Cerita: Taufiq Wr. Hidayat
Pada sebuah kota. Orang menyebut kota ini dengan sebutan: Kota Malam. Kota Malam ditinggali oleh hanya hampir 5 ribu penduduk saja. Bila siang, kota ini tidak ramai, sepi, lengang di jalanan, kau tidak akan menemukan lalu lintas yang macet, karena di samping penduduknya hanya sedikit, kota ini tidak terlalu luas. Penduduknya jarang melakukan aktivitas pada siang hari. Sekolah dan tempat-tempat publik lainnya buka di waktu malam. Aneh. Tapi, memang ini nyata. Bukan fiksi. Kecuali sekolah TK dan SD, semua buka malam. Hanya anak-anak TK dan SD yang bersekolah di waktu pagi. Anak-anak SMP, SMA, dan mahasiswa beraktivitas malam hari.
Kota kecil yang bernama Kota Malam ini terletak dekat pantai. Dari pusat kota ke pantai hanya beberapa kilo saja. Dan ketika malam, segala aktivitas dijalankan. Perkantoran dan gedung-gedung pemerintah juga layanan-layanan publik buka. Segalanya menjadi bergairah di waktu malam, seolah kehidupan dimulai ketika malam. Kau akan melihat orang-orang berkendaraan dengan riang di jalanan ketika malam, berbelanja atau berjalan-jalan. Lampu-lampu dinyalakan. Tapi anehnya, Kota Malam tidak pernah menyalakan lampu terang benerang, mereka menyalakan lampu-lampu redup. Seolah di kota ini, orang-orang takut atau alergi dengan cahaya terang dan alergi terhadap siang hari.
Aku berada di kota ini. Tentu saja secara kebetulan. Berdagang di Kota Malam. Hanya berdagang kain keliling. Dan entah bagaimana tiba di Kota Malam ini. Awalnya aku menumpang kereta menuju pulang. Tapi, terjadi keanehan yang tidak kudaga denga akal, kereta menuju ke stasiun yang bukan tujuanku. Tiba-tiba malam, aku terbangun oleh bunyi suara pengeras suara yang mengumumkan: "Selamat datang di Stasiun Kota Malam. Jangan lupa barang-barang Anda. Selamat menikmati malam di Kota Malam, kota impian, kota sejuta kesenangan. Hati-hati dengan cahaya." Aku terbangun. Ini bukan tujuanku. Aku mulanya tidak mau turun. Tapi, petugas kereta menegurku: "Silahkan turun dan bertamasyalah di Kota Malam. Anda bisa langsung naik angkutan atau ojeg ke pusat Kota Malam. Kereta tidak akan diberangkatkan lagi," kata petugas kereta itu sambil tertawa, giginya hitam dan tidak menyenangkan. Terpaksa, aku turun. Naik ojeg dengan barang-barang daganganku. Kupikir baiklah berdagang di Kota Malam.
Sebulan sudah aku tinggal di Kota Malam ini. Aku tidur di sembarang tempat. Aku tidak perlu mengontrak kamar karena itu akan mengurangi laba daganganku. Laba berjualan kain tidak banyak, kain bukan barang dagangan yang laris. Orang-orang lebih baik membeli baju jadi di toko daripada membeli kain untuk kemudian dijahit menjadi baju atau celana. Aku bisa tidur di teras rumah entah rumah siapa. Dan waktu tidurku pun terbalik, aku tidur di waktu siang, karena di malam hari aku harus berdagang. Orang-orang di Kota Malam ini beristirahat di waktu siang dan beraktivitas di waktu sejak matahari tenggelam hingga matahari terbit. Tidak ada angkutan yang memungkinkan untuk bisa membawaku pulang. Dan di samping itu, aku tidak tahu di mana letak kota ini, sehingga aku tidak tahu harus menempuh jalan ke arah mana untuk menuju pulang.
Seorang gelandangan di kota ini pernah kudapati sedang tidak beristirahat di waktu siang. Ia tidur saat malam. Tiap kali saya mendasar dagangan di tepi jalan simpang di pusat kota, gelandangan itu kudapati tertidur pulas di atas trotoar di bawah tiang lampu. Dan ketika siang, ia tidak ada di situ. Aku merasa ada yang lain. Umumnya orang-orang kota ini tidur siang dan beraktivitas malam, tapi gelandangan ini lain. Mungkin ia bukan penduduk asli Kota Malam. Mungkin ia pendatang yang terjebak sepertiku di sini, pikir saya.
Dan keingintahuanku membuatku mendekatinya malam itu. Saya mencoba membangunkannya. Dia menggeliat, dengan mata yang masih mengantuk, ia menatapku.
"Mau apa mengganggu orang tidur?" tanyanya.
"Kenapa Bapak tidur malam? Bukankah hampir semua orang di kota ini beraktivitas di waktu malam dan tidur saat siang?" tanya saya.
"Anda orang baru ya?"
"Betul. Kereta membawa saya ke sini. Saya berdagang kain. Saya tidak menemukan jalan untuk pulang."
"Anda sama dengan saya. Saya sudah 13 tahun di sini sejak jatuhnya seorang presiden. Orang-orang di sini tidak mau beraktivitas siang, mereka takut ketahuan, takut terlihat, mereka akan membunuh semua lampu-lampu terang lalu menggantinya dengan lampu-lampu redup. Mereka tidak bisa membunuh matahari, itulah karenanya mereka mencintai malam, remang dan dalam remang segalanya tidak jelas. Ketidakjelasan itu tidak tercium hukum sebab hukum hanya mengenal yang jelas dan pasti."
Gelandangan itu tidur kembali. Dari jauh datang petugas menghampiriku.
"Anda ditangkap karena banyak bertanya," kat petugas memborgol tanganku.
Aku tidak paham.Aku masuk dalam kendaraan petugas.Saya teringat rumah dan istri berrama anakku yang pasti menungguku pulang membawa laba.Dan di jalanan Kota Malam, orang-orang bergembira ke sana ke mari pada malam hari bagai kelelawar.
Muncar, 2010
Senin, 01 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar