Rabu, 03 November 2010

Panduman


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Sehelai sungai. Panduman duduk di tepi. Tentu saja itu bukan sehelai sungai yang jernih, bercahaya, di tepinya ada bunga-bunga, kupu-kupu, dan ikan-ikan berkejaran di dalamnya bagaikan keterangan-keterangan dalam dongeng. Tapi, sehelai sungai yang di tepinya terdapat Panduman duduk melamun memandang air, adalah sungai di tepi kota yang bau, bangkai anjing mengapung, kaleng-kaleng, dan kotoran manusia, tidak ada ikan, cuma cahaya lampu-lampu dari bangunan-bangunan besar bersusah payah menggapai air sungai. Bagi Panduman, menghabiskan malam dengan duduk berlama-lama di tepi sehelai sungai yang bukan sehelai sungai seperti dalam dongeng, adalah keharusan. Entah kenapa itu harus menjadi keharusan bagi Panduman. Dan itu dilakukan Panduman pada musim-musim hujan. Panduman tidak berteduh. Ia tidak takut banjir. Ia duduk memandang sungai saat hujan turun malam, jutaan butir air tumpah ke permukaan sungai. Panduman adalah pelamun. Dia bukan penyair, bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang laki-laki bernama Panduman.

Paduman memandangi dengan tekun air sungai yang mengalir pelan membawa kotoran entah apa saja. Remang cahaya lampu-lampu menyinar ke muka air. Hujan turun. Musim hujan, hampir tiap malam hujan turun. Dan pada saat hujan lebat, sehelai sungai itu banjir. Panduman duduk di tepi sungai, tepatnya di atas gundukan tanah. Air selalu hampir meluap. Tapi,tidak menggapai Panduman.Dan Panduman kembali mengingat mimpi itu.Mimpi yang paling ganjil.Ia bermimpi membunuh seorang wanita tak dikenal berulang kali.
***

Panduman selalu diganggu mimpi-mimpi ganjil itu. Sehingga Panduman merasa takut untuk tidur pada malam hari."Setiap malam,orang akan tidur,dan mungkin dalam tidur mereka berharap bermimpi indah tentang segala hal yang barangkali gagal untuk didapatkan dalam kenyataan. Tapi,bagi saya, malam dan tidur adalah teror. Mimpi-mimpi ganjil itu mencekik leher saya. Saya tidak bisa bernafas setelah sadar dari mimpi-mimpi ganjil itu. Dan anehnya, mimpi-mimpi ganjil itu selalu menerorku di musim penghujan," kata Panduman entah kepada siapa. Itulah karenanya, Panduman tidak mau tidur malam hari. Dia tidak berani menghadapi mimpi. Lebih baik menghabiskan malam di tepi sehelai sungai yang sama sekali tidak menyenangkan, hujan, bau, kotor, suara katak, dan nyamuk. Sehelai sungai yang tidak seperti dalam dongeng.

Di kota itu, Panduman adalah pengangguran. Dia tinggal di rumah buruk warisan orangtuanya. Kedua orangtua Panduman tidak di situ. Kedua orangtua Panduman telah meninggalkan kota itu dan tinggal di kota lain bersama adik Panduman yang sukses di kota lain. Sebagai kakak, Panduman tidak bisa memberi contoh kesuksesan bagi adiknya. Rumah buruk itu ditempati Panduman, orangtuanya menyerahkan rumah buruk itu buat Panduman, orangtua Panduman telah dibuatkan rumah di sebelah rumah adik Panduman yang sudah sukses di kota lain. Orangtua Panduman berpesan kepada Panduman agar Panduman tidak menjual rumah buruk itu, agar Panduman segera mencari pekerjaan lalu menikah karena sudah berumur, agar Panduman bisa sukses seperti adik Panduman. Panduman tahu itu. Dan Panduman tidak tahu bagaimana bisa mencapai sukses seperti adiknya yang sukses sebagai pengusaha di kota lain. Panduman menolak bantuan adiknya. Dia sebagai kakak. Panduman hanya lulus SMA. Kerja tidak mudah. Uang tidak gampang. Hidup tidak semudah adik Panduman dan tidak semudah orang lain.

Panduman terkejut. Kedua matanya menangkap ada sesuatu mengapung di sungai. Sesuatu itu bukan bangkai anjing. Tidak jelas. Lampu-lampu remang tidak memperjelas pandangan Panduman. Hujan turun. Tidak lebat. Panduman basah. Sungai tidak banjir karena hujan tidak lebat. Panduman melihat ke sungai. Yang mengapung itu, sepertinya adalah tubuh manusia. "Mayat!" pekik Panduman pada dirinya sendiri. Panduman ingin pulang. Tapi, di rumah pasti dia akan tersiksa karena harus menahan diri supaya tidak tidur. Tidur berarti mimpi. Dan mimpi adalah teror. Panduman tidak mau.

Panduman meyakinkan matanya. Ia menajamkan tatapannya. Dan yang mengapung dan hanyut dengan pelan bersama sampah-sampah itu sepertinya adalah tubuh manusia. Hujan turun tidak lebat, tapi hujan turun malam seolah tak mau berhenti. Panduman merasa gentar. Ia khawatir itu tubuh manusia korban pembunuhan. Tapi, mungkinkah yang mengapung itu mayat? Panduman belum yakin dengan matanya. Paduman meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang bermimpi. Panduman menoleh ke kiri ke kanan, ia khawatir ada orang lain selain dirinya. Panduman memutuskan meninggalkan sungai. Panduman bergegas. Hujan turun malam, tidak lebat dan seolah tidak mau berhenti. Panduman bergegas. Panduman mempecepat langkahnya.

"Berhenti!" sesesorang mencegahnya.

"Siapa?" Panduman tidak mengenal orang yang mencegahnya.

"Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan seorang wanita dan mayatnya Anda hanyutkan di sungai," petugas menangkap dan memborgol tangan Panduman. Hujan turun malam, tidak lebat, dan seperti tidak mau berhenti. Dan Panduman kini betul-betul yakin, dia tidak sedang bermimpi. Panduman tidak berkata-kata. Panduman dibawa petugas. Tangannya diborgol.

Banyuwangi, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar