Dari sudut-sudut kegalauan, dirasanya kegetiran. Juminto terpaku. Dinding demam, lambungnya perih, dia tak makan sudah tiga hari. Ia telah dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya bencana itu dan menciptakan nasib buruk bagi orang-orang yang tak bersalah.
Juminto benar-benar merasa sendiri, tak ada seorang pun yang membelanya, semua mempersalahkannya, menghujat dan mengutuknya. Padahal apa yang dilakukan Juminto adalah wujud baktinya terhadap tugasnya sebagai manusia biasa. Juminto hanya ingin mengabarkan kenyataan dan pencerahan, dan dia tidak menduga sebelumnya bahwa itu akan menimbulkan dampak sakit hati sehingga membakarkan kebencian para pendendam. Para pendendam berkomplot, membabi buta. Mangsa-mangsa para pendendam itu bergelatakan. Para pendendam bagai segerombolan singa yang memburu ayam kampung, menerkam bebek, dan mengunyah tikus. Tidak ada perhitungan. Tidak menimbang martabat.
"Sangat tidak bermartabat seekor singa memburu ayam, menerkam bebek dan mengunyah tikus," kata Juminto pada dirinya sendiri.
Tapi, kini Juminto benar-benar telah dipersalahkan atas segala bencana itu, atas segala membabi butanya para pendendam yang hanya akan tertawa puas setelah menelan kuping mangsanya yang telah membuat mereka sakit hati. Juminto sendirian. Batinnya tertekan, gairah hidupnya tertawan, dan tubuhnya lemas di antara dinding-dinding lembab, kelam, dan demam. Juminto merasa seolah semua mata mengawasinya dengan penuh curiga, benci, dan hendak menghabisi. Jari-jari Juminto dingin bagai tangan mayat. Lambungnya perih. Tak ada yg memujinya, membela atau menemaninya. Segala kesalahan tertimpa kepadanya. Juminto merasa tidak aman, merasa diincar, dan terancam.
Juminto sudah tidak bisa apa-apa. Dia, Juminto, yang terkutuk. Bahkan dirinya sendiri pun mengutuknya. Dinding-dinding kelam dan demam. Dingin dan padam. Juminto telah ditinggalkan. Jauh ditinggalkan dan dilupakan, namun yang diingat orang hanya tindakannya yang 'sok pahlawan' itu yang telah memicu moncong-moncong dendam dan sakit hati, memancing keluarnya amarah para pendendam, para pemburu buas yang haus mangsa yang tak sebanding itu. Juminto telah diasingkan. Ditiadakan. Tidak layak ada. Tidak penting. Tidak perlu ada. Terbuang. Terkutuk. Laknat. Bangsat. Celeng.
Juminto merasa tak layak hidup lagi. Segala dari dirinya tak ada yang baik. Semua adalah bencana. Juminto memejamkan matanya. Dia menemukan gelap, merasa lapar, dan demam.
Taufiq Wr. Hidayat
29 September 2010
Rabu, 29 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar