki ciri khasnya sendiri berdasarkan letak ruang tinggal serta kebiasaannya. Ada Madura, Using, Mataraman, dan lain-lain. Kemajemukan etnis itu tentu saja membentuk kebiasaan atau varian budaya yang berbeda-beda. Saya di sini memahami budaya lebih sebagai sebuah dimensi dinamis gerak masyarakat secara harmonis, bukan budaya yang hanya terwakilkan dengan hasil karya seni atau pencapaian di bidang pariwisata. Pemahaman budaya pada bentuk kesenian saja adalah sebentuk pandangan picik pada jasad belaka, sehingga pemahaman yang demikian akan menyeret pada kehendak praktis menjadikan budaya sebagai alat untuk memuliakan diri sendiri atau kelompok sendiri. Hal ini akan menjadikan budaya adalah hantu atau “jerangkong”, berupa mayat yang gentayangan, atau menjadi sebentuk komodifikasi pratis. Celaka!
Keunikan Banyuwangi, bahwa ia memiliki ciri khas tersendiri di dalam laku gerak dimanis masyarakatnya di tengah kemajemukan etnis. Ciri khas Banyuwangi adalah ciri masyarakat Using. Ini bukan berarti bahwa masyarakat selain Using di Banyuwangi tidak ikut serta dalam mempertahankan atau memiliki ciri khas keusingan dalam laku hidup sehari-hari. Ada sebentuk kebanggaan budaya yang dimiliki masyarakat Banyuwangi terhadap identitas kebanyuwangian. Namun demikian, kebiasan etnis selain Using di Banyuwangi tetap berjalan dalam kerangka eksplorasi kreatif. Sehingga Banyuwangi secara kultural, dinamika gerak budayanya bersifat menerima pelbagai unsur kebudayaan/varian budaya dalam pengolahan kreatifitas rakyat. Tidak ada budaya asli, yang ada adalah budaya serapan asli kerakyatan, yakni pelbagai bentuk budaya/kebiasaan masyarakat yang telah melewati proses akulturasi dengan budaya setempat, sebentuk laboratorium budaya kreatif kerakyatan.
Banyuwangi memiliki masyarakat yang berwatak egaliter, berani, tegas, blak-blakan, jujur, dan mencintai kebenaran. Setiap kebudayaan dan watak suatu masyarakat memiliki bentuk/ciri berbeda-beda. Namun dasar utama dari keberbedaan budaya sebagai sebentuk wujud dan ruh geraknya adalah nilai-nilai kemanusiaan, sejauhmana budaya itu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta menegakkan struktur masyarakat yang adil di mana setiap orang dalam segala kemajemukannya dapat hidup di dalamnya. Watak budaya atau watak suatu masyarakat yang memiliki ciri khas atau kecenderungan terhadap memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan ketaatan pada norma-norma adalah watak suatu daerah/masyarakat yang orisinil dan bersifat universal.
Watak egaliter, berani, tegas, jujur, blak-blakan, mencintai kebenaran dan kreatif adalah watak/ciri masyarakat Banyuwangi yang sejati (orisinil). Orang Banyuwangi punya masakan khas yang terasa asin dan lezat, ini persis dengan sikapnya yang blak-blakan tanpa basa-basi. Tentu berbeda dengan masakan khas orang Solo (Jawa) yang terasa manis, persis dengan sikap mereka yang selalu lembut dan bermanis-manis penuh basa-basi.
Dengan watak itulah, masyarakat Banyuwangi menjalani kehidupan dari waktu ke waktu, mengisi hidup dan mengolahnya dengan semangat serta eksistensi lokal yang tidak tercerabut akar budaya dari bumi yang dipijak. Dengan demikian, dinamika dan harmoni kehidupan masyarakat Banyuwangi yang menjadi pewaris kerajaan Blambangan ini, berjalan dengan baik (harmoni), faktual, aktual, dan visioner.
Kearifan manusiawi yang lahir dari irama gerak kebudayan inilah yang musti bersama kita pahami. Kearifan manusiawi secara aktual termanifestasikan dalam pelbagai kondisi faktual gerak kebudayaan suatu masyarakat (antropologis). Kearifan manusiawi tentu saja bersumber dari watak budaya (irama) suatu masyarakat dalam kehidupannya, watak budaya yang merupakan wujud keberadaan inilah yang secara alamiah membuktikan kearifan itu. Kearifan manusiawi secara sublimatif mengejawantah sebagai kearifan lokal atau keraifan tradisi dalam sebuah teritori sosial-politik dan budaya masyarakat.
Watak Birokrasi
Kenapa birokrasi harus memiliki watak? Ya karena birokrasi adalah manusia atau sekumpulan orang yang berada dalam sebuah teritori formal suatu sistem pemerintahan/negara. Tiap kelompok manusia yang berada dalam suatu wilayah (teritori) dan jangka (waktu) serta norma-norma tentu punya watak menurut kondisi ruang-waktunya itu serta norma-norma yang melingkupinya. Birokrasi pada umumnya punya sebentuk kebiasaan yang sama saja di mana-mana. Tapi, kali ini tentu saja saya hendak menyoroti watak/kebiasaan birokrasi di Kab. Banyuwangi (Pemkab) dan strukturnya ke bawah. Demikian juga dengan watak para anggota legislatif kita yang secara formal adalah jabatan politik yang bersifat birokratif.
Sejak masa reformasi, birokrasi di Banyuwangi adalah birokrasi yang susah untuk dirubah kebiasaan buruknya yang diwarisinya selama bertahun-tahun. Terhitung setelah runtuhnya Bupati Purnomo Sidik karena adanya chaos “pembunuhan dukun Santet”, birokrasi kita mengalami ‘kekagetan’ melayani dan menjalankan sistem pemerintahan di tingkat kabupaten. Hegemoni dan kebiasaan sistem lama masih mencengkeram pola kerja dan watak dinamisasi birokrasi. Meskipun pada akhirnya, langkah dan subtansi sistem serta watak birokrasi tidak jauh mengalami perubahan secara signifikan. Sistem dan orang hanya berganti nama, namun subtansi kerjanya tidak bergeser dari pola lama, yakni sistem yang bersifat tidak efektif, efisien, tidak memudahkan rakyat, dan korup. Pada masa pemerintahan Bupati Ir. H. Samsul hadi terjadi penggantian (mutasi) orang-orang dalam jabatannya. Mutasi besar-besaran dilakukan oleh Samsul. Tentu saja Samsul berharap adanya efektifitas kerja-kerja dalam pemerintahannya sebagai ‘bupati reformasi’ pertama di Banyuwangi. Langkah itu cukup ekstrim dan merupakan kehendak berubah secara cepat. Namun, Samsul hanya mampu mengganti/memutasi jajaran birokrasinya, ia tidak secara gradual melakukan perubahan pola sistem. Sehingga birokrasi sebagai “mesin” dan selalu “asal Samsul senang” masih lengket dalam watak birokrasi. Dengan demikian, efektifitas pelayanan publik dari aktualisasi konkret dari amanat Undang-undang dan ketentuan publik tetap sama dengan pola lama. Samsul memiliki langkah spektakuler dalam membangun Banyuwangi, ia mampu menaikkan PAD hingga angka yang cukup tinggi, ia bupati yang paling berprestasi di Jawa Timur dalam peningkatan PAD daerahnya. Meskipun kesejahteraan rakyat tetap tidak bisa paralel dengan tingginya PAD. Kesejahteran rakyat tidak berbanding lurus dengan melimpahnya PAD, ini karena tolok ukur kesejahteran merupakan sebuah bangunan yang berdiri atas pelbagai pilar yang komplek. Efektifitas pelayanan publik oleh birokrasi dan pemerataan pembangunan serta tegaknya hukum dan peraturan/ketentuan publik adalah pilar penting kesejahteraan. Adanya struktur masyarakat yang adil dan bebas bertanggungjawab hidup di dalamnya, adanya jaminan ekonomi dan keamanan, keberbudayan, tegaknya hukum adalah utama suatu masyartakat itu bisa sejahtera. Jika tidak, maka tingginya angka PAD adalah kegagahan penguasa belaka. Apa yang dilakukan Samsul dengan prestasinya yang gemilang di dalam membangun dan menaikkan PAD Kab. Banyuwangi dengan terobosan-terobosannya, tidak diimbangi oleh etos kerja birokrasinya yang kreatif. Watak birokrasi kita waktu itu tetap saja “mesin” yang “asal Samsul senang”. Sehingga kerja sistem tidak maksimal di dalam mencapai target pembangunan, yakni kesejahteraan rakyat Banyuwangi.
Lalu pada tahun 2005, Ratna Ani Lestari yang cantik dan gemuk itu, terpilih sebagai bupati Banyuwangi melalui Pilkada langsung di Banyuwangi. Masa Ratna adalah masa Banyuwangi mengalami kondisi yang “biasa-biasa” saja, kalau tidak mau dikatakan diam, tidak ad prestasi. Watak birokrasinya sama saja, oportunis dan “asal Ratna senyum”. Kondisi Banyuwangi lebih merosot lagi daripada masa Samsul Hadi. Pendidikan dan kesehatan gratis yang diprogramkan Ratna ternyata berjalan sekadar kegagahan politik. Terbukti kesehatan dan pendidikan gratis hanya bersifat di permukaan, anak-anak tetap bayar, kesehatan juga bayar (kalaupun gratis harus ada pengurusan tetek bengek melalui pintu birokrasi yang rumit yang tidak mungkin dilaksanakan rakyat). Ini karena program Ratna adalah program dari pusat kekuasaan yang melaksankannya melalui birokrasi yang tidak kreatif, sehingga alokasi dana pendidikan dan kesehatan habis pada tingkatan birokratif. Lihat saja BOS, misalnya.
Negara memiliki watak memaksa terhadap rakyatnya. Sehingga apa pun kebijakan pemerintah seolah menentukan langsung maupun tidak langsung terhadap nasib rakyat. Kebijakan dan kerja birokrasi adalah sebentuk keniscayaan di dalam memastikan kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik rakyat. Namun tidak demikian semestinya yang terjadi. Rakyat tetap memiliki haknya sendiri dalam menentukan nasib hidupnya menurut wataknya.
Kerja Birokrasi Formal dan Kebutuhan Rakyat
Maka terjadilah benturan dan perlawanan antara kehendak kekuasaan melalui sistem birokrasinya di satu sisi dan kehendak rakyat mempertahankan kelayakan hidupnya di sisi yang lain. Kenapa harus terjadi benturan semacam itu? Ini karena pelbagai kebijakan penguasa tidak populer bagi hajat hidup rakyat. Sistem formal yang dilaksanakan oleh birokrasi dan lembaga formal DPRD tidak menyentuh secara riil terhadap kebutuhan rakyat yang mendasar. Wakil rakyat bekerja menggodok dan memutuskan Raperda dan RAPBD tidak pernah melibatkan aspirasi rakyat. Di sini menjadi jauh hubungan rakyat dengan para penentu kebijakan formal, di mana rakyat tidak terlibat dalam penentuan kebijakan formal terkait nasib hidup mereka.
Salah satu contoh permasalahan kebijakan saja; APBD tahun 2009 terdapat alokasi 15 M untuk program pemberdayaan sosial-ekonomi rakyat Banyuwangi. Dana sebesar itu saya rasa sudah cukuplah dalam membantu pemberdayaan kerja atau usaha ekonomi-sosial rakyat Banyuwangi di 24 kecamatan. Tapi, pada kenyatannya itu tidak tercapai. Kenapa? Karena kebijakan alokasi dan 15 M itu tidak diikuti dengan kerja aktif birokrasi di dalam penyebaran bantuan. Duit sebanyak itu tersebar begitu saja, tidak ada penjaringan aspirasi dan pendalaman terhadap apa kebutuhan rakyat pada wilayah sosial-ekonominya. Bukankah dalam persoalan ini menjadi jelas bahwa proaktif birokrasi yang kreatif menjadi sangat berperan penting? Dengan demikian, sistem dan watak birokrasi yang menjalankan mesin sistem harus dirubah menjadi efektif, mendengarkan dengan sepenuh hati keluhan dan kebutuhan rakyat, kreatif, aplikatif, lebih fleksibel, dan tentu saja jujur. Mudah dicuapkan dan ditulis, tapi susah diwujudkan, bukan?
Banyuwangi, 2009
Banyuwangi yang Berkata-kata
Oleh Taufiq Wr. Hidayat
BANYUWANGI hendak meraih sebuah pencapaian yang telah sekian lama mengendap dalam kegamangan masyarakatnya. Kebudayaan yang kian melebur ke dalam air, menggaungkan kecemasan menghadapi ruang dan waktu.
Di ruang ini, sebuah wilayah ujung timur pulau Jawa, kekuasan menata diri dalam kemolekan sistem formal yang tak pernah mendetakkan nadi rakyat. Kemiskinan masih menjadi raja walau PAD sudah dianggap menggiurkan para politisi dan kaum pejabat.
Orang-orang berbondong memasuki ruang waktu yang gamang oleh nilai-nilai yang kian terbanting di atas meja perjudian politik lokal. Mahasiswa yang tak menggambarkan kematangan berpikir dan masyarakat kota yang semakin terpojok di antara rumah-rumah sempit yang tidak menyediakan ruang bernafas. Tata kota yang berdesakan seolah rambut yang tak pernah disisir. Kita tidak hendak pergi ke pesta, tapi kita tengah merayakan kenaifan di tengah kecemasan aktual yang mentasbihkan kejumudan.
***
Gandrung menarai di tepi laut, sendiri dan sunyi. Orang-orang melempar tatapan pada ruang percintaan yang memabukkan. Jaman telah merubah atau orang-orang tengah menuju pada kesempitan hidup dari segala dinamika yang beradab. Para politisi bergelayutan di tengah kerumunan pasar yang tak pernah mengenyangkan perut para pedagang. Alas Purwo yang angker telah dimasuki hantu-hantu Eropa. Tapi, kita tidak hendak menolaknya, dan kita pun tak akan meratapinya. Tumpang Pitu akan dibongkar untuk diambil emasnya. Sekali lagi kita tidak hendak menangis dan meratapi. Tidak pula kita hendak diam. Yang musti kita tanyakan; sejauh apa semua ini secara jujur memimirkan perut kita. Kebiasaan kita, budaya dan akar kekinian kita yang berdiri dari nilai-nilai masa lalu yang membesarkan? Siapakah yang melakukan itu semua? Kita ataukah mereka? Bila segalanya itu hanya untuk mempermolek kekuasan dan tubuh-tubuh tambun bergula yang berkeliaran di tengah rimba sistem dan kekuatan modal. Maka, tentu kita tidak akan diam! Hidup sekali sudah itu mati, kata Chairil Anwar. Sebuah perlawanan dalam segala bentuk yang terkecil sekalipun harus kita lakukan. Karena kita punya nasib sendiri dan akan menentukan nasib kita sendiri tanpa pendektean dari siapa pun.
Banyuwangi musti gegas dalam bangun karena sejarah membuktikan bahwa Blambangan, Banyuwangi sebagai pewarisnya, tidak pernah tidur menghadapi aktualisasi kenyataan. Kita hidup dan tengah menjalani kehidupan.
***
Banyuwangi kini muali bercakap-cakap dengan setiap orang. Banyuwangi sudah bisa bersabda, atau kini tengah perlahan-lahan tenggelam dalam kegelapan generasinya. Potensi Banyuwangi yang membentang dan meluas: “Kulon gunung wetan segoro, lor lan kidul alas angker keliwat-liwat”. Tapi, siapa sekarang yang hendak merampungkan pekerjaan di tengah orasi politik dan dinamika segerombolan politisi dan penguasa yang tak pernah menyisakan secercah harapan? Mereka hendak ke mana dan hendak menyejahterakan siapa? Hendak memimpin dan hendak mencerahkan siapa? Tak ada selain penghisapan dan pendangkalan merajalela untuk sorga pribadi dan kejayaan keluarga, sahbat, dan kelompok sendiri.
Banyuwangi tengah jatuh cinta pada gerombolan, jatuh cinta pada berhala dan menjadi hamba pemodal dan budak-budak kebanggaan yang palsu. Banyuwangi tengah berada di tengah-tengah lingkaran kecemasan, di tengah lalu lalang pemodal yang meraih kebahagiaan pribadi di tengah lautan air mata rakyat. Ayo kita kerjakan perlawanan terhadap segala kebatuan, terhadap segala kekikiran dan kebusukan. Kita hitung kembali suara kita! Ke mana mereka bawa? Mereka bersuara karena butuh suara, lalu mereka bisu tuli setelah mengantongi suara kita untuk mengenyangkan perut mereka sendiri. Demokrasi yang kita selalu dengungkan seperti lebah, tak lebih hanya “abang-abang lambe” para politisi dan penguasa. Kedaulatan hukum berjalan setengah telanjang, bahkan pada sisi lain berjalan dengan bertelanjang bulat di tengah jalan ramai membias di wajah para hakim kita, jaksa dan polisi. Para pejabat dan mantan pejabat berbondong-bondong dipenjarakan dan diadili. Namun tak pernah kita tahu adanya kepastian dan keadilan yang logis dari kasus-kasus korupsi itu. Pejabat aktif yang menjabat sebagai bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari, ditetapkan sebagai tersangka oleh jaksa, tapi tak kunjung diadili. Sementara mereka yang lebih sebagai korban sistem kekuasaan sudah masuk lebih dulu ke dalam sel. Jadi, jangan berharap tegaknya nilai-nilai demokrasi jika nilai-nilai kemanusiaan dan hukum berjalan telanjang bulat di tengah pasar.
Mari melakukan perhitungan dan pandangan yang tajam terhadap semua ini. Nilai-nilai budaya dan sejarah sudah didominasi oleh suara terkuat dengan orang-orang yang begitu mengabdi pada kekuasaan. Hukum dan kebiasaan bagi kaum penguasa sudah tidak normatif, segala tindakan menjadi sangat tidak masuk akal dan tidak wajar, tidak logis; suatu kengawuran yang menjadi-jadi ngawurnya.
***
Banyuwangi mulai menggeliat, dan belum ada jaminan untuk bangun mengerjakan segala potensi daerah yang kaya raya ini. Sebab itu, kemiskinan merajalela menyebar begitu merata hingga ke dalam gedung dewan kita. Maka, perampokan dan pemaksaan kehendak politik secara formal terselenggara dengan penuh riang. Berlomba-lomba orang-orang dari Jakarta masuk ke Banyuwangi untuk menghisap atau untuk mencalonkan diri sebagai bupati Banyuwangi. Ya. Mereka yang tidak pernah bekerja dan hidup-mati di daerah molek ini, tiba-tiba datang dengan membawa segebok uang untuk pencalonan dirinya sebagai bupati Banyuwangi beserta konsepsi yang membingungkan tentang membangun dan menyejahterakan rakyat. “Berilah rakyat pesta dan uang, maka semua urusan akan selesai,” begitu ungkap Julius Caexar. Uang pun dihambur-hamburkan untuk para tim sukses calon bupati Banyuwangi. Pesta-pesta (atau kegiatan-kegiatan seremonial dan sok ilmiah dengan menghadirkan para pejabat) dilakukan diselenggarakan dengan kegairahan yang menjijikkan. Seminar-seminar dilaksanakan di ruang hotel yang mewah dengan uang yang cukup untuk makan tiga tahun seorang buruh harian atau juru parkir di tepi jalan di emperan-emperan toko. Mereka membahas tentang rakyat, ya, ha.. ha.. ha.. ha.. ha... membahas tentang kebudayaan dan mengenai kemiskinan. Ya! Kik… kik.. kik… kik… kik… Inilah yang paling membuat saya tersedak alias keselak, tenggorokan gatal lalu terbatuk-batuk seperti tengah menerima pertanda nasib buruk.
Pesantren sudah mirip sebuah C.V. dan kiyainya sebagai direktur. Jual beli politik dalam pesantren, dukung mendukung dan propaganda serta doa-doa politik menjadi laris. Gus-gus (putra-putra kiyai) menjadi hebat karena merasa akan menyejahterakan umat. Itu bukan kesalahan! Itu justru memberikan penjelasan kepada kita untuk mengukur suatu kualitas. Masya’ Allah! Lihat saja orang-orang mengutuk lokalisasi serta diskotik karena dianggap tidak islami. Payahlah kita ini jika itu semua karena alasan ketidakislamian. Maka, lebih baik diskotik dan lokalisasi dipajangi kaligrafi dan para pelacur kita suruh pakai jilbab dan selalu mengucapkan salam supaya islami. Dengan begitu, lokalisasi dan tempat-tempat hiburan malam serta perjudian menjadi islami, bukan? Sehingga tidak perlu dibubarkan oleh orang-orang yang berjubah dan membawa pentungan.
***
Kebodohan yang sudah menjadi-jadi bodohnya, kesesatan yang sudah menjadi-jadi sesatnya, kegilaan yang menjadi-jadi gilanya. Maka, mari kita tambahkan sekali lagi semua itu dengan bernyanyi: “Banyuwangi kulon celeng wetan celeng, lor lan kidul alas celeng keliwat-liwat…”
Muncar, 2009