Jumat, 05 November 2010

Pecahan-pecahan Catatan

Taufiq Wr. Hidayat

(1)
Bunyi yang ramai, ayam jantan, kleneng jam, gelas yang diletakkan secara agak keras. Harum kopi dan asap rokok. Ada sebentuk kecemasan hari yang menggelung di saku baju tiap baju yang ada sakunya. Bom meledak lagi. Lalu kalian memainkan bola di atas hampa.

(2)
Dan Sang Bima Suci (Brontoseno) menyelam ke dasar samudera. Ia masuk ke dalam tubuh kecil Sang Dewa Ruci. Pulang ia membawa tirta kesucian yang sejati. Maka Surendrajati-lah ia dengan segala keluhuran Mohammad-ku (Muncar, 27 Janurai 2008)

(3)
Aku lari ke atas bukit rindu yang setiap pagi selalu kau sirami dengan tanganmu. Hingga di situ aku telah meleleh bersama embun, dan udara membawakan sehelai namamu ke dalam ketiadaanku.

(4)
Malam. Begitu rebah. Setelah segala awal adalah kenisbian. Kita mendengkur pada malam. Kemudian bangun dini hari, membangun sebentuk sungai di muka jendela. Masih saja, canda cabul dan kata yang tak termaknai. Masih saja kita membudakkan diri, mengurai kenyataan menjadi lobang sampah. Malam. Begitu rebah. Pelan. Sunyi lecet dalam kelam.

Banyuwangi, 29 Agustus 2009

(5)
Perjalanan kita, bagian dari kehidupan itu, bukan lagi yang itu, tapi telah menjadi keharusan penerimaan kehidupan. Mari bertamasya pada bukit kesadaran. Mungkin di luar susah kering, daun akasia gugur usia. Para penambang hendak merusak bukit kita. Kita jangan diam, atau mati dalam kemusnahan. Mari merayakan pembelaan, sebab hidup adalah sebutir kerikil yang mencemplung di dasar segelas kopi, tenggelam, tenang dan angkuh.

(6)
‎"Wong kang soleh kumpulono" demikian sepenggal syair Tombo Ati. Tentu saja itu shoheh, tak terbantah. Itu adalah upaya menemukan penawar hati yang sedang tidak sehat akibat benturan sehari-hari. Namun, menjadikan teman dari mana pun dan siapa pun, kupikir merupakan sebentuk upaya pengendapan diri. Ikan di laut tentu dagingnya tidak akan seasin lautan yang ditempati, bukan?


(7)
Lihat saja. Orang-orang meminum bensin dengan harga 4500,- Tiap hari siapa yang sibuk berkendara di belakang sebuah bis kota. Hari ini, siapa yang tidak menipu? Siapa yang tidak mengatasnamakan? Siapa yang sinting dan ngawur? Ternyata mengucapkan sebentuk kesadaran itu mudah, tapi senyatanya susah dalam kenyataan. Waktu juga yang akan memilih apa-apa yang layak diterima dan apa-apa yang semestinya dicampakkan dari kehidupan.

(8)
Perjalanan waktu tak tertahan. Menyemai serbuk racun pada ruang. Hutan lindung yang agung, sebentar lagi akan menjadi bubuk kopi di gelasmu pagi hari. Transportasi emas sudah siap. “Gali! Gali!" bisik bupati. Kepalanya mengeluarkan asap belerang, mulutnya dipenuhi garam, sianida dan mercuri. Kalau ikan-ikan mati, dagingnya tercemar racun, anak-anak akan menderita sakit, Tumpangpitu roboh, bupati terkekeh-kekeh, pemodal tertawa lantang. Baiklah. Ini saatnya mengenakan seragam medan laga. Kalian pakai apa? Aku tetap memakai pena.

(9)
Hanya selintas. Mari melintas. Dan hati-hati, karena sungguh jembatan itu sangat licin.

(10)
Tidak ada yang salah. Dan tentu, perduli dan tidak perduli itu adalah kehendak tiap-tiap orang. Keperdulain dan ketidakperdualian pun bukan hal yang biasa, juga bukan hal yang tidak bisa. Wajar-wajar saja. Semua memiliki keperdualian dan ketidakperdulian. Begitu pun aku. "O, betapa dia ya," kata seseorang. "Apa perdulinya?" jawab orang lain. Buku tidak laku bagi seorang yang buta huruf. Apa gunanya selembar makalah pertanian bagi para petani di Curahjati, Tegaldlimo. Mereka hanya mengenal menanam. "Silahkan kopinya," kata si penerima tamu. "Terima kasih," jawab si tamu. Wajar, bukan? Jadi, tidak ada yang genting di sini. Semuanya biasa-biasa saja, seperti air yang mengalir ya mengalir saja, angin berhembus ya berhembus saja. Ha.ha.ha.ha. "Kenapa kamu ketawa," tanya Charlie Chaplin (si tokoh badut dunia). "Karena aku mencintaimu," jawab isterinya.

(11)
Sejenak Mengenai Darmo Kanal

Samiro juga menulis mengenai kesibukan Darmo Kanal sebagai Jogo Tirto dan kesibukannya bermain layangan dengan anak-anak. Darmo Kanal suka sekali berteduh di bawah pohon duren tanpa sedikit pun takut kejatuhan buahnya yang berduri. Sejumlah keterangan yang berhasil kuhimpun dari beberapa orang yang mengetahui perihal Darmo Kanal, memberikan sedikit gambaran tentang kebiasaan Darmo Kanal yang sering ketiduran di bawah pohon duren. Padahal menurutku: rawan. Siapa tahu tiba-tiba buah duren jatuh menimpa kepalanya. Tapi, menurut keterangan yang kudapat, Darmo Kanal memiliki keyakinan, bahwa kalau tertimpa duren alamat mendapat nasib mujur bagai kejatuhan bintang. “Lebih baik kejatuhan duren, itu nyata. Daripada kejatuhan bintang, itu mustahil,” ujar Darmo Kanal kepada Samiro yang pernah menanyakan perihal kebiasaannya tidur lelap di bawah pohon duren ketika siang hari.

Darmo Kanal bertutur kepada Samiro begini:

"Kita tidak perlu menggabung-gabungkan antara istilah "tulus" dan "profesional". Kedua hal itu bisa berkaitan, bisa juga tidak ada kaitannya sama sekali. Tergantung bagaimana kita memandangnya. Jika kita melihat segi empat dari sudut miring, maka segi empat akan terlihat seperti segi tiga. Ketulusan itu perkara hati, perkara hati yang tahu hanya Tuhan dan orang bersangkutan. Yang terutama perlu kita nilai adalah sejauh apa seseorang berjalan dengan jujur dan "sembodo" dalam setiap sikap hidupnya sampai pada hal yang terkecil. Bagaimana seseorang menjalani hal-hal kecil dalam hidupnya, itulah yang akan menegaskan jati diri seseorang dengan niscaya. Soal ketulusan, itu urusan Tuhan, dan Tuhan merahasiakannya, sebab kalau diketahui manusia, manusia akan sombong. Kenapa hanya Tuhan yang pantas untuk dipuji sebagai Tuhan Yang Maha Tulus? Ya. Karena hanya Tuhan yang kuat atas segala pujian. Selain Tuhan, yakni manusia, itu tidak kuat terhadap pujian, ia akan menengadahkan kepala, tersenyum malu, bahkan ngakak kepingkel-pingkel karena dipuji, sikapnya bisa berubah seketika. Agar ketulusan benar-benar dinilai Tuhan tanpa dibocorkan-Nya kepada siapa pun. Ada hal-hal yang mungkin perlu kita maklumi dalam hidup ini, ada hal-hal yang perlu kita renung-dalami dalam-dalam dengan kehalusan pikir dan rasa. Agar, tentu saja, pemahaman kita tidak sekadar bersifat kulit muka saja dan belum sampai pada sejati dan nikmatnya pengertian. “

(12)
Hujan dan Kolak Pisang

Hari ini Banyuwangi hujan. Lalu hendak apa lagi. Memang sudah air jatuh dari langit. Bahwa mungkin keindahan. Masih terpenjara dalam kosa kata. Dan susunan huruf yang selalu gagal kau rangkai-rangkai kembali. Bagaikan harum tubuhnya yang terus terkenang. Dan entah di liang bimbang.

Kali ini masih hujan. Kau pun merokok sambil menghadapi kecemasan. Atau tak tau entah apa yang akan dikerjakan lagi. Sebab daun-daun memang tak pernah mengeluh. Begitu tekun menampung air dari situ.

Memang hujan. Anak-anak berlari tak memakai baju. Mengejar masa kecilnya di jalan sebelum perempatan. Kau masih merindukan. Tidur di kasur empuk. Atau memandang hujan dari balik jendela. Sambil membayangkan ibumu yang tengah memasak kolak pisang dicampur duren. Dan bapakmu yang membaca koran di ruang tengah.

Tapi, memang sudah hujan. Segala yang sudah kau gariskan di atas tanah sudah terhapus. Dan mungkin tak mudah diingat kembali. Selain bahwa kau pernah menggores di atas tanah. Pada suatu tempat. Entah di mana.

Banyuwangi, 2010

(13)
Aku Telaga, dan Kamu

akulah telaga,
maka layarkan perahumu di atasnya;
di situ hayut pula, bunga-bunga kemboja,
juga melati,
dan mawar kali yang maunya abadi.

tapi, fana juga.
seperti juga senja dan fajar,
warnanya hampir serupa.

akulah telaga,
lalu berenanglah, mandilah di tepiannya
di saat jingga senja.
mungkin kau akan kedinginan sesudahnya,
kemudian masuklah ke dalam rumah kayu,
nyalakan api, agar kau hangat,
sambil memandangi api,
sedang tubuhmu meringkuk dalam selimut.

akulah telaga,
kemudian pandangilah dari balik jendela,
sebab mungkin akan kau temukan sebentuk cerita,
yang entah tentang apa

Banyuwangi, 2010

(14)
Aku Jalan, dan Kamu

akulah jalan itu,
lewatilah dengan sendalmu,
setibanya di ujung itu,
ciumilah harumnya derita,
lepaskan sendalmu,
dan biarlah aku yang akan menjaganya

Banyuwangi, 2010

(15)
Germis dan Kopi, Ibunya

Ada seorang gadis kecil di tepi gerimis
Rambutnya basah, sandalnya kecil dan berlumpur,
Ia telah berlari seharian di bawah hujan,
Kini reda, dan ia di tepi gerimis yang sisa,
Ia tidak pernah berhenti menciumi tangis,
Ketika ia ingat, bahwa ibunya
Pernah memasakkannya bayam,
Lalu merenda di balik jendela,
Sambil menikmati kopi
Bersama bapaknya

Sandalnya yang berlumpur,
Ia lepaskan di situ,
Di ujung halaman,
Dan kini aku tengah menjaganya,
Dari banjir yang mungkin akan menghanyutkannya,
Ia masuk rumah, mandi,
Lalu ia berpakaian rapi,
Kemudian memandang jauh ke pohon jambu itu,
Begitu lama,
Entah untuk siapa,
Dan ia tidak pernah ingin ada yang menanyakannya

Banyuwangi, 2010

(16)
Suraji van Houten bercerita, bahwa orang-orang selalu bertanya-tanya tentang siapa perempuan tua yang berleher jenjang itu. Percakapan di warung tepi jalan saat pagi tidak pernah selesai mempertanyakan siapa sebenarnya perempuan tua berleher jenjang itu yang setiap pagi menyapu halaman rumahnya yang tua, lalu masuk lagi, saat malam ia menyalakan lampu minyak. Tidak ada yang banyak tahu tentang perempuan tua itu, mungkin karena desa itu sudah jarang terdapat orang tua seusia perempuan tua itu, sehinga riwayat perempuan tua itu seperti terlipat dalam rahasia waktu yang misterius.

Tentu saja Suraji van Houten tidak tahu. Dia menceritakan hal itu. Pemuda desa yang biasa-biasa saja tidak tahu. Kadang-kadang perbincangan tentang perempuan tua berleher jenjang itu terbenam dalam percakapan lain-lain, tak lagi menjadi penting. Tapi, menurut Suraji van Houten, tak ada yang menggetarkan di desanya selain nada tembang perempuan tua berleher jenjang itu di bale rumahnya sembari memetik sayuran untuk besok pagi, dan bayangan tubuhnya terpantul di gedek rumahnya oleh cahaya lampu minyak. Kata Suraji van Houten, dirinya selalu menduga-duga tentang perempuan tua itu, tapi dia segera mengatakan bahwa dugaan-dugaan itu ia yakini tidak benar. Tapi kenapa ia terus menduga-duga? Dan sore itu, Suraji van Houten menutup ceritanya sambil tersenyum, seperti senyum menang dariku yang sejak awal menyimak ceritanya dengan seksama.

(17)
Siang itu memang panas. Matahari bagaikan dengung ribuan lebah menyegat kepala. Bulan puasa.

"Kau harus pulang," kata suara entah siapa.

Sepeda motor tadi sudah minum bensin lima ribu rupiah.

"Siapa di situ?" tanya suara entah siapa.
Para pengemis bergerombol di simpang lima. Ada di antara mereka bertanya kepada yang lainnya: "Kamu sudah dapat berapa?"

"Baru tiga ribu," jawabnya.

"Pernahkah kau bertanya; kenapa orang-orang mengemis? Pernahkah kau tahu, ada kerajaan pengemis di sebuah negeri pengemis di dalam suatu negeri yang tidak pernah bermimpi untuk menciptakan pengemis?" tanya suara entah siapa.

Dan akupun berbuka.

Banyuwangi-Muncar, 2009-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar