Pagi-pagi betul, Jumali sudah di rumah. Minta dibuatkan kopi dan minta rokok kretek Talijagat. Dia mengeluh butuh uang 300 ribu untuk beli obat anaknya di apotik. Sebenarnya oleh dokter, anaknya disarankan ngamar di RS. Tapi, Jumali tidak berkenan.
"Lebih baik dirawat di rumah saja. Ngamar di RS itu seperti ngamar di hotel. Mahal," kata Jumali.
Di rumah, Jumali minum kopi sambil merokok Talijagat.
Menurut Jumali, di Kumitir telah ditemukan manusia liliput, panjang tubuh manusia liliput itu, kata Jumali, hanya sekitar 25 cm.
"Manusia liliput itu, sepatunya kecil seperti sepatu mainan gantungan kunci. Kemungkinan mereka, tentunya, punya negeri sendiri, punya presiden sendiri barangkali, dan juga bersekolah. Walaupun ukurannya pendek mungil, tapi mereka juga manusia. Punya peradaban dan kebudayaan," kata Jumali.
"Ah! Masa iya?" tanyaku.
"Lho benar! Benar ada. Ditemukan di hutan gunung Kumiter. Sepertinya aku pernah baca beritanya di Kompas, seorang wartawan yang menemukan komunitas manusia liliput itu," jawab Jumali serius sembari menyedot rokok kreteknya dan dengan pelan mengepulkan asap tebal dari mulutnya.
Pagi itu gerimis. Jalanan nampak basah terlihat dari balik jendela. Dingin namun tak sampai menusuk jantung. Jumali masih belum bicara lagi. Mungkin dalam pikirannya hanya ada dua hal yang belum terpecahkan, yakni tentang betulkah betul-betul ada komunitas manusia liliput di puncak Kumitir itu, dan ke mana akan mencari pinjaman uang 300 ribu untuk menebus obat anaknya di apotik? Dan asap rokok dari mulut Jumali melayang menyentuh langit-langit tanpa berisik. Hanya suara tembakau dikunyah bara.
Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat
Kamis, 23 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar