Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
DI samping beberapa situs budaya dan sejarah Banyuwangi, kita tidak boleh melupakan aset utama kebudayaan kita, yakni para penjaga dan pelaku budaya beserta basis pendukung kebudayaan itu sendiri. Ini penting kalaulah kita tidak sudi digolongkan ke dalam komunitas masyarakat atau sistem pemerintahan kabupaten yang tidak beradab serta bobrok. Menarik sehelai benang sederhana dari persoalan mendasar, yakni kebudayaan dan sejarah memang membutuhkan kearifan. Tentu saja kehendak bersama dan kejujuran pemerintah dalam menjadi fasilitas kelestarian budaya sebagai sebentuk perubahan yang terus-menerus, dinamis dan harmonis. Dinamika dan harmonisasi nilai-nilai dalam segenap unsur dalam masyarakat kita. Di sinilah kita membangun demokratisasi dengan semangat dan perilaku yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, penegakkan hukum dan keadilan dalam setiap lini kehidupan.
Budaya sebagai dinamika pergerakan yang dinamis dan terus-menerus. Memahami budaya dengan pandangan seperti itu akan menciptakan sebentuk sikap hidup yang tidak dangkal serta yang mampu mementingkan aktualisasi serta faktualisasi keadilan dan kemanusiaan. Kekuasaan musti memahami hal ini. Begitu juga segenap lapisan masyarakat. Memahami budaya dan sejarah hanya sebagai bentuk belaka pada gilirannya akan membawa pada sikap bergagah-gagah belaka dan hanya memulia-agungkan diri sendiri. Budaya sebagai bentuk dan hanya dirawat bentuknya, akan meninggalkan faktualisasi kehidupan masyarakat yang terus-menerus bergerak dalam dinamika kehidupannya, melupakan kebutuhan mendasar rakyat yang tidak pernah berhenti berdialektika dengan akar tradisi dan sejarahnya.
Kita memiliki aset hidup, yakni para pelaku budaya kita yang telah menghasilkan bentuk-bentuk budaya dari dinamika pergerakan kehidupan. Lagu-lagu Kendang Kempul kita, misalnya, adalah hasil-hasil kesenian yang legendaris yang terkenal ke pelosok dunia. Ini tidak berlebihan. Siapa tidak kenal lagu “Genjer-genjer” ciptaan Mohammad Arif dari Temenggungan itu? Lagu tersebut menjadi terkenal dan terdengar ke seluruh Indonesia dan dunia karena telah diperkenalkan oleh Soekarno ke Vietnam, Rusia, dan beberapa negara lain. Bagitu juga dengan lagu legendaris ciptaan Andang Cy. berjudul “Umbul-umbul Blambangan” yang melompat sebagai pemenang lagu terbaik etnis se-Asia. Berderet para pencipta lagu khas Banyuwangen yang hebat-hebat: Armaya, Fatrah Abal, Endro Wilis, dll.
Membicarakan hasil-hasil budaya Banyuwangi adalah sebentuk perjalanan pada dimensi ketinggian cita rasa seni yang adi luhung. Ini dibangun dan dihasilkan dari gerakan dinamis yang setia dan terus-menerus. Mereka para pelaku itu memiliki kesetiaan dan idealisme dalam berkarya. Mereka tidak hidup dari kesenian, tapi mereka menyatu dan menghidupi kesenian sebagai wujud kesetiaan pada dinamika gerak budaya sebagai panggilan jiwa. Berapa materi yang mereka dapatkan? Kecil! Bahkan cenderung mereka tidak mendapatkan apa-apa. Berapa penghasilan penari gandrung Temu’ yang tarian serta suaranya menjadi kebanggaan daerah dan membawa Banyuwangi ke pentas pergaulan dan eksistensi seni nusantara? Mereka itu aset budaya dan sumber aset budaya kita yang hidup dan terus bergerak. Tapi, sungguh kehidupan mereka terkadang jauh dari kelayakan. Kecuali beberapa saja, misalnya H. Armaya, sastrawan nasional yang memang berada. Namun demikian, Armaya tetap mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap kebudayaan dan kesusastraan lokal. Armaya mengeluarkan bantuan dengan memimpin secara tunggal perhelatan kebudayaan dan sastra di Banyuwangi. Beliau dengan bersemangat membangun situs sejarah makam Buyut Atikah di Giri ketika Pemkab tidak tau-menahu terhadap hal itu. Beliau secara rutin menerbitkan jurnal budaya dan buku-buku budaya dan sastra di Banyuwangi.
Nah, di mana peran pemerintah? Apa yang telah mereka perbuata terhadap budaya Banyuwangi? Saya belum melihat mereka melakukan apa-apa, kecuali hanya seremonial belaka bersama para budayawan dan sejarawan “tukang” yang bekerja untuk kepentingan keagungan kelompok tertentu (praktis). Sungguh itu bersifat tidak “kanggo enake” rakyat Banyuwangi dan dinamika kebudayaannya, bukan?
Muncar, 2009
Sabtu, 13 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar