Kamis, 14 Oktober 2010

Mimpi Laut Muncar


Bulan akan datang dan nelayalan akan ada yang pulang setelah puisi ini selesai.
Tapi, hujan belum membawa kabar menepi.

Perahu-perahu mengambang,
Tiang-tiangnya menanti sandar tiap pertanyaan nelayan
Yang tersangkut pada angin Sembulungan.
Alangkah gemar, jutaan lemuru bermain di situ,
Dan udara dingin senja yang amis,
Melambai bagaikan tarian
Yang menggerakkan jari-jari lautan,
Menggerayang alis pantai pelabuhan Muncar
Melentik di atap-atap rumah,
Ternak kambing
Di akhir kali mati.
Sebentar lagi, juga hujan,
Tegur angin selatan
Yang berpusar sejenak di ujung menara surau tua,
Bersetia meniup lumut bulan-bulan yang lepas.
Kemudian seseorang memungut sehelai daun akasia
Lalu berlari ke bawah atap warung kopi,
Perlahan menghitung sisa hujan
Pada penjelang petang
Dan pandangan yang berawan.
Laut dipayungi mendung, gerimis luruh di mata para pencari ikan
Sebentar lagi, laut menerima cahaya lampu
Dan entah siapa akan mengantarkan kepak bangau
Ke atas samudera
Lalu duduk menyaksikan orang-orang kekar
Yang bergairah mendekap bahu-bahu gelombang.
Kerlip lampu yang jauh itu
Perlahan mendekati pelabuhan
Pada musim-musim yang samar,
Pada pergantian antara kelam dan ratapan
Di antara batu-batu yang ditata bagai jembatan
Dan sebuah rumah perahu yang kelabu.
Kulit ungu seorang kemudi,
Menyatu angin senjakala.
Para pendatang singgah,
Meyakini mimpi
Yang bertabur dari mata mendung,
Menggulung waktu.
Pada tatapan seekor elang yang sunyi
Dan ampas-ampas buih menepi
Pada pasir hitam
Dan muara yang membawa bangkai-bangkai ikan.
Hujan menyerbuk pelan,
Ikan-ikan berpesta.
Seseorang yang asing
Mematung di pintu sebuah rumah tua,
Topi hitam berselimut sarung yang kelabu,
Tatapan petang,
Dan tembakau.
Mulut radio di warung
Mendendangkan dangdutan,
Menyelinap di rerimbun waktu
Mendesak ke dalam keyakinan
Tentang kaki pantai dari balik daun pintu-pintu yang gaduh
Tangis bayi yang menggairah.
Seorang bapak
Mengurai hidup dari simpang cuaca
Seperti menakdirkan cemas pada segumpal daging,
Telah lama laut dijaring
Orang-orang dari tempat yang jauh,
Bahkan dari negeri lain,
Melayarkan perahu diam-diam.
Namun tarian para nelayan
Begitu terang menjaring riang,
Menghitung hujan,
Memungut butiran-butiran
Untuk sebuah makan malam.
Pelan-pelan sebutal angin Oktober
Meniupkan syair
“Layar-layar kumendung”.
Tiap kapal bergoyang.
Tatapan-tatapan mendung, kaki pantai.
Tersering murung, tapi
Tak henti bersenandung.
Pada amis udara, ia mengendap di pasar ikan
Yang meneteskan liur para pendatang
Dari pulau-pulau jauh yang tak tampak
Terbenam pada jalanan basah,
Keranjang ikan, peti-peti pendinginan.
Ada yang tertinggal, Tuan.”
Sebatang dahan pohon waru
Jatuh di tepi alis lautmu, Muncar.
Air mati yang menggenang,
Dan siang tadi masih merayapi matahari.
Petang merebah dalam lubukmu,
Angin Oktober membawa pada sebentuk percakapan ramai
Pada ruang pelelangan yang menghangat,
Tapi, entah siapa
Diam-diam menyembunyikan sebutir hujan
Pada jaketnya yang hitam
Lalu menyelinap di tikungan.
Jembatan tua di wajah muara.
Bila laut pasang, air menyentuh tepian.
Perahu-perahu tak menampak lelah,
Pelan mengarung muara.
Pada batas lautan, senja yang gamang itu,
Seseorang melempar mata kail dari atas jembatan
Seperti telah menegaskan angan
Pada tiap pemberangkatan segenap perjalanan
Lantaran sebutir mimpi
Tak tersia dari semesta
Mengenakan busana cinta
Di tengah mata pandang segala bangsa.
Suku kecil, suku yang tak pasti dalam peta;
Rumah-rumah tradisional
Masakan yang aneh, juga siul yang kelabu.
Laut selatan, kulit ungu melepuh,
Fatwa mimpi yang sembunyi
Di balik hujan Oktober.
Entah siapa, menghitung singgah angin
Yang telah melintas di atas kuburan para pelaut
Menyanyikan irama dari dunia yang lain,
Memungut sehelai sepi
Yang jatuh di halaman.
Jari-jari gelombang terus menggerayang
Jembatan tua yang tak tersentuh air lautan
Seperti telah menegaskan lagu
Pada sebuntal daging rindu
Di tengah abad-abad yang berlalu
Hingga ke ujung keluh.
Belum sampai dipikirkan
Biografi laut
Belum sudah pelayaran
Sebab tak pernah menghitung pencapaian
Dari segala kewajaran.
Musim sudah berganti, waktu berenang
Mengabar kembali segenap pelayaran
Yang tak pernah menunda diri
Lewat udara siang yang membakar atap-atap rumah di alis pantai.
Pasar ikan
Orang-orang menati pembeli
Para pendatang memungut embun yang jatuh
Di jalan becek yang amis.
Pabrik melahirkan asap dan limbah dari perutnya,
Ikan-ikan busuk didaur menjadi tepung.
Para pekerja bergerombol pada istirahat siang.
Kemantapan hari akan tempat tinggal
Mengendap pada dinding pabrik tua
Dan perahu-perahu yang lenyap ke dalam kabut.
Langit kelabu, pasir hitam yang basah,
Mata waktu yang berawan,
Kecemasan, wahai Muncar.
Lubang karang ungu,
Kulit hitam, keresahan,
Mengendap di wajah-wajah nelayan,
Mengurai hujan pada nasib pelayaran.

Muncar, 2010
Taufiq Wr. Hidayat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar