Jumat, 22 Oktober 2010

KALUNG EMAS

(Riwayat dalam Tujuh Tumpang)


00.01

—secara diam-diam, isterinya menyeringai,

menyimpan nafas yang kelam, pada

mimpi emas tengah malam.

—laki-laki yang menderita hernia itu,

menatap haus pada selendang tipis

yang menghelai menutup tubunya,

tubuh wanita yang berlemak dan becek.

—lampu 5 watt menggantung pada eternit kamar mewah.

Laki-laki itu bangkit, duduk di kursi

dengan pandangan dendam, menjadi candu geram

di punggung kekuasaan. Nafasnya pecah dalam petang.

00.02

—tubuh bergula itu telah bermimpi kalung emasnya sendiri,

yang menjuntai sunyi.

—musim hujan juga belum selesai

mengusung gejala alam, menjelma nyeri

pada doa para penanti para pengabdi

di kaki istana yang dibangun dengan api

derita purba dan nafas-nafas sangsi.

—isterinya menyeringai lagi, mengeluh

lehernya gatal, nafasnya bernafsu

pada aroma emas yang panas.

—laut hitam. Sungai-sungai berbau minyak,

angin malam yang jahat. Aroma celaka

menusuk hidung kita. Kekuasaan menggelar meja.

Melingkar dalam ruang.

“Kita segera membangun pos jaga tepi pantai.

Lalu membangun lapangan terbang, membangun

jalan lintas selatan memecah hutan,” cetus bupati.

“Untuk apa?” tanya seorang anggota.

“Untuk rakyat! Jangan membantah!

Kamu di sini hanya mendengar dan melaksanakan perintah!”

—bau amis nanah menyerbu ruangan. Kipas angin

menerbangkan serbuk besi. Di luar, orang-orang berteriak

dengan tenggorokan yang putus. Kaki kekuasaan

bagaikan kaki raksasa kejam dalam kisah wayang.

Keputusan pun dilaksanakan. Dan tanpa sanggahan.

Dan tanpa hambatan.

00.03

—aroma emas dari bukit Tumpangpitu telah masuk

ke dalam hidungnya, menjalar ke dalam otaknya,

dari otak menjalar ke dada, turun ke perut, dan turun

ke dalam kelaminnya yang menderita hernia.

—gerombolan politisi sibuk dengan putusan. Ladang-ladang

uang terendus dalam pekat, menjadi candu, menjadi

tubuh wanita setengah telanjang yang menggemaskan.

Sepatu-sepatu tanggal di bawah dipan, kopyah-kopyah agamawan

lepas dalam kelam.

—“Sarana transportasi emas sudah siap. Segera

lakukan proses penggalian,” bisik bupati.

Kepalanya mengeluarkan asap belerang,

mulutnya dipenuhi garam, duri, sianida dan mercuri.

00.04

—“Saudara-sudara! Banyuwangi adalah daerah yang kaya.

Sebentar lagi kita akan kaya. Dan kalian semua akan

mengenakan kalung emas 24 karat. Mahal.”

—Dan segala yang mahal harus dibeli dengan sekarat.

—para wakil rakyat berjalan seperti keong memasuki paripurna.

Palu dewan menegaskan persetujuan. Langit hitam. Nafsu dan

ketidakpastian masa depan orang ramai, campuraduk dalam

hawa yang kotor. Ribuan malapetaka mengintip lobang kunci rumah.

—politik telah membangun peta kegelapan. Tumpangpitu jadi bahan Pemilu.

Sibuk para wajah penyamun membentangkan spanduk. Tapi, surat penguasa

sudah ditandatangani. Kalung emas di lehernya menjuntai tenang,

isterinya yang lembek dan bertubuh becek.

“Gali! Gali! Dan segera gali!” teriaknya dari dalam gelap.

“Dengan emas, kita akan membeli Tuhan.”

00.05

—perjalanan waktu tak tertahan, menyemai serbuk racun

pada ruang. Hutan lindung yang agung, sebentar lagi

lumat menjadi bubuk kopi dalam gelasmu di pagi hari.

—“Gali! Gali! Gali!”

Gerombolan binatang lapar datang bersama berkopor impian,

sebuntalan sorga, dan tumpukan modal.

Kaum agamawan pun jatuh dalam pelukan wanita,

membungkuk tanpa tengkuk.

“Dengan emas, kita akan membeli Tuhan, menjual Tuhan, bahkan

menyulap-Nya menjadi perempuan binal,” ujar laki-laki

yang terserang herniat itu. Kepalanya botak, rambutnya uban.

—seuntai kalung emas di leher isterinya berayun. Dan tanpa terasa,

kalung emas itu putus lalu terjatuh. Ia kehilangan.

“Cari! Cari! Temukan! Kalung emas itu sangat berharga

daripada leher kalian! Temukan! Kalau ada yang mencuri,

tangkap pencurinya! Potong leher isteri pencuri itu!

Kalung emas itu bisa membeli seluruh hidup kalian,

bahkan Tuhan pun,” gertak laki-laki

yang menderita hernia itu di hadapan rakyat.

00.06

—kalian pun. Bersorak pada batas-batas yang mengabur.

Kehidupan berbau racun, orang-orang asing

menjual emas lalu tertawa setelah menenggak minuman

dan meniduri wanita. Ribuan orang keracunan ikan,

ribuan berbondong mengantri cemas dan kematian.

Namun, kehendak hidup layak tak harus diam tanpa gerak.

Kebusukan dan luka sudah membengkak. Maka, untuk hidup

musti berontak. Sampai lantak. Lalu tenteram dalam kepuasan nurani.

Bergerak ke belakang berarti meminum racun lautan,

berdiam berarti mandi dari air yang tercemar. Tak ada

peluang untuk dihitung. Teruslah engkau membendung.

—warna laut akan menegaskan kehilangan. Wahai laut selatan yang gila,

masuklah ke dalam jiwaku yang terpenjara,

membebaskan segala hempasan, membentur segala keterpencilan,

lalu tegap sendirian.

—kalung emas menjadi cemas. Angin laut mengabarkan kedatangan

orang asing yang menggeledah bajumu, membalik dipanmu, dan

menjilati bukitmu, Tumpangpitu.

00.07

—laut menggemuruh. Tuan-tuan datang ke tepi.

Menumbuk batu. Memproduksi mimpi.

—Diam-diam aku membuka sebuah kotak tua dengan gemetar.

Menyatakan kecemasan. Pun perlawanan.

Menjadi kesaksian. Bagi sejarah. Bagi hidup yang dusta.

Mungkin kelak anak cucuku memahaminya.

Tapi, bukankah kini kita masih bisa berbuat?

Maka, hentaklah batang-batang pohonan. Usir tuan-tuan asing.

Agar bumi tidak terasa pesing: sejuta kabut keluh.

Di kaki Tumpangpitu.

—Tuan-tuan datang dengan sejuta nama samaran.

Mengendap-endap di antara perkampungan nelayan.

Mendirikan rumah pelacuran, dan menyeringai dalam kelengahan.

Leher isterinya gatal, karena kalung emas yang baru matang.

Sebuntal badai dikemas dalam bentuk giwang, juga gelang.

Kemudian terbahak, bayangan giginya terpantul dalam segelas anggur.

Aroma nafasnya sebusuk kekuasaan di dalam telur ular. Mulutnya

penuh garam dan amis ikan. Seragam perang, dan daging srigala.

Sejuta angsa di kaki bukit, lari dalam perburuan.

Lalu peralatan perang mengejar para buronan.

Pertambangan yang mengerikan.

Tapi, di meja kekuasaan, darah dan air mata

adalah makan malam yang teramat lezat rasanya.

—diam-diam, pada malam. Tumpangpitu roboh.

Banyuwangi pecah di atasnya.


Muncar, 2009

Taufiq Wr. Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar