Sabtu, 20 November 2010

Perjalanan Baru Musa dan Khidir


Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Nabi Musa merebahkan badannya di atas rumputan. Beliau lelah. Segala perjalanan telah ia lewati, mulai dari melawan Fir’aun, melawan para penyihir Fir’aun yang menyerangnya dengan ular-ular kecil dan dengan kehendak Tuhan, tongkatnya menjadi ular raksasa yang menelan ular-ular kecil penyihir Fir’aun, menyeberangi samudra yang diiris menjadi sebentang jalan oleh tongkatnya atas ijin Tuhan, berlar-lari sampai sakit perut, sampai ia tak kuasa menyaksikan cahaya Tuhan di bukit Sinai. Cukup melelahkan menjadi Kalimullah, Juru Bicara Tuhan Yang Agung dan cukup melelahkan pula ketika ia harus menyampaikan Sepuluh Perintah Tuhan kepada manusia. Musa merebahkan badannya di atas hamparan rumputan. Ia sendirian kali ini. Ia menatap ke langit lepas. Ia terkagum-kagum atas kebesaran Tuhan. Dan dengan tanpa ia sengaja, “Kira-kira adakah yang melakukan perjuangan seberat aku dengan pengetahuan seperti yang kumiliki. Kalaulah ada, siapakah dia?” gumamnya pelan. Tapi, Tuhan Yang Maha Mendengar tentu mendengar setiap apa pun dari makhluk-Nya.

“Musa! Pergilah ke pantai. Temuilah seseorang yang bernama Khidir. Dan bergurulah kepadanya,” seru suara entah dari mana. Dan Musa meyakini itu adalah perintah Tuhan.

“Baik, Tuhan. Saya akan cari orang yang bernama Khidir itu, dan saya akan berguru kepadanya. Karena mungkin ia adalah manusia yang lebih segalanya daripada aku.”

Maka, berangkatlah Musa menyusuri sungai hingga ke tepi lautan. Dan bertemulah Musa dengan seseorang yang jauh lebih rendah penampilan fisiknya daripada Musa.

“Apakah, Tuan, yang bernama Tuan Khidir?” tanya Musa.

“Benar. Ada gerangan apakah, Tuan?” tanya Khidir.

“Saya mendapatkan perintah Tuhan, supaya saya berguru kepada Tuan.”

Khidiri merenung sejenak. Lalu, Khidir berkata heran; “Apakah belum cukup Tuhan menyampaikan Torat kepadamu sehingga engkau harus berguru lagi kepadaku?”

“Saya tidak mengerti rahasia Tuhan. Saya hanya harus patuh kepada-Nya,” jawab Musa.

“Ya. Ilmu Tuhan itu maha luas, ilmu kita sangat sedikit.”

“Benar, Tuan. Itulah mungkin kenapa saya harus berguru kepada Tuan Khidir.”

“Jika memang itu perintah Tuhan, maka Tuan aku terima sebagai muridku. Dan sebagai murid, Tuan harus mematuhi apa yang aku perintahkan kepada Tuan. Namun, apakah Tuan sanggup? Saya rasa Tuan tidak akan sanggup.”

“Saya sanggup, Tuan Khidir.”

“Baiklah. Tuan Musa boleh mengikuti saya, dan dalam perjalanan, Tuan saya larang untuk memperotes setiap sikap dan tindakan saya. Tuan harus bersabar mengikuti saya. Lihatlah saja tindakan saya, jangan Tuan protes. Tuan sanggup? Saya rasa Tuan tidak akan sanggup.”

“Saya sanggup. Ini sudah perintah Tuhan.”

“Baiklah.”

Keduanya pun berjalanlah. Musa berjalan di belakang Khidir. Keduanya lalu menumpang sebuah perahu. Dan ketika perahu itu berada di tengah samudra, Khidir melobangi perahu itu, lalu ia dan Musa menyelamatkan diri dengan perahu lain. Perahu yang telah dilobangi oleh Khidir itu pun tenggelam. Musa gelisah, dan ia pun memprotes perbuatan Tuan Khidir yang baru saja menjadi gurunya itu.

“Wahai Tuan Khidir, kenapa engkau melakukan kejahatan dengan melobangi perahu itu? Bukankah engkau telah mencelakakan orang-orang di dalam perahu itu?”

“Wahai Musa, bukankah telah kukatakan kepadamu supaya kamu tidak kuperkenankan memprotes segala tindakanku sebelum aku memberitahukannya kepadamu? Apakah engkau lupa dengan perjanjian kita?”

“Baiklah.”

Musa menahan kegelisahannya.

Sampailah keduanya pada sebentang jalan di sebuah desa. Melintaslah di hadapan mereka seorang anak kecil, dan dengan tangkas, Khidir menangkap anak kecil itu. Khidiri membawa anak kecil itu, menutup mulutnya supaya tidak menjerit, kemudian Khidir memotong leher anak kecil tak berdosa itu dengan sebilah pedangnya. Pedang itu mengkilap.

Musa kembali gusar. Ia tidak mungkin membiarkan perbuatan keji itu berlalu tanpa alasan.

“Tuan Khidir! Kenapa Tuan membunuh anak kecil yang sama sekali belum melakukan perbuatan dosa, anak yang masih bersih dan suci itu? Itu kekejian!”

Khidir tersenyum.

“Bukankah telah kukatakan kepadamu, Wahai Musa, janganlah bertanya sebelum aku menjelaskan semuanya,” jawab Khidir.

“Baik. Maafkan,” jawab Musa gugup.

“Bagaimana? Apakah kau masih sanggup mengikutiku tanpa bertanya dan mempersoalkan perbuatanku? Jika tidak sanggup, cukup di sini kita berpisah dan akan kujelaskan semuanya kepadamu,” kata Khidiri.

“Berikan aku satu kesempatan lagi, Wahai Tuan Khidir.”

“Baik.”

Keduanya pun kembali berjalan. Kemudian tibalah keduanya di sebuah desa. Khidir memasuki desa tersebut, dan dia memohon supaya diperkenankan bermalam di desa tersebut. Namun, penduduk di desa itu mengusir dan menolak Khidir dan Musa dengan keji. Maka, Khidir dan Musa pun meninggalkan desa itu. Di tengah perjalanan, sebangun tembok desa yang penduduknya mengusir Khidir dan Musa itu mengalami kerusakan yang sangat berat. Dengan penuh semangat dan cekatan, Khidir memperbaiki tembok desa yang mengalami rusak berat itu. Tentu saja Musa kembali bertanya.

“Tuan Khidir, kenapa engkau memperbaiki tembok desa yang penduduknya telah mengusir kita?”

“Tuan Musa, sebagaimana permintaanmu sendiri, kita tidak bisa lagi bersama. Kita berpisah di sini. Tuan Musa telah tiga kali melanggar janji Tuan untuk tidak mempertanyakan dan memprotes segala perbuatanku.”

Musa pun menyadari kesalahannya. Dan dengan penuh tanda tanya, Musa bertanya kepada Khidir akan apa maksud dan motif dari segala tindakannya itu.

“Sebelum kita berpisah, Wahai Tuan Khidir. Perkenankan hamba mengetahui apa gerangan maksud dan motif semua perbuatan Tuan yang menyimpang itu?” tanya Musa.

Khidir tersenyum.

“Wahai Tuan Musa, Wahai Juru Bicara Tuhan Yang Agung, Wahai Penerima Torat Yang Suci, apa maksud dan motif perbuatanku tadi, tidaklah sepatutnya kujelaskan di sini. Karena aku tidak punya alasan apa pun dan tidak mempunyai motif apa pun dari seluruh perbuatanku. Aku hanya menjalankan perihatah Tuhan sebagaimana Tuan Musa.”

Khidir pun menyelinap ke balik semak dan menghilang.

Banyuwangi, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar