Selasa, 16 November 2010

ISMAIL


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

"Kenalkan, nama saya Ismail," kata orang itu saat memasuki sebuah warung kopi di simpang kota itu. Orang-orang di warung tertawa kepingkel-pingkel, karena tentu saja mereka tidak percaya kepada anak muda dengan baju putih kumal, bersendal jepit lusuh, membawa gembolan di pundaknya.

“Apakah kamu Ismail yang seorang nabi itu?” tanya orang yang nongkrong di warung kopi.

“Benar. Sayalah Ismail. Nabi yang lolos dari penyembelihan oleh bapak saya sendiri karena kehendak Tuhan,” jawab orang itu meyakinkan.

Orang-orang semakin tertawa kepingkel-pingkel, mereka menganggap orang itu sinting.

“Edan!”
“Sinting!”
“Celeng!”

Orang yang mengaku bernama Ismail dan mengaku seorang nabi itu hanya tersenyum. Ia duduk. Ia memesan kopi. Salah seorang di warung menanyakannya dengan maksud mengejek.

“Kenapa kamu sampai di sini, Wahai Ismail? Dari mana kamu, Wahai Nabi?”

“Saya datang dari jauh. Kau tidak akan tahu. Saya tersesat di kota ini. Saya lapar dan haus,” jawab Ismail.

“Lalu kambing yang disembelih ayahmu yang dikirimkan Tuhan untuk menggantikanmu mana? Dagingnya dibagi dong, kita bikin sate.”

Orang-orang yang mendengar makin kepingkel-pingkel sambil memegangi perut. Ismail hanya diam. Anteng. Pemilik warung meletakkan secangkir kopi panas di hadapan Ismail.

“Jangan lupa membayar kalau sudah selesai, Pak Nabi Ismail,” kata salah seorang di warung. Orang tertawa lagi makin kepingkel-pingkel.

Pemilik warung nampak iba melihat orang-orang memperlakukan Ismail dengan kurang baik, mengejek dan menertawakannya.

“Wahai Pak Nabi, itu apa yang kamu bawa?” tanya orang di warung dengan nada mengejek.

“Ini pakaian saya,” jawab Ismail tenang.

“Nabi kok bawa gembolan.”

Orang-orang makin kepingkel-pingkel, mereka seperti menemukan hiburan baru. Pemilik warung iba melihat Ismail.

“Rumahmu di mana, Nak?” bisik pemilik warung.

“Rumah saya di negeri Arab. Saya membangun baitullah di sana bersama bapak, dan melaksanakan kurban tiap tahun untuk merayakan kemenangan atas kebinatangan kami,” jawab Ismail.

Pemilik warung menggelengkan kepala, ia merasa betul-betul iba melihat anak muda kumal di depannya. Ia iba karena anak muda ini sudah sinting.

“Kasihan,” bisiknya.

Ismail tenang saja. Ia sudah jelas paham bahwa memang demikianlah perlakuan orang-orang yang tidak beriman. Semoga mereka diampuni Allah, gumamnya dalam hati. Ismail meminum kopinya. Pelan. Anteng. Tenang.

“Wahai Pak Nabi Ismail, nomor buntutnya berapa?” ejek orang-orang di warung itu lagi.

Ismail tidak mengerti apa yang mereka maksudkan dengan nomor buntut. Ismail hanya tersenyum.

“Sudah sinting orang ini. Sudah tidak perlu diejek, kasihan,” kata pemilik warung.

Orang-orang pun melupakan Ismail. Mereka asyik dengan obrolan-obrolan lain. Dan Ismail tetap tenang. Ia hanya duduk dengan anteng. Dan orang-orang terus saja kepingkel-pingkel dalam pembicaraan mereka yang kini bertemakan soal-soal cabul.


Kanalan, 2010
Idul Adha, 10 Dzulhijjah1434 Hijriyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar