Selasa, 14 Juli 2009

Watak Rakyat dan Watak Birokrasi

Oleh Taufiq Wr. Hidayat


Watak Budaya


PERSOALAN watak adalah persoalan tingkah laku, persoalan gaya hidup dan cara kerja, cara menyelesaikan masalah, cara bicara, dan lain-lain cara yang terkait langsung dengan aktifitas manusia atau komunitas masyarakat. watak suatu masyarakat atau suatu daerah tertentu tentu sangat dipengaruhi atau dibentuk oleh kondisi ruang, sejarah, dan kebiasaan dalam kehidupan mereka. Watak kasar seringkali dibentuk oleh keberadaan tempat tinggal serta kebiasaan seseorang atau suatu masyarakat, umumnya masyarakat tepi pantai yang sehari-harinya sebagai nelayan memiliki watak yang keras. Misalnya orang-orang Madura yang cenderung memiliki watak keras karena secara geografis mereka hidup di tepi laut sebagai pelaut, di samping itu mereka juga hidup dalam kondisi alam yang kering tandus.


Watak suatu masyarakat adalah cermin dari budaya dan kebiasaan masyarakat tersebut di dalam beradaptasi dengan kondisi ruang yang ditempatinya, yang terbentuk oleh sejarah atau oleh kurun waktu yang cukup lama.


Watak “wong” Banyuwangi dipengaruhi oleh budaya pantai/pesisir. Meskipun secara keseluruhan, di Banyuwangi ada berbagai komunitas masyarakat multi etnis yang memiliki ciri khasnya sendiri berdasarkan letak ruang tinggal serta kebiasaannya. Ada Madura, Using, Mataraman, dan lain-lain. Kemajemukan etnis itu tentu saja membentuk kebiasaan atau varian budaya yang berbeda-beda. Saya di sini memahami budaya lebih sebagai sebuah dimensi dinamis gerak masyarakat secara harmonis, bukan budaya yang hanya terwakilkan dengan hasil karya seni atau pencapaian di bidang pariwisata. Pemahaman budaya pada bentuk kesenian saja adalah sebentuk pandangan picik pada jasad belaka, sehingga pemahaman yang demikian akan menyeret pada kehendak praktis menjadikan budaya sebagai alat untuk memuliakan diri sendiri atau kelompok sendiri. Hal ini akan menjadikan budaya adalah hantu atau “jerangkong”, berupa mayat yang gentayangan, atau menjadi sebentuk komodifikasi pratis. Celaka!


Keunikan Banyuwangi, bahwa ia memiliki ciri khas tersendiri di dalam laku gerak dimanis masyarakatnya di tengah kemajemukan etnis. Ciri khas Banyuwangi adalah ciri masyarakat Using. Ini bukan berarti bahwa masyarakat selain Using di Banyuwangi tidak ikut serta dalam mempertahankan atau memiliki ciri khas keusingan dalam laku hidup sehari-hari. Ada sebentuk kebanggaan budaya yang dimiliki masyarakat Banyuwangi terhadap identitas kebanyuwangian. Namun demikian, kebiasan etnis selain Using di Banyuwangi tetap berjalan dalam kerangka eksplorasi kreatif. Sehingga Banyuwangi secara kultural, dinamika gerak budayanya bersifat menerima pelbagai unsur kebudayaan/varian budaya dalam pengolahan kreatifitas rakyat. Tidak ada budaya asli, yang ada adalah budaya serapan asli kerakyatan, yakni pelbagai bentuk budaya/kebiasaan masyarakat yang telah melewati proses akulturasi dengan budaya setempat, sebentuk laboratorium budaya kreatif kerakyatan.


Banyuwangi memiliki masyarakat yang berwatak egaliter, berani, tegas, blak-blakan, jujur, dan mencintai kebenaran. Setiap kebudayaan dan watak suatu masyarakat memiliki bentuk/ciri berbeda-beda. Namun dasar utama dari keberbedaan budaya sebagai sebentuk wujud dan ruh geraknya adalah nilai-nilai kemanusiaan, sejauhmana budaya itu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta menegakkan struktur masyarakat yang adil di mana setiap orang dalam segala kemajemukannya dapat hidup di dalamnya. Watak budaya atau watak suatu masyarakat yang memiliki ciri khas atau kecenderungan terhadap memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan ketaatan pada norma-norma adalah watak suatu daerah/masyarakat yang orisinil dan bersifat universal.

Watak egaliter, berani, tegas, jujur, blak-blakan, mencintai kebenaran dan kreatif adalah watak/ciri masyarakat Banyuwangi yang sejati (orisinil). Orang Banyuwangi punya masakan khas yang terasa asin dan lezat, ini persis dengan sikapnya yang blak-blakan tanpa basa-basi. Tentu berbeda dengan masakan khas orang Solo (Jawa) yang terasa manis, persis dengan sikap mereka yang selalu lembut dan bermanis-manis penuh basa-basi.


Dengan watak itulah, masyarakat Banyuwangi menjalani kehidupan dari waktu ke waktu, mengisi hidup dan mengolahnya dengan semangat serta eksistensi lokal yang tidak tercerabut akar budaya dari bumi yang dipijak. Dengan demikian, dinamika dan harmoni kehidupan masyarakat Banyuwangi yang menjadi pewaris kerajaan Blambangan ini, berjalan dengan baik (harmoni), faktual, aktual, dan visioner.

Kearifan manusiawi yang lahir dari irama gerak kebudayan inilah yang musti bersama kita pahami. Kearifan manusiawi secara aktual termanifestasikan dalam pelbagai kondisi faktual gerak kebudayaan suatu masyarakat (antropologis). Kearifan manusiawi tentu saja bersumber dari watak budaya (irama) suatu masyarakat dalam kehidupannya, watak budaya yang merupakan wujud keberadaan inilah yang secara alamiah membuktikan kearifan itu. Kearifan manusiawi secara sublimatif mengejawantah sebagai kearifan lokal atau keraifan tradisi dalam sebuah teritori sosial-politik dan budaya masyarakat.


Watak Birokrasi



Kenapa birokrasi harus memiliki watak? Ya karena birokrasi adalah manusia atau sekumpulan orang yang berada dalam sebuah teritori formal suatu sistem pemerintahan/negara. Tiap kelompok manusia yang berada dalam suatu wilayah (teritori) dan jangka (waktu) serta norma-norma tentu punya watak menurut kondisi ruang-waktunya itu serta norma-norma yang melingkupinya. Birokrasi pada umumnya punya sebentuk kebiasaan yang sama saja di mana-mana. Tapi, kali ini tentu saja saya hendak menyoroti watak/kebiasaan birokrasi di Kab. Banyuwangi (Pemkab) dan strukturnya ke bawah. Demikian juga dengan watak para anggota legislatif kita yang secara formal adalah jabatan politik yang bersifat birokratif.


Sejak masa reformasi, birokrasi di Banyuwangi adalah birokrasi yang susah untuk dirubah kebiasaan buruknya yang diwarisinya selama bertahun-tahun. Terhitung setelah runtuhnya Bupati Purnomo Sidik karena adanya chaos “pembunuhan dukun Santet”, birokrasi kita mengalami ‘kekagetan’ melayani dan menjalankan sistem pemerintahan di tingkat kabupaten. Hegemoni dan kebiasaan sistem lama masih mencengkeram pola kerja dan watak dinamisasi birokrasi. Meskipun pada akhirnya, langkah dan subtansi sistem serta watak birokrasi tidak jauh mengalami perubahan secara signifikan. Sistem dan orang hanya berganti nama, namun subtansi kerjanya tidak bergeser dari pola lama, yakni sistem yang bersifat tidak efektif, efisien, tidak memudahkan rakyat, dan korup. Pada masa pemerintahan Bupati Ir. H. Samsul hadi terjadi penggantian (mutasi) orang-orang dalam jabatannya. Mutasi besar-besaran dilakukan oleh Samsul. Tentu saja Samsul berharap adanya efektifitas kerja-kerja dalam pemerintahannya sebagai ‘bupati reformasi’ pertama di Banyuwangi. Langkah itu cukup ekstrim dan merupakan kehendak berubah secara cepat. Namun, Samsul hanya mampu mengganti/memutasi jajaran birokrasinya, ia tidak secara gradual melakukan perubahan pola sistem. Sehingga birokrasi sebagai “mesin” dan selalu “asal Samsul senang” masih lengket dalam watak birokrasi. Dengan demikian, efektifitas pelayanan publik dari aktualisasi konkret dari amanat Undang-undang dan ketentuan publik tetap sama dengan pola lama. Samsul memiliki langkah spektakuler dalam membangun Banyuwangi, ia mampu menaikkan PAD hingga angka yang cukup tinggi, ia bupati yang paling berprestasi di Jawa Timur dalam peningkatan PAD daerahnya. Meskipun kesejahteraan rakyat tetap tidak bisa paralel dengan tingginya PAD. Kesejahteran rakyat tidak berbanding lurus dengan melimpahnya PAD, ini karena tolok ukur kesejahteran merupakan sebuah bangunan yang berdiri atas pelbagai pilar yang komplek. Efektifitas pelayanan publik oleh birokrasi dan pemerataan pembangunan serta tegaknya hukum dan peraturan/ketentuan publik adalah pilar penting kesejahteraan. Adanya struktur masyarakat yang adil dan bebas bertanggungjawab hidup di dalamnya, adanya jaminan ekonomi dan keamanan, keberbudayan, tegaknya hukum adalah utama suatu masyartakat itu bisa sejahtera. Jika tidak, maka tingginya angka PAD adalah kegagahan penguasa belaka. Apa yang dilakukan Samsul dengan prestasinya yang gemilang di dalam membangun dan menaikkan PAD Kab. Banyuwangi dengan terobosan-terobosannya, tidak diimbangi oleh etos kerja birokrasinya yang kreatif. Watak birokrasi kita waktu itu tetap saja “mesin” yang “asal Samsul senang”. Sehingga kerja sistem tidak maksimal di dalam mencapai target pembangunan, yakni kesejahteraan rakyat Banyuwangi.


Lalu pada tahun 2005, Ratna Ani Lestari yang cantik dan gemuk itu, terpilih sebagai bupati Banyuwangi melalui Pilkada langsung di Banyuwangi. Masa Ratna adalah masa Banyuwangi mengalami kondisi yang “biasa-biasa” saja, kalau tidak mau dikatakan diam, tidak ad prestasi. Watak birokrasinya sama saja, oportunis dan “asal Ratna senyum”. Kondisi Banyuwangi lebih merosot lagi daripada masa Samsul Hadi. Pendidikan dan kesehatan gratis yang diprogramkan Ratna ternyata berjalan sekadar kegagahan politik. Terbukti kesehatan dan pendidikan gratis hanya bersifat di permukaan, anak-anak tetap bayar, kesehatan juga bayar (kalaupun gratis harus ada pengurusan tetek bengek melalui pintu birokrasi yang rumit yang tidak mungkin dilaksanakan rakyat). Ini karena program Ratna adalah program dari pusat kekuasaan yang melaksankannya melalui birokrasi yang tidak kreatif, sehingga alokasi dana pendidikan dan kesehatan habis pada tingkatan birokratif. Lihat saja BOS, misalnya.


Negara memiliki watak memaksa terhadap rakyatnya. Sehingga apa pun kebijakan pemerintah seolah menentukan langsung maupun tidak langsung terhadap nasib rakyat. Kebijakan dan kerja birokrasi adalah sebentuk keniscayaan di dalam memastikan kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik rakyat. Namun tidak demikian semestinya yang terjadi. Rakyat tetap memiliki haknya sendiri dalam menentukan nasib hidupnya menurut wataknya.


Kerja Birokrasi Formal dan Kebutuhan Rakyat



Maka terjadilah benturan dan perlawanan antara kehendak kekuasaan melalui sistem birokrasinya di satu sisi dan kehendak rakyat mempertahankan kelayakan hidupnya di sisi yang lain. Kenapa harus terjadi benturan semacam itu? Ini karena pelbagai kebijakan penguasa tidak populer bagi hajat hidup rakyat. Sistem formal yang dilaksanakan oleh birokrasi dan lembaga formal DPRD tidak menyentuh secara riil terhadap kebutuhan rakyat yang mendasar. Wakil rakyat bekerja menggodok dan memutuskan Raperda dan RAPBD tidak pernah melibatkan aspirasi rakyat. Di sini menjadi jauh hubungan rakyat dengan para penentu kebijakan formal, di mana rakyat tidak terlibat dalam penentuan kebijakan formal terkait nasib hidup mereka.


Salah satu contoh permasalahan kebijakan saja; APBD tahun 2009 terdapat alokasi 15 M untuk program pemberdayaan sosial-ekonomi rakyat Banyuwangi. Dana sebesar itu saya rasa sudah cukuplah dalam membantu pemberdayaan kerja atau usaha ekonomi-sosial rakyat Banyuwangi di 24 kecamatan. Tapi, pada kenyatannya itu tidak tercapai. Kenapa? Karena kebijakan alokasi dan 15 M itu tidak diikuti dengan kerja aktif birokrasi di dalam penyebaran bantuan. Duit sebanyak itu tersebar begitu saja, tidak ada penjaringan aspirasi dan pendalaman terhadap apa kebutuhan rakyat pada wilayah sosial-ekonominya. Bukankah dalam persoalan ini menjadi jelas bahwa proaktif birokrasi yang kreatif menjadi sangat berperan penting? Dengan demikian, sistem dan watak birokrasi yang menjalankan mesin sistem harus dirubah menjadi efektif, mendengarkan dengan sepenuh hati keluhan dan kebutuhan rakyat, kreatif, aplikatif, lebih fleksibel, dan tentu saja jujur. Mudah dicuapkan dan ditulis, tapi susah diwujudkan, bukan?


Banyuwangi, 2009

1 komentar:

  1. Alhamdulillah aku dapat informasi tentang watak orang Banyuwangi yang kayaknya sama dengan watak orang Banyumas yaitu berwatak egaliter, berani, tegas, blak-blakan, jujur, dan mencintai kebenaran.

    BalasHapus