Selasa, 09 November 2010

Perut: Kenyang and Lapar

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat

PERUT adalah tempat makanan. Secara biologis, perut adalah tempat penyimpanan makanan dan pencernaan untuk diserap tubuh, juga tempat di mana sisa makanan itu disimpan untuk kemudian dikeluarkan. Teman saya seorang sarjana perikanan, Agus, menjelaskan kepada saya, bahwa dia pernah membuat skripsi tentang pemindangan ikan. Dalam skripsinya tersebut, dia mengupas bahwa ikan yang telah dikeluarkan isi perutnya akan menyebabkan minimnya mikroorganisme atau mikrobiologis dalam daging sehingga menjadikan daging ikan menjadi lebih awet, bertekstur dengan baik, memiliki aroma enak, serta memiliki rasa yang lezat. “Ini sebuah dugaan ilmiah,” ujarnya.

Aku pikir soal perut adalah soal makan. Soal seseorang itu memasukkan makanan ke dalam perutnya. Banyak persoalan penyakit disebabkan oleh perut, atau lebih tepatnya disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi seseorang. Ini artinya, menu makanan seseorang sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisiknya. Kesehatan fisik, tentu saja terkait dengan kesehatan mental dan kejiwaan seseorang. Orang gila atau gelandangan yang keluyuran di jalanan tak pernah memikirkan bersih atau tidaknya makanan yang dimakannya, mereka mengambil sisa makanan di tempat sampah lalu memakannya. Namun, kita lihat kondisi fisik mereka seolah tidak mengalami masalah.

Ada sebentuk anggapan aneh. Kenapa bupati, orang kaya yang kikir, pejabat yang korup itu perutnya selalu terlihat gendut? Seringkali penyakit yang mereka derita itu macam-macam. Ini karena perut mereka sering dijejali oleh makanan banyak, kurang mempertimbangkan unsur lemak atau kolesterol dalam makanan yang dikonsumsinya. Dibandingkan gelandangan yang makannya tidak higenis, diambil dari tempat sampah yang kotor, kesehatan para pejabat itu kalah dengan gelandangan yang kelihatan penyakitan. Terbukti mereka tetap sehat dalam usia yang terhitung cukup tua di jalanan. Ini karena, menurut Kang Fatah, karena walaupun yang dimakan gelandangan itu kotor, namun terhitung halal. Nah, pejabat itu banyak makan yang unsur halalnya sangat minim di dalam makanannya. Sehingga menyebabkan perut mereka gendut, penyakitan, gemuk tidak enak dipandang. Gak ideal. Coba kita lihat perut para anggota dewan kita, perut bupati, kepala dinas, dll. Kalaupun ada yang kurus kering, itu mungkin karena model tubuh mereka memang kurus, tapi perutnya lentur. Ada lho orang kurus yang makannya banyak sampai berpiring-piring. Yang gendut, lha itu makannya kadang sedikit tapi unsur lemaknya (terutama lemak yang “tidak halal”) banyak. Jadi, sebenarnya kurus atau gendut, kalau itu perut pejabat tentu saja kita curiga itu bersih dan higenis.

Itu subyektif. Gak logis!

Nah, ketika perut terlalu banyak diisi makanan enak, maka dampaknya adalah ngantuk. Ini ilmiah. Ada banyak makanan yang masuk ke dalam tubuh kita menyebabkan kita mengantuk. Mengantuk tentu membutuhkan tidur. Tidur adalah aktivitas yang sangat penting bagi manusia. Cuma tidak boleh terlalu banyak tidur. Terlalu banyak makan, menyebabkan sering mengantuk dan sering tidur. Sering tidur menyebabkan malas. Itu rentetannya. Makanya gak heran kalau banyak pejabat kita malas. Mungkin yang begitu itu. Ketika perut terlalu kenyang atau sering kenyang, maka badan lemas, namun kehendak hasrat tinggi. Maksudnya, kalau perut kenyang dengan makanan yang bergizi tinggi, yang di bawah perut akan bergerak-gerak bergairah. Karena yang di bawah perut bergairah, maka ia butuh pemuasan tidak cukup dengan satu lobang saja, perlu berlobang-lobang untuk memenuhi seksualitasnya. Kata Mbah Freud, libido orang yang suka makan itu lebih tinggi dari nafsu senggama binatang.

Subyektif lagi! Ngawur!

Ketika perut seringkali kenyang, seringkali ngantuk dan seringkali tidur. Bangun tidur, yang di bawah perutnya minta giliran. Sehingga prosentase hidupnya banyak terfokus pada makan, tidur, seks, buang air. “Mangan, turu, melek, kawin, nelek, nemplek,” kata sebuah kitab kuno berbahasa Jawa yang dituturkan Darmono. Maksudnya jangan jadi orang yang kayak gitu, yakni yang hanya banyak “makan, tidur, bangun, seks, buang air, dan merengek.” Yang demikian itu adalah kuantitas manusia yang sempurna sebagai penjelmaan binatang, dia tidak mampu menggerakkan kualitasnya; potensi keberadabannya, akal, dan kebudayaan yang bermanfaat bagi sesama. Hidup hanya untuk hidup, bukan lagi hidup untuk menerima, menjalankan, dan mengolah kehidupan.

Subyektif! Gak ilmiah!

Persoalan perut adalah persoalan manusia. Persoalan sejarah. Demi kepuasan perutnya (yang kemudian turun sedikit ke bawah perut) manusia melakukan hal-hal di luar kewajaran akal dan pikiran. Sejumlah ingatan tentang itu kita bongkar lagi di sini, tumpukan kertas dokumen terpaksa harus kita bongkar lagi dari dalam laci kesejarahan. Akan kita temukan sebentuk kengerian menjalar hingga ke ubun-ubun kepala. Tidak semua alasan kebrutalan dan kelicikan itu disebabkan perut. Tapi, ada harga diri, martabat, kejayaan, kekuasaan, dan sekeranjang alasan-alasan lain. Namun, setelah perut ini kenyang, bukankah kemudian kebinalan akan terangsang? Perut yang kosong sekosong-kosongnya, akan menyebabkan seseorang lemas untuk berbuat sesuatu. Meskipun perut lapar juga bukan alasan seseorang untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Karl Marx juga kelaparan sampai ia minggalkan dunia. Tapi, soal lapar di sini, tentu bukan soal lapar karena tidak makan. Lapar lebih saya artikan sebentuk susahnya nyari makan, kefakiran hidup yang sesungguhnya. Untuk makan saja susah, tidur susah, apalagi berdialektika. Kebodohan dan kedunguan merajalela, lalu kita terpaksa harus menjual harga diri, bersedia untuk dihina, bersedia untuk dipermalukan, bersedia membudakkan diri demi perut yang harus diisi kemudian demi kebutuhan hidup yang lainnya setelah perut kita kenyang, demikian ciri khas Indonesia mutakhir. Bukan alasan yang tepat memang jika kita katakan bahwa segala bentuk kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan lain-lain kejahatan itu karena disebabkan perut lapar. Pun tentu bukan sebentuk alasan yang benar jika perut kenyang lantas menyebabkan seseorang menjadi baik, tidak kriminal, tidak menyimpang, pendeknya tidak jahat. Soal kenyang dan lapar ternyata berpengaruh kuat terhadap mentalitas seseorang. Orang yang makan melebihi porsinya dan dengan nafsu makan yang enak-enak, cenderung rakus. Mungkin juga akan rakus dalam banyak hal. Kelaminnya akan berfungsi dengan panas, variasi kelainan pemuasan yang tidak masuk akal mungkin akan terjadi. Menahan lapar bukan berarti berkehendak untuk menjadi baik, begitu sebaliknya, memperkenyang perut bukan untuk menjadi jahat. Soalnya terletak pada sejauh mana kehendak kenyang dan kehendak menahan lapar itu memulai dirinya, demi kepentingan apa. Jika kepentingannya hanya untuk hidup, maka kenyang tentu diperlukan secara wajar. Namun bila hidup ini hanya sekadar untuk makan, sudah sedemikian parahnya kehidupan kita, bukan?.

Banyuwangi, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar