(Riwayat dalam Tujuh Tumpang)
—secara diam-diam, isterinya menyeringai,
menyimpan nafas yang kelam, pada
mimpi emas tengah malam.
—laki-laki yang menderita hernia itu,
menatap haus pada selendang tipis
yang menghelai menutup tubunya,
tubuh wanita yang berlemak dan becek.
—lampu 5 watt menggantung pada eternit kamar mewah.
Laki-laki itu bangkit, duduk di kursi
dengan pandangan dendam, menjadi candu geram
di punggung kekuasaan. Nafasnya pecah dalam petang.
—tubuh bergula itu telah bermimpi kalung emasnya sendiri,
yang menjuntai sunyi.
mengusung gejala alam, menjelma nyeri
pada doa para penanti para pengabdi
di kaki istana yang dibangun dengan api
derita purba dan nafas-nafas sangsi.
lehernya gatal, nafasnya bernafsu
pada aroma emas yang panas.
angin malam yang jahat. Aroma celaka
menusuk hidung kita. Kekuasaan menggelar meja.
Melingkar dalam ruang.
“Kita segera membangun pos jaga tepi pantai.
Lalu membangun lapangan terbang, membangun
jalan lintas selatan memecah hutan,” cetus bupati.
“Untuk apa?” tanya seorang anggota.
“Untuk rakyat! Jangan membantah!
Kamu di sini hanya mendengar dan melaksanakan perintah!”
menerbangkan serbuk besi. Di luar, orang-orang berteriak
dengan tenggorokan yang putus. Kaki kekuasaan
bagaikan kaki raksasa kejam dalam kisah wayang.
Keputusan pun dilaksanakan. Dan tanpa sanggahan.
Dan tanpa hambatan.
—aroma emas dari bukit Tumpangpitu telah masuk
ke dalam hidungnya, menjalar ke dalam otaknya,
dari otak menjalar ke dada, turun ke perut, dan turun
ke dalam kelaminnya yang menderita hernia.
uang terendus dalam pekat, menjadi candu, menjadi
tubuh wanita setengah telanjang yang menggemaskan.
Sepatu-sepatu tanggal di bawah dipan, kopyah-kopyah agamawan
lepas dalam kelam.
lakukan proses penggalian,” bisik bupati.
Kepalanya mengeluarkan asap belerang,
mulutnya dipenuhi garam, duri, sianida dan mercuri.
—“Saudara-sudara! Banyuwangi adalah daerah yang kaya.
Sebentar lagi kita akan kaya. Dan kalian semua akan
mengenakan kalung emas 24 karat. Mahal.”
Palu dewan menegaskan persetujuan. Langit hitam. Nafsu dan
ketidakpastian masa depan orang ramai, campuraduk dalam
hawa yang kotor. Ribuan malapetaka mengintip lobang kunci rumah.
Sibuk para wajah penyamun membentangkan spanduk. Tapi,
sudah ditandatangani. Kalung emas di lehernya menjuntai tenang,
isterinya yang lembek dan bertubuh becek.
“Gali! Gali! Dan segera gali!” teriaknya dari dalam gelap.
“Dengan emas, kita akan membeli Tuhan.”
—perjalanan waktu tak tertahan, menyemai serbuk racun
pada ruang. Hutan lindung yang agung, sebentar lagi
lumat menjadi bubuk kopi dalam gelasmu di pagi hari.
Gerombolan binatang lapar datang bersama berkopor impian,
sebuntalan sorga, dan tumpukan modal.
Kaum agamawan pun jatuh dalam pelukan wanita,
membungkuk tanpa tengkuk.
“Dengan emas, kita akan membeli Tuhan, menjual Tuhan, bahkan
menyulap-Nya menjadi perempuan binal,” ujar laki-laki
yang terserang herniat itu. Kepalanya botak, rambutnya uban.
kalung emas itu putus lalu terjatuh. Ia kehilangan.
“Cari! Cari! Temukan! Kalung emas itu sangat berharga
daripada leher kalian! Temukan! Kalau ada yang mencuri,
tangkap pencurinya! Potong leher isteri pencuri itu!
Kalung emas itu bisa membeli seluruh hidup kalian,
bahkan Tuhan pun,” gertak laki-laki
yang menderita hernia itu di hadapan rakyat.
—kalian pun. Bersorak pada batas-batas yang mengabur.
Kehidupan berbau racun, orang-orang asing
menjual emas lalu tertawa setelah menenggak minuman
dan meniduri wanita. Ribuan orang keracunan ikan,
ribuan berbondong mengantri cemas dan kematian.
Namun, kehendak hidup layak tak harus diam tanpa gerak.
Kebusukan dan luka sudah membengkak. Maka, untuk hidup
musti berontak. Sampai lantak. Lalu tenteram dalam kepuasan nurani.
Bergerak ke belakang berarti meminum racun lautan,
berdiam berarti mandi dari air yang tercemar. Tak ada
peluang untuk dihitung. Teruslah engkau membendung.
masuklah ke dalam jiwaku yang terpenjara,
membebaskan segala hempasan, membentur segala keterpencilan,
lalu tegap sendirian.
orang asing yang menggeledah bajumu, membalik dipanmu, dan
menjilati bukitmu, Tumpangpitu.
—laut menggemuruh. Tuan-tuan datang ke tepi.
Menumbuk batu. Memproduksi mimpi.
Menyatakan kecemasan. Pun perlawanan.
Menjadi kesaksian. Bagi sejarah. Bagi hidup yang dusta.
Mungkin kelak anak cucuku memahaminya.
Tapi, bukankah kini kita masih bisa berbuat?
Maka, hentaklah batang-batang pohonan. Usir tuan-tuan asing.
Agar bumi tidak terasa pesing: sejuta kabut keluh.
Di kaki Tumpangpitu.
Mengendap-endap di antara perkampungan nelayan.
Mendirikan rumah pelacuran, dan menyeringai dalam kelengahan.
Leher isterinya gatal, karena kalung emas yang baru matang.
Sebuntal badai dikemas dalam bentuk giwang, juga gelang.
Kemudian terbahak, bayangan giginya terpantul dalam segelas anggur.
Aroma nafasnya sebusuk kekuasaan di dalam telur ular. Mulutnya
penuh garam dan amis ikan. Seragam perang, dan daging srigala.
Sejuta angsa di kaki bukit, lari dalam perburuan.
Lalu peralatan perang mengejar para buronan.
Pertambangan yang mengerikan.
Tapi, di meja kekuasaan, darah dan air mata
adalah makan malam yang teramat lezat rasanya.
Banyuwangi pecah di atasnya.
Muncar, 2009
Taufiq Wr. Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar