Selasa, 14 Juli 2009

Dadi Wong Banyuwangi

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


MENJADI manusia, tentu saja, adalah tugas manusia. Lha kita ini hanya berbeda warna kulit dan budaya, tapi senyatanya kita adalah satu ras, yakni ras manusia. Menjadi manusia berarti meninggalkan watak binatang, karena dari banyak segi fisik kita ini sama saja dengan binatang. Nah karena kita berakal, akallah yang menjadikan kita sebagai manusia. Itu artinya ialah memanusiawikan orang lain dan memanusiawikan di luar diri kita. Memanusiawikan kuda artinya tidak memforsir kuda untuk terus-menerus bekerja dan dipacu di luar kemampuan kuda itu sendiri. Di sini makna “menjadi” adalah sebentuk proses aktual, konseptual dan kontekstual dari akal kemanusiaan.

Nah bagaimana menjadi manusia? Ya. Sudah menjadi takdir. Sebelum lahir kita tidak bisa berkehendak terlebih dahulu untuk lahir sebagai kucing atau Hitler, umpamanya. Sudah ketetapan Tuhan Yang Maha Esa bahwa saya lahir sebagai Taufiq beserta segenap identitas dan keberadan saya. Lalu bagaimana menjadi orang Banyuwangi? Menjadi apa pun itu terletak pada dari mana dilihatnya. Orang Amerika, ya karena dia tinggal di Amerika, lahir dan besar di sana serta menyandang identitas budaya Amerika.

Kali ini adalah bagaimana menjadi orang Banyuwangi? Tentu saja seorang manusia yang tinggal di Banyuwangi, lahir besar di Banyuwangi kemudian memiliki identitas budaya lokal sebagai watak rakyat Banyuwangi. Bisakah orang yang lahir dan besar di luar Banyuwangi kemudian bertempat tinggal di Banyuwangi karena suatu kepentingan disebut “wong Banyuwangi”? Bisa saja! Karena daerah mana pun di wilayah Indonesia boleh ditempati oleh orang Indonesia dari daerah mana pun, bahkan orang luar negeri juga boleh, tentu dengan pelbagai perlengkapan formalitas sebagai warga negara. Ratna itu lahir di Banyuwangi, besar di luar Banyuwangi, tinggal di Bali, beragama Hindu lalu menikah dengan bupati Jemberana, I Gede Winasa. Lantas dia pindah ke Banyuwangi, mencalonkan diri sebagai bupati Banyuwangi, dan jadi. Apakah dia kemudian kita anggap bukan orang Banyuwangi? Kita lihat dulu dari perspektif apa kita menilainya. Sudahkah Ratna menyandang identitas kearifan lokal rakyat Banyuwangi dan sudahkah dia berbaur dengan dinamika rakyat Banyuwangi? Itu pertanyaannya. Tidak penting dia itu Islam atau Hindu, dia itu berbudaya Bali atau Bugis, sama sekali itu gak penting! Yang terpenting bahwa sebagai bupati Banyuwangi (pemimpin formal), Ratna harus bisa memahami watak dan budaya Banyuwangi, kebutuhan rakyat secara mendasar dan menjalankan ban pemerintahan dengan kebijakan yang memihak kepada rakyat Banyuwangi tanpa mencerabut rakyat dari kearifan lokalnya.

Menjadi orang Banyuwangi, tentu saja, tidaklah sekadar menempati daerah Banyuwangi, hidup di Banyuwangi dan bekerja di Banyuwangi serta aktif dalam sistem formal di Kab. Banyuwangi. Lebih dari itu, mestilah memahami watak budaya, sejarah dan dinamika sosial-politik rakyat Banyuwangi yang majemuk, berbaur dalam harmoni, aktif dalam setiap pengolahan kehidupan dalam lingkup yang sekecil apa pun. Menjadi naif dan tidaklah bijaksan jika hanya hidup dan mengolah kehidupan di Banyuwangi demi kepentingan pribadi belaka atau hanya kebutuhan politik saja, atau sekadar memburu popularitas. Itu sama halnya dengan “ada” dengan kepicikan, dengan kuantitas tanpa kualitas, kayak kebo yang patah kakinya, tenaganya tidak berguna nah otaknya adalah binatang. Susah!

Memahami dan mengenali diri sendiri adalah suatu pencerahan dan memahami serta mengenali orang lain atau lingkungan adalah kebijaksanaan. Dalam sebuah film berjudul The Last Samurai, betapa seroang letnan tentara Amerika jadi orang Jepang sebagai seorang samurai yang sejati, hingga dengan itu ia rela mengorbankan segalanya dari hidupnya, jabatannya, pensiunnya, bahkan nyawanya dipertaruhkan. Sang letnan diselamatkan dan dirawat luka parahnya oleh sebuah keluarga Jepang tradisional. Keluarga itu adalah keluarga yang kepala keluarganya dibunuh oleh sang letnan dalam peperangan. Seorang wanita Jepang dengan dua orang anaknya yang masih kecil dengan tulus merawat sang letnan Amerika yang sedang terluka itu, padahal sang letnan telah membunuh suami dan bapak mereka dalam pertempuran. Di tengah kampung tradisional Jepang dengan para samurai itulah, sang letnan dirawat dan mempelajari kearifan tradisional orang-orang Jepang (para samurai) yang terkesan kasar namun santun dan memiliki loyalitas persaudaraan yang luar biasa. Ketika kaisar Jepang hendak mengeluarkan kebijakan politik yang tidak memihak rakyat Jepang, yakni perjanjian dengan pihak Amerika untuk mempersenjatai tentara kaisar dengan senjata modern, justru sang letnan Amerika itu membela kepentingan orang Jepang (para samurai) dengan menjadi seorang samurai sejati. Dia berperang melawan tentara kaisar karena menentang kebijakan politik kaisar yang merugikan rakyat lemah itu. Dia melawan tentara kaisar yang telah dipersenjatai dengan senjata-senjata modern dari Amerika dengan senjata-senjata tradisional Jepang seperti tombak, panah, dan samurai. Sang letnan dengan yakin mempertaruhkan nyawanya sendiri bersama para samurai lainnya melawan kaisar demi mempertahankan tradisi dan kehormatan jati diri samurai, yakni membela rakyat yang lemah hingga kalah dalam titik darah penghabisan. Pembelaan terhadap yang lemah telah menjadi kewajiban yang telah dilakukan turun-temurun selama ratusan tahun oleh para samurai, sebuah pengabdian yang sejati, ini sesuai dengan hakikat sebutan “samurai” bermakna pengabdian terhadap yang lemah terhadap kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan. Sang letnan Amerika secara sempurna telah menjadi samurai sejati dan berperang mempertaruhkan nyawa mempertahankan kepentingan rakyat lemah yang masih mencintai tradisinya yang menjadi tulang punggung kesejahteraan. Dengan demikian, sang letnan Amerika telah sempurna menjadi orang Jepang, seorang samurai. Dia tak membela kepentingan negaranya sendiri (padahal dia adalah seorang tentara yang telah didoktrin dengan “right or wrong is my country”) yang dalam hal ini telah melakukan sebentuk pemaksan terhadap bangsa lain untuk kepentingan mereka sendiri, mengalahkan dan menghisap pijakan kehidupan rakyat Jepang, para samurai.

Mejadi orang Banyuwangi, saya kira pemahamannya mirip dengan kisah film The Last Samurai itu. Bukan harus menjadi apa pun, tapi pengabdian sejati terhadap jati diri rakyat beserta kebutuhan dasarnya dalam hal ekonomi, sosial-politik, budaya, melakukan pembelaan dari ancaman yang akan datang merusak akar kemanusiaan rakyat Banyuwangi, sekecil apa pun bentuk pengabdian dan pembelan itu dan siapa pun yang melakukannya untuk Banyuwangi, tidak peduli apa pun agama dan kepercayannya, etnis dan posisi sosialnya. Jika ia melakukan pengabdian dan pembelaan serta upaya penjaminan adanya struktur masyarakat yang adil di Banyuwangi, maka ia layak disebut sebagai “wong Banyuwangi” dan pahlawan Banyuwangi yang sejati, yang dalam sebutan yang lebih luas ia adalah sang penjaga nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar kehidupan.

Menjadi “wong Banyuwangi” adalah menjadi manusia yang manusiawi, berjalan dalam kewajaran hidup, memanusiawikan manusia, memanusiawikan tradisi dan berbaur dalam harmoni rakyat Banyuwangi, pun melakukan pengabdian yang sebenar-benarnya (sejati) jauh dari kehendak untuk popularitas dan kepentingan politik atau kekuasaan belaka. Mudah diucapkan, tapi harus kita buktikan dengan nyata, bukan?


Banyuwangi, 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar