Sabtu, 18 Juli 2009

Saja-sajak Taufiq Wr. Hidayat

Lahir

Aku mengenalnya sejak dalam rahimmu yang gelap.
Dari kedalamannya aku mengintip celah cahaya
Melalui pusarmu yang agung
Kesunyian sedemikian menggetarkan
Mengibarkan warna-warna jagat raya
Menjalani keniscayaan dari ketidakberhinggaan yang hampa

Ladang-ladang kerinduan
Menyampaikan harum tanah dalam kesunyian rahimmu
Menghendakkan aku lahir menyeutuh kefanaan

Ladang-ladang kesetiaanmu
Memastikan satu keutuhan abadi
Tak akan sirna
Lepas dari ruang dan waktu

Kau ajari aku bercocok tanam
Menanam kesabaran pada ladang-ladang
Menghitung helaian gerimis yang luruh pada senja hari
Memusykilkan waktu dan ruang

Di tepi segala pengasingan
Aku melambaikan kenangan kecil
Di tengah hutan
Aku tersesat pada sehelai sungai
Dan suaramu menggema menguasai segala ruang kesejatian
“Ke mana kamu, wahai belahan jiwa?”
“Di dalam rimbun rindumu.”
Ibu.

***

Gembala

Pada sebuah rumah
Puluhan kambing dan beberapa ekor bebek
Kau ajarkan padaku menggembalakan harapan
Menyeduh rindu saat senja bertamu

Pada pundakmu, setiap sunyi menjadi putih
Saat tak ada lagi kesombongan berdiri
Tak ada lagi embun jatuh tanpa sebatang pohon
Dan luka meneruskan diri dalam kecemasan

Dunia sebentuk ruang tunggu
Di situ setiap nafas menghisap bau kabel yang terbakar
Wajah-wajah muncul dari dalam kaca
Dengan segala kegamangan dengan segala ketidakutuhan

Aku lari ke atas bukit rindu yang setiap pagi
Selalu kau sirami dengan tanganmu
Hingga di situ aku telah meleleh bersama embun
Dan udara membawakan sehelai namamu
Ke dalam ketiadaanku

***

Anak-anak yang Berlari

Pengembaraan cahaya pada semesta
Lampu-lampu lokomotif tua menyorot ke dalam dirinya sendiri,
Mentasbihkan sebentuk keredupan usia,
Menimang gelisah
Segala jawab menjadi gerombolan debu menghambur
Pada tiap keasingan yang kabur
Pada kesedihan yang lezat
Bersarang pada dinding-dinding kota
“Apakah kita akan ke pesta?”

Sejuta kunci dari pintu-pintu kesunyian
Mematahkan ruang yang tenggelam

Anak-anakmu berlari mengerubungi jaman
Hendak menemukan kesejatian
Di antara radio, tv, koran, monitor yang menyala senantiasa
Dan pada atap-atap Warnet
Yang tidak pernah berhenti
Meminumkan air matamu
Yang bertahun-tahun menetes ketika kau mengepel lantai rumah
Saat udara senja mulai terasa
Hingga petang
Menjadi gamang

***

Samudera Senjakala

Samudera senjakala redup cahaya. Rimbun
Rindumu menyemak di ladang-ladang air mataku. Akulah
Kehampaan yang ngejawantah, menjadi batang pohon
Tumbuh di tengah keramaian kota. Aku
Rindu rahimmu yang sunyi. Tenang sebagaimana perjamuan
Makan malam redup, pada batas segala persoalan
Yang tak memerlukan jawaban. Kesunyian samuderamu
Mengajariku melambai seperti kenangan kecil sebelum malam terpejam. Aku
Ngembara mencari yang tak pernah bisa ditemukan, tak pernah bisa dipersembahkan.

Muncar, 2009

***

Ambang Juni
—Muzayana

Juni perlahan mengetuk daun jendelamu,
begitu pelan. Udara dingin rebah pada kaca,
pada sebuah musim yang bercerita
mengenai pergulatan dalam tiap jenak,
tiap denyut memanggil-manggil
nama-nama agung dari kejauhan,
dan rindumu sederhana

Diam-diam Juni membawa melati, pelan-pelan membisikkan
tentang halaman rumah yang teduh, di mana kau hendak hidup dengan cerita
mengenai hujan yang turun semalaman

Sebelum hawa tropika dengan lembut menyentuh hidungmu,
dan keresahan Juni berlari di atap-atap kota
rasakanlah bulan akan menguntum pada alismu

Masih sebentar lagi, bulan-bulan berjatuhan
bersama butiran jarum jam di halaman yang kita rencanakan
pada ambang segala kegelisahan

Dari balik jendela, ambang Juni diam-diam
melepas kerinduan musim yang merahasiakan
segala awal dari tiap pergulatan
orang-orang masih menghitung butiran gerimis
yang musykil dengan tangis
pada segenap perjalanan ruang,
pada tiap kuntum jam dindingmu
yang membiru berdebu

Pada ambang Juni, kita masih meratap di balik kegelisahan
segala kerinduan berdiam di tikungan

Langit perlahan terus melebar
tanpa mengungkapkan kisah
tentang teka teki sang penebang kayu yang mendesah

Kota hujan, dan Juni melambaikan udara
sebelum ia duduk
di kursi rumah kita

Muncar, 2009

***

Perkotaan

Aku ingin kembali ke dalam rahimmu yang sunyi dan gelap.
Akulah yang tumbuh menjadi sebatang pohon di tengah-tengah kota.
Sehelai sungai mengalir dalam mataku,
Saat dinding-dinding jaman terbakar oleh hasratmu.

Muncar, 2009

***

Sejenak

Kau mengarung lautan ketidakberhinggaan
Memantapkan tatap pada kaki langit senjakala.
“Ke mana, Tuan?” tanya sahabatnya.
“Ke tempat yang tak terjangkau kata
atau pantai yang tak menyediakan ruang bagi kepicikan.”

Di tengah segala kesemestaan
Sang tuan nahkoda
Merebah badan, menatap langit
Pergi tanpa pamit

2009

***

Senjakala Para Pemuja

Dari balik ruang pada tahun-tahun yang sisa,
laut menegaskan panggilan jauh seperti kesepian.
Orang-orang berkerumun di tepi meja perjamuan,
tak ingin disapa kala perjalanan usia.
Sayap-sayap bergemetar,
selampau lena mendera berderas-kemas pada batas yang melampau keras.
Pesta bulan diselenggarakan dalam bangunan tua dengan tarian,
pemujaan-pemujaan dan air mata di mangkuk cahaya,
darah dan daging berbusuk puja,
bergema menggagah abad-abad menggetar bersama golak bergelegar.
Mereka bercanda bersama derita.

2009

***

Panggilan

“Waktu sudah petang, anakku,” panggil seorang ibu.
Sang anak bermain,
Mengejar bola seperti waktu.
Pelan-pelan langit kesumba, turun senjakala,
Angin berdesing.

“Bergegaslah pulang pada ibu,” panggil ibunya.
Sang anak menoleh tangkas,
Namun ia tak mendapati sang ibu.
Hanya angin berpelan hembusan
Seperti kesepian yang panjang.

Malam menjelma ke dalam semesta.

2009

***

Menuju Samudera

Jarum-jarum arloji berguguran,
pada musim hujan yang tak pasti.
Bulan ini, para pedagang ikan mengenakan
jaket hitam di pasar ramai.

Tepian laut yang amis, ikan-ikan disiram hujan,
ada ketidakberhinggaan diam-diam mengamat pasar.
Matamu terpaku pada ikan-ikan mati. Di situ
anak dan cucumu dibesarkan gelombang.
Seekor ikan meledak di tengah jalan,
orang-orang meramu rindu
pada waktu yang berguguran dengan pasrah.

Laut berderu, berguruh langit senjakala.
Tahun ini gerimis begitu kurang,
menghantam diam pada karang.
Kalian masih mengeja kecemasan,
menyusupkan debu bergagah kata,
mengurai makna yang luka.

Pada laut sepi, perahu-perahu tambat,
orang-orang pulang di senjakala yang gamang.
Ikan-ikan didasarkan, beramis hidup menggairah,
tapi masih berbenam dalam galau kata.

Ke mana Tuan akan berlayar?
Dipecah sunyi dengan segelas kopi,
di mana hujan masih kembara.

Dari perkampungan di luar datang, pasar menjual ikan dan wortel,
bayam dan kentang. Tuan menyiapkan sebentuk persembahan,
bagi laut saat pantai masih memendam keengganan.
Dinding-dinding tua, malam turun pada tiap harap yang sidekap.
Kapal Tuan mengambang di tepian,
di situ jauh,
gelombang membawa jarum-jarum arloji
Gemetar hati.

Ke laut tak berpantau hingga,
sekeranjang wortel masih dingin,
di tengah pasar yang mulai ramai kembali.
Para pedagang menimbang gamang,
dan embun membasah pada jendela kantor pemerintah.
Kantor urusan pelabuhan peninggalan Belanda,
meja-meja berdebu, jendelanya basah dengan lara.

Kapan pulang, Tuan?
Jangan bertanya pulang
sebab kepergian tak menjanjikan datang.

Hujan jatuh di atas samudera,
senjakala tenggelam, petang berdatang.
Jaket hitam, celana hitam, selimut hitam,
topi hitam, tatapan yang hitam.
Kapal kayu, mesin tua, kemudi renta,
ruang tidur yang kosong, mata kail sepi.
Sebentar lagi ada panggilan laut,
turun hujan pada lelampu redup.
Berharap cuaca, menunggu bulan dan tata bintang.
Berlayar dengan sepi. Atau dengan pengikut,
yang jiwanya berlobang tak turut,
Kkrena samudera tanpa dinding tanpa tebing.

Samudera berluas,
berlepas.
Maka segala beban kandas.
Segenap wajah hanya malang,
setiap desah itu serah,
tiap harap.
Gelap.

Tak mengaduh berkeluh darat,
samudera ikan-ikan,
kapal karam ke dasar ketakberhinggaan
ke lubuk samudera,
berlapang
tenang
pulang
ke
dalam

Muncar, 2009

***

Pelabuhan Tua

Minyak dari tubuh Lemuru, berserak di jalan separuh aspalan.
Bumi padat. Diding tua warisan Belanda,
beranda malam dan angin yang kejam.

Orang-orang bergumul dengan waktu,
pada remang bergamang.

Kapal-kapal sandar, lelampu terus menyala seperti lelah.
Seorang penjaga kantor pemerintah
melepas asap dari hidungnya,
bertidur di lantai amis,
dan malam terus berdiam dalam sapu tangan,
rembulan kapar,
pada ruang yang lapar.

Muncar, 2009

***

Ruang Tiga

Ruang tak menemukan pasar; wortel dan bayam.
Tawa-tawa liar, bau kaporit yang nyengat.
Orang-orang dikumpul cinta
Yang diam-diam menyerbak dari sisa makanan tadi malam.
Aku tiba-tiba menjelma laut, memenuhi ruang.
Orang-orang naik perahu sambil bercanda bersama duka.
Di kedalaman cintamu yang agung, aku bercekung mencipta lubuk.
Lubuk kedalaman.
Kedalaman tenang, duka suka tidak merasa.
Baiklah akan mereka mulai dari mana perjalanan samudera ruang.
Tak ada sabda.
Dari yang abadi berlayar pada keabadian.

Rogojampi, 2009

***

Para Penunggu Kereta

Inilah perjalanan yang menggetarkan, langit dan lautan, budak waktu dan kesunyian. Di tengah kehendak ruang, orang-orang menyiapkan perbekalan, ransel besar dan berat, sepatu dan jaket hitam yang tebal. Dan terus melintas pada tiap batas yang tak pernah menegas.

Kota-kota diserbu kecemasan. Ribuan gajah memasuki kota, bergerak maju entah ke mana tuju-maksudnya. Toko-toko ditabrak, rumah-rumah dilantakkan, diratakan. Lalu ribuan gajah menghilang tiba-tiba, yang tersisa adalah sunyi dan puing-puing berleleran segala arah. Orang-orang mematung, wajahnya dingin menunggu. Stasiun kereta api sepi. Bangku-bangku biru. Jam tua mendetakkan detik-detik yang lelah. Kisah para penunggu kereta, berabad sunyi memecahkan jendela.

Sebuah pintu model kolonial berdiri di depan tatapan, surat-surat perjalanan bertumpuk dalam laci di kepalamu. Orang-orang cemas mengharap keajaiban, dan waktu mencair ke tempat-tempat yang tak dimengerti.

Lalu lintas udara menyesakkan paru-paru manusia, laler berkerumun pada tiap kebusukan yang terluka hari dalam jantungmu. Orang-orang menabur tanda tanya ke atas lantai keramik putih dan dingin. Bangku-bangku tua memasang diri di tengah kesepian yang mati, lumut-lumut bersemak oleh kelembaban udara dari mulut-mulut para penunggu. Kereta teronggok lena, kesabaran dalam hati tak mungkin lebih dalam lagi, mata-mata tajam dan waspada. Gajah-gajah entah hilang ke mana. Keriuhan tertinggal dalam kenangan dan bau rambut yang terbakar lengket dalam ingatan tiap orang.

Langit hitam, mendung hitam, udara yang kejam. Para pencuri masih lelah juga, berkomplot malam berganti warna, berganti ruang dan malapetaka. Stasiun penuh. Tiap sosok adalah patung yang tidak sempurna. Kecemasan lalu menjelma ketakutan mengeram dalam dada. Kepala-kepala benjol bekas benturan keras. Stasiun penuh, sosok-sosok padat, hingga berjubal-jubal sampai keluar ruangan. Langit luka. Darah mengering. Hukum mendasari kakus yang panjang. Undang-undang mengelap meja makan. Orang-orang bisu, tangannya batu, matanya beku, mulut-mulut melepuh.

Kanak-kanak tergeletak kehabisan tenaga, kereta tak memunculkan tanda untuk mengular ke cakrawala. Pintu-pintu rumah tertutup senantiasa, jendela-jendela pecah, dan air mata menggenang di selokan kota. Burung gagak mengintai, seolah isyarat gajah-gajah hendak tiba lagi. Gerombolan gajah purba akan datang lagi, menabrak manusia dan janji-janji. Orang-orang ketakutan menjadi iman, melerai segala kesadaran. Orang-orang panik saling sapa tanpa kata. Darah mewarnai udara, menjelaskan kegelisahan yang tak menemukan bahan air mata. Jendral-jendral gajah berkuasa lagi, bagaimana nasib padi?

2009

***

Siul Pasar Kecil

Ikan-ikan segar dini hari.
hari-hari, pun yang tak pernah berhenti,
menyuap kehilangan dan pergantian
pada kemesraan pasarmu,
yang diam-diam mengeluarkan sayur-mayur
dari keranjang.
Wortel dan bayam telah tumbuh
dalam kebun kesibukannmu
yang melengkung tenang.
Lalu ribuan lebah menunggu dengan sabar,
untuk meneguk manis tatapanmu
yang berkejaran di dingin bulan

2009

***

Burung Malam

Beburung yang tidur di pohon-pohon itu,
terjaring dini hari yang gelap.
Pada jalan yang dingin dan gagasan
tak menagih angin.
Orang-orang menanyakan janji kemarin hari,
ruang memojok di siku waktu.
Harapan-harapan tak menganak sungai.
Kekuasaan begitu mencekam di saat malam.
Melindas rambut yang terbakar sampah.
Kekejaman tanpa buku sekolah,
keserakahan tak mengandung bocah,
dan kegarangan tanpa warna.
Aku menyudutkan luka pada segenap luka
pada kecemasan jiwa yang bunting tua

2009

***

Pada Sebuah Pelabuhan

Kadang-kadang angin sudah
membawakan harum tubuh seseorang,
bersetubuh dengan sepi malam hari.
Tiap siang juga perahu.
Segelas minuman di tepi laut, di bawah pohon waru,
daun-daunya jatuh kekuningan di mana
usia serta memungutinya.

Pelabuhan, perahu-perahu menepi dari kembara
menjaring ikan, penguripan yang tak terbantah
lalu diam-diam kita menghitung duka
seperti membersihkan daging semangka dari biji-bijinya.
Kita pun tak sadar, tiap kata
meminta airmata, kita bercanda dengan derita

2009

***

Sang Penjaga

Warna malam bertukar cerita,
tapi ia tak pernah menggetarkan dadanya
untuk menegas
segala luka di dalam hatinya.

Dengan sunyi ia tenggelam
dengan lemah ia tak berkawan
dengan diam ia menyatu
dengan kuat ia tak berburu
dengan ajakan ia sendiri
dengan cinta ia maknai

2009

***

Pulang

Dia adalah kantuk bangku lokomotif.
Senjakala. Ada yang tiba. Dan sepi berkali-kali.
Dia adalah butir mata daun akasia.
Seperti rindu. Berderu. Lokomotif tua,
keluar masuk di matamu,
suara-suara menata dari dalam dadanya.
Halaman, maaf, ayam jantan. Dia jatuh
di lantai. Seperti senja.
Lengang.
Ambang.
Hilang.
Kekal.

Muncar, 30 September 2008-Juli 2009

***

Kemarau

Kembali kemarau,
balok-balok pikiran menyusun segala parau,
nafas Jibril rambut-rambut gelombang
menyiku rindu yang bimbang.
Salam yang takberhingga,
nyambut duka.
Hara. Dan usia

2008

***

Berjenak

Sepotong daging dingin
di jendela bertiup angin
membisikkan nama-nama dari waktu

Demi ruang yang menyusun bangku kereta
kesunyian purba
orang-orang membuat luka dalam hujan
pada cekungan jalan

Pun luka ngembun kata

Terbelah samudera oleh tongkatmu
segala cerita
biru

2007

***

Musim

Angin hari ini kurang bersahabat.
Bumi. Relung yang jauh.
Berpeluk gamang.
Kemudian gelombang.
Menumbuk kecemasan
di cekung waktu berburu.

Tertusuklah duka
di ujung tombakmu
berdebu

2007

***

Yang Terus Bergegas

Sejenak. Biografimu terkubur dalam iklan.
Daun-daun masa tumbuh, bercerita matahari pagi.
Sayur bayam, bawang putih, dan waktu yang terbata.
Sekilas. Ruang membawa bunga berdekap lalu. Sejarah.
Dan perjalananmu berhenti di dinding asing.

Hujan bergegas di kotamu. Kecemasan memercik jendela.
Orang-orang bertanya; kenapa Tuhan meninggalkannya.
Sunyi dan pinta bermakam di meja pengadilan,
Pada rahang para hakim yang sibuk dengan putusan.
Sisa basah di lehermu menyimpul tanya.

Hendak ke mana, Tuanku?
Lorong-lorong tua menghadang.
Keyakinan Paduka tumpas.
Dari yang terus bergegas tanpa berbekas

2007

***

Laut dalam Lubukmu

Matamu tak selesai menerima kapal-kapal sandar
dalam pelabuhan di dadamu
hingga batas malam kota-kota dilelapkan

Lautan di jantungmu tak selesai
mengeja segala kepergian dan kesunyian
sampai murung menyentuh. Dini hari

Kapal-kapal tanpa penumpang labuh
dalam dukamu. Kecemasan berseru
ketertinggalan yang terasing. Begitu terasing

Orang-orang menggali batu-batu karang
dari kedalaman lautan. Rahang-rahang gelombang
kelopak-kelopak waktu yang layu. Purba dalam matamu

Lemak dalam tubuhmu meminta kehangatan dari segala pelayaran.
Dari seluruh perjalanan yang melelahkan.
Kebanggaan terkubur dalam naifnya ruang,
di situ anak cucumu mengeluh. Pada waktu
yang berkeluh selalu

2007

***

Kronologi Malam

Ada mata diredup cahaya,
mengurai hening yang tumbuh dari belukar bunga.
Sunyi lecet dalam luka.
Menafsir angka dan tetesan makna,
yang terperangkap tanda.
Kita masih terus berdiskusi.
Lokomotif tua tersesat dalam usia.
Musykil hujan menjarumi bumi.
Masih siapa menimbang arah.
Dan tertawa bersama derita.

Banyuwangi, 2009

***

Ruang Lima

Lengah waktu,
mendesak galau pintu-pintu.
Tatapan-tatapan kejam,
kata-kata menjadi kecurigaan.
Orang-orang menyulam kecemasan
dalam ruang kegamangan.
Kota-kota hujan berlari bertegas luka,
melampau makna, membatas ruang tafsir
berpenjelas angka pembilang lelah
pada sayap dunia.
Mengalir berderas ia.
Kembara pulang ke lubuk samudera.

2009

***

Di Atap-atap Kota

Air mataku mengaliri langit
Menegaskan keterpencilan rumahku
Dari tiap jaring waktu para pemburu

Aku kira kau tak sabar lagi
Lokomotif tua diam dalam sunyi
Siapa mendesakkan mimpi
Pada lorong-lorong purba para pencuri

Tarianku memadati ruang
Mentasbihkan kegelisahan para urban
Ribuan kecemasan meminum darah dari kesunyian

Di ujung bangunan-bangunan tua
Namamu mengembun di antara kota
Yang tak bisa bersuara

Darahku melabur udara
Bersaksi pada segala yang sia-sia
Pada kekuasaan yang selalu memasak tanda tanya

2009

***

Garis-garismu yang Tegas
—Surendrajati Mohammad

garis-garismu yang tegas
terbentang antara laut dan cemas
antara darah dan langit
antara nama dan kenyataan yang gegas
mengeras pada tiap getar nafas

garis-garismu yang tegas
mecoret tiap halaman yang terbuka
pada hening yang menggetarkan jiwa
menanam nama
pada jendela rumah tua

garis-garismu yang tegas
menjelas
pada tangan yang berkeras

2009

***

Ketika Sang Gandrung Menari

Orang-orang berkerumun
pada waktu yang malam,
titik embun menyerbuk pelan
dan tarian digelarkan
pada ruang yang terang
lampu nanar
sayap-sayap khayal menggetar

Para penguasa meminum darah dari sunyi
lalu bercanda bersama duka
merampas canda dari luka
mengihisap air mata dari tawa.
Orang-orang menegaskan bunyi
pada diam yang lengang
di kedalaman lena riang.

Sang penari menabur senyum
melempar selendang kecemasan
yang diam-diam ngembun
dalam ruang hati yang perih.

Minuman-minuman kekuasaan ditatakan
tawa dan derita dicampur-adukkan
disantap di atas meja perjamuan.
“Inilah kebisingan. Pecahkan gelasmu
pada ketidakberdayaan yang bisu!”

Politk mendirikan bangunan keju
dari tangis rakyat
menertawakan derita yang karat.

Para penari berputar bernyanyi
menyilau pandangan dari api
hingga tak ada sinar bulan di sini,
hanya sisa makna di kaki para pencuri.

Kekuasaan hanya membutuhkan tawa
canda cabul dan kemolekan wanita,
pasar-pasar raksasa
dan kata yang bergetar.

“Mari bersulang! Hentikan segala ocehan
kengawuran dari dapur yang tak memasak!”

Maka tiap kata menyimpan penjara
tiap penjara tak memuja samudera
tiap ketetapan harus dihitung hutang
seperti kesurupan
di akhir malam.

Muncar, 2009

***

Desau

menggelung ramai waktu berderu berasap
derap lekat dideras pekat dilengket desak
tiap derak mengasap lukamu lukaku
menolak kesia-siaan menggeleng
tak menafsir di dasar sunyi yang pergi bernuai
galau melampau desaumu desauku
berbiru melulu. Mari berontak
tembok-tembok yang berdiri
angkuh di tengah derita
bercanda di atas air mata
dan ketawa di lubuk duka nestapa.

2009

***

Satu Semisal

Suatu kata apa berjudul siapa,
begitu molek ke langit, bermendung
berluruh mengecambah di hamparan bumi
memamah waktu meremah cahaya
lampu-lampu lokomotif yang berjulur ke dalam

Suatu di mana menegas apa
yang dinamai duka tak bertepi

Memanjangkan penegas cetusan sejarah
mengular sebagai gerbong biografi
melulu kepurbaan yang sunyi

Lelampu dari rambut-rambut api,
menuaikan badai dan aroma kata.
Dunia menegas kerapuhan
yang keliling dan mengasing,
lalu kita bergetar
pada ramai piring yang terbanting

2009

***

Perjalanan Urban

Kau menata kesemerawutan dalam galau
tapi cemas mengemas kado-kado parau
halaman jemuran yang ramai
mendung memayung pantai
yang belum bersedia ditinggalkan
orang-orang berkaca dalam percakapan

Kanak-kanak, ke mana kalian seharian
rumah dan kamar berleleran coklat
kesialan mengendap di bawah dipan
daun-daun menata helai karatan

Jendela membiarkan melirik cakrawala
yang menciut di atas atap-atap kota
siapa mendesakkan tanya berkeras
dari meja makan yang ranggas

Sekolah hari ini ialah pagi
keriuhan memojokkan sepi pada api
berita-berita mencokot telinga
lebah-lebah semembur dari suara
dan ikan-ikan keluar dari opini
menjelaskan hidup yang tak berbagi

Orang-orang mengutuk tubuh-tubuh berlemak
maksud siapa terhimpit pintu
menanti yang tak pernah kemari
mengingat segala yang tak kembali

Para urban berhambur camar
yang meninggalkan pantai
sampah menjelaskan singgah
dari hidup yang selalu tak bersedia

Kalian, kenapa masih di tepi pantai
bersama sepeda mini milik bocah
mengkacakan nasib yang sibuk oleh batuk
membungkus hujan buat makan malam

Kalian, mengapa terus mengulum luka
dengan senyum yang tak membuka
baju-baju pesta tak bercerita
tentang tatapan manis saat purnama

Lagu-lagu hanya tunggu yang keluh
tapi terus-menerus bergegas
dari tiap denyut tetap meratap
seperti kenangan tua tak bertempat
pada halaman sesak bernafas
dan udara tak melepas

Kaki-kaki kota menginjak resah
kanak-kanak menyelinap di sana
mengejar maksud mimpinya
yang bersembunyi di balik singgah

Lidah-lidah gerimis menjilati kaca
retak menggerak duka
pada pertemuan dengan petang
pada perpisahan dengan riang
yang kadang datang tanpa undang
lalu berkalang darah di malam hilang

Para urban, ke mana kalian menulis surat
ketika tagihan bulanan menikam-nikam
menggedor pintu dan kamar
mengunci pembelaan yang samar

Pintu-pintu ramai membuka lebar
mencemaskan seragam dan sepatu
yang menggambar kupu-kupu
dalam jenak mimpi-mimpimu

Lalu lintas di pinggang kota
membawa terbang buku-buku nota
di mana angka-angkanya
melengket di dalam kepala

Malam-malam yang lelah
menimbun mimpi ribuan lebah
mengurus hidup itu-itu saja
membubuh cemas yang terus mewabah
di kaki kemegahan yang tambah meraksasa

Banyuwangi, 2009

***

Jalan Raya

Orang-orang diam sendiri
pada batas yang hitam
nasib celaka mendatangi hari
menggelung air mata

Tiap mata saling memandang
tatapan tanpa tujuan
kata tak mengeluarkan suara
kebingunan tak berpulang dari udara

2009

***

Drama Tumpangpitu

Seseorang tiba-tiba datang kepadamu,
menyampaikan gerimis kecil-kecil.
Menawarkan sebatang rokok
dan membawa sehelai sungai di matanya
“Orang-orang asing menggali emas
di tanah kami, mereka merobohkan
bukit Tumpangpitu, sumber mata air kami,
dan sekarang laut berkilau
oleh racun yang mematikan.”
Aku yakin kau iba
atau sesekali tertawa

Kini tiba-tiba banjir datang
mengetuk daun pintumu
lalu masuk ke ruang tamu
tidur menggenang di kamarmu
menenggelamkan nyawa keluargamu

Orang itu datang lagi
menawarkan makan malam kepadamu
membawa sebatang rokok
dan tatapan sunyi dari matanya,
kau mungkin berkata:
“Nasib kita sama saja,
dan terima kasih atas perhatiannya.”

Tragedi begitu jenaka
meramaikan ruang
mengenyangkan.
Maka, siapa yang tiba-tiba datang lagi
pada batas yang gawat ini?

Muncar, 2009


Catatan:

Tumpangpitu adalah nama bukit yang terletak di Kab. Banyuwangi bagian selatan. Bukit ini mengandung ratusan ton emas, dan kini tengah ditambang (masih dalam ijin eksplorasi) oleh PT. IMN


***

Laki-laki yang Selalu Gemetar

Pada sebuah padang
laki-laki yang selalu gemetar itu
menunjuk bulan di atas bukit
dalam mimpimu yang lalu

Kini di tengah belantara kota
siang yang diramaikan suara
dan malam dipekatkan derita
lelaki yang selalu gemetar itu
menuding lampu-lampu merah
juga neon-neon tua

Jejak dari hujan terasa berkisah
tentang perjalanan dari ruang ke ruang;
rumah makan dan kamar-kamar penginapan,
sepatu, jas hujan, dan tas besar
tak menyisa harumnya segenap kelelahan

2009

***

Biografi Pelaut
Buat: Surendrajati Mohammad

Dari atas gelombang
laki-laki yang dalam itu
meredam lebam digulung rindu
mari bernyanyi sebelum labuh
pada pantai tua, warung ramai, pasar ikan
dan pertanyaan yang senantiasa lengket
di pintu-pintu penginapan.

Baju kumal, topi hitam, celana tebal,
mantel bergambar perempuan,
lelah tapi terpana pada dansa,
aroma tembakau dan amis lautan.
Kemarin sudah jangan ditagih malam ini
sebab hidup selalu beranjak dari kenangan
lantaran dari kaki pantai dibesarkan.

Sekali waktu, sediakanlah ruang hangat
anggur hitam dan lampu panas
sampai lelahnya
menidurkan diri dalam sunyi
hilang dalam ramai
pisah dari para penggelayut
air mata dan tumpahan

Disinggahinya pula dinding kantor pelabuhan
yang berlumut bulan-bulan lepas
guna memeriksa rahang gelombang
yang tersangkut rahasia matanya
pada sekuntum badai penghabisan.
Hidup adalah sebongkah batu
mencemplung dalam samudera
yenggelam ke dasar palung
diam dalam kesunyian.
Tapi kesibukan terus bermain di permukaan pantai, air,
rumah tua, para sahabat dan orang-orang
yang terus-menerus gemigil bersilangan
menerima malam dan melayani kehidupan,
jauh nun di tepi keasingan,
penduduknya melepas cinta
pada huruf dan jutaan tanda
yang tak terbaca.

Jendela senja, kecipak ombak, jerit camar
dan pantulan cahaya berkilau
di muka air yang tak pernah istirah
dari debur yang juga tak kunjung tua.

Kau memanggul jeritan langit
melabur udara dengan darah yang hangat
susur waktu, surat-surat, foto-foto
sempat juga mengenalkan diri,
berkeluarga, punya anak cucu
lalu digores usia.
Jaring, mata kail, perahu kecil
dan ingatan tak menggenang
adalah sayap elang yang menggetar.

Tangis dan air mata
mengirama pada hari-hari yang jauh
mengelanai hujan
pada rekah Desember yang berbias
tahun-tahun akan datang
selalu saja mendekam dalam dada
dan perubahan cuaca

Jalanan berminyak ikan, tua dan lelah
namun tiap kesibukan di atasnya
adalah geliat samudera saat jelang
menghitung pertukaran cemas
yang selalu kandas.
Laut berhampar pada kaki langit,
tenang pula di musim sengit
dari tiap pergumulan duka-tawa
bahwa tiap denyut adalah derita
yang tak membatas di cakrawala.

Kau usap embun pada dinding malam hari
di mana segala peristiwa mengalir
sebagaimana nyanyi sendiri
ketika para kurcaci membuat mimpi
para pengembala-pengembala sepi.

Hidup pun perjalanan tanpa perhentian
namun karena kau cipta pula
singgah lelah lantaran fana,
labuh juga pada ibunda kerinduan
di tiap garis pelabuhan,
rumah tua,
warung singgah,
penginapan dengan dinding yang kelam.

Malam ini kau ingin bernyanyi
menggelung sepi dalam pekat.
Jangan lagi bertanya,
sejuta tanda tak perlu makna.
Dentingkan saja nadanya,
jatuhkan iramanya pada lantai tua
agar air mata
menangisi kekonyolannya sendiri.
Begitu putih tawanya
menagih derai dari derita.
Selalu saja, sebentuk cerita
tak memerlukan kata-kata
seperti malam menyetubuh gelap
tiap dekap tiap harap, pelan-pelan menari.
Pelan-pelan menjadi,
hingga jarum-jarum arloji
gugur ke atas tumpukan nyanyi.
Pun masih sendiri, sebab yang pergi
tak diminta kembali,
yang datang tak berpesta,
ia mengurat pada nadi gelombang.
Laki-laki yang dalam itu,
aromanya terus berdatangan
lalu hilang tanpa perpisahan.

Muncar, 2009

***

Puisi Sehelai Daun

Sehelai daun pun tak akan jatuh,
sebelum ia berpamit padamu
untuk menjatuhkan dirinya
pada bumi yang rebah

Muncar, 2009

***

Petualang Cahaya

Bahkan tiap butir debu
menggetarkan abad-abad yang lalu.
Isa bersabda pada domba-domba,
menggerakkan tali para pemetik kecapi,
tarian pemabuk memenuhi langit-langit,
menyegerakan senja pada petang.
Lesatan waktu, embun sampai sepotong wajah.
Dari balik jendela itu,
kau saksikan daun akasia gugur hari
kecemasan mengusap luka
seperti menghamba sendiri
hingga tiap kata
menyebut kelana.
Hidup hanya di sini
tiap kematian
cukup sendirian.

Muncar, 2009

***

Ekosistem Kemiren

Bahkan tiap butir waktu,
Menyedot perhatian langit.
Kau lelapkan mata angin di situ
Di antara rumah-rumah gebyok yang anggun,
Dan daun kelapa yang tua

Penuhilah gelasku dengan teh manis
Agar segala dahaga tumbuh sebagai belukar bunga

Di tepi kedho’an, perempuan menari
gandrung yang masih perawan
gendhing merayapi udara daun-daun padi kita,
menusuk cakrawala dan orang-orang mau pulang
sebentar petang segala, kaki Kemiren pada
langit senjakala,
senjakala yang berbusana sederhana

Aroma musim hujan
menegaskan wangi kopi
mengurai malam kalau saja angin
tak mengibaskan rambut Kemiren,
sawah-sawah membentang rindu,
sungai-sungai meliuk jauh
pada mata barong,
gendhing Lontar Yusup
dan wangi tubuh sang gandrung

Kemiren, harum tubuhmu
menuruni sangai-sungaimu
menjalar ke lautan

2009

Catatan:

1. Kemiren adalah nama sebuah desa tradisional Using di Banyuwangi
2. Mocoan/Gendhing Lontar Yusuf: adalah karya sastra kuno yang ditulis dengan huruf Arab Pegon (campuran antara aksara Arab dan aksara Jawa) yang menceritakan plesetan kisah Nabi Yusuf as. Mocoan/Gendhing adalah sebentuk kegiatan membaca Lontar Yusuf secara berkidung/bernyanyi dengan diiringi oleh ritual kepul dupa, sesajen, dan ayam jantan.
3. Gebyok: Rumah adat atau rumah tradisional suku Using di Banyuwangi.
4. Kedho’an = sawah


***

Senjakala Purba

Orang-orang berjas hitam,
di tengah hujan yang mendesak
pada tembok-tembok kota tua yang tak mengenal manusia.
Di sini, dinding gang lautan kebosanan,
mendaur mimpi dengan sunyi,
darah muncrat di jalan sempit yang renta.
Aku
terduduk
di
tepi
itu.
Bunyi-bunyi kembali mengacak diri dalam ruang,
waktu dan wajah berdebu dari jalan yang menderu melulu.
Tiap-tiap kata menyembunyikan api,
tiap-tiap detik memungkinkan banyak lagi sesuatu yang tak terduga.
Seorang perjaka mengecat jalan raya dengan peluh,
rambut panjang tak terkira.
Mengurailah matahari yang tak pernah nyanyi.
Orang-orang tak lagi berpikir yang lain,
semua demi hidup sendiri-sendiri;
keluarga dan kejayaan yang tak pasti,
dirangkai melati pada siang dan malam hari.
Mari menenggak racun, tawar waktu kepada kita.
Bangunan-bangunan tinggi menikam cakrawala,
sayap seriti gemetar pada pintu senja yang tak terbantah.
Bersemayamlaha irama semesta dalam gamang.
Orang-orang itu berlalu-lalang,
datang dan pergi lalu entah ke mana lagi.
Sementara
Aku
terduduk
di
tepi
itu.

Muncar, 2009

***

Seribu Jalan Raya

Seribu jalan raya.
Orang-orang mentasbihkan kenyataan dari segala kesibukan.
Tatapan-tatapan berdesakan dari segala ruang yang bergantian.
Lalu lintas kecemasan memadati waktu yang berburu.
Nafsu liar adalah harum parfum yang menusuk hidungmu bersama udara.
Raung mesin, dan kesunyian diam-diam mengendap dalam setiap nafas yang menumpas.
Aku diantar senja, menekuni jalan yang tak pernah basah dengan air mata,
Memantulkan ramai atau menegaskan kesia-siaan,
Meminum keringat segala desah yang menyayat.

Seribu jalan raya.
Dan kita yang terus berkata-kata.

Muncar, 2009

***

Jenak

Di dalam batas segenap kegentingan
Pendiaman diri yang terdesak dalam dada
Aroma lautan, amis ikan
Udara panas
Menyisakanmu yang meranggas

Perjamuan yang terserak
Di antara nyaring yang ramai
Kehausan yang memuaikan kecemasan

Sungguh tiada waktu berseru
Segala yang bermakna ungu
Membekas pada bibirmu
Yang dengan tabah
Menyulam waktu yang terus memburu

Muncar, 26 Maret 2009

***

Semenjak

Ada yang gelisah. Pada
Malam yang diam.
Ada yang tiba-tiba datang,
Di wajah jendela.

Di situ batas menegas,
Menyampaikan sunyi pada sejarah

Banyuwangi, 2009

***

Riwayat Bulan Desember

Kau mengingat pulang,
ibumu menyiapkan handuk
kopi kental yang pahit,
rambutmu basah terkena hujan di jalan

Pelan-pelan kau letakkan nyanyi
di sudut-sudut ruang,
mengendapkan sepi
mencium aroma kecemasan
yang dangkal
meletakkan sebuntal rindu
di laci kamar

pelan-pelan lelaplah
merengkuh kecemasan
dalam kedinginan

2009

***

Aquarium Rembulan

tibalah pada suatu cerita tua.
para pendatang itu memutar dzikir gamang pada malam.
cahaya lampu, kedai tua yang mendesah.
orang-orang masih sibuk dengan kejenakaan,
kupu-kupu itu begitu ringan
melayang dalam ketidakberhinggaan.
ikan-ikan berputar dalam sebuah aquarium
di situ cahaya lampu, kupu-kupu dan sepotong rembulan
mencemplung ke dasar kedalaman.
para kelana datang juga
melepas lelah
melonggarkan baju dan melepas sepatu.
gairah pada sekuntum mata
masih juga menggoda.
dan di sudut itu, sunyi duduk sendiri.
“tuan-tuan, silahkan dilunaskan
tarian mabuk dan denting gelas.
malam ini tak ada yang sedang gelisah
berkeluh berkesah.”
belum ada kabar
tentang orang asing yang terluka,
juga belum datang juru tafsir cuaca.
malam seperti biasa.
meja tua, gelas berserak, dahak yang parah
dan lampu di atas kupu-kupu.
para pendatang masih sibuk
dalam suatu pembicaraan tentang
orang asing yang kemarin datang
bersama seekor anjing.
mereka tidak mengerti,
kenapa juru tafsir tak pernah
memberitahukan sebelumnya.
angin mendesing di luar,
jendela-jendela kedai kedinginan.
lampu-lampu menggantung di atas kupu-kupu,
bulan berenang dalam aquarium itu,
ikan-ikan bercahaya, kilaunya
jatuh di atas lantai dansa.
orang-orang menyusun tanda tanya
kemana perginya sejumlah orang asing
yang membawa seekor anjing
padahal baru saja bayangannya melewati dinding.
waktu melesat seperti petaka,
tapi gelisah tak menyurutkan desah.
kedai tua, aquarium, kupu-kupu di bawah lampu,
rembulan jatuh di dasar,
ikan-ikan bercahaya.
para pendatang
masih belum lelah
memutar ingatan pada kenangan tua
sementara perdebatan tentang sejumlah orang asing
yang bersama seekor anjing, terus berdesing.

Muncar, 2009

***

Sore yang Mengambang

Sore duduk
sekadar singgah.
Kesibukan istirah dari lelah.
Jutaan kupu-kupu ringan menyebar
hinggap pada sekuntum senyum.
Perahu-perahu labuh,
laut bergerak tenang.
Orang-orang menghitung butiran keringat
di beranda yang tua
beraroma amis ikan.
Pasar ikan sehabis kerja.
Tepi Muncar, lepas tatap Sembulungan.
Di tepian itu, kau hidup
mengarung abad-abad yang merambat.
Sehelai rindu
terus mengayuh perahu anak cucu.
Kadang-kadang keuntungan
datang tak menyilang
pada meja makan.
Tapi di sini, hidup mati diterima
dari sejuta kerlip dunia
yang mencoba mengunyah saja.
Abad-abad merambat pada laut berkilau
dan terus kau menegap
meski tertatih di segala tepi.
Hidup adalah
ikan-ikan lemuru
yang tak habis diburu.

Muncar, 2009

***

Catatan Seorang Santri

Ada yang masih tersisa
dari suara lirih pagi hari
dalam sehelai alis matamu
mendatangi malam kota
anak-anak yang menghampiri layangan
pada penjelang segala kehilangan
diam-diam mengendap dalam-dalam

Pada sepi jalanan kota persinggahan
ada banyak bayangan
yang tak bisa dikembalikan.
Di mana tiap perapatan
tak pernah menjanjikan pulang
pada sore di pinggir angan-angan

2009

***

Laki-laki yang Dalam

pada sore yang menjelang
sejumlah kupu-kupu begitu ringan
melayang di sudut alismu
bulan-bulan melepas kenangan
di atas jembatan musim hujan
menghilang di perkampungan nelayan

laki-laki yang dalam
menghadap samudera yang menganga
suara-suara jauh datang
mendebur pelan ke dalam dada ruang
mengabar ketidakberhinggaan yang lapang

lautan, ikan-ikan melimpah
susu segar, dan jalanan berminyak
dari tubuh ikan berleleran

rumah batu, lagu-lagu
surat-surat perjalanan, sepatu tua,
jas hitam, mantel musim hujan,
topi hitam dan bekas luka di tepi matanya,
siul angin, perahu-perahu.
segalanya bercerita tentang hidup
yang terbenam di dasar samudera,
menggulat perubahan cuaca
bertenang mengarung musim-musim ikan
yang menggetarkan

laki-laki yang dalam
menegur udara dengan wajahnya
bersengketa dalam diam
mengusap lukanya yang harum
meneruskan jejak pada pasir hitam
sebelum kupu-kupu kembali datang
dan mengajaknya pulang

Muncar, 2009

***

Sepotong Bulan di Kedai Para Nelayan

angin membawa sebuntal cemas
tapi lampu-lampu tak membalas.
Ruang ramai yang terang,
tari dan tangan-tangan menyilang

dibur samudera meniupkan aromanya
menyusup diam-diam di perkampungan nelayan
sampai pada dinding rumah kayu,
bayi lelap di gendongan ibunya
dan para pemburu ikan
melepas keringat laut di alis pantai
sebab sebentar lagi
ada malam mengusir malam dalam kedai

dan hidup
hanya menjadi saksi
jalan-jalan ramai
yang basah

sepotong bulan
tergantung di kedai nelayan
minuman dan perempuan
menghangatkan dekapan
dengan amis ikan yang masih lengket
di ketiak perburuan

diam-diam
cuaca dingin
mengendap
dan rapat

Muncar, 2009

***

Gerimis di Indonesia

gerimis di matamu
jatuh di bumi fosil biografimu
terkubur di situ
gerimis basah di Indonesia
kau tanam pecahan jendela
maka tumbuhlah pohon-pohon kaca
berdaun pecahan beling tajam bibirnya

Indonesia adalah jutaan huruf jutaan angka
pecah-pecah di udara angin berputar
membawa kemusykilan siasat
yang menghabiskan jutaan orang
pada halaman-halaman pemberitaan

ada yang terasa begitu hilang

hutan di rambutmu
menjelma debu
mengepul dari segelas susu
di meja makanmu

tanda baca tanda tanya sepanjang angka
begitu keluar dari sakuku
mengerubungi lehermu
Indonesiaku

Nopember 2002

***

Musim Rindu

sudah kucium musim bunga
matahari pagi dan aroma semi
pada matamu yang sunyi

sudah kukembalikan
huruf-huruf, siul kereta
dan tanah datar
ke dalam rumahnya

Desember 2002

***

Herbarium Cemara

musim hujan menyuburkan tanah-tanah tandus
pada malamnya.
sunyi lecet pada jendela.
siul kereta gemeretak jalan
dan kesendirian.

waktu membuat bunga
tapi yang tak tercatat melompat.

di sini, kau urai segala
dalam ruang yang mendentangkan pulang
kau kumpulkan kembali bangkai cemara
yang dibawa para kembara

Desember 2002

***

Jalan-jalan Kerinduan
—WS. Rendra

masa-masa darurat
masih belum lewat
para perias salon
pun masih saja
jutaan anak tak sekolah
juga tetap ada
kau malah berlalu ke jalan rindu

mungkin aku
akan mengabarkan pula
masa-masa daruratmu
sebelum seratus waktu
pecah di mulut sejuta dewa
menjaga mimpi-mimpimu

Muncar, 6 Agustus 2009

***

Ayat Senjakala Satu

aku datangi engkau
berkilau memukau

aku datangi engkau
senja yang berpesta cahaya
redup
menyiku
di tikungan rindu
yang angkuh

2004

***

Ayat Senjakala Dua

gerimis kembali membawa kasat senyummu
kerinduan yang menggigil
fatalitas dan keperihan
persembahan bagi puncak
begitu Vasili Ivanovich
dalam dunia Claud, Castile, Lake

awan lalu membentuk peta
perjalanan pada rusuk keabadian
; sebuah danau bening
kastil tua yang menyimpan kenangan
pohon-pohon menumbuhkan

perjalanan kereta
tamasya pada belukar puisi

gemeratak roda kereta
pemberangkatan yang tak menemu kelelahan
tafsir perih ditegas kembali
pada tarian bahasa
warna kupu-kupu Vladimirovich
stasiun kereta;
sebuah pengabdian akhir: Tolstoj

2004

Catatan:

“Claud, Castile, Lake” adalah sebuah cerpen karya Vladimir Nobokov.
Cerpen ini hanya berkisah tentang sebuah kastil tua dengan bahsa yang indah dan sangat menawan.


***

Ayat Senjakala Tiga

langit senjakala, roda kereta gemetar
kemudi angin
kefanaan yang gemigil
rindu, danau biru yang tenang
ruang yang mengurai
kusapa ia di batas waktu
peluit memekik, asap mengepul

langit senjakala, roda kereta gemetar
cahaya berkilau
suara burung, kerinduan
kesendirian, dan angin ujung jarum

langit senjakala, roda ketera gemetar
kereta mendesah
jangan mengintip suara di belakang rumah
tatap roda kereta
menuju awan; simpang segala kemustahilan

senajakala, roda kereta yang menggetar

2004

***

Orang Tua yang Tegar

usia menggapaimu begitu indah
tubuh yang tua
dan tatapan lelah
bila malam
tenggorokanmu diserang batuk

doa-doamu merambat
pada aroma waktu yang lugu
harum tanah sehabis hujan
dan ruang rumah yang gelap
menjahit benang pada pejam
dan sunyi melompat dari kegelisahan

diam-diam embun rindu
rebah di dadamu

Banyuwangi, 2009

***

Laki-laki yang Menunggu Itu

Laki-laki yang menunggu itu,
duduk dengan bahu melengkung.
Diam, musykil
dan berat.

Di tepi muara,
matanya lembah setelah hujan.
Air menenggelamkan kecemasan yang gelap.
Perahu menepi,
melepaskan lelah yang kosong.
Angin juga kandas di tepi alismu.
Segala yang lalu,
tak menderu. Segala yang riuh,
tak berparuh.

Leki-laki yang menunggu itu,
diam-diam tatapannya terbenam.
Matanya redup, teduh
dan malam.
Di antara sepatu lusuh,
jaket hitam, topi hitam,
gedung-gedung peninggalan Belanda.

Lak-laki yang menunggu itu,
menghisap jarum-jarum arloji
dalam nafasnya yang sunyi.

Banyuwangi, 2009

***

Dalam Darahku

yang mengalir dalam darahku
langit pucat, rembulan macet.
Diam-diam gerombolan hantu
menyelinap di rimbun malam,
akan menikamkan petaka
ketika kita lengah.
Malam dan seterunya,
kecemasan yang mengendap di bawah dipan,
menggambar anggur dan roti,
yang mengalir dalam lapar kita.
Mendung berarak di atap-atap kota,
mengubur bayang-bayang kereta.
Yang meratap di alis jendela,
mengalir dalam darahku.

Banyuwangi, 2009

***

Riwayat Sempi

orang-orang berjalan pelan
pada jalanmu yang menurun tajam
setiap malam yang tak kehilangan mimpi
pada ranjang tua
di kala ibu bapakmu masih remaja

terminal bis, televisi hitam putih
dan masa lalu yang kusam
mengendap pada jantung deru
saat anak-anakmu telah tumbuh
menjual sawah dan mendirikan bengkel

Sempi, pusat perutmu menggerutu selalu
bercerita remaja-remaja
yang pernah ada

2009

Catatan:

Sempi adalah nama sebuah desa/dusun di tepi jalan raya yang terletak di Kec. Rogojampi Kab. Banyuwangi


***

Sungai Bakungan

di cericik air mengalir
kau besarkan anak cucumu
wangi perawan dan koko ayam pagi hari
bunga kangkung dan kembang turi
jhangan kelor dan Seblang yang sunyi dalam tari

sungai-sungaimu mendesah
sampai hari tak berlari

rumah tua kolam ikan
batu-batu hitam di sungaimu
menggambar tatapan kecil di jendela
pada malam yang mengembun setelah hujan
angin mendesahi lampu-lampu remangmu

stasiun kereta di ujung jalan
menjelma bunga penitian
orang-orang tidak pernah lelah
bertamasya pada puncak cakrawalamu

tercium olehku, bila saja udara tak menyibak bajumu
Bakungan yang selalu menderu
pada tiap tikungan waktu
dan jalanan para perayu

kunang-kunang pada sawah-sawahmu
mengudara di pucuk-pucuk padi
harum malam yang pertama
segala tari melelapkan impian dunia
di pipi jingga dan air mata

Banyuwangi, 2009

Catatan:

1. Bakungan = adalah nama sebuah desa di Kec. Banyuwangi Kab. Banyuwangi. Desa ini terkenal sebagai desa yang setiap tahun pada musim panen, masyarakatnya menyelenggarakan ritual Tari Seblang, yakni tari penutupan pada tarian Gandrung. Penari Seblang adalah seorang perawan (tua atau muda), yakni seorang perempuan yang benar-benar dijamin keperawanannya. Dia menari dalam keadaan tidak sadar (trance). Tarian ini merupakan sebentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan hasil-hasil pertanian.
2. Jhangan Kelor = adalah kuah lezat yang terbuat dari bahan daun kelor. Daun kelor ini, di tempat lain selain di Banyuwangi digunakan orang untuk makanan babi, tapi di Banyuwangi dimanfatkan oleh masyarakat sebagai masakan yang enak dan nikmat. Biasanya kuah kelor ini dimakan bersama nasi jagung, sambal terasi, dan ikan kering dalam kondisi yang masih panas.


***

Pulau Merah

kadang-kadang jutaan kunang
bertaburan di kaki laut dengan hamparan sawah
menyeret penghambaan
dari kaki Tumpangpitu hingga Rajegwesi
dari desah pantai Pancer hingga aroma ikan pelabuhan Muncar
anak-anak berlari memburu belalang
dan malam diam-diam
merahasiakan kabut dari wajahmu
orang-orang asing mendarat dengan bis kota
yang tak mungkin menjangkau kakimu
tapi mereka melata
melingkar pada pinggang bukitmu
memburu emas
dan menabur racun pada mata airmu

2009

Catatan:

1. Pulau Merah adalah nama sebuah pantai yang terletak di Pancer, yakni sebuah daerah pantai yang di sana terdapat bukit Tumpangpitu yang kini ditambang emasnya oleh PT. IMN.
2. Rajegwesi adalah pantai sepanjang garis Pulau Merah ke arah timur. Rajegwesi adalah nama sebuah pantai di bagian selatan Banyuwangi di Kec. Pesanggaran, Kab. Banyuwangi, yang di tepian pantai Rajegwesi tersebut, terdapat hamparan pasir putih, batu laut (padas), karang yang besar-besar dengan ombak Pantai Laut Selatan yang menggelung dengan ganas, ombak laut Rajegwesi di sepanjang Pantai Laut Selatan Kab. Banyuwangi, terkenal sebagai ombak terbesar di seluruh dunia, kemudian Hawaii, Amerika Serikat. Pantai Rajegwesi adalah sebuah pantai yang sangat indah yang diapit dua taman marga satwa, yakni Merubetiri dan Alas Purwo yang terkenal di dunia. Di sepanjang helai pantai dari Merubetiri ke Rajegwesi sampai ke Alas Purwo, dihuni oleh satwa khas yang terlangka di dunia, yakni penyu. Keindahan dan kemolekan Rajegwesi dan sekitarnya, kelak akan musnah bila penambangan emas di gunung Tumpang Pitu tetap dilaksanakan, penyu-penyu itu akan mati, ikan-ikan pun akan mati, keindahan akan tertinggal di dalam impian.
3. Muncar adalah pelabuhan ikan yang merupakan salah satu di antara pelabuhan terbesar di Indonesia sebagai pelabuhan penghasil ikan, termasuk juga salah satu pelabuhan ikan terbesar di Asia.


***

Hutan Purwo

aku mungkin akan terlelap pulas
di tengah kabut dupamu yang gaib
kalau saja hutan Purwo tak tercerabut dari rambutmu
hingga tengah malam yang pekat

kau pun bangkit
menatap Laut Selatan yang gila
bertumpu pada satu kaki, berputar di atas batu
membaca mantra dan meramu jamu

sebentar lagi
segerombolan penyamun yang berani
menyetubuhi pohon-pohon tanpa rasa ngeri
pura kembali sunyi
sebab sepi tak mau menepi

apa lagi yang akan aku tangisi
dari kedalaman matamu yang sunyi
lewat hari-hari yang berlari
dalam sebuah bis kota yang meraung
mengguncangkan dadamu
menyaksikan tangis deritamu

Hutan Purwo
menyemaklah terus
dalam hatiku
dan dengan penasaran
boleh kau berkubur dalam tidurku

Hutan Purwo
tambang emas di ujung barat garis pantaimu
menyobek kegaibanmu yang kelabu
sebab racun dari Pulau Merah
menjalar ke pusat perutmu

Hutan Purwo
kupanggil kau pulang
ke dalam mimpiku
lalu menjelmalah raksasa
menelan orang-orang asing

Hutan Purwo
pulanglah ke semak-semak air mataku
membuat puisi indah sebelum senja
atau bermain sendiri bersama sunyi

Hutan Purwo
menangislah engkau dalam puisiku

2009

Catatan:

1. Hutan Purwo adalah hutan terangker dan terlebat di Jawa, yang terkenal dengan sebutan Alas Purwo. Hutan ini terkenal dengan mistiknya, terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, yakni di Kec. Purwoharjo Kab. Banyuwangi. Hutan ini merupakan hutan yang memiliki marga satwa yang langka di dunia, kini Hutan Purwo terancam rusak dan marga satwa terancam mati akibat dampak pertambangan emas di Tumpangpitu.
2. Laut Selatan Kab. Banyuwangi, adalah pantai yang terkenal memiliki ombak terbesar di seluruh dunia, kemudian Hawaii, Amerika Serikat.


***

Tangan-tangan Kemiren

kau tenggelam di dalam mata seekor lembu
dalam dan teduh
sapi dan kambing menjalar di jari-jarimu, Kemiren
lapang dan merekah

kau denyutkan hidup
sehari-hari yang terkadang asing
pada aroma kopi
urat-urat padi
dan kehangatan senyum
pada segelas persembahan

Kemiren
aku mencair dalam iramamu

dari ketinggian bukit
ribuan tanganmu menggapai-gapai
kaki langit yang terasa sepi
kota yang berdesakan
begitu diam dari tatapanmu

gending Lontar Yusup,
parutan kelapa dan mata lembu
mendebu dalam dupamu
meramu rindu di tanah sendiri
meringkuk dingin malam hari
menjelma semak-semak rumputan
lalu menebang sebatang pohon pisang

Kemiren
bawa aku ke dalam impianmu
tentang cahaya mata sepasang lembu

2009

***

Muncar

jalan-jalan berminyak ikan, kau riwayatkan
bianglala pada jendela gedung tua.
Padhangan Sore yang membawa pulang malam
dalam sebuntal angin Agustus. Bayangan karang
menggapai-gapai dipanmu, seribu kembara
menjelma lelah di kaki pelabuhan.
Perahu-perahu datang ke dalam matamu
yang menyimpan seekor sapi dan lemuru

bulan sabit Agustus, merapatkan jeket hitam
melayari laut selatan yang gila, bermalam pada
mukim-mukim yang asing. Tahun-tahun pada langit
yang menyimpan kehendak wingit,
demikian jutaan bintang menyorot lampu pelayaran
mendesis menegas pada lautanmu yang amis

2009

Catatan:

Padhangan Sore adalah istilah waktu para nelayan di dalam berburu ikan di luat Muncar (sebuah kecatamatan di Kab. Banyuwangi yang menjadi salah satu pusat pelabuhan ikan terbesar di Asia) di mana perjalanan mencari ikan ini dilakukan selepas bulan purnama. Padhangan Sore tepatnya waktu berangkat mencari ikan pada siang hari dan pulang pada malam hari pada pukul 00.00 WIB.


***

Hutan Sodung

aku belum sempat membubuh makna
pada namamu pada harum rambut kanak-kanak
pada langgar yang tua

rumah yang lama, pohon jambu yang tua
puluhan bebek dan kambing
bulan putih di halaman pohon kates

Hutan Sodung
airmu menggericik jauh pada kaki waktu
lantaran untuk melupakan ingatan
pohon-pohon tua yang perkasa
ikan-ikan tawar yang segar.
Lalu perlahan kau tidur dalam dadaku
tenang, sepi, dan hilang

2009

Catatan:

Hutan Sodung = Bernama Hutan Sodung. Hutan Sodung adalah hutan desa yang terletak di Kec. Wongsorejo Kab. Banyuwangi, wilayah utara Kab. Banyuwangi. Sekitar tahun 1980-an, Hutan Sodung adalah hutan yang lebat dengan pohon-pohonnya yang meraksasa berusia tua, dikenal angker dan wingit. Hutan liar ini memiliki sungai dengan mata airnya yang sangat jernih dan dihuni oleh pelbagai jenis ikan tawar yang melimpah. Pada sekitar tahun 1990-an, Hutan Sodung digunduli oleh orang, pohon-pohonya ditebang sehingga hutan ini kemudian menjadi seperti lapangan sepak bola. Penebangan liar itu ternyata direstui oleh pemerintahan desa Wongsorejo yang di tahun 1990-an adalah pemerintahan yang gagah dalam rezim Orba. Alasan penebangan Hutan Sodung dengan liar dan habis-habisan itu adalah untuk membangun kantor desa Wongsorejo, di mana kayu-kayunya akan digunakan untuk pembangunan. Padahal kenyataannya tidak. Kayu-kayu Hutan Sodung ditebang dan dijual dan menguntungkan secara pribadi para penebang hutan tersebut beserta kroni-kroni penguasaa desa Wongsorejo, yang waktu itu kepala desanya adalah seorang purnawirawan militer. Terakhir (sekitar tahun 2007-an), kepala desa Wongsorejo ditahan polisi atas tuduhan penggelapan beras subsidi pemerintah terhadap rakyat miskin. Gundulnya Hutan Sodung menyebabkan mata air sungai Sodung kering, ikan-ikan mati dan juga banyak yang diracun untuk diambil dagingnya. Hal ini mengkhawatirkan para pecinta alam di Banyuwangi, sehingga reboisasi pun dilakukan. Namun, reboisasi itu gagal karena tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah desa dan kecamatan Wongsorejo. Kini, Hutan Sodung sudah tidak ada, ia sirna bersama kenangan yang terlupakan.


***

Mata Kemiren

sepasang matamu adalah mata sepasang sapi,
angin meniup rambutmu menggerai wangi kopi

perjalanan setiap makan siang
menjelma sepasukan pecel pitik di mejamu
dan tentang jalan-jalan menurun
pada bahu kota di bawah alismu

bulan di dingin angimu
mengurai pada hari-hari yang terkadang sunyi
pada sungai-sungai di kelopakmu

rapatkan kembali pintu-pintu sejarahmu
sebab sebentar lagi
kunang-kunang hinggap di ujung bulu matamu

2009

Catatan:

Pecel Pitik (Bahasa Jawa) Kemiren: adalah makanan khas tradisional masyarakat Kemiren, yakni hidangan berupa daging ayam yang dirobek-robek lalu dicampur dengan parutan kelapa. Ini adalah makanan khas Kemiren yang terkenal dengan sebutan Pecel Pitik Kemiren.


***

Duka Daun Pisang

pada tepi Kemiren
sang penari menatap butir cahaya
yang jatuh menyerbuk di antara atap-atap rumah
setelah hujan semalaman
bulan-bulan berkejaran
dari untaian waktu yang terus berderu

harum kopi pada rambutnya
mencair bersama aroma musim
yang dengan setia membongkah sunyi
pada siul angin Kemiren

kesendirian sudah menjelma gunung
menanak jagung
dan melupakan masa lalu

kerut pada tepi alisnya
lukisan ruang kenangan
diam dan terlipat di bawah dipan

Podo Nonton dan Seblang Lukento
terus menggairah bagaikan birahi masa muda
kehilangan dan kelahiran
bukan lagi putaran bagian dari kehidupan
melainkan keharusan penjagaan hidup
yang diterima dengan kancing baju yang terbuka

embun dini hari yang menjarum
jatuh di helai daun pisang
yang lusa akan ditebang
sebagai menu untuk makan malam

2009

Catatan:

Podo Nonton = adalah syair tua yang dinyanyikan saat tari Jejer Gandrung (tarian pembukaan). Syair ini berisi tentang semangat pemberontakan dan heroisme orang-orang Blambangan melawan penjajahan.
Seblang Lukento = adalah syair yang dinyanyikan saat tari Sebalang (tarian penutupan gandrung pada dini hari menjelang subuh). Syair ini berisi renungan hidup pun bernuansa pemberontakan terhadap segala bentuk penjajahan.


***

Batang Muara

rumah-rumah berjajar
sungai tawar, ikan segar,
dan ternak kambing
pada tepian
tubuhmu mencair pada embun
tatkala senjakala mengendap

sepanjang sungai
sebelum laut menguraikan rindu
muara yang menghidupkan anak-anak
dalam gendongan ibunya
jala, mata kali, dan wangi kopi musim hujan
segelas teguk

daun-daun membungkuk
jembatan tua setia pada cakrawala

2009

***

Sajak Percintaan Bima
—Isteriku

inilah percintaan yang aku inginkan:

—dan perlahan, malam rebah di atap rumah kita.
Ruang remang, dan pahamu yang bercahaya,
sekuntum senyummu mengajak-rayu kelelakianku
berlabuh di situ

—ayo! Ayo dahului aku!
Sebelum aku mendahuluimu,
desah Bima.

—lantas saling mendahului saling memburu,
berpagut mesra menikmati yang bersatu

—serang! Seranglah!
Seranglah sebelum kau diserang!
Dan jangan menunggu serangan!
hentak Bima perkasa.

—lalu kau rambatkanlah jari-jarimu
mengelanai sekujur tubuhku,
melepas helai demi helai busanaku
menciumi seluruh tubuhku hingga ke jari-jari kakiku.
Menelan menghisap kuat pedang purba di bawah pusarku.
Menciumi segala rasa apiku,
hingga terbakar begitu lama dan lupa
jarum-jarum jam jatuh tak terasa

—bersemangatlah!
Seperti api yang menggila,
seru Bima.
Lidahmu menjilat-jilat sekujur tubuhku
hingga ke jari-jari kakiku,
lalu asin tubuhku
adalah keluasan samudera.
Kemudian kau terkulai, menuruti,
pasrah dan berserah
menyerahkan seluruhnya
ke dalam gairah apiku.

—kemudian dengan memburu,
biarkan aku menjilati asin ketiakmu,
sebab segala hasratku terasa terbakar dari situ.
Asin dan aroma ketiakmu jangan kau semproti parfum,
endapan keringat di ketiakmu
adalah aroma
yang mengobarkan api nafsu putihku
yang abadi cinta-Nya
yang dianugerahkan rahman rahim
kepada kita.
Maka, biasakanlah selalu
percintaan sakti ini.
Sampai nanti,
sampai tak berbatas hari.
Amin...

Banyuwangi, 13 September 2009

1 komentar:

  1. waahh.. panjang.

    saje jejalan bace puisi org :)
    letak la gmbr yg berkenaan dgn puisi2 tu. :)

    BalasHapus