Bulan September memberi sedikit gerimis pada dini hari.
Langit malam.
Dan kita yg tidak perlu mencari makna.
Sia-sia.
Duka.
Mati iseng sendiri, kata Chairil.
Musim-musim berlumut di dada.
Malam rebah, mata lelah, bulan merah tua.
Sekali waktu, jendela masih terbuka.
Kita menutupnya karena takut angin menyusup ke sana.
Dinding demam.
Dan kita yg tak hentinya bertanya.
Segala jawab hanya cemas, pada segala yg bergegas.
Terus bergegas, menguping bisikan dunia.
Kita pun terpana.
2010
Taufiq Wr. Hidayat
Kamis, 30 September 2010
Rabu, 29 September 2010
Yang Dipersalahkan
Dari sudut-sudut kegalauan, dirasanya kegetiran. Juminto terpaku. Dinding demam, lambungnya perih, dia tak makan sudah tiga hari. Ia telah dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya bencana itu dan menciptakan nasib buruk bagi orang-orang yang tak bersalah.
Juminto benar-benar merasa sendiri, tak ada seorang pun yang membelanya, semua mempersalahkannya, menghujat dan mengutuknya. Padahal apa yang dilakukan Juminto adalah wujud baktinya terhadap tugasnya sebagai manusia biasa. Juminto hanya ingin mengabarkan kenyataan dan pencerahan, dan dia tidak menduga sebelumnya bahwa itu akan menimbulkan dampak sakit hati sehingga membakarkan kebencian para pendendam. Para pendendam berkomplot, membabi buta. Mangsa-mangsa para pendendam itu bergelatakan. Para pendendam bagai segerombolan singa yang memburu ayam kampung, menerkam bebek, dan mengunyah tikus. Tidak ada perhitungan. Tidak menimbang martabat.
"Sangat tidak bermartabat seekor singa memburu ayam, menerkam bebek dan mengunyah tikus," kata Juminto pada dirinya sendiri.
Tapi, kini Juminto benar-benar telah dipersalahkan atas segala bencana itu, atas segala membabi butanya para pendendam yang hanya akan tertawa puas setelah menelan kuping mangsanya yang telah membuat mereka sakit hati. Juminto sendirian. Batinnya tertekan, gairah hidupnya tertawan, dan tubuhnya lemas di antara dinding-dinding lembab, kelam, dan demam. Juminto merasa seolah semua mata mengawasinya dengan penuh curiga, benci, dan hendak menghabisi. Jari-jari Juminto dingin bagai tangan mayat. Lambungnya perih. Tak ada yg memujinya, membela atau menemaninya. Segala kesalahan tertimpa kepadanya. Juminto merasa tidak aman, merasa diincar, dan terancam.
Juminto sudah tidak bisa apa-apa. Dia, Juminto, yang terkutuk. Bahkan dirinya sendiri pun mengutuknya. Dinding-dinding kelam dan demam. Dingin dan padam. Juminto telah ditinggalkan. Jauh ditinggalkan dan dilupakan, namun yang diingat orang hanya tindakannya yang 'sok pahlawan' itu yang telah memicu moncong-moncong dendam dan sakit hati, memancing keluarnya amarah para pendendam, para pemburu buas yang haus mangsa yang tak sebanding itu. Juminto telah diasingkan. Ditiadakan. Tidak layak ada. Tidak penting. Tidak perlu ada. Terbuang. Terkutuk. Laknat. Bangsat. Celeng.
Juminto merasa tak layak hidup lagi. Segala dari dirinya tak ada yang baik. Semua adalah bencana. Juminto memejamkan matanya. Dia menemukan gelap, merasa lapar, dan demam.
Taufiq Wr. Hidayat
29 September 2010
Juminto benar-benar merasa sendiri, tak ada seorang pun yang membelanya, semua mempersalahkannya, menghujat dan mengutuknya. Padahal apa yang dilakukan Juminto adalah wujud baktinya terhadap tugasnya sebagai manusia biasa. Juminto hanya ingin mengabarkan kenyataan dan pencerahan, dan dia tidak menduga sebelumnya bahwa itu akan menimbulkan dampak sakit hati sehingga membakarkan kebencian para pendendam. Para pendendam berkomplot, membabi buta. Mangsa-mangsa para pendendam itu bergelatakan. Para pendendam bagai segerombolan singa yang memburu ayam kampung, menerkam bebek, dan mengunyah tikus. Tidak ada perhitungan. Tidak menimbang martabat.
"Sangat tidak bermartabat seekor singa memburu ayam, menerkam bebek dan mengunyah tikus," kata Juminto pada dirinya sendiri.
Tapi, kini Juminto benar-benar telah dipersalahkan atas segala bencana itu, atas segala membabi butanya para pendendam yang hanya akan tertawa puas setelah menelan kuping mangsanya yang telah membuat mereka sakit hati. Juminto sendirian. Batinnya tertekan, gairah hidupnya tertawan, dan tubuhnya lemas di antara dinding-dinding lembab, kelam, dan demam. Juminto merasa seolah semua mata mengawasinya dengan penuh curiga, benci, dan hendak menghabisi. Jari-jari Juminto dingin bagai tangan mayat. Lambungnya perih. Tak ada yg memujinya, membela atau menemaninya. Segala kesalahan tertimpa kepadanya. Juminto merasa tidak aman, merasa diincar, dan terancam.
Juminto sudah tidak bisa apa-apa. Dia, Juminto, yang terkutuk. Bahkan dirinya sendiri pun mengutuknya. Dinding-dinding kelam dan demam. Dingin dan padam. Juminto telah ditinggalkan. Jauh ditinggalkan dan dilupakan, namun yang diingat orang hanya tindakannya yang 'sok pahlawan' itu yang telah memicu moncong-moncong dendam dan sakit hati, memancing keluarnya amarah para pendendam, para pemburu buas yang haus mangsa yang tak sebanding itu. Juminto telah diasingkan. Ditiadakan. Tidak layak ada. Tidak penting. Tidak perlu ada. Terbuang. Terkutuk. Laknat. Bangsat. Celeng.
Juminto merasa tak layak hidup lagi. Segala dari dirinya tak ada yang baik. Semua adalah bencana. Juminto memejamkan matanya. Dia menemukan gelap, merasa lapar, dan demam.
Taufiq Wr. Hidayat
29 September 2010
Sapi Betina
Seekor harimau berhasil menawan seekor sapi betina. Sebelum diterkam, sapi itu meminta kepada harimau supaya menunda untuk menerkamnya.
"Ijinkan saya menemui anakku yang masih kecil untuk berpamitan. Lalu, setelah itu aku akan menemuimu lagi dan ikhlas menjadi makananmu," kata sang sapi.
Walaupun ragu karena khawatir dibohongi, harimau itu pun memperbolehkan.
Maka, sang sapi pun pulang ke kandangnya, ia berpamitan kepada anaknya dan tuannya yang sudah tua. Lalu ia kembali memenuhi janjinya untuk menjadi santapan harimau.
Tapi, tuan dan seekor anaknya itu mengikutinya. Tuannya yang tua meminta harimau tidak memakan sapi betina itu dan sebagai gantinya harimau boleh memakan dirinya (tuan dari sapi betina itu). Anak sapi betina itu pan rela dimakan harimau asal sang harimau tidak memakan induknya. Tapi, harimau menolak. Ia justru hendak memakan ketiganya, yakni sang sapi betina, anaknya, dan tuan dari sapi itu.
Tapi, lalu harimau berubah kehendak, ia pun berkata:
"Bukankah kau telah jujur padaku, wahai sapi betina. Dan untuk kejujuranmu itu, kau layak mendapatkan penghargaan, maka aku tidak akan memakanmu. Aku juga tidak akan memakan anakmu, dia telah tulus berkorban bersedia mati demi ibu yang dicintainya, untuk itu aku menghormati pengorbanannya. Dan aku juga tidak akan menerkam tuanmu yang sudah tua itu, karena bukanlah sifat harimau menerkam mangsa yang telah tidak berdaya, lemah, kecil dan tua."
Harimau pun pergi mencari mangsa lain yang lebih pantas, mangsa harimau yang tidak akan menjatuhkan kehormatan, kewibawaan dan kesejatiannya sebagai seekor harimau yang gagah perkasa.
Taufiq Wr. Hidayat
29-09-2010
"Ijinkan saya menemui anakku yang masih kecil untuk berpamitan. Lalu, setelah itu aku akan menemuimu lagi dan ikhlas menjadi makananmu," kata sang sapi.
Walaupun ragu karena khawatir dibohongi, harimau itu pun memperbolehkan.
Maka, sang sapi pun pulang ke kandangnya, ia berpamitan kepada anaknya dan tuannya yang sudah tua. Lalu ia kembali memenuhi janjinya untuk menjadi santapan harimau.
Tapi, tuan dan seekor anaknya itu mengikutinya. Tuannya yang tua meminta harimau tidak memakan sapi betina itu dan sebagai gantinya harimau boleh memakan dirinya (tuan dari sapi betina itu). Anak sapi betina itu pan rela dimakan harimau asal sang harimau tidak memakan induknya. Tapi, harimau menolak. Ia justru hendak memakan ketiganya, yakni sang sapi betina, anaknya, dan tuan dari sapi itu.
Tapi, lalu harimau berubah kehendak, ia pun berkata:
"Bukankah kau telah jujur padaku, wahai sapi betina. Dan untuk kejujuranmu itu, kau layak mendapatkan penghargaan, maka aku tidak akan memakanmu. Aku juga tidak akan memakan anakmu, dia telah tulus berkorban bersedia mati demi ibu yang dicintainya, untuk itu aku menghormati pengorbanannya. Dan aku juga tidak akan menerkam tuanmu yang sudah tua itu, karena bukanlah sifat harimau menerkam mangsa yang telah tidak berdaya, lemah, kecil dan tua."
Harimau pun pergi mencari mangsa lain yang lebih pantas, mangsa harimau yang tidak akan menjatuhkan kehormatan, kewibawaan dan kesejatiannya sebagai seekor harimau yang gagah perkasa.
Taufiq Wr. Hidayat
29-09-2010
Ingatan-ingatan September
Ia masih ingat, ketakutan yang menyelimuti dinding dengan gelap dan demam. Dia juga masih ingat betul, satu tanda tanya saja sudah menerbitkan ancaman, tuduhan makar, atau kriminal. Dia pun mengingat, kepala-kepala manusia berserakan di mana-mana yang badannya entah sudah ke mana. Dia mengenang, tulisan kecil yang mengabarkan kenyataan harus menghadapkan penulisnya pada pidana, moncong sakit hati, amarah, atau wajah orang-orang bertubuh gelap dan asing. Ia masih mengenang pula, masa lalu di bawah jembatan bambu sebelum kemudian desanya diserbu dibakar oleh entah siapa. Ia mengenang hari-hari yang sangat tidak beruntung, lambung perih, tubuh gemetar, dan ketidakberdayaan menghadapi ancaman yang entah ancaman siapa dan kenapa terancam. Dia mengingat, waktu itu ia terkenang wajah anaknya yang masih balita yang tidak hentinya berlari tiap hari dan tertawa, wajah istrinya yang bersih, ia rindu. Dan hingga senja penjelang petang usianya yang telah melewati ratusan dan ribuan peristiwa, ia belum juga bisa kembali ke rumahnya.
Sebelum tidur, ingatan-ingatan itu terus berkelebat dan bersetubuh dengan kecemasan kegelisahan.
"Semoga besok hidup ini baik-baik saja," katanya.
Lalu dipejamkan matanya yang telah semakin tua dan lemah.
Taufiq Wr. Hidayat
29 September 2010
Sebelum tidur, ingatan-ingatan itu terus berkelebat dan bersetubuh dengan kecemasan kegelisahan.
"Semoga besok hidup ini baik-baik saja," katanya.
Lalu dipejamkan matanya yang telah semakin tua dan lemah.
Taufiq Wr. Hidayat
29 September 2010
Kamis, 23 September 2010
Cerita Pagi Jumali
Pagi-pagi betul, Jumali sudah di rumah. Minta dibuatkan kopi dan minta rokok kretek Talijagat. Dia mengeluh butuh uang 300 ribu untuk beli obat anaknya di apotik. Sebenarnya oleh dokter, anaknya disarankan ngamar di RS. Tapi, Jumali tidak berkenan.
"Lebih baik dirawat di rumah saja. Ngamar di RS itu seperti ngamar di hotel. Mahal," kata Jumali.
Di rumah, Jumali minum kopi sambil merokok Talijagat.
Menurut Jumali, di Kumitir telah ditemukan manusia liliput, panjang tubuh manusia liliput itu, kata Jumali, hanya sekitar 25 cm.
"Manusia liliput itu, sepatunya kecil seperti sepatu mainan gantungan kunci. Kemungkinan mereka, tentunya, punya negeri sendiri, punya presiden sendiri barangkali, dan juga bersekolah. Walaupun ukurannya pendek mungil, tapi mereka juga manusia. Punya peradaban dan kebudayaan," kata Jumali.
"Ah! Masa iya?" tanyaku.
"Lho benar! Benar ada. Ditemukan di hutan gunung Kumiter. Sepertinya aku pernah baca beritanya di Kompas, seorang wartawan yang menemukan komunitas manusia liliput itu," jawab Jumali serius sembari menyedot rokok kreteknya dan dengan pelan mengepulkan asap tebal dari mulutnya.
Pagi itu gerimis. Jalanan nampak basah terlihat dari balik jendela. Dingin namun tak sampai menusuk jantung. Jumali masih belum bicara lagi. Mungkin dalam pikirannya hanya ada dua hal yang belum terpecahkan, yakni tentang betulkah betul-betul ada komunitas manusia liliput di puncak Kumitir itu, dan ke mana akan mencari pinjaman uang 300 ribu untuk menebus obat anaknya di apotik? Dan asap rokok dari mulut Jumali melayang menyentuh langit-langit tanpa berisik. Hanya suara tembakau dikunyah bara.
Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat
"Lebih baik dirawat di rumah saja. Ngamar di RS itu seperti ngamar di hotel. Mahal," kata Jumali.
Di rumah, Jumali minum kopi sambil merokok Talijagat.
Menurut Jumali, di Kumitir telah ditemukan manusia liliput, panjang tubuh manusia liliput itu, kata Jumali, hanya sekitar 25 cm.
"Manusia liliput itu, sepatunya kecil seperti sepatu mainan gantungan kunci. Kemungkinan mereka, tentunya, punya negeri sendiri, punya presiden sendiri barangkali, dan juga bersekolah. Walaupun ukurannya pendek mungil, tapi mereka juga manusia. Punya peradaban dan kebudayaan," kata Jumali.
"Ah! Masa iya?" tanyaku.
"Lho benar! Benar ada. Ditemukan di hutan gunung Kumiter. Sepertinya aku pernah baca beritanya di Kompas, seorang wartawan yang menemukan komunitas manusia liliput itu," jawab Jumali serius sembari menyedot rokok kreteknya dan dengan pelan mengepulkan asap tebal dari mulutnya.
Pagi itu gerimis. Jalanan nampak basah terlihat dari balik jendela. Dingin namun tak sampai menusuk jantung. Jumali masih belum bicara lagi. Mungkin dalam pikirannya hanya ada dua hal yang belum terpecahkan, yakni tentang betulkah betul-betul ada komunitas manusia liliput di puncak Kumitir itu, dan ke mana akan mencari pinjaman uang 300 ribu untuk menebus obat anaknya di apotik? Dan asap rokok dari mulut Jumali melayang menyentuh langit-langit tanpa berisik. Hanya suara tembakau dikunyah bara.
Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat
Kamis, 09 September 2010
Lebaran: Kemenangan Para Binatang
Di bulan Ramadan, warung-warung tidak tutup, tapi buka malu-malu. Razia PSK dan tempat hiburan siaga satu. Restoran menuangkan sebotol wine dalam teko agar wine tersebut seperti teh, tidak kentara atau terkelabuhi. Ramadan ramai dengan larangan ini-itu, muncul Perda ini-itu, iklan-iklan menyesuaikan, dakwah-dakwah, mode busana muslim, lawakan yang rendahan, aneka santap sahur dan buka puasa digelar, toko-toko baju buka 24 jam. Ramadan tidak boleh ada wine, bir, dansa, PSK, tidak boleh ada hiburan di bulan suci. Siapa yang membantah ditangkap aparat karena dianggap melanggar Perda, dianggap tidak menghormati orang-orang yang berpuasa. Ramadan bulan yang penuh ancaman dan ketakutan. Tidak sadar, sikap religius kita telah berubah menjadi sikap binal binatang yang semaunya, seenaknya, merasa yang paling suci sendiri. Ramadan bulan yang penuh kasih sayang dan ampunan menjadi bulan yang penuh ketegaan dan keangkuhan. Lalu, kini Lebaran yang adalah "kemenangan", kemenangan siapa atas siapa? Kemenangan binatang yang dirayakan dengan takbir, tahmid, dan tahlil.
Taufiq Wr. Hidayat
Taufiq Wr. Hidayat
Selasa, 07 September 2010
Catatan Bulan September 2010
Bulan September bukan musim hujan, tapi hujan datang sesekali, kadang deras kadang hanya gerimis bercampur angin. Cuaca seperti wanita, tidak bisa diterka. Sebentar lagi lebaran, orang-orang berbondong memasuki mall dan supermarket, mereka memberi baju, dan membeli perlengkapan lain, juga semangka dan melon. Sarmidin telah ke toko baju, ia membeli sejumlah baju untuk persediaan hari raya yang kurang beberapa hari lagi. Bulan puasa di tahun ini, seringkali cuaca panas. Banyak orang tidak berpuasa. Warung-warung masih buka di siang hari seperti biasanya. Wahyudi menggelar diskusi rutin di rumahnya tiap sehabis salat taraweh. Diskusi seputar syariat Islam yang membosankan.
Orang-orang di pasar Rogojampi sesak. Jalanan pasar di tepi jalan raya itu selalu macet, apalagi menjelang lebaran. Tamban ban, warung "Janggolan" buka 24 jam. Toko-toko baju ramai. Warung menggunakan tabung gas untuk mendidihkan air. Orang-orang seperti menyusun mimpi dari butiran debu yang dibawa udara siang. Masjid besar di dekat pasar Rogojampi tiap malam di bulan Ramadan membacakan ayat-ayat suci. Dan orang-orang masih menghitung kecemasan. Soal-soal seperti tak terjamah untuk diselesaikan. Diam-diam, gelisah mengendap di balik lengan baju yang tidak diseterika. Waktu terus berderu. Dan terus berpacu. Pacu. Pacu. Pacu.
Taufiq Wr. Hidayat, 2010
Orang-orang di pasar Rogojampi sesak. Jalanan pasar di tepi jalan raya itu selalu macet, apalagi menjelang lebaran. Tamban ban, warung "Janggolan" buka 24 jam. Toko-toko baju ramai. Warung menggunakan tabung gas untuk mendidihkan air. Orang-orang seperti menyusun mimpi dari butiran debu yang dibawa udara siang. Masjid besar di dekat pasar Rogojampi tiap malam di bulan Ramadan membacakan ayat-ayat suci. Dan orang-orang masih menghitung kecemasan. Soal-soal seperti tak terjamah untuk diselesaikan. Diam-diam, gelisah mengendap di balik lengan baju yang tidak diseterika. Waktu terus berderu. Dan terus berpacu. Pacu. Pacu. Pacu.
Taufiq Wr. Hidayat, 2010
Rabu, 01 September 2010
Berangkat Malam
Ada kabut,
menikahi bulan.
Cemas berpagut.
Larut malam.
Langit-langit jalan,
kukawini sepi.
Luka sudah.
Tumpah.
Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010
menikahi bulan.
Cemas berpagut.
Larut malam.
Langit-langit jalan,
kukawini sepi.
Luka sudah.
Tumpah.
Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010
Langganan:
Postingan (Atom)