Allah Maha Memaklumi dan Allah Maha Berpikir dan Maha Berakal. Pikiran (rasionalitas) dan akal dikaruniakan Allah pada manusia dan Allah menyuruh manusia berpikir dan menggunakan akalnya agar manusia tidak semberono mengolah hidup, Allah pun menyuruh manusia pasrah agar tidak lalai dan sombong dengan akal pikirannya. Ketidakpasrahan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Allah, karena tidak pasrah maka ia lalai pada kenyataan kehidupan yang tengah berjalan yang dilingkupi kompleksitas dan keberadaan makhluk-makhluk lain dan pengetahuan obyektif. Dari mana dimulai revolusi "nurani"? Siapa dan bagaimana? Analogi tersia dalam kontekstualisasi. Manusia dan segala perangkatnya sudah menjadi "jenak" (praktis/instan) dan tidak berproses.kita hanya perlu keseimbangan (harmoni), sambil menikmati irama-irama kehancuran dan harapan-harapan kebangkitan. Manusia tidak bisa menjangkau bulan tanpa alat-alat dari hasil-hasil kebudayaan (akal pikir dan rasa), tapi manusia tidak bisa tiba di bulan tanpa pasrah (rasa sejati yang melupakan kecemasan-kecemasan dari kelalaian yang mungkin terjadi), ia punya alasan untuk pesimis sebagaimana ia punya alasan untuk optimis.
Karena tidak ada satu pun hal sekecil apa pun yang itu bukan nikmat. Hanya persepsi kitalah yang memilah-milah mana nikmat dan mana bencana atau azab. Bahwa sesungguhnya azab itu bukanlah letusan gunung, tsunami, atau banjir, kemiskinan, dan lain-lain. Tapi, azab yang sebenarnya adalah kebuntuan pikiran dan mengerasnya hati terhadap anugerah hidup yang telah Tuhan karuniakan dengan cuma-cuma. Letusan gunung, banjir, kemiskinan, dan lain-lain hanya akibat dari kerasnya hati dan buntunya pikiran yang melepas fungsinya sebagai "Ganjal Meja" (Penjaga keseimbangan alam dan nilai-nilai). Allah Maha Sabar, Maha Tidak Pemarah, Maha Ramah, Maha Kaya Maha Pemberi Nikmat, Maha Rahman, Maha Rahim, Maha Pengampun Maha Latif.
Taufiq Wr. Hidayat
Purwoharjo, 2010
Sabtu, 06 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar