Sabtu, 30 Oktober 2010

TV dan Kotak Rokok Pakubuwono (Surat Terbuka Kepada Yth. Sastrawan Pelopor RSP, Kusprihyanto Namma)


Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Di tahun 1990an, ketika itu saya masih SD,bapak saya yang seorang PNS rendahan berlangganan Jawa Pos dan koran Karya Dharma. Di Jawa Pos dan Karya Dharma itulah, saya membaca puisi-puisi, juga cerpen dan tulisan-tulisan sampeyan, Mas Kus. Apa yang masih lengket dalam ingatan saya hingga hari ini adalah tulisan dan cerpen Mas Kus. Baru kali ini saya sempat bisa menulis untuk sampeyan tentang kekaguman saya pada tulisan-tulisan sampeyan.

Waktu itu, membaca cerpen dan tulisan sampeyan di tahun 90-an, tak menitik sedikit pun dalam benak saya untuk bisa kenal dan berkomunikasi dengan sampeyan. Waktu itu, saya hanya bisa membaca. Dan karena ketidaktahuan akan pentingnya sebuah dokumentasi (karena memang masih usia SD), koran-koran yang memuat tulisan sampeyan itu tidak saya miliki, karena koran-koran itu dibakar oleh ibu saya di dapur untuk menanak nasi atau mendidihkan air demi secangkir kopi malam hari ketika kami tidak bisa lagi membeli minyak gas untuk menghidupkan kompor. Kami sekeluarga selalu ngumpul bila malam, berbincang, minum kopi, bapak melinting tembakau apek, dan nonton tv hitam putih.Kami hidup di sebuah perumahan PNS yang sempit, satu kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi dan wc, dan dapur menjadi satu ruang yang menumpang-tindih; sempit. Bila hujan, air menggenang di rumah kami. Gaji PNS bapak saya tidak cukup menyejahterakan kami, walaupun kami tetap hidup dan saya bisa bersekolah hingga dua kali DO fakultas sastra dari universitas: UGM dan Unej. Dalam perumahan PNS yang sempit itu, kami hidup bertujuh, ibu dan bapak saya, adik, dan tiga orang kakak saya. Bapak tidak pernah patuh pada KB yang merupakan anjuran pemerintah waktu itu.

Tulisan-tulisan Mas Kus saya baca dalam kondisi yang seperti saya gambarkan tadi. Saya tidak tahu (waktu itu) sastra baik atau tidak baik, yang saya tahu bahwa tulisan Mas Kus itu bagus, dan saya selalu membacanya berulang-ulang, sehingga tercipta bayangan dunia baru yang nikmat di dalam benak saya. Saya suka itu. Walaupun hingga kini saya tidak memiliki koleksi tulisan-tulisan sampeyan, namun beberapa tulisan sampeyan yang pernah saya baca sekitar 19 tahun yang lalu, masih sebagian kuingat dengan baik. Ada tulisan yang mengisahkan tentang Ronggowarsito yang diminta menebak isi sebuah kotak rokok oleh Pakubuwono IV. Sebelumnya, Pakubuwono IV telah mengeluarkan seluruh rokok di dalam kotak rokoknya tersebut tanpa sepengetahuan siapa pun. Esoknya, ia memanggil Ronggowarsito ke istana. Pakubuwono IV meminta Ronggowarsito menebak, apakah kotak rokok yang isinya sudah dikeluarkan oleh Pakubuwono IV tanpa sepengetahuan siapa pun itu kosong atau masih ada isinya. Kotak rokok itu diletakkan tepat di depan Ronggowarsito. Pakubuwono IV mengejek Ronggowarsito yang tidak bisa langsung memberikan jawaban apakah kotak tersebut bersisi rokok atau sudah kosong. Pakubuwono IV berkata: "Mana mungkin kamu bisa melihat sesuatu yang jauh dan gaib, jika melihat isi kotak rokok tertutup yang di depan matamu ini saja kamu tidak mampu." (Saya masih mengingat dialog dalam tulisan sampeyan itu, Mas Kus). Setelah merenung (di dalam renungannya, Ronggowarsito hanyut dalam dimensi ketuhanan yang mendalam, batinnya berperang tentang ada dan tiada isi di dalam kotak rokok yang tertutup dan tidak terlihat oleh pandangan matanya itu, hingga ia menemukan keyakinan yang final bahwa ada dan tiada menyatu dalam keutuhan), Ronggowarsito lalu menjawab:

"Kotak rokok itu berisi, Sinuhun," kata Ronggowarsito dengan mantap dan seyakin-yakinnya.

Pakubuwono IV ngakak-ngakak, tertawa kepingkel-pingkel, karena jelas jawaban penasehatnya itu, Ronggowarsito, salah besar. Pastinya isi kotak itu sudah kosong sebab tadi malam ia telah mengeluarkan seluruh isinya. Setelah Pakubuwono IV puas mengejek dan menghina penasehatnya sendiri, Ronggowarsito meminta sinuhun Pakubuwono IV untuk membuka kotak tersebut. Pakubuwono IV membuka kotak tersebut. Dan memang kosong.

"Coba sinuhun periksa lagi," kata Ronggowarsito tenang dan tetap yakin.

Pakubuwono IV memeriksa lagi kotak rokoknya itu. Takjub! Ternyata masih ada sebatang rokok yang tersangkut di sela lipatan penutup kotak rokok, hal itu terjadi tentu tanpa disadari sama sekali oleh Pakubuwono IV tadi malam saat mengeluarkan seluruh isi rokok dari dalam kotak. Dan dengan demikian, jawaban Ronggowarsito benar. Pakubuwono IV merasa tersudut, ia marah, lalu melemparkan kotak rokok itu ke hadapan Ronggowarsito dan mengusir Ronggowarsito dari hadapannya.

"Keluar!" teriak Pakubuwono IV dengan wajah yang terbakar.

Tulisan selesai. Ketika saat ini saya mengingat kembali, betapa satire dan kritis, tajam dan menyehatkan tulisan sampeyan itu, Mas Kus, di mana tulisan itu terbit di tahun 90-an saat Soeharto masih gagah perkasa.

Ada lagi tulisan sampeyan tentang televisi (tentu saja judul dan isi detil tulisan-tulisan sampeyan itu, saya sudah lupa). Sebuah keluarga kecil yang memiliki tv hitam putih yang tv mereka selalu gangguan, muncul bintik-bintik hitam di layarnya. Dialog pun terbangun antara tokoh aku dengan istrinya tentang tv mereka. Anak-anak mereka selalu protes, kenapa tv selalu mengeluarkan bintik hitam dan gambarnya tidak bisa dilihat dengan jelas. Malam hari, ketika tv gangguang dan diperbaiki berulang-ulang tetap saja tidak beres, tokoh aku mematikan tvnya. Anak-anak mereka sudah tidur. Tokoh aku dan istrinya berdialog tentang masa lalu mereka, saudara-saudara mereka, juga teman-teman mereka dulu. Hingga larut malam dan keduanya tertidur melupakan tv mereka. Itu tulisan sampeyan yang segar menurut saya, yang saya baca dulu ketika saya berusia SD, 19 tahun yang lalu.

Mungkin sampeyan sudah lupa bahwa sampeyan pernah menulis tulisan-tulisan yang pernah saya baca 19 tahun yang lalu itu. Tapi, saya masih cukup mengingatnya dan memetik manfaat darinya. Andai saya bisa memiliki koleksi karya sampeyan, betapa senangnya saya. Karena di toko-toko buku saya cari tulisan sampeyan, saya tidak menemukan, mungkin karena toko buku di kota kabupaten yang saya tempati ini hanya ada satu toko buku yang kurang lengkap. Untuk ke kota besar mencari buku-buku, saya mungkin tidak bisa melakukannya karena kendala waktu dan uang. Jika Mas Kus berkenan memberi saya koleksi tulisan-tulisan Mas Kus yang lama-lama, saya akan sangat berterima kasih. Entah bagaimana caranya, lewat pos, lewat email, atau apalah. Saya hanya meyakini, bahwa jika Tuhan menakdirkan saya bertemu kembali dengan tulisan-tulisan sampeyan, maka saya akan menemukannya. Teman-teman saya bilang, bahwa Kusprihyanto itu pelopornya "revitalisasi sastra pedalaman". Jika iya, saya berada dalam "barisan" itu. Karena sastra kadang kala dipengaruhi oleh jaringan, uang dan tempat ("pusat" atau "non-pusat"). Lalu bagaimana dengan mereka yang berkarya di tengah keterpencilan tempat dan miskinnya uang dan jaringan? Saya rindu kebersamaan dan kesejajaran yang obyektif, sehingga karya ditimbang dari kualitasnya, bukan kuantitasnya.

Salam Kebudayaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar