Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
"It is natural necessity, essential human properties, however alienated they may seem to be, and interest, that old the members of civil society together; civil, not political life is their real tie… only political superst...ition today imagines that social life must be held together by te state hereas in reality the state is held together by civil life."
Marx bertekankan pada “bourgeois civil society” dan kekuatan internalnya, memostulatkan keunggulan ekonomi atas politik. Civil society adalah ranah kelas, ketidaksetaraan dan eksploitasi, dan bentuk basis alamiah negara modern. Analisis ekonomi bahwa perkembangan kapitalisme (secara material, teknologis, dan ekonomis) dan perkembangan masyarakat borjuis (secara kultural, saintifik, dan intelektual) mencapai fase historis di mana kondisi obyektif bagi transisi ke fase lebih tinggi hadir. Apa yang diperlukan adalah pengembangan kesadaran politis/kelas dalam kelas proletar, kesadaran yang selalu gagal dikembangkan dan dibangun. Bertolak dari fakta inilah revisi terhadap formulasi orisinal Marx dan Engels dilakukan, misalnya reformisme dan demokrasi sosial oleh Eduard Bernstein dan SPD, developmentalisme evolusioner Karl Kaustsky, dan Bolshevisme Lenin.
Paling tidak dalam rekontruksi pemikiran Anthonio Gramsci, gagasan modern civil society diawali dengan menyurutnya pengaruh kekuasaan Gereja Katolik, lahirnya perlawanan terhadap feodalisme, dan tumbuhnya kelas borjuis baru di Eropa, yang lahir bersamaan dengan zaman Rennaisance. Karya politik yang menandai ‘perpisahan’ ilmu politik sebagai ilmu tentang kekuasaan dan lepas dari moralitas adalah The Prince dari Machiavelli. Lalu di saat bersamaan bermunculan aneka gagasan mengenai state of nature manusia, kebebasan, dan masyarakat. Hukum alam (the natural law) dan hak alamiah (the natural right), dibangun tidak lagi berdasarkan teori hukum kodrat Thomas Aquinas di abad Pertengahan. Baik Hugo Grotius, Pufendorf, Thomas Hobbes, maupun John Locke menggagas hal yang sama sekali berbeda, yakni hukum kodrat dan hak alamiah kini dipahami dalam konteks bahasa kontraktualisme, individualisme, kebebasan, dan prioritas pada hak milik pribadi. Secara teoritis ini juga menandai transisi dari zaman Medieval ke pemikiran politik modern dan transisi dari masyarakat tradisional dan feodal ke masyarakat modern dan borjuis.
Baik Hobbes maupun Locke, menggambarkan kondsi pra-sosial atau keadaan alamiah yang diliputi ketidakpastian. Khususnya Hobbes, keadaan alamiah adalah perang sehingga terkenallah ungkapannya, ‘perang semua melawan semua.’ Ia menggambarkan keadaan alamiah di mana manusia secara ekstrem individual mutlak dan hidupnya diliputi konflik. Ini menandai keretakan atau diskontinuitas dengan keyakinan nilai moral tradisional, yakni relativisme moral dan pengedepanan nilai-nilai pasar. Kedaulatan mutlak individu dan etika yang didasarkan pada kepentingan diri membutuhkan bangunan negara yang kuat untuk menjamin keamanan, kepastian relatif, dan kemungkinan antisipasi bagi hadirnya civil society. Pergeseran dari kondisi alamiah menuju civil society ini dicapai melalui tegaknya “Leviathan” atau “mortal God” yang bernama Negara. Bagi Hobbes fungsi normal civil society – produksi dan pemerolehan property baik akumulasi modal ataupun ekspansi pasar, budaya, seni, dan hal-hal umum yang dibutuhkan dalam kehidupan – tergantung pada negara yang kuat. Artinya negaralah yang membuat eksistensi civil society menjadi mungkin.
Civil society yang dibatasi sebagai ranah Non-Govermental Organization (NGO) sebagai antidote dari negara. Civil society sebagai ide ‘kiri’ yang dijadikan keranjang sampah alibi keburukan dan kegagalan mengelola tata pemerintahan neoliberalisme-kapitalistik. Civil society yang tetap kabur dan masih dicari kejelasannya, untuk tidak mengatakannya sebagai gagasan yang sungguh tidak jelas batasannya. Civil society yang diterjemahkan dan disamakan begitu saja dengan istilah teknis lain misalnya ‘masyarakat madani’ tanpa sudi melihat lebih jauh kompleksitas masalah, kandungan substansi, dan historisitas lahir dan berkembangnya gagasan tersebut.
“The Class of Civilization” Huntington memanglah menjadi sebentuk teori sosial dan militer yang cukup berpengaruh. Namun juga perlu dikritisi, bahwa tidak sepenuhnya ia adalah benar dan penulis di bidang strategi perang dingin dan militer itu, Huntington, telah meletakkan teorinya dalam sebuah bidang segi empat keadilan. Paling tidak, Gus Dur pernah “menyerang” Huntington, bahwa pemikiran Prof. Samuel Huntington tentang konflik peradaban Islam-Barat merupakan teori keliru, karena konflik itu ternyata tidak pernah terjadi, baik sekarang maupun di masa mendatang. Ini artinya, ada hal lain yang membayang-intimi persoalan manusia di luar sebuah “class” itu sendiri, yakni ambisi politik yang “mengkeranjang-sampahkan” demokratisasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Terlepas dari itu, pada dasarnya itu bukan sebuah benturan, melainkan dimensi lain, lebih pada persoalan politik yang direkayasa. Bukan alamiah. Pengapdosian budaya dan pemikiran bangsa satu dari bangsa lain, dapatlah terjadi secara alamiah. Namun proses “menjadi”nya tidak lepas dari perkara politis yang diinjeksikan oleh kekuasaan dan market sejarah. Saya lebih percaya membaca “Arus Balik”nya Pramoedya Ananta Toer yang telah sedemikian jeli dan masuk ke dalam persoalan ini melampaui Huntington, yakni sebentuk perkaitan antara sejarah dan segala hal “yang sangat” geografis.
Hal ini pun bisa kita amati di Banyuwangi dan dinamika masyarakatnya, seni, budaya, kesejahteraan, dan hal-hal yang dengan demikian terkait atau untuk kemudian dikaitkan. Jadi, seperti apa negara? Banyuwangi? Yang jelas, ini mungkin bukan lagi urusan gastronomi, di mana orang-orang memainkan sesuatu yang tak dimengerti, seperti politik. Makna sudah tidak lagi menjadi kebutuhan yang penting. Ada yang mengejar bayangannya sendiri kemudian mengutuk tubuhnya. Franz Kafka menulis aporisma dalam catatannya. Tapi, sebaiknya kita tidak mempersoalkan nyaman tidak nyaman dalam melakukan kerja kesenian. “Seni itu soal selera saja,” kata Dwi Pranoto sambil meneguk kopinya, itu mungkin juga aporisma.
Kebudayaan Banyuwangi di tengah gelombang penggerusan waktu. Perjalanan kebudayaan, sebagaimana telah dinisbahkan dalam sebentuk kecemasan para penganut budaya tradisional, seringkali membentur dinding yang kelam. Air mengalir dan angin berhembus. Segalanya berjalan sebagaimana kesemestian yang telah digariskan oleh yang di luar kuasa akal. Analogi air dan angin, barangkali menjadi sebentuk keniscayaan di dalam menghayati tradisi dan budaya. Demikian hendak disampaikan WS. Rendra dalam "Mempertimbangkan Tradisi"-nya. Menimbang tradisi tentu saja bermula dari kehendak teknis menyelaraskan pelbagai komponen tradisi itu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kontekstualisasi ruang dan waktu. Bagaimana dengan Banyuwangi dan kebudayaannya? Ada pemisahan di sini, kenapa harus "Banyuwangi" dan "budaya"?
Menangkap dinamika dan dimensi tentang Banyuwangi, budaya, dan kesejahteraan rakyatnya. Empat unsur yang tidak mungkin dipisahkan: Banyuwangi, budaya, masyarakat, kesejahteraan. Saya pikir, cukup sulit mencari seorang tokoh yang mendetil ke arah ini, ini memerlukan kesungguh-sungguhan. Tradisi lokal sebagai anasir atau unsur pembangun kebudayaan nusantara, mesti memasangkan diri sebagai sebentuk organisme yang senantiasa berkembang dan terbuka untuk diletakkan pada ruang tafsir yang multiinterpretatif. Ini menjadi penting untuk menimbang dan menghayati tradisi sebagaimana air yang mengalir dan angin yang berhembus. Ada apa-apa yang yang musti kita pertahankan dan ada apa-apa yang musti kita buang-lupakan, dan untuk itu kita tidak perlu menampakkan respon sikap yang fatalistik. Mengkaji dan menempati jatidiri, jauh dari slogan dan sikap benarnya sendiri dan merasa yang paling mewakili rakyat.
Adakah pemimpin yang mengerti akan hal ini, yang di dalam otak dan jiwanya bukan melulu "ambisi" dan "materi"? Mudah diucapkan, sulit dicari dalam kenyataan sehari-hari, bukan?
Banyuwangi, 2010
Selasa, 05 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar