Senin, 22 November 2010

Darmo Kanal


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Darmo Kanal adalah nama pemberian orangtuanya sejak kecil. Tidak ada tendensi dan prestise apa pun terkait namanya tersebut. Ia lahir sebagai seorang laki-laki. Genap berumur 40 hari setelah lahir ke dunia, ia diberi nama oleh bapaknya, Darmo Kanal. Darmo Kanal bagaikan sebuntal daging ayam segar yang selalu menarik perhatian orang, kemudian orang akan membayangkan jika daging itu digoreng atau dimasak merah bumbu pedas. Dagingnya berwarna kekuningan. Segar. Matanya seperti sumur, yang dalam dan gelap, kita tidak tahu apa yang terdapat di dalam lubang gelap itu. Alisnya yang tebal membuat orang yang memandangnya ingin bersembunyi di sela-selanya. Di sela alisnya. Warnanya hitam. Telinganya seperti telinga gajah, membuat kita yang memandangnya seolah menunggu kapan telinga itu mengibas-ngibaskan dirinya. Di perumahan yang mirip perkampungan itu, Darmo Kanal tinggal. Sebuah kota kabupaten.

Darmo Kanal tinggal di sebuah rumah yang berdinding sirap pohon kapuk. Tidak dicat. Tanpa eternit. Dan bila hujan, butiran air menyerbuk dari sela-sela genting rumahnya ke dalam ruang, di saat bersamaan, cahaya lampu 5 watt menerpa butiran itu, maka serasa terlihatlah taburan butir air bagaikan serbuk kristal. Bertaburan. Kopi pahit di atas mejanya. Ia hidup sendiri. Tidak punya isteri dan anak. Di perumahan itu, Darmo Kanal dianggap orang aneh. Daging ayam yang dibungkus kain itu, mengisi waktunya dengan bermain-main bersama anak kecil. Tangannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh membuat layangan, membuat tembak mainan dari kayu, atau membuat gasing. Anak-anak sangat senang datang ke rumahnya, ke rumah daging ayam kekuningan yang dibuntal kain. Darmo Kanal dengan riang memberikan mainan-mainan kepada anak-anak cuma-cuma. Anak-anak pun menaikkan layangan bersama Darmo Kanal. Anak-anak menarik benang layangan. Darmo Kanal mengunjukkan layangan. Layangan yang dibuat dengan kertas tipis berwarna-warni. Layangannya lumayan besar. Anak-anak harus mengikuti arah layangan yang dipermainkan angin bersama tubuh mereka.

Usia Darmo Kanal tidak terlalu tua. Usianya sekitar setengah abad. Tapi, matanya seperti sumur. Dalam dan misterius. Sumur yang tidak ada talinya. Namun mata itu adalah mata sumur yang tentu saja menyimpan air di dalamnya, sehingga anak-anak sangat gemar bermain-main di tepi pelupuk matanya karena menyimpan kesejukan, yakni kedalaman sumur itu dingin dan sepi. Namun anak-anak tetap tidak coba-coba untuk terjun ke dalamnya (walaupun di benak mereka, mereka ingin sekali masuk ke dalam lubang sumur yang gelap itu untuk mengetahui ada apa di dalamnya, mungkin ikan atau makhluk lain, mungkin juga layangan yang jatuh ke dalamnya). Tentu saja, anak-anak sangat suka sekali menyelinap di sela-sela alisnya yang tebal membelukar. Bersembunyi di balik sehelai alisnya, tangan mereka berpegangan pada sehelai alisnya itu. Mereka bermain petak umpet.

Para orangtua di perumahan seringkali melarang anak-anak mereka agar tidak terlalu asyik bermain bersama Darmo Kanal. Anak-anak bila bermain dengan Darmo Kanal, selalu lupa makan dan belajar. Padahal, Darmo Kanal selalu memasak untuk anak-anak kecil dan dimakan bersama-sama, sering juga Darmo Kanal mengajari anak-anak menghitung luas lahan persegi empat, menghitung segi tiga, atau menghitung lamanya gasing berputar.

“Bukankah itu juga belajar?” ujar seorang anak kepada ibunya. Anak itu cerdas. Ibunya sedang menyisir rambut.

“Bukan! Belajar tidak seperti itu! Belajar harus memegang buku dan alat tulis, bukan bermain-main, apalagi bermain gasing dan layangan,” jawab ibunya. Sisir terus menggaruk kepala ibunya.

Sang anak menunduk. Mungkin ia anak yang penurut pada orangtua. Sang anak masuk ke dalam rumahnya. Berpura-pura memegang buku agar terlihat oleh ibunya seolah tengah belajar. Masuk kamar, memeluk guling. Memejamkan mata seolah-olah sedang tidur. Sedikit dengkur yang palsu. Di dalam pikiran dan ingatan mereka terus terbayang wajah dan tawa Darmo Kanal. Wajah yang lapang, sehingga membuat anak-anak gemar bermain bola di permukaan pipinya yang empuk. Membuat dua buah gawang di situ. Kening Darmo Kanal adalah sungai dangkal yang bening. Selalu mengalir. Sejuk. Airnya bisa diminum. Dan setelah lelah bermain bola, anak-anak mandi di keningnya. Di sungai yang bening. Enak. Sambil bertelanjang. Sesekali minum karena haus.

Darmo Kanal adalah sosok orang yang akrab dengan anak-anak kecil. Siang hari, anak-anak ke rumahnya dan mendapati pintu rumah Darmo Kanal tertutup, mereka segera membuka daun pintu rumahnya yang tidak pernah dikunci itu. Anak-anak langsung saja masuk ke kamar Darmo Kanal yang kecil tak berpintu itu, mereka membangunkan Darmo Kanal dan menarik-narik tangan Darmo kanal mengajaknya bermain sambil merengek manja. Dengan kondisi yang agak lelah dan masih mengantuk, Darmo Kanal pun bangun dan menuruti kemauan anak-anak menghabiskan hari itu untuk bermain-main.

Kalian tidak usah iri. Darmo Kanal bagaikan seorang raja yang sangat berpengaruh di hadapan anak-anak walaupun ia tidak pernah bersikap seperti raja bagi anak-anak, kecuali jika bermain raja-rajaan. Pernah sekali waktu, Darmo Kanal melewati sebuah sekolah Tamana Kanan-kanak (TK). Dengan tanpa dikomando, anak-anak berhambur keluar dari kelasnya meninggalkan guru mereka yang sedang mengajarkan pelajaran berhitung, menghampiri Darmo Kanal sambil merengek-rengek manja. Pertama-tama seorang anak yang duduk di sudut kelas melihat Darmo Kanal sedang melewati jalan kecil di mana kelas berada di tepi jalan kecil itu.

“Darmo Kanal. Darmo Kanal di luar!” teriak seorang anak itu. Mereka tidak memanggil Darmo Kanal dengan panggilan “pak”, “pak de”, “paman”. Anak-anak memanggil namanya.

Mendengar seorang di antara anak-anak itu berteriak, spontan yang lain berdiri melongok jendela.

“Ya. Darmo Kanal.”

“Darmo.”

“Darmo, layanganku belum kau selesaikan.”

“Ya.”

“Ayoooooooooo.”

Seketika anak-anak berhambur keluar tanpa menghiraukan gurunya yang sedang mengajarkan pelajaran berhitung pagi itu di depan kelas. Anak-anak seusia 5 sampai 7 tahun itu berhambur mengerubut Darmo Kanal, ada yang bergelayut di tangannya, ada yang denga sigap melompat ke bahunya.

“Andi! Andi! Jangan! Nanti jatuh,” teriak Darmo Kanal kepada salah seorang anak yang nekat melompat ke bahunya.

Guru-guru TK keheranan. Para guru tidak bisa menghalangi murid-muridnya yang berhambur keluar kelas tanpa menghiraukan gurunya di depan papan tulis. Seorang guru perempuan berteriak-teriak.

“Ayo, anak-anak kembali ke kelas.”

“Tidak mau. Kita mau bermain dengan Darmo Kanal,” jawab anak-anak.

“Nakal ya! Kalau tidak segera kembali ke kelas, nanti bu guru kasih kalian hukuman.”

“Silahkan saja,” jawab seorang anak perempuan kecil yang menggelayut di tangan Darmo Kanal.

“Ya! Silahkan saja! Siapa takut,” sahut anak-anak yang lain.

Guru-guru tidak bisa berbuat apa-apa. Seorang guru perempuan mendekat. Dia berbicara kepada Darmo Kanal.

”Tolong Bapak tidak mengajari anak-anak yang bukan-bukan,” kata si guru.

”Maaf, Bu. Kami hanya bermain-main. Kami tidak melakukan apa-apa selain bermain.”

”Ya. Tapi, anak-anak sekarang perlu belajar.”

”Baiklah. Ayo anak-anak sekarang kembali ke kelas. Kalian harus belajar ujar bu guru. Ayo masuk,” kata Darmo kepada anak-anak itu. Sepontan anak-anak menuruti kata-kata Darmo. Satu persatu mereka berjalan memasuki kelas.

”Tapi, awas layanganku nanti harus selesai ya,” kata seorang dari mereka sambil berjalan menuju kelas.

”Ya. Dongeng ketela dan roti belum selesai,” sahut yang lain.

”Ya. Nanti harus ada dongeng lain.”

”Ya. Jangan dongeng ketela dan roti saja, terlalu panjang.”

”Ya. Segera tamatkan dong.”

”Terus ganti dongeng lain.”

”Aku setuju.”

”Aku ikut.”

”Ayo sudah cepat masuk kelas, bu guru sudah menunggu,” jawab Darmo Kanal.

Anak-anak kembali masuk ke dalam kelas. Tinggal Darmo Kanal dan Bu Guru di tepi jalan.

“Mohon maaf, Bu. Saya pamit pulang,” kata Darmo Kanal.

“Silahkan. Dan jangan mengganggu anak-anak lagi. Anda saya ingatkan,” jawab Bu Guru sinis sambil berjalan menuju kelas.

***

Siang itu komplek perumahan sepi. Suara ayam yang mau bertelur seperti memecah lengang. Darmo Kanal tengah tertidur di kamarnya yang sempit dan tanpa pintu. Terdengar ruang depan pintu diketuk keras.

”Selamat siang,” ujar suara dari luar.

Darmo Kanal segera terbangun dan menuju pintu.

“Selamat siang, Pak,” ujar tamu yang berseragam. Dua orang berseragam itu tidak masuk, hanya berdiri di pintu.

“Benar Anda yang bernama Darmo Kanal?”

”Saya, Pak.”

”Dengan ini, kami membawa perintah memanggil Bapak untuk kami minta keterangan di kantor polisi.”

”Atas tuduhan apa saya dibawa, Pak?” tanya Darmo kanal keheranan.

”Anda tidak kami minta berkata-kata lagi. Atas tuduhan menimbulkan perasaan tidak mengenakkan bagi warga di sini.”

”Saya...”

”Benar Anda Darmo Kanal?”

”Saya, Pak.”

”Ikut kami.”

Kedua orang itu membawa Darmo Kanal dalam sebuah mobil polisi. Mobil berwarna hitam, meninggalkan halaman Darmo Kanal yang berdebu. Knalpot mobil mengepul, kepulnya berwarna hitam.

***

Darmo Kanal duduk di kursi pengadilan. Siang itu tidak ada anak-anak yang boleh mengikuti persidangan atas tuduhan menimbulkan perasaan tidak menyenangkan terhadap Darmo Kanal. Padahal banyak anak-anak kecil hendak mengikuti persidangan itu setelah mereka mendengar bahwa Darmo Kanal disidangkan. Para orangtua mengurung anak-anaknya supaya tidak keluar rumah. Anak-anak dimasukkan ke dalam kamar dan dikunci dari luar oleh orangtua mereka, Bapak mereka tidak tahu karena sedang bekerja.

”Sidang dibuka,” kata hakim ketua mengetukkan palu.

”Saudara yang bernama lengkap Darmo Kanal?” tanya hakim.

”Saya, Pak,” jawab Darmo Kanal tenang.

“Saudara tahu kenapa berada di sini?”

“Saya, Pak.”

“Mengenai apa?”

“Mengenai tuduhan menimbulkan perasaan tidak menyenangkan.”

“Anda dituduh terjerat Pasal 335 KUHP.”

”Betul, Pak. Tapi, saya heran, siapa yang merasa tidak enak atas keberadaan dan tindakan saya?”

”Para orangtua dan para guru. Anda dianggap mengajari anak-anak mereka, anak-anak didik mereka hal-hal yang tidak baik. Sehingga para guru dan orangtua itu tidak senang. Jelas tidak senang, Anda selalu mengajak anak-anak itu beramain sampai-sampai melupakan makan dan beralajar. Para guru dan orangtua tidak senang terhadap perilaku Anda. Anda berhak memberikan pembelaan, tapi pembelaan Anda harus akurat dan masuk akal.”

”Baik, Pak Hakim.”

”Bagus.”

”Saya tidak membela diri, Pak Hakim. Tapi, saya tidak pernah melakukan hal-hal seperti yang telah dituduhkan kepada saya.”

”Anda bisa membuktikan?”

”Anak-anak kecil itu bisa menjadi saksi, Pak Hakim.”

”Tidak bisa! Mereka masih anak-anak, kejujuran dan kebenaran mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan. Boleh jadi, mereka akan bersaksi karena takut kepada Saudara jika mereka meringankan Saudara, dan akan memberatkan Saudara jika mereka takut kepada orang-orang yang menuduh Saudara. Mereka masih kecil, mereka tidak bisa disumpah. Mereka tidak tersentuh sanksi dari hukum.”

Sebagaimana kisah yang telah umum terjadi, orang seperti Darmo Kanal tidak akan pernah menang dalam persidangan. Ia divonis 1 tahun penjara, potongan tahanan 4 bulan, berarti ia harus mendekam selama 8 bulan.

Petugas membawa Darmo Kanal ke penjara. Di dimasukkan ke dalam satu sel bersama para pelaku kejahatan berat. Dalam satu ruang sel tersebut, Darmo Kanal berkumpul dengan dua orang pelaku kejahatan berat. Yang bertubuh tegap dan tubuhnya penuh tato itu bernama Nurandi alias Pandik, ia adalah pelaku pembunuhan. Pandik membunuh korbannya dengan keji. Motiv pembunuhan yang dilakukan Pandik sepele sekali. Pandik mengikat tubuh korbannya dalam gudang, menyumpal mulutnya pakai gombal, lalu Pandik memotong telinga korban yang masih hidup itu, menyiram korban dengan air panas, memotong kelamin korban, kemudian memotong leher korbannya. Pandik mengaku sangat menikmati perbuatannya itu di muka persidangan. Ia divonis seumur hidup. Wajah Pandik tidak pernah bersahabat dengan siapa pun. Dan seorang lagi bertubuh agak pendek, berkumis tebal, ia bernama Mahmudi alis Madi. Madi adalah tahanan pelaku pemerkosaan atau kejahatan seksual dan pembunuhan. Madi memperkosa perempuan berusia 14 tahun. Madi mengikat tubuh korbannya di atas ranjang rumahnya, korbannya dibius. Madi memotong payudara korbannya itu, memotong rambutnya sampai gundul, memutuskan urat leher korbannya. Dan setelah korbannya mati, baru Madi memperkosa korbannya berkali-kali. Madi dituntut hukuman mati, dan hakim memvonisnya seumur hidup. Seperti juga Pandik, Madi mengaku sangat menikmati perbuatann kejinya itu dan sama sekali tidak ada rasa bersalah. Madi selalu berliur ketika ia melihat gadis kecil usia belasan tahun, birahinya memuncak, dan ia akan melakukan kejahatan. Pandik dan Madi sudah sering melakukan pembunuhan demi pembunuhan, hanya saja yang terjerat hukum hanya satu perkara pembunuhan. Bahkan Pandik pernah menghajar sipir penjara hingga babak belur. Madi dan Pandik berkumpul baru setahun dalam satu sel, keduanya tidak pernah akur, mereka sering berkelahi, dan hasil perkelahian selalu membuat wajah keduanya bonyok. Sipir tidak lagi mengurus kedua orang kelas berat itu, itu lantaran keduanya memang susah diatur dan menyulitkan. Keduanya hampir tidak pernah dikeluarkan dari sel. Darmo Kanal dikumpulkan dalam satu ruangan dengan dua orang pelaku kejahatan yang sudah mendekam 3 tahun.

Tapi, sebagaimana kau ketahui, Darmo Kanal memiliki kelembutan yang memuat anak-anak lengket dengannya. Ia memiliki mata yang dalam seperti sumur, kening yang lapang dan mengalir sungai, alis rimbun, dan telinga yang lebar seperti telinga gajah. Telinga itu membuat orang yang memandangnya berharap mengibar-ngibaskan diri. Ia adalah sebuntal daging yang ranum. Keningnya sering digunakan mandi dan minum oleh anak-anak, pipinya digunakan lapangan sepak bola oleh, anak-anak melompat-lompat di pipinya yang empuk. Semua orang mengira, Darmo Kanal akan habis jika seminggu saja berkumpul satu sel dengan dua orang kelas berat itu. Para sipir dan penghuni penjara lainnya sudah menduga-duga akan terjadinya hal-hal yang mengerikan pada diri Darmo Kanal. Tapi, dugaan-dugaan mereka meleset.

Pandik dan Madi heran melihat wajah Darmo Kanal. Mereka seperti bertemu dengan sesosok malaikat. Darmo Kanal tersenyum. Ia tidak seolah tidak pernah memiliki rasa khawatir dan takut, seperti anak-anak. Darmo Kanal tidak kehilangan keriangannya. Pandik dan Madi merasa ada yang aneh, mereka tidak bisa memasang wajah kejam di hadapan Darmo Kanal. Mereka berdua yang selama ini tidak pernah bertegur sapa, akhirnya berdiskusi malam itu dengan berbisik-bisik agar Darmo Kanal tidak mendengar. Darmo Kanal tidur. Pandik dan Madi berbisik.

”Siapa dia? Kejahatan apa yang sudah diperbuatnya? Masa orang seperti ini melakukan kejahatan? Saya rasa dia tidak mungkin melakukan kejahatan,” bisik Madi ke telinga Pandik sambil matanya mengamati sebuntal daging yang tertidur pulas itu.

”Saya tidak tahu! Saya juga heran,” jawab Pandik pendek.

Darmo Kanal tertidur pulas. Sama sekali Darmo Kanal tidak khawatir apa-apa. Ia tidur dengan pulas seperti anak-anak. Dan dalam tidurnya, Darmo Kanal bermimpi bermain bersama anak-anak itu, anak-anak yang kulitnya putih dan tawanya juga putih. Darmo Kanal tertawa-tawa dalam tidurnya.

Banyuwangi, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar