Selasa, 02 November 2010

SEBUAH KARANGANYAR

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Tetese Eluh
Cipt: Yon’s DD

Sedino-dino mung nangis gawene
Sing leren-leren sampek alum matane

Yo mesesegen ilang suaranae
Kesuwen nangis sampek nono iluhe

Kepingin seru ketemu, eman
Nong kembang hang biso ngudang atine

Kadung urip nong endi sangkane
Dung wes mati nong endi paesane

Arep sun kirim kembang hang wangi gandane
Arep sun kirim gending nawi tah biso nentremaken atine

Terjemahan bebas:


Hanya hari mengurai tangis hidupnya
Tiada henti hingga layu matanya

Ya. Tersedu sedan putuslah suaranya
Terlampau jauh menangis hingga keringlah air mata

Berharap sangat untuk bertemu, sayang
Bunga yang kuasa menghibur hatinya

Jika masih hidup, di mana alamatnya
Bilapun telah tiada, di mana nisannya

Akan kukirim bunga yang wangi semerbaknya
Akan kukirimkan nyanyi, andailah bisa menentramkan hatinya

Syair di atas menggambarkan situasi pada tahun 1965 di Banyuwangi. Menurut pengakuan pencipta lagu tersebut, Yon’s DD, kepada saya, bahwa memang benar syair lagu tersebut menggambarkan kondisi sosial-psikologis akibat geger politik pada tahun 1965. Secara utuh dan orisinil, syair Yon DD tersebut sangat berhasil, pun mengusung nilai-nilai sejarah dan kemanusiaan. Secara historis, di Banyuwangi terdapat banyak orang yang dulunya sangat mengagumi dan menganut paham komunis, sehingga banyak yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia). Tentu tidaklah mengherankan, sebab PKI pada tahun 1955 memenangkan Pemilu; berada di urutan tiga besar. Tentu saja, ajaran komunis di Banyuwangi musti kita pisahkan dari peristiwa geger politik 1965 yang banyak menelan nyawa manusia dengan banyak pembantaian yang tidak beradab: manusia dipotong lehernya, lalu mayatnya digeletakkan di selokan, atau kedua kaki dan kedua tangan seseorang diikat dengan rantai, lalu keempat ujung rantai itu diikatkan pada sebuah truk, truk dijalankan pada empat arah yang berlawanan, lantas tubuh seseorang tersebut menjadi tersobek empat atau lima bagian, kepala manusia menggelinding dengan mata melotot, bibir menjulur, dan badannya entah ada di mana.

Geger politik yang ditandai dengan istilah “Pemberontakan Gerakan 30 September/PKI” (G 30 S/PKI) yang hingga tulisan ini ditulis, masih menyisakan kontroversi dan trauma sejarah yang misterius, semisterius kenapa orang-orang melakukan pembantaian sedemikain sadisnya. Perebutan tampuk kekuasaan di Indonesia dan eskalasi politik secara internasional telah mengakibatkan hal itu terjadi. Mungkin saya terlalu awam terhadap sejarah. Tapi, tentu saja agama dan budaya mana pun tidak akan pernah setuju dengan perbuatan sadis sebagai imbas pergolakan politik. Bangsa ini telah melakukan pembantaian terhadap dirinya sendiri, atau kepentingan politik dan negara telah berakibat menelan mentah-mentah daging anak kandungnya sendiri. Karena keawaman terhadap sejarah itulah, maka nampaknya saya lebih tepat bercerita.
* * *


Karanganyar adalah sebuah desa yang terletak di Kab. Banyuwangi, Kec. Rogojampi. Desa ini, lebih tepatnya dusun, memiliki penduduk mayoritas berdialek Using, beberapa pendatang juga ada di sini. Di situ kebun kelapa dan sawah yang cukup luas. Cukup untuk menghidupi daging kehidupan. Di situ anak-anak bermain dengan riang, sebagaimana di dusun-dusun lain. Organisasi politik dan Ormas berdiri. Hingga ke Karanganyar, underbouw PKI seperti Lekra, BTI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat tumbuh dengan subur dan hidup rukun bersama NU dengan segala underbouw-nya, seperti GP Ansor. Lesbumi, dll. Keguyuban ini tentu saja sebagai sebentuk wujud betapa masyarakat Banyuwangi adalah masyarakat yang humanis, kita adalah bangsa besar yang sejatinya guyub, walaupun sejarah kita telah diwarnai oleh darah, yakni realisasi konkret dari Amukti Palapa-nya Gajah Mada. Tanpa sedikitpun mengurangi kecintaan kepada sejarah bangsa sendiri, saya mencoba kritis, bahwa ekspansi dan invasi Majapahit terhadap bangsa-bangsa lain adalah sebentuk kekerasan yang tidak demokratis dan humanis.
* * *


Pada suatu malam. Udara dingin di tengah dusun Karanganyar melelapkan penduduk. Ketakutan dan keputusasaan merebah kelam ke dalam jiwa. Sebagian ada yang gemigil. Sebuah pesantren kecil yang diasuh oleh seorang kiyai (sebut saja Kiyai Ali), malam itu pun lelap. Para santri kecil berusia antara 8 sampai 10 tahun lelap dalam kamar-kamar. Umumnya para santri itu adalah yatim piatu. Rumah sang kiyai sepi. Isterinya telah tertidur dengan lelap. Isteri sang kiyai adalah seorang janda beranak satu, yang dinikahi sang kiyai. Dari isterinya itu, sang kiyai memiliki seorang anak laki-laki baru berusia 9 tahun.

Malam itu terasa dingin bagai jutaan jarum yang menyerbu kulit sampai ke tulang. Sang kiyai yang jangkung, wajahnya teduh, dan alisnya tebal itu belum tidur. Dini hari. Ia tegar di atas sajadah malamnya. Memutar tasbih dengan mata terpejam. Sunyi dan mencekam.

Dalam wiridnya, sang kiyai tak henti-hentinya melafazdkan “Ya Rahman Ya Rahim” (Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang). Hingga kekhusyukan sang kiyai tersentak oleh suara riuh di halaman rumahnya. Sekitar 25 orang turun dari atas truk, lalu 7 orang di antara mereka menggedor pintu rumahnya yang sederhana.

“Keluar, Ali! Keluar!” teriak mereka tak bersahabat.

Dengan tenang sang kiyai beranjak dari sajadahnya. Langkahnya tenang bagai tak menyentuh lantai. Seolah ia telah tahu apa yang akan terjadi. Raut wajahnya sedikitpun tidak berubah. Tetap teduh tak berganti warna. Sang kiyai membuka pintu. Isterinya mengikutinya dari belakang bersama anaknya yang juga terbangun oleh suara riuh. Begitu pintu dibuka, sekitar tujuh orang yang mengenakan baju hijau bermotif seperti kulit harimau, menerobos masuk ke ruang tamu sang kiyai. Dengan cekatan, mereka meringkus sang kiyai. Sang kiyai tidak melakukan perlawanan. Beliau hanya berkata tanpa penekanan suara.

“Silahkan saya dibawa. Biarkan anak isteri dan santri-santri saya tetap di sini,” katanya. Tanpa sedikitpun memberikan penekanan. Lembut. Suaranya terasa sejuk. Seperti air dari sumur yang dalam.

Namun tujuh orang yang berbaju hijau bermotif kulit macan itu tetap terbakar. Mereka melempar sang kiyai ke atas meja. Meja pecah ditimpa tubuh sang kiyai yang jangkung. Tapi, seolah tak sedikitpun sang kiyai merasakan sakit. Beliau diam saja. Tidak mengerang sakit. Tidak apa-apa. Tetap tenang dan tak sedikitpun raut wajahnya berubah. Wajah dan kedua bola matanya yang bening itu bagaikan danau yang dilempari beberapa batu besar ke dalamnya, sejenak berdebur, lalu tenang dengan segera.

Sang kiyai bangkit. Ditatapnya sebentar wajah isteri dan anaknya yang masih 9 tahun itu. Sang isteri menjerit meminta tolong sambil menangis. Sang isteri berteriak: “Maling... Maling... Maling...”

Sang kiyai hanya tersenyum kecil melihat ketakutan isterinya.

“Ayo teriak! Tidak ada satu pun yang bisa menolong!” jawab salah seorang dari tujuh lelaki kekar berbaju hijau bermotif kulit macan.

Mereka mengikat tangan sang kiya ke belakangi. Puluhan santri terbangun. Mereka berhambur ke rumah sang kiyai. Santri-santri kecil berusia 9 tahunan dan yatim piatu, menyaksikan kiyainya dilemparkan ke atas truk berisi beberapa orang tak dikenal.

“Ini orang komunis! Harus ditangkap dan ditiadakan!” ujar mereka.

Sang kiyai ditutup kepalanya dengan karung diikat ke lehernya. Dalam karung itu, matanya terpejam. Bibirnya bergetar kalimat “Ya Rahman Ya Rahim”. Suara itu pelan namun tegas. Truk berangkat menembus tikungan gelap di dusun Karanganyar. Dalam perjalanan entah ke mana, dzikir dari mulut sang kiyai tidak henti-hentinya. Mereka yang meringkus, mendengar dzikirnya. Mereka membentak.

“Diam! Bahkan Tuhan pun tidak akan bisa menyelamatkan kamu, komunis!” gertak mereka dengan kasar sambil membenturkan kepala kiyai ke dinding bak truk. Benturan yang keras. Kepalanya bocor. Tapi, sang kiyai tidak mengerang sakit. Dzikir dari mulutnya berhenti.

* * *


Pada sebuah hutan, truk berhenti. Di tengah hutan yang gelap, hanya diterangi lampu petromak dan sinar bulan sabit awal Ramadan. Di tepi sebuah jurang yang dalam, terdapat sebatang pohon jambu hutan yang tua. Dalam keadaan tangan terikat ke belakang dan kepala ditutup karung, sang kiyai dilemparkan ke tanah, tubuhnya yang jangkung menghantam pohon jambu hutan yang tua. Terdengar suara patah dari tulang tangannya. Namun, tak terdengar erang dari mulutnya.

“Buka karung di kepalanya!” perintah salah seorang yang mengenakan baju hijau bermotif kulit macan. Tiga orang membuka karung di kepala sang kiyai. Dua orang lainnya memegang tangannya. Salah seorang berbaju hijau bermotif kulit macan, mengeluarkan sebilang pedang. Pedang itu mengkilat.

“Sebelum pedang ini saya tebaskan ke lehermu, katakan apa yang kau minta sebagai permintaan terakhir, anjing!”

Sang kiyai tetap tersenyum, membuat kesiur aneh pikiran orang-orang yang akan membantainya.

“Almautul Baabun,” jawab kiyai dengan nada lirih. Tersenyum.

Mereka tidak mengerti. Mereka segera menjalankan niatnya.

* * *


Pagi. Pesantren ramai. Santri-santri yatim piatu kehilangan pengasuhnya yang selalu bersahabat dan bercanda dengan mereka. Isteri dan anak sang kiyai tidak keluar dari kamarnya. Ketakutan dari kejadian tadi malam telah membekas di dalam jiwa mereka. Begitu dalam, begitu lengket, begitu mengerikan. Gemigil.

Beberapa saat kemudian. Sebuah truk datang lagi, menerobos ke dalam pesantren, menabrak pintu kayu pesantren hingga roboh. Tiga orang turun dari truk. Mesin truk tidak dimatikan. Tiga orang itu mendekati pintu rumah kiyai. Menggedor. Isteri sang kiyai sambil menggendong anaknya, membukakan daun pintu.

“Siapa?”

“Ini baju suamimu,” jawab mereka melemparkan baju putih penuh darah yang masih segar ke wajah perempuan yang menggendong anaknya. Mereka lalu melompat ke atas truk. Truk berputar. Lalu keluar dari pesantren. Truk itu berwarna hijau. Menghilang di tikungan sebelum ramai orang berangkat ke sawah dan ke pasar. Truk itu mengeluarkan asap knalpot. Hitam.

Baju putih sang kiyai, baju putih berlumuran darah segar. Sang isteri menangis meratap-ratap. Sang anak hanya terdiam memandang dan tak mengerti apa tengah terjadi. Sejak itu, setiap hari, setiap saat, malam atau siang, petang atau senja hari, perempuan itu selalu meneteskan air mata. Terus meneteskan air mata. Terus meneteskan air mata. Terus meneteskan air mata. Tiada henti-hentinya mengenang suaminya yang hilang entah ke mana. Tak ada kabar. Tak ada apa-apa.
* * *


Waktu terus bergeser. Politik pun bergerak membuat rumah-rumah kekuasaan dan kekayaan dari tangis dan kematian. Pesantren itu dirobohkan massa yang mengamuk. Puluhan anak yatim piatu penghuni pesantren menghambur pergi, dan entah ke mana mereka melanjutkan hidup. Rumah sang kiyai telah dikuasai oleh saudara-saudaranya. Beberapa hektar kebun kelapa dan sawah telah dirampas oleh saudara-saudara sang kiyai. Anak dan isteri sang kiyai pergi dari Karanganyar. Mereka keluar. Perempuan itu berjalan tanpa tujuan, medatangi kota-kota di luar Banyuwangi sambil membesarkan anaknya. Ia menjadi pembantu rumah tangga di tiap kota yang sempat disinggahinya, atau menjajakan kain ke tiap-tiap tempat asing dan jauh. Baju suaminya yang berlumur darah itu tetap disimpan di dalam tasnya yang lapuk. Tiap kuburan yang dilewati dalam perjalanan, ia singgahi, ia duduk di tepi kuburan entah kuburan siapa, perempuan itu meyakini bahwa kuburan itu adalah kuburan suaminya. Ia tidak bisa baca tulis. Ia tidak membaca tulisan pada batu nisan. Ia mengaji di sana bersama anaknya. Ia yakin itu kuburan suaminya. Ia mengaji sambil menangis. Membaca Surat Yasin. Berdoa.

Waktu menggelinding terus. Sang anak tumbuh dewasa dengan kelainan mental. Perempuan itu dianggap masyakarat Karanganyar sebagai perempuan tua tidak waras, karena tiap kuburan ia datangi dan ia yakini sebagai kuburan suaminya tercinta, ia mengaji dan menabur bunga. Waktu terus menggelinding seperti kelereng di lantai keramik rumahmu. Dan tak ada yang mengetahui kisah ini, mungkin juga tak ada yang mau tahu. Sebuah kisah di antara ribuan kisah lain yang lebih mengerikan lagi. Secuil kisah terpendam di antara hiruk pikuk politik. Hingga ia menghembuskan nafas terakhir di Karanganyar karena tua, lelah, dan kesepian. Ia kembali ke Karanganyar, dusun yang pernah melahirkannya, dusun yang mencabik hatinya, dusun di mana cintanya bersemi kala remaja, dusun yang pernah ditanami jutaan harapannya bersama sang suami, Kiyai Ali, beserta puluhan santri yatim piatu yang pernah dirawat dan disekolahkan. Ia sudah tiada dalam keadaan tua, kurus, tak terawat, dan sunyi sekali. Rambutnya rontok, kulit rambutnya terlihat. Warnanya putih.

* * *


Tentu saja, saya tidak mengerti sejarah. Saya hanya bisa bercerita. Cerita ini saya dapatkan dari perempuan itu secara langsung. Ia bercerita sambil menangis dan tak pernah berhenti mengeluhkan tulang kakinya yang selalu linu. Ada sebuah kalimat yang tetap saya ingat hingga kini: “Tidurlah! Waktu sudah malam. Besok kamu harus hidup sebagaimana biasa. Alah.. alah... alah...”

Banyuwangi, 2009

Catatan:

Almautul Baabun= kata Bahasa Arab yang berarti: “mati hanyalah pintu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar