Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
Dewan Kesenian Blambangan (DKB) di Banyuwangi dianggap oleh beberapa budayawan di luar DKB, sebagai lembaga “imajinatif” untuk sekadar memberikan penilaian bahwa keberadaannya sama dengan ketidakberadaannya. DKB dianggap tidak cukup memberikan sumbangan berharga bagi kebudayaan Banyuwangi dan sejarah lokal, juga tidak menjadi media transformasi bagi eksistensi kesenian daerah yang dijalankan oleh kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat Banyuwangi dan insan kesenian pada umumnya. Anggapan dan penilaian itu, tidak dapat dipersalahkan juga jangan ditanggapi dengan sikap sinis atau fatalistik oleh DKB dan pemerintah. Kita perlu memahami kenapa anggapan dan penilaian budayawan di luar DKB, yang jumlah dan kualitasnya jauh lebih bagus daripada para budayawan DKB, itu muncul. Hal ini harus dipandang secara baik dan proporsional kalau kita menghendaki adanya dinamika kebudayaan yang bermafaat bagi kehidupan rakyat Banyuwangi, baik melalui DKB maupun yang di luar formalitas DKB.
Dewan Kesenian Blambangan (DKB) di Banyuwangi dianggap oleh beberapa budayawan di luar DKB, sebagai lembaga “imajinatif” untuk sekadar memberikan penilaian bahwa keberadaannya sama dengan ketidakberadaannya. DKB dianggap tidak cukup memberikan sumbangan berharga bagi kebudayaan Banyuwangi dan sejarah lokal, juga tidak menjadi media transformasi bagi eksistensi kesenian daerah yang dijalankan oleh kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat Banyuwangi dan insan kesenian pada umumnya. Anggapan dan penilaian itu, tidak dapat dipersalahkan juga jangan ditanggapi dengan sikap sinis atau fatalistik oleh DKB dan pemerintah. Kita perlu memahami kenapa anggapan dan penilaian budayawan di luar DKB, yang jumlah dan kualitasnya jauh lebih bagus daripada para budayawan DKB, itu muncul. Hal ini harus dipandang secara baik dan proporsional kalau kita menghendaki adanya dinamika kebudayaan yang bermafaat bagi kehidupan rakyat Banyuwangi, baik melalui DKB maupun yang di luar formalitas DKB.
Cara kerja dewan kesenian selama ini di Banyuwangi sangat bergantung pada jalinan sistem pemerintahan. Membincang pemerintahan, sama halnya bersentuhan dengan birokrasi sebagai perangkatnya. Dalam hal ini, DKB menjadi kepanjangan tangan dari Dinas Pariwisata. Dengan demikian, setiap aktivitas DKB yang berkaitan dengan seni-budaya Banyuwangi semata tercurah pada penguatan promosi. Sehingga peran penjagaan dan media penghubung antara pelaku seni-budaya di satu pihak dengan pemegang kebijakan formal di pihak lain dalam menyuguhkan nilai-nilai seni-budaya secara sinambung, tidak tercapai. Penerbitan buku-buku budaya dan sejarah lokal banyak dilakukan oleh kelompok kecil dengan dana swadaya seadanya, sehingga hasil dan target yang dicapai terasa kurang maksimal. Sedangkan DKB hanya bersibuk diri menyelenggarakan karnaval-karnaval, pawai budaya, lomba-lomba atau even-even lainnya yang merupakan suatu kegiatan yang lebih bersifat promotif, dangkal, dan merupakan “pesanan” (dalam tanda kutip) Dinas Pariwisata yang adalah perangkat pemerintah. DKB tidak bisa berdiri secara kokoh menjadi fasilitator seni-budaya Banyuwangi dalam menyampaikan nilai-nilai orisinil seni-budaya rakyat secara aplikatif dan bersifat pemberdayaan. Hal ini karena beberapa hal, di antaranya yang pokok adalah lemahnya keorganisasian DKB dan kecemasan orang-orang DKB, karena jika tidak memenuhi “pesanan” khawatir “tidak diberi jatah” atau “jatah dikurangi”. Kecemasan yang kurang beralasan.
Padahal peran DKB justru akan lebih bermanfaat jika DKB mampu memperbaiki keorganisasiannya secara demokratis, misalnya dengan melakukan penguatan dan penegasan AD/ART DKB serta memilih ketua dan pengurus secara pemilihan atau musyawarah. Langkah ini bertujuan agar keberadan DKB di Banyuwangi mendapatkan legitimasi dari insan kesenian dan rakyat. Bukan melestarikan kebiasaan “tunjuk hidung”, sehingga DKB ada karena proses kekuasaan bukan dari proses aspiratif dan demokratis. Dengan demikian, DKB justru menjadi lembaga yang asing di tengah insan seni-budaya dan rakyat, tidak mampu memberikan sebentuk harapan dan angin sejuk bagi perkembangan seni-budaya yang dibutuhkan rakyat. Kenapa demikian? Karena DKB belum menjadi milik bersama, melainkan menjadi milik “birokrasi kesenian” dengan segala kehendak praktisnya. DKB menjadi lembaga eksklusif justru dalam sebuah kerangka paradigma budaya Banyuwangi yang memiliki karakter terbuka dan humanis. Idealisasi nilai-nilai luhur kita ini, terasa sekali tidak tertangkap sebagai semangat gerak DKB. Padahal dengan mengukuhkan gerakan praksis yang dijiwai nilai-nilai luhur ideal tersebut, maka tidak mengherankan jika nantinya “kelompok seni-budaya” akan menjadi pusat pertimbangan dari setiap kebijakan formal, menjadi “timbangan” sosial-politik-ekonomi rakyat yang keberadaannya akan sangat integratif, lebih jauh menjadi “corong” utama penjaminan adanya sturuktur masyarakat yang adil di mana para “hamba” tradisi hidup di dalamnya. Sikap bijaksana, keserasian tanpa menghilangkan kreatifitas individu, kerelaan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan bersama, bekerja dengan tulus, kesabaran menghadapi penderitaan, dan lain-lain yang seperti itu adalah nilai-nilai ideal yang luhur dari karakter budaya kita. Penterjemahan nilai-nilai ideal luhur ke dalam tataran teknis semestinya menjadi pola gerak berbagai kelompok budaya di Banyuwangi, terlebih DKB yang secara formal adalah lembaga yang “dihidupi” dari dana rakyat.
Penterjemahan nilai-nilai luhur ideal kita itu secara teknis ke dalam DKB, dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama; DKB bersama para budayawan-seniman non DKB duduk bersama untuk merumuskan langkah-langkah pemberdayaan seni-budaya rakyat. Misalnya saja ikut membantu dana dan fasilitas grup-grup Mocopatan di masyarakat yang di beberapa tempat “dihidupi” dengan arisan Mocopatan, mengupayakan pengkajian Lontar Yusup, dll. Kedua; melibatkan para penikmat seni dan masyarakat umum untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan DKB. Sehingga dengan demikian, partisipasi dan keterlibatan masyarakat inheren mewarnai corak dan ragam budaya daerah. Tentu saja harus dimulai dengan semangat menjadikan DKB sebagai milik bersama. Hal ini dapat ditempuh hanya dengan penguatan DKB sebagai organisasi yang demokratis dan berjalan pada jalur AD/ART secara konsisten. Jika tidak, maka DKB hanya akan menjadi “birokrasi seni-budaya” yang bergerak demi kepentingan sistem belaka. Yang kemudian akan duduk di DKB justru orang-orang yang tidak mengerti perihal seni-budaya Banyuwangi, melainkan hanya orang-orang yang “dekat” dengan penguasa atau hanya politisi yang sekadar mengejar gemerlap politik dengan pencitraan di dunia seni-budaya Banyuwangi melalui DKB, seperti yang mungkin sudah kita lihat bersama. Sehingga bentuk seni-budaya Banyuwangi hanya kegagahan belaka, namun tidak menyentuh kebutuhan naluri berkebudayaan rakyat. DKB harus merubah diri. Mudah diucapkan, tapi akhirnya terpulang pada kesungguhan semua pihak, bukan?
Padahal peran DKB justru akan lebih bermanfaat jika DKB mampu memperbaiki keorganisasiannya secara demokratis, misalnya dengan melakukan penguatan dan penegasan AD/ART DKB serta memilih ketua dan pengurus secara pemilihan atau musyawarah. Langkah ini bertujuan agar keberadan DKB di Banyuwangi mendapatkan legitimasi dari insan kesenian dan rakyat. Bukan melestarikan kebiasaan “tunjuk hidung”, sehingga DKB ada karena proses kekuasaan bukan dari proses aspiratif dan demokratis. Dengan demikian, DKB justru menjadi lembaga yang asing di tengah insan seni-budaya dan rakyat, tidak mampu memberikan sebentuk harapan dan angin sejuk bagi perkembangan seni-budaya yang dibutuhkan rakyat. Kenapa demikian? Karena DKB belum menjadi milik bersama, melainkan menjadi milik “birokrasi kesenian” dengan segala kehendak praktisnya. DKB menjadi lembaga eksklusif justru dalam sebuah kerangka paradigma budaya Banyuwangi yang memiliki karakter terbuka dan humanis. Idealisasi nilai-nilai luhur kita ini, terasa sekali tidak tertangkap sebagai semangat gerak DKB. Padahal dengan mengukuhkan gerakan praksis yang dijiwai nilai-nilai luhur ideal tersebut, maka tidak mengherankan jika nantinya “kelompok seni-budaya” akan menjadi pusat pertimbangan dari setiap kebijakan formal, menjadi “timbangan” sosial-politik-ekonomi rakyat yang keberadaannya akan sangat integratif, lebih jauh menjadi “corong” utama penjaminan adanya sturuktur masyarakat yang adil di mana para “hamba” tradisi hidup di dalamnya. Sikap bijaksana, keserasian tanpa menghilangkan kreatifitas individu, kerelaan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan bersama, bekerja dengan tulus, kesabaran menghadapi penderitaan, dan lain-lain yang seperti itu adalah nilai-nilai ideal yang luhur dari karakter budaya kita. Penterjemahan nilai-nilai ideal luhur ke dalam tataran teknis semestinya menjadi pola gerak berbagai kelompok budaya di Banyuwangi, terlebih DKB yang secara formal adalah lembaga yang “dihidupi” dari dana rakyat.
Penterjemahan nilai-nilai luhur ideal kita itu secara teknis ke dalam DKB, dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama; DKB bersama para budayawan-seniman non DKB duduk bersama untuk merumuskan langkah-langkah pemberdayaan seni-budaya rakyat. Misalnya saja ikut membantu dana dan fasilitas grup-grup Mocopatan di masyarakat yang di beberapa tempat “dihidupi” dengan arisan Mocopatan, mengupayakan pengkajian Lontar Yusup, dll. Kedua; melibatkan para penikmat seni dan masyarakat umum untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan DKB. Sehingga dengan demikian, partisipasi dan keterlibatan masyarakat inheren mewarnai corak dan ragam budaya daerah. Tentu saja harus dimulai dengan semangat menjadikan DKB sebagai milik bersama. Hal ini dapat ditempuh hanya dengan penguatan DKB sebagai organisasi yang demokratis dan berjalan pada jalur AD/ART secara konsisten. Jika tidak, maka DKB hanya akan menjadi “birokrasi seni-budaya” yang bergerak demi kepentingan sistem belaka. Yang kemudian akan duduk di DKB justru orang-orang yang tidak mengerti perihal seni-budaya Banyuwangi, melainkan hanya orang-orang yang “dekat” dengan penguasa atau hanya politisi yang sekadar mengejar gemerlap politik dengan pencitraan di dunia seni-budaya Banyuwangi melalui DKB, seperti yang mungkin sudah kita lihat bersama. Sehingga bentuk seni-budaya Banyuwangi hanya kegagahan belaka, namun tidak menyentuh kebutuhan naluri berkebudayaan rakyat. DKB harus merubah diri. Mudah diucapkan, tapi akhirnya terpulang pada kesungguhan semua pihak, bukan?
Banyuwangi, 2010
MASYARAKAT BANYUWANGI lebih menyukai artis dari pada karya seni nya,.......
BalasHapus