Selasa, 14 Juli 2009

Banyuwangi yang Berkata-kata

Oleh Taufiq Wr. Hidayat


BANYUWANGI hendak meraih sebuah pencapaian yang telah sekian lama mengendap dalam kegamangan masyarakatnya. Kebudayaan yang kian melebur ke dalam air, menggaungkan kecemasan menghadapi ruang dan waktu.

Di ruang ini, sebuah wilayah ujung timur pulau Jawa, kekuasan menata diri dalam kemolekan sistem formal yang tak pernah mendetakkan nadi rakyat. Kemiskinan masih menjadi raja walau PAD sudah dianggap menggiurkan para politisi dan kaum pejabat.

Orang-orang berbondong memasuki ruang waktu yang gamang oleh nilai-nilai yang kian terbanting di atas meja perjudian politik lokal. Mahasiswa yang tak menggambarkan kematangan berpikir dan masyarakat kota yang semakin terpojok di antara rumah-rumah sempit yang tidak menyediakan ruang bernafas. Tata kota yang berdesakan seolah rambut yang tak pernah disisir. Kita tidak hendak pergi ke pesta, tapi kita tengah merayakan kenaifan di tengah kecemasan aktual yang mentasbihkan kejumudan.

***

Gandrung menarai di tepi laut, sendiri dan sunyi. Orang-orang melempar tatapan pada ruang percintaan yang memabukkan. Jaman telah merubah atau orang-orang tengah menuju pada kesempitan hidup dari segala dinamika yang beradab. Para politisi bergelayutan di tengah kerumunan pasar yang tak pernah mengenyangkan perut para pedagang. Alas Purwo yang angker telah dimasuki hantu-hantu Eropa. Tapi, kita tidak hendak menolaknya, dan kita pun tak akan meratapinya. Tumpang Pitu akan dibongkar untuk diambil emasnya. Sekali lagi kita tidak hendak menangis dan meratapi. Tidak pula kita hendak diam. Yang musti kita tanyakan; sejauh apa semua ini secara jujur memimirkan perut kita. Kebiasaan kita, budaya dan akar kekinian kita yang berdiri dari nilai-nilai masa lalu yang membesarkan? Siapakah yang melakukan itu semua? Kita ataukah mereka? Bila segalanya itu hanya untuk mempermolek kekuasan dan tubuh-tubuh tambun bergula yang berkeliaran di tengah rimba sistem dan kekuatan modal. Maka, tentu kita tidak akan diam! Hidup sekali sudah itu mati, kata Chairil Anwar. Sebuah perlawanan dalam segala bentuk yang terkecil sekalipun harus kita lakukan. Karena kita punya nasib sendiri dan akan menentukan nasib kita sendiri tanpa pendektean dari siapa pun.

Banyuwangi musti gegas dalam bangun karena sejarah membuktikan bahwa Blambangan, Banyuwangi sebagai pewarisnya, tidak pernah tidur menghadapi aktualisasi kenyataan. Kita hidup dan tengah menjalani kehidupan.

***

Banyuwangi kini muali bercakap-cakap dengan setiap orang. Banyuwangi sudah bisa bersabda, atau kini tengah perlahan-lahan tenggelam dalam kegelapan generasinya. Potensi Banyuwangi yang membentang dan meluas: “Kulon gunung wetan segoro, lor lan kidul alas angker keliwat-liwat”. Tapi, siapa sekarang yang hendak merampungkan pekerjaan di tengah orasi politik dan dinamika segerombolan politisi dan penguasa yang tak pernah menyisakan secercah harapan? Mereka hendak ke mana dan hendak menyejahterakan siapa? Hendak memimpin dan hendak mencerahkan siapa? Tak ada selain penghisapan dan pendangkalan merajalela untuk sorga pribadi dan kejayaan keluarga, sahbat, dan kelompok sendiri.

Banyuwangi tengah jatuh cinta pada gerombolan, jatuh cinta pada berhala dan menjadi hamba pemodal dan budak-budak kebanggaan yang palsu. Banyuwangi tengah berada di tengah-tengah lingkaran kecemasan, di tengah lalu lalang pemodal yang meraih kebahagiaan pribadi di tengah lautan air mata rakyat. Ayo kita kerjakan perlawanan terhadap segala kebatuan, terhadap segala kekikiran dan kebusukan. Kita hitung kembali suara kita! Ke mana mereka bawa? Mereka bersuara karena butuh suara, lalu mereka bisu tuli setelah mengantongi suara kita untuk mengenyangkan perut mereka sendiri. Demokrasi yang kita selalu dengungkan seperti lebah, tak lebih hanya “abang-abang lambe” para politisi dan penguasa. Kedaulatan hukum berjalan setengah telanjang, bahkan pada sisi lain berjalan dengan bertelanjang bulat di tengah jalan ramai membias di wajah para hakim kita, jaksa dan polisi. Para pejabat dan mantan pejabat berbondong-bondong dipenjarakan dan diadili. Namun tak pernah kita tahu adanya kepastian dan keadilan yang logis dari kasus-kasus korupsi itu. Pejabat aktif yang menjabat sebagai bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari, ditetapkan sebagai tersangka oleh jaksa, tapi tak kunjung diadili. Sementara mereka yang lebih sebagai korban sistem kekuasaan sudah masuk lebih dulu ke dalam sel. Jadi, jangan berharap tegaknya nilai-nilai demokrasi jika nilai-nilai kemanusiaan dan hukum berjalan telanjang bulat di tengah pasar.

Mari melakukan perhitungan dan pandangan yang tajam terhadap semua ini. Nilai-nilai budaya dan sejarah sudah didominasi oleh suara terkuat dengan orang-orang yang begitu mengabdi pada kekuasaan. Hukum dan kebiasaan bagi kaum penguasa sudah tidak normatif, segala tindakan menjadi sangat tidak masuk akal dan tidak wajar, tidak logis; suatu kengawuran yang menjadi-jadi ngawurnya.

***

Banyuwangi mulai menggeliat, dan belum ada jaminan untuk bangun mengerjakan segala potensi daerah yang kaya raya ini. Sebab itu, kemiskinan merajalela menyebar begitu merata hingga ke dalam gedung dewan kita. Maka, perampokan dan pemaksaan kehendak politik secara formal terselenggara dengan penuh riang. Berlomba-lomba orang-orang dari Jakarta masuk ke Banyuwangi untuk menghisap atau untuk mencalonkan diri sebagai bupati Banyuwangi. Ya. Mereka yang tidak pernah bekerja dan hidup-mati di daerah molek ini, tiba-tiba datang dengan membawa segebok uang untuk pencalonan dirinya sebagai bupati Banyuwangi beserta konsepsi yang membingungkan tentang membangun dan menyejahterakan rakyat. “Berilah rakyat pesta dan uang, maka semua urusan akan selesai,” begitu ungkap Julius Caexar. Uang pun dihambur-hamburkan untuk para tim sukses calon bupati Banyuwangi. Pesta-pesta (atau kegiatan-kegiatan seremonial dan sok ilmiah dengan menghadirkan para pejabat) dilakukan diselenggarakan dengan kegairahan yang menjijikkan. Seminar-seminar dilaksanakan di ruang hotel yang mewah dengan uang yang cukup untuk makan tiga tahun seorang buruh harian atau juru parkir di tepi jalan di emperan-emperan toko. Mereka membahas tentang rakyat, ya, ha.. ha.. ha.. ha.. ha... membahas tentang kebudayaan dan mengenai kemiskinan. Ya! Kik… kik.. kik… kik… kik… Inilah yang paling membuat saya tersedak alias keselak, tenggorokan gatal lalu terbatuk-batuk seperti tengah menerima pertanda nasib buruk.

Pesantren sudah mirip sebuah C.V. dan kiyainya sebagai direktur. Jual beli politik dalam pesantren, dukung mendukung dan propaganda serta doa-doa politik menjadi laris. Gus-gus (putra-putra kiyai) menjadi hebat karena merasa akan menyejahterakan umat. Itu bukan kesalahan! Itu justru memberikan penjelasan kepada kita untuk mengukur suatu kualitas. Masya’ Allah! Lihat saja orang-orang mengutuk lokalisasi serta diskotik karena dianggap tidak islami. Payahlah kita ini jika itu semua karena alasan ketidakislamian. Maka, lebih baik diskotik dan lokalisasi dipajangi kaligrafi dan para pelacur kita suruh pakai jilbab dan selalu mengucapkan salam supaya islami. Dengan begitu, lokalisasi dan tempat-tempat hiburan malam serta perjudian menjadi islami, bukan? Sehingga tidak perlu dibubarkan oleh orang-orang yang berjubah dan membawa pentungan.

***

Kebodohan yang sudah menjadi-jadi bodohnya, kesesatan yang sudah menjadi-jadi sesatnya, kegilaan yang menjadi-jadi gilanya. Maka, mari kita tambahkan sekali lagi semua itu dengan bernyanyi: “Banyuwangi kulon celeng wetan celeng, lor lan kidul alas celeng keliwat-liwat…”

Muncar, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar