Catatan “Di Penjelang Hukum”
Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
Orang-orang bersilangan dalam kecemasan. Suara-suara kembali pulang ke dalam kesunyian. Hujan turun. Dari balik jendela, kepergian seolah seorang dengan wajah yang dingin-basah melambaikan tangan pada perpisahan. Hamba-hamba hukum merasa yang paling menghamba, segalanya dipersembahkan bagi sang tuan. Telah menjadi yang lain antara penderitaan dan obat penawar.
Lalu bumi. Di situ kau berdiri sambil bersandar pada tiang kantor pengadilan yang megah. Kasus korupsi sampai kasus orang jompo yang mencuri setengah kilo biji kopi disidangkan, dan terus disidangkan. Kantor pengadilan yang ramai selalu bagai pasar, seperti juga kantor kejaksaan dan kantor polisi. Orang-orang dikerubung kegelisahan dan dikeroyok kecemasan. Kecemasan dan kegelisahan sebesar-besar gajah; mengeroyok, mengerubung. Jari-jari tangan bersembunyi di dalam kantong celana yang dalam. Hujan yang mengerikan, angin celaka, asap rokok, bau keringat bercampur aroma parfum para hakim dan jaksa. Kegelisahan dan kecemasan bersekutu bersama udara jahat, orang-orang menanti-nanti keputusan mejelis hakim, menunggu kemungkinan-kemungkinan yang tak terpastikan sembari meyakini koran, buku, pasal-pasal, ingin meninggalkan alangkah sayang. Segalanya terlanjur dipersembahkan bagi yang telah dipertuan-agungkan. Orang-orang mondar-mandir, di antara mereka terbatuk-batuk bagai mendapat firasat buruk. Menanti. Menanti keputusan hukum. Menanti sebuah hukum, suatu hukum (tidak jelas), seekor hukum, ataukah sesosok hukum, seorang hukum. Pranoto membuat film yang memvisualisasikan “ilustrasi sastra”-nya Franz Kafka; “Di mana hukum?” atau “Di mana Tuan Hukum?”. Maka, dijawablah oleh sang penjaga: “Hukum sedang keluar”, atau “Tuan Hukum sedang sibuk, sehingga tidak bisa segera ditemui. Silahkan menunggu. Terima kasih.” Lalu, sang pencari itu pun menunggu hingga rambut dan cambangnya memanjang tiga meter.
Seorang hukum. Ya. Seorang hukum. Bernyawa ia, berpikir, berkata-kata, dan mengantuk layaknya manusia. Atau sebuah hukum, lebihkah itu? Sebuah hukum; diam tak bergerak seperti batu. Atau seekor hukum; bertindak dengan insting, tanpa kebenaran dan tanpa keadilan, memakan tanpa perasaan. Tak sebagaimana layakkah Kafka dengan “seorang hukum”-nya? Iakah kedaulatan? Seorang kedaulatan? Seekor? Sebuah benda? Kata tak mendedah! Para penjaga itu sekadar penunggu pintu kandang seekor hukum atau seekor kedaulatan. Seekor itu boleh ular, singa, komodo, cicak, buaya atau apa pun terserah tafsirmu.
Tapi, di manakah seorang keadilan? Kenapa seorang? Kenapa tidak seekor atau sebuah keadilan saja? Tak lebihkah segala ini hal ini ikhwal ialah abstraksi absurditas kita? Ia belaka sajakah?
“Di Penjelang Hukum”, judul film yang dibuat oleh Dwi Pranoto dengan uang dari penjualan “seekor” motor honda lamanya. “Di Penjelang Hukum”-nya Kafka, film menafsir teks, menafsir keterpencilan. Tafsir yang membuih-buih. Di penjelang yang jatuh dalam penantian membosankan, dalam tragedi yang tak terjelaskan, penantian yang mustahil, kenyataan yang mustahil namun merupakan hasil tafsir yang membuih-buncah aktualitas. Ia nyata. Di depan mata. Jelas. Up to date. Tapi, mustahil dalam jangkau kewarasan. Di penjelang yang mustahil terjelang, tetapi ia menjelang. Di penantian yang mustahil dinantikan, namun ia menanti. Tapi, ia berharap dalam pengharapan yang mustahil diharapkan. Dan orang-orang membincangkannya dengan serius, bersungguh-sungguh dengan ilmu, teori, metode-metode, tentu saja sangat mendalam, bersama dugaan, tafsiran, anggapan, mungkin juga kecurigaan, dan entah apa lagi. Mereka membincang sambil minum kopi dan menghisap rokok di sebuah rumah makan atau kafe. Sambil tertawa dengan gigi yang beberapa telah tanggal, gusi hitam oleh nikotin. Menggairahkan. Dan diam-diam ada yang mengendap-endap di pojokan.
Banyuwangi, 2010
Rabu, 27 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar