Sejumlah orang menjemput Mbah Maridjan di rumahnya untuk mengajaknya segera meninggalkan rumah, mengungsi karena Merapi emergency. Mbah Maridjan tahu bahwa Merapi akan memuntahkan "wedhus gembel" dan menelan nyawa. Karena ketahuannya itulah, dia memerintahkan seluruh warga Kinahrejo mengungsi segera. Dan setelah semua warga mengungsi, tinggal Mbah Maridjan hendak mengungsi belakangan setelah yang lain telah dipastikannya aman.
"Ayo, Mbah, kita ngungsi," kata salah seorang yang menjemputnya.
"Yo ayo! Aku sembahyang disek yo, entenono sedilut," jawab Mbah Maridjan.
Lalu dia pun sembahyang. Di saat sujud, Merapi muntah, Mbah Maridjan wafat dan mayatnya ditemukan dalam posisi sedang bersujud membelakangi Merapi. Mbah Maridjan tahu bahwa Merapi itu hanya level "silit" (pantat) dibanding kepasrahan penghambaannya kepada Tuhan yang ia sembah. Dan para penemu mayatnya dan yang melihat posisi mayatnya (baik itu ustad atau ulama'-ulama' karbitan yang menyeru-nyeru moral, para pemimpin mulai lurah sampai presiden, anggota dewan atau siapa pun yang pengabdiannya hanya untuk dirinya sendiri dan gemerlap segala hal selain ketulusan) hanya selevel pantat Mbah Maridjan. Dan dengan tanpa beban Mbah Maridjan memantati mereka seperti ia memantati Merapi. Itu benar-benar "roso", pengabdiannya lebih roso daripada sekadar Merapi, pengabdian sejati yang mengabdi-sembah hingga akhir. Mbah Maridjan meyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa bukan Merapi atau sultan mana pun yang ia jaga dan ia junjung dengan jiwa raganya, tapi bahwa sejatinya ia mengabdi kepada Kang Murbheng Dumadi, Allah, sesembahan manusia dan muara segala pengabdian total. Karena "tidaklah diciptakan segala makhluk selain hanya untuk mengabdi-nyembah kepada Allah Kang Murbheng Dumadi", dhawuh-Nya. Kematian Mbah Maridjan itu kematian paling indah dan yang paling dirindu-dambakan bagi tiap-tiap kita yang berhati nurani dan yang mengorbankan seluruh jiwa raga hanya untuk mengabdi-sembah kepada-Nya dengan menunaikan selunas-lunasnya pengabdian pada tanggungjawab kemanusiaan yang sejati. Sampai akhir. Sampai tiba nyata segala rindu pada perjumpaan dengan Tuhan Yang Maha Menguasai Segalanya.
Muncar, 29 Oktober 2010
Taufiq Wr. Hidayat
Kamis, 28 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar