Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
SEJARAH bercerita, aromanya seperti dongeng di masa kecil. Baiklah. Politik dan kekuasaan tak dapat dibantah telah membangun rumah pribadi seorang pucuk pimpinan formal di atas hamparan darah dan mayat, keputusasaan dan ketakutan menjadikan rakyat tidak mengenakan mantel di tengah kedinginan yang mematikan. Dalam bukunya “Republik”, Plato menulis: “… ketika muncul pertama kali ia bertindak sebagai pelindung. Di saat-saat awal kariernya ia penuh senyum dan penuh hormat pada setiap orang yang dijumpainya—ia kemudian disebut “tiran”, mereka yang berjanji di depan umum dan secara pribadi… berkeinginan menjadi baik dan ramah pada setiap orang! Kemudian ia membuat rakyatnya melarat dengan menarik pajak… memaksa mereka mengabdikan dirinya kepada kemauannya setiap hari, dan mencegah mereka bersekongkol.”
Sejarah bercerita dan pengalaman umat manusia yang tidak pernah rendah hati dalam memahami sejarah secara kritis, malah membuka sebentuk repetisi cerita yang sing mari-mari (tak kunjung selesai). Hingga hari ini, kekuasaan tetap menempatkan dirinya sebagai penafsir tunggal terhadap kebenaran dan kebijakan negara yang pada gilirannya akan menentukan hidup orang banyak dengan pelbagai argumentasi yang “dilogiskan”. Dalam bukunya “Selamatkan Indoensia”, Amien Rais menulis, bahwa untuk menolak perbedaan pendapat, penguasa berseru: “Jangan mengeluarkan kritik tajam dan perbedaan pendapat, nanti masyarakat bingung…”.
Menjadi sedemikian kentara, bahwa penguasa tidak pernah bersahabat dengan para penentang dan kritik. Ini dilakukan atasnama rakyat dan hukum, dengan atau tanpa apa yang disebut keadilan, kata kusam yang mustahil masuk ke dalam laci pemerintah dan kekuasaan para penegak hukum. Semangat menyeragamkan tiap hal adalah ciri utama dalam banyak argumentasi dan apologi kekuasaan. Gus Dur yang termasyhur itu menulis, bahwa kehendak obyektif dari masyarakat secara inheren ditarik ke dalam wilayah kekuasaan dengan subyektif menjadi kehendak kekuasaan dan para pemegangnya. Sehingga bukan lagi aturan hukum dan ketetapan publik yang berlaku, melainkan kehendak kekuasaan dan pribadi yang menjadi “mesin” sistem. Dengan demikian, rakyat tetap berada pada sebuah posisi tawar yang tidak memiliki samasekali nilai tawar.
Persoalan diperparah dengan segala bentuk simbolisme dari selera penguasa, bahwa seseorang harus berpakaian rapi dan berbicara tertata dengan aksentuasi yang dibagus-baguskan, santun, dan seremonial. Persoalan simbolisme menjadi utama dan karuan saja menjadi sebentuk komoditas politik. Keberhasilan ekonomi disimbolkan dengan bagi-bagi BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan beberapa “program nasional bagi-bagi uang atau pinjaman lunak” yang, tentu saja, bersifat simbolis dan pencitraan politik. Tidak nyata, dan keberhasilan ekonomi dengan demikian hanyalah tipuan, karena dari bagi-bagi uang itu tidak menggeser nasib ekonomi rakyat.
Berkali-kali Gus Dur menegaskan, bahwa beliau tidak pernah setuju dengan pemimpin dari militer atau unsur-unsur militer. Itu subyektif. Tapi, bila kita sadari hal itu bersama, sesungguhnya militerisme akan memudahkan seorang pemimpin politik menjadi diktator atau tiran. Sebuah pernyataan tidak obyektif dan naif. Namun sejarah selalu membuktikan bahwa sarana utama menjadi diktator adalah kekuatan militer. Lihat saja Soeharto, Hitler, Franco, Musolini, dan yang lain-lain itu. Mereka memperkokoh dan mepertahankan kekuasaannya dengan militerisme. Sejatinya kekuatan militer adalan untuk melindungi rakyat. Tetapi di tangan seorang diktator, militer justru menjadi “mesin” intimidasi dan pembatai demi kelanggengan kekuasaan. Seorang diktator Spanyol, Fransisco Franco, yang memahami betul jati diri militer, akhirnya tetap memanfaatkan kekuatan militer demi kekuasaannya. Dalam pidatonya, Franco berteriak-teriak dengan semangat idealis di hadapan para tarunanya: “Kehidupan militer bukan jalan menuju kesenangan dan kemasyhuran. Jalan itu penuh penderitaan, kekerasan, pengorbanan dan juga kegembiraan, seperti halnya bunga yang harus tumbuh di tengah barisan pedang.”
Namun setelah ia berkuasa, maka ia lupa dengan pidatonya dulu, ia merubah bunga itu menjadi tombol bagi robot-robot pembunuh, penekan, dan teror untuk menyapu setiap orang yang mencoba mengusiknya, yang melawan atau tidak sejalan terhadap kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat. “Ojo riko nyulayani janji. Riko kang nggawe lorone ati…” kata lagu Banyuwangen. Mari, siapa giliran berikutnya yang mau mengingkari janjinya di Banyuwangi ini?
Muncar, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar