Selasa, 02 November 2010
YANG DIPERSIDANGKAN
Cerita: Taufiq Wr. Hidayat
“HADAPKAN!” kata hakim ketua yang berkumis tebal dan agak memanjang di kedua sisinya itu.
“Saya hadapkan, Yang Mulia,” jawab seorang petugas kejaksaan. Baju dinasnya nampak sudah kekecilan. Dia membimbing seorang saksi kurus tinggi berpipi cekung itu ke muka.
“Nama Saudara Jumpalto Nartomo alias Jumo. Pekerjaan wiraswasta. Agama Islam. Betul?”
“Betul itu saya, Yang Mulia.”
“Bersumpah.”
Petugas kejaksaan bertubuh pendek gemuk dengan seragam dinas yang sudah kekecilan meletakkan kitab suci agama Islam di atas kepala Jumo.
“Ikuti yang saya ucapkan…”
Saksi Jumo belum duduk.
“Selesai, Yang Mulia.”
“Bagus. Suruh dia duduk.”
“Duduk.”
“Saya duduk, Yang Mulia.”
Saksi itu duduk. Pipinya cekung. Badannya kurus. Tinggi. Ia duduk di kursi kecil, menghadap hakim. Ia duduk bagaikan sebatang tiang yang melengkung.
“Saudara telah disumpah. Dengan demikian, tiap kata tiap huruf yang keluar dari mulut Saudara harus benar dan berdasarkan kebenaran. Saudara juga jangan keliru meletakkan titik koma dalam intonasi suara persaksian Saudara, karena itu akan menimbulkan penafsiran lain yang bisa menyesatkan. Saudara harus mengatakan semuanya dengan benar dan senyata-nyatanya. Saudara tidak diperkenankan berbohong sama sekali, sedikit pun. Kalau berbohong di hadapan hukum, Saudara akan terkena pasal kesaksian palsu, berat sanksi yang akan Saudara terima. Dan tentu saja Saudara tidak akan berani berbohong, bukan? Karena pastinya Saudara takut dikutuk oleh Tuhan dari agama Saudara sendiri. Maka sebagai hamba hukum, Saudara wajib mengabdi kepada hukum, wajib jujur, benar, dan wajib menyatakan segala yang telah Saudara saksikan dengan sebenar-benarnya dan dengan senyata-nyatanya. Saudara mengerti?”
“Mengerti, Yang Mulia.”
“Bagus. Sekarang silahkan Saudara ceritakan bagaimana perbuatan melanggar hukum itu terjadi dan dilakukan oleh terdakwa yang duduk di sebelah Saudara itu?”
“Waktu itu…”
“Sebentar,” hakim mengetuk palu sekali, “sebelum dilanjutkan, saya tanya; Saudara dalam keadaan sehat? Sadar? Saudara benar tidak gila? Saudara wajib tidak berbohong!”
“Saya sehat, Yang Mulia. Sadar. Dan tidak merasa sedang gila.”
“Bagus. Saudara kenal dengan terdakwa ini? Dia bukan famili Saudara?”
“Saya tidak mengenal terdakwa, Yang Mulia. Karena kenal saja tidak, mana mungkin lantas dia menjadi famili saya? Benar dan sudah jujurkah jawaban saya, Yang Mulia?”
Hakim diam sebentar. Dia tampak menelaah sejenak jawaban saksi di depannya, dahinya mengerut sedikit. Kemudian tidak berselang, hakim menjawab dengan rona wajah gembira seolah baru menemukan sesuatu yang dicari-cari.
“Ya. Masuk akal juga! Mana mungkin terdakwa itu adalah famili Saudara lha wong kenal saja Saudara tidak? Ya! Benar! Saudara sudah jujur! Itu bagus. Lanjutkan cerita Saudara.”
Yang dipersaksikan, Jumo membenahi kerah bajunya yang separuh belum terlipat, mungkin tadi dia lupa. Bajunya tidak diseterika. Dia memulai ceritanya.
“Waktu itu malam, Yang Mulia. Saya juga tidak mengerti mengapa kejadian itu di waktu malam, Yang Mulia. Saya melihat dia, Yang Mulia. Dia mengendap-endap di pekarangan rumah hakim Pak Sumali, Yang Mulia. Saya di balik semak, Yang Mulia. Mengintip dia, Yang Mulia. Dia tidak tahu kalau saya mengintipnya, Yang Mulia. Betul-betul, Yang Mulia. Kemudian….”
“Berhenti!” hakim mengetukkan palu sekali, “saya minta Saudara tidak perlu menutup tiap kalimat Saudara dengan kata “Yang Mulia”. Ceritakan saja. Saudara terlalu banyak menyebutkan kata “Yang Mulia”, itu sangat mengganggu konsentrasi saya mendengarkan kesaksian Saudara.”
“Benar, Saudara. Jangan begitu,” kata hakim anggota yang duduk di sebelah kiri hakim ketua yang memegang palu.
“Ya,” kata hakim anggota yang duduk di sebelah kanan hakim ketua yang memegang palu sambil menganggukkan kepala. Tersenyum sedikit dengan kesan yang berwibawa.
“Sudah! Lanjutkan, Saudara.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Ya. Bagus.”
“Malam itu. Saya sekali lagi tidak paham kenapa kejadian itu pada suatu malam. Saya menyaksikan dengan dua mata kepala saya sendiri, terdakwa ini mencongkel pintu rumah mewah milik hakim Pak Sumali, Yang Mulia. Saya tidak tahu Pak Sumali itu sebenarnya adalah seorang hakim. Yang saya tahu, Pak Sumali itu bekerja di kantoran karena tiap pagi dia keluar dengan mengenakan baju seragam kantor. Saya baru tahu kalau Pak Sumali itu seorang hakim setelah di persidangan ini, Yang Mulia. Sehingga saya tidak paham apa niat terdakwa mencongkel pintu rumah Pak Sumali. Waktu itu, saya pikir terdakwa ini hanya seorang pencuri. Terdakwa tidak tahu kalau saya secara diam-diam, tanpa disadari oleh terdakwa, mengintip perbuatannya. Saya memberanikan diri memasuki halaman rumah hakim Pak Sumali. Saya mengintip lewat jendela samping. Tapi, saya tidak berhasil melihat ke dalam. Saya mengendap lagi ke belakang rumah. Saya memilih tidak berteriak untuk membangunkan warga, sebab jujur saja, saya penasaran terhadap apa yang akan diperbuat terdakwa. Lagi pula, saya bukan termasuk orang yang suka dengan hal-hal ramai, Yang Mulia.”
“Itu tidak benar, Saudara!” kata hakim menyela, “semestinya saudara harus mencari bantuan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Ingat! Membiarkan tindak pidana terjadi itu juga terkena pasal. Ini hukum, Saudara. Saudara jangan main-main! Silahkan lanjutkan.”
“Baik, Yang Mulia. Anehnya, malam setelah terdakwa berada di dalam rumah, lampu ruang tamu rumah hakim Pak Sumali menyala. Saya tahu dari luar. Saya terus mengintip lewat kaca rumah mewah. Saya tidak bisa melihat ke dalam. Saya mencari celah lain. Akhirnya saya menemukan sepotong jendela kaca yang selambunya tersibak sedikit, mungkin selambu itu tersibak karena angin, Yang Mulia. Saya kaget, ternyata terdakwa duduk berbicang dengan hakim Pak Sumali di ruang tamu, mereka berbicara serius, Yang Mulia. Lamat-lamat saya mendengar hakim Pak Sumali berbicara dengan suara seperti menahan marah: ‘kenapa kamu main congkel pintu rumah?’ kata Pak Sumali.”
“Baik. Ceritakan semua dengan seditil-detilnya!” kata hakim.
“Baik, Yang Mulia.”
Jumpalto Nartomo alias Jumo pun bercerita mengenai peristiwa kriminal malam itu di rumah hakim Pak Sumali. Ketiga majelis hakim mendengarkan dengan tenang. Terdakwa Misnawi duduk dengan kepala menunduk. Ketiga orang jaksa penuntut umum dan pengacara bersongkok putih juga memasang kuping mereka baik-baik. Pencatat sidang siaga dengan alat tulisnya.
***
“Misnawi, kenapa kamu main congkel pintu rumah?” tanya hakim Pak Sumali setelah keluar dari pintu kamarnya dengan nada yang menahan marah.
Misnawi duduk dengan tenang di kursi tamu hakim Pak Sumali. Hakim Pak Sumali menyalakan lampu besar, sebelum lampu besar itu dinyalakan, ruangan itu diterangi lampu kecil.
“Duduk!” jawab Misnawi.
“Kamu keterlauan!” hakim Pak Sumali duduk.
Hakim Pak Sumali dan Misnawi berhadap-hadapan.
“Saya tidak perlu memakai sopan santun untuk hakim macam kamu!” kata Misnawi.
“Kamu tidak bisa begitu! Kamu tidak bisa sewenang-wenang! Masalah hukum adikmu sudah saya ringankan,” jawab hakim Pak Sumali.
“Apa?! Diringankan?! Mana diringankan?!”
“Dia saya vonis hanya 2 tahun penjara. Itu belum potongan hukuman. Tidak sampai dua tahun, adikmu akan bebas.”
“Tidak! Itu bukan kesepakatan kita! Saya minta adik saya dibebaskan dari segala tuduhan dan ancaman hukum.”
“Itu tidak mungkin! Pelanggarannya berat. Vonis dua tahun itu sudah ringan bagi dia yang terancam hukuman 15 tahun penjara.”
“Tapi, itu bukan kesepakatan kita! Anda telah mendapatkan apa yang Anda inginkan, sedangkan saya belum mendapatkan apa yang saya inginkan. Dan untuk itu, Anda harus membayarnya!”
Misnawi bangkit. Dia mencabut belati yang ia selipkan dipunggungnya. Belati itu mengkilap terkena cahaya lampu besar. Hakim Pak Sumali juga bangkit. Dia masih mengenakan pakaian tidur.
“Kamu mau apa?”
“Membayar Anda dengan belati.”
Misnawi melompat. Hakim Pak Sumali dengan sigap menghindar. Dia berlari ke arah kamarnya. Misnawi mengejar. Hakim Pak Sumali menutup pintu kamarnya. Misnawi terlambat, dia masih di luar dan hakim Pak Sumali sudah di dalam kamar. Kamar dikunci oleh hakim Pak Sumali. Misnawi terbakar, dia menendang-nendang, mendobrak-dobrak pintu kamar. Pintu kamar terlalu kokoh. Pintu kamar tidak roboh. Istri hakim Pak Sumali sudah bangun. Hakim Pak Sumali membuka laci bawah meja rias istrinya. Hakim Pak Sumali mengeluarkan pistol dari dalam laci. Jumo tidak mengetahui kejadian di dalam kamar. Dia hanya mengintip lewat kaca jendela yang selambunya tersibak sedikit oleh angin. Jumo hanya mendengar bunyi pintu didobrak oleh kaki Misnawi. Jumo berhasil mendengarkan pembicaraan keduanya tadi. Jumo takut, ia melompat ke semak-semak. Ia lari.
***
“Apakah yang Saudara katakan merupakan suatu kebenaran?” tanya hakim.
“Suatu kebenaran, Yang Mulia. Saya tidak mau melanggar sumpah. Saya tidak ingin dikutuk Tuhan karena berkata bohong dalam persidangan ini, karena saya sudah disumpah, Yang Mulia.”
“Bagus. Sekarang lantas jika kejadian itu sedemikian tragis dan mengerikan, kenapa jaksa penuntut umum ini hanya mengancamkan pasal yang ringan kepada terdakwa Misnawi? Misnawi hanya diancam 1 tahun penjara. Padahal jika mengikuti cerita Saudara, seharusnya Misnawi mendapatkan ancaman hukuman 15 tahun atau seumur hidup.”
“Saya tidak mengerti hukum, Yang Mulia. Saya hanya menceritakan apa yang saya saksikan.”
“Sekali lagi saya bertanya kepada Saudara, sudah benarkah kesaksian Saudara? Tidak bohong? Kalau bohong, Saudara akan dikutuk Tuhan agama Saudara sendiri. Dan ada pasal dengan sanksi hukuman yang sangat berat untuk sebuah kesaksian palsu. Ingat, Saudara! Ini negara hukum, setiap sesuatu sekecil apa pun harus diselesaikan dengan proses hukum, bukan kebohongan atau dendam. Ingat!”
“Saya selalu ingat, Yang Mulia.”
“Bagus.”
Hakim ketua berbisik kepada kedua anggotanya yang berada di kanan kirinya. Kedua hakim anggota itu nampak mengangguk sambil sedikit tersenyum, nampaknya keduanya tidak ingin diketahui bahwa sedang tersenyum.
“Baik. Saya minta terdakwa dan seorang jaksa, juga pengacara menghadap ke depan untuk melihat barang bukti,” kata hakim ketua.
Seorang jaksa dengan baju kekecilan itu maju ke meja hakim. Terdakwa Misnawi juga maju, pengacara gemuk kepalanya mengenakan songkok putih karena ia baru pulang dari tanah suci, juga maju.
“Benar ini belati yang Anda pegang pada malam itu di rumah hakim Pak Sumali?”
“Bukan, Yang Mulia,” jawab terdakwa Misnawi.
“Apa? Bukan?!”
“Benar! Betul-betul bukan, Yang Mulia.”
“Bagaimana, Saudara Jaksa?”
“Ini bukan belati milik terdakwa Misnawi, Yang Mulia. Misnawi mempunyai belati lain, Yang Mulia.”
“Lalu ini milik siapa? Mana belati yang lain?”
Terdakwa Misnawi, jaksa dan pengacara yang baru pulang dari tanah suci saling pandang penuh heran. Ketiga hakim itu pun saling pandang penuh heran.
“Lalu ini belati milik siapa? Kenapa sampai di persidangan jika belati ini memang bukan barang bukti yang meyakinkan? Bagaimana proses penyidikan? Mana belati yang lain?”
Terdakwa Misnawi, jaksa dan pengacara yang baru pulang dari tanah suci saling pandang penuh heran.
Jumo mencoba mengamat-amati belati itu.
“Baik. Silahkan kembali,” perintah hakim.
Terdakwa Misnawi, pengacara gemuk bersongkok putih karena baru pulang dari tanah suci dan jaksa kembali ke tempat duduk masing-masing.
“Saudara Jumo.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Anda tahu ini belati milik siapa?”
Jumo mengamat-amati belati yang mengkilap bila terkena cahaya itu.
“Silahkan mendekat.”
Jumo berdiri. Badannya kurus jangkung, seolah kepalanya hendak menyundul eternit ruang persidangan. Diamat-amatinya belati itu baik-baik.
“Bagaimana, Saudara?”
“Belati ini seperti pernah saya lihat, Yang Mulia.”
“Apakah ini belati yang dibawa terdakwa Misnawi pada malam itu, Saudara?”
Jumo menamatkan pengamatannya. Diam. Dia mengingat-ingat dengan keras dan bersungguh-sungguh.
“Belati ini menjadi kunci masalah. Siapa pemilik belati ini? Siapa yang telah menggunakannya? Kalau bukan milik terdakwa Misnawi, mana belati yang lain?”
Jumo diam.
“Jawab, Saudara!”
Gugup.
“Saya tidak tahu, Yang Mulia. Malam itu saya tahu terdakwa Misnawi membawa belati, tapi saya tidak mengamati dan tidak menghapal ciri-ciri belatinya itu. Sehingga saya tidak ingat, Yang Mulia.”
“Baik.”
Jumo duduk kembali di tempat duduk saksi.
Hakim ketua berbisik-bisik dengan kedua orang anggotanya. Kedua anggota hakim itu terlihat manggut-manggut pertanda setuju dan memahami sesuatu. Lalu tersenyum sinis.
“Baik. Persidangan ditunda sampai hari Kamis yang akan datang!” hakim memukulkan palunya tiga kali, kumisnya yang memanjang di kedua sisinya itu mengesankan kepahaman menguasai persoalan.
Banyuwangi, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar