Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
Di tepi sehelai sungai muara yang jernih, airnya mengalir segar dan tenang ke laut. Ikan-ikan berenang di sungai itu. Sebuah rumah kayu sederhana menghadap ke laut yang selalu mendebur, angin pantai, awan-awan melayang bagaikan dalam impian. Di situ ia hidup menghabiskan usia, menulis puisi dan berpolitik. Tukang pos hampir setiap saat mengantar surat-surat kepadanya, ia membaca surat-surat dan menulis surat-surat, membaca buku dan menulis buku. Karya sastra dan politiknya membawanya pada popularitas di mata dunia, menjadi integritas yang seolah tak tergantikan. Namun sama sekali ia tidak asing di kampungnya yang terpencil. Ia berbaur dengan rakyat kecil yang buta huruf di pedalaman Cile. Bisa kita bayangkan, betapa gilanya orang ini, seorang penyair yang hidup di tengah masyarakat buta huruf dan masyarakat itu menokohkannya justru karena puisi-puisinya. Semangat hidup yang berkilau yang tak terbantah oleh gairah gelombang lautan atau sekadar Nobel Sastra. Integritasnya diusung dari keterpencilan tempat tinggalnya yang terasing dari pergaulan nasional dan internasional, terbelakang dan ditinggalkan. Itu bukan kemustahilan. Ia tampil sebagai wakil mereka yang tertinggal di mata negara dan dunia.
Dia tersenyum bijak. Tertawa dengan renyah, ringan dan putih. Orang-orang buta huruf itu mengoleksi buku-buku puisinya, mereka memajangnya di almari kaca, setiap hari dibersihkan dan diberi wewangian. Masyarakat buta huruf itu selalu kagum dan terpana ketika ia membacakan puisi-puisinya, mereka selalu berharap mendengarkannya membaca puisi-puisinya. Puisinya menjadi penting bagi masyarakat buta huruf itu.
Demikian secarik kecil kisah Anthonio Skarmeta tentang Pablo Neruda.
Muncar, 2010
Senin, 01 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar