Jumat, 08 Oktober 2010

Para Penjaga yang Luhur (Cerita Kecil Jumali Misjumo)

Di tahun 70-an, Jumini pernah ikut grup kasidah dan tergabung dalam wadah kesatuan penyiaran radio amatiran di Rogojampi. Waktu itu, ia masih belia dan menjadi santri "nyolok" di surau Kiai Mudak. Grup kasidah pimpinan Kiai Mudak itu melantunkan lagu "Udan Awu", yang bersenandung:

Udan awu ulan syawal ojo lali

Meletuse gunung agung pulo Bali

Peteng dedet awan koyok rino wengi

Mergo akeh umate wes podo lali

Di wilayah Wongsorejo, paman dari Jumini, Kakrikwan juga memimpin grup ketoprak dengan bahasa Madura. Kakrikwan sendiri sering tampil menjadi aktor antagonis. Kakrikwan beserta grupnya yang berada di bawah naungan Lesbumi itu, seringkali diundang pentas oleh warga.

Di Wongsorejo, justru kiai salaf, Kiai Zin, yang sangat menyukai kesenian tradisional itu. Grup yang dipimpin Kakrikwan pun sebagian mementaskan lakon-lakon sejarah Islam seperti "Umar Masuk Islam", "Yusuf Jadi Raja", dll. Kakrikwan juga mendirikan stasiun kecil radio amatiran yang bertempat di sebuah masjid, Masjid (A)Gung Wongso, namun sayangnya kini masjid itu diganti nama menjadi Masjid Jami' Baiturrahim. Nama Bahasa Arab dan tentu saja bukan bahasa Islam.

Waktu terus mengelinding seperti kelereng yang meluncur di lantai. Nama-nama legendaris dan yang tak tercatat dalam catatan mana pun, masih terkenang pula di dada, kadang-kadang tawa mereka yang berderai putih masih melintas di setiap sudut ingatan.

Kakrikwan bahkan pernah hendak dikeroyok oleh santri-santri Kiai Zin dan masyarakat sekitar pesantren. Waktu itu Kiai Zin "nanggap" grup ketoprak Kakrikwan dalam rangka memperingati malam 1 Muharam di pesantrennya. Grup kebanggaan dan juga yang menempatkan Kiai Zin sebagai penasehat sekaligus donatur tunggalnya itu, mementaskan lakon "Umar Masuk Islam" dengan Bahasa Madura. Kakrikwan berperan sebagai Umar. Dan ketika Umar Kakrikwan pulang, ia mendapati anak perempuannya sedang membaca Qur'an. Umar yang Kakrikwan marah besar. Jumini yang berperan sebagai putri Umar itu, ditampar oleh Umar yang Kakrikwan di atas pentas. Dengan logat Madura serta perannya yang sangat meyakinkan, Umar merampas lalu merobek sehelai mushaf Al-Qur'an yang dibaca putrinya itu.

"Kurang ajar! Kamu ikut Muhammad hah?!" sambil Umar yang Kakrikwan itu menampar kembali pipi putrinya. Nah para penonton yang umumnya adalah santri dan masyarakat sekitar pesantren hanyut dengan peran watak yang dimainkan Kakrikwan. Sehingga sekitar 50-an orang serentak berdiri menyerbu ke depan panggung dengan penuh amarah hendak menyerang Umar bin Khattab yang diperankan oleh Kakrikwan. Melihat penonton yang emosional karena terhanyut oleh jalan cerita dan peran Kakrikwan yang sempurna itu, spontan Kiai Zin berlari, melompat ke atas panggung mendahului penonton. Kakrikwan bingung, dia melambaikan tangannya menghentikan orang-orang.

"Berhenti! Berhenti! Jangan marah, ini 'kan cuma sandiwara. Tidak sungguhan," kata Kakrikwan menenangkan orang-orang.

"Tenang. Tenang. Ini hanya drama, bukan sungguhan. Ayo saudara-saudara kembali ke tempat masing-masing, biarkan pertunjukan selesai," ujar Kiai Zin. Suaranya wibawa, dan orang-orang sadar, bahwa sesungguhnya mereka tengah menyaksikan sandiwara. Orang-orang itu pun kembali ke tempatnya masing-masing sambil menyadari kekonyolan mereka. Dan pertunjukan pun sampai selesai, hingga Umar bin Khattab yang diperankan Kakrikwan masuk Islam.

Waktu itu pun telah jauh ditinggalkan. Nama-nama para penggiat kesenian rakyat itu pun sudah tua, sebagian telah tiada. Namun wajah dan suara mereka terus masih menggema di relung tiap hati dan ingatan yang dalam, di tiap kenangan, di tiap perjalanan.

Jumali menyalakan kreteknya, ia mengakhiri ceritanya.

Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar