Kamis, 11 November 2010

SUHITA

Cerita: Taufiq Wr. Hidayat

Dari balik jendela, embun menggantung di tepi dedaunan. Kupikir hari ini tidak ada yang benar-benar hadir dari dalam mulut-mulut berita, tentang kota tua yang tak tertata dengan rapi. Pohon mangga belum berbuah. Kain-kain dikibarkan. Barangkali pagi tak lagi menawarkan sebentuk penegasan tentang perjalanan burung. Di situ orang-orang menanam pohon pisang. Kota ini menjadi kota pisang, buah yang bentuknya lonjong memanjang mengandung vitamin C dan kalsium. Di sebelah barat desa Singotrunan, sejumlah orang menghalau bebek, memelihara sapi dan kambing. Sawah-sawah masih digarap dengan semangat hidup yang berkilau. Seyogianya kita masih bisa tersenyum manakala tanah ini masih memberikan kehidupan. Tapi, orang-orang tetap sibuk dengan banyak persoalan yang mendesak pada dinding kekuasaan. Buah semangka di kebun belakang belum juga bisa dipetik, hanya berbuah kecil yang entah apakah akan selamat hingga memberikan daging berwarna merah kepadamu dengan gerombolan bijinya yang hitam. Tapi, di pasar ada yang menawarkan buah semangka tanpa biji, katamu, itu semangka super.

Sebelum malam, sebelum segalanya menjadi sedemikian samar. Langit rindu memanjangkan kenang pada tepi alismu. Dia adalah Suhita, seorang laki-laki yang namanya mirip perempuan dan mirip sebuah nama yang terdapat dalam sebuah legenda. Suhita seringkali merenda di depan teras rumahnya, menunggu hujan dan orang datang. Sesekali Suhita mendesah, bahwa katanya kefakiran itu mendekatkan diri pada kekafiran. Ada yang lebih berbahaya dari sekadar kefakiran harta, desahnya, yakni kafakiran hati dan jiwa. Tentu saja, kita tidak hendak menafsir desahan Suhita yang mencangkung di teras rumahnya, di mana embun belum juga membawakan sebatang kretek untuknya.

Orang-orang sibuk menata pikiran-pikiran kelam berupa balok-balok persegi empat. Pasar menawarkan ruang segi tiga. Toko-toko baru mengecambah, orang-orang membeli produk asing dengan harga murah, katanya, dengan kualitas yang sama saja. Sejatinya kita hanya membeli label, ujarmu. Tapi, asap belerang mengepul dari tubuh-tubuh manusia. Suhita meratapi nasibnya. Nasib yang sesekali menjelma mata angin membuka daun cakrawala di langit jiwanya. Fitnah dan rasa tersinggung didaur ulang dari mimpi yang kemarin hari.

* * *

Suhita dilahirkan di Banyuwangi, dia termasuk keturunan raja, sehingga di depan namanya bergelar raden, namun dia tidak hidup di lingkungan istana. Seorang anak lelaki yang berkulit bersih. Suhita menempuh sekolah di SMA Giri. Hari-hari menggelinding seperti sebutir kelereng di lantai rumahmu, menegaskan sebentuk dunia yang bergulir dan berkilau. Sejak kecil, Suhita selalu rajin memelihara bunga. Bunga-bunga di halaman rumahnya beraneka warna, seperti pelangi. Dia pernah masuk sekolah tinggi swasta jurusan akademi koperasi, sebuah sekolah yang kemudian gulung tikar. Sehingga ketika Suhita membutuhkan ijasah untuk pencalonan dirinya sebagai wakil rakyat, ia harus meminta tanda tangan kopertis di Surabaya. Merepotkan memang, tapi itu harus ditempuh, tak lain adalah sebuah perjuangan. Namun sayangnya, Suhita yang lugu dan jujur itu, tidak terpilih sebagai anggota wakil rakyat tahun 2009. Sangat disayangkan, padahal aku banyak menaruh harapan pada sosok Suhita, nyaris tidak kutemukan lagi sosok manusia yang jujur sejujur Suhita.

Suhita bukan malaikat. Dia adalah manusia biasa yang selalu merasakan lapar di pagi hari dan harus berpikir keras agar kedua anaknya tidak ikut lapar. Suhita memiliki semangat hidup yang luar biasa, meski ia tergolong pengangguran yang selalu aktual. Segala impiannya tentang pohon nangka dan buah duren, terpaksa harus ia kuburkan dalam-dalam di bawah dipan setelah ia menerima kenyataan bahwa suara pendukungnya tidak memenuhi satu kursi wakil rakyat pada Pemilu Legislatif tahun 2009. Apa boleh buat? Hidup itu tidak ada yang normal atau tidak normal, hidup itu tidak ada yang sukses atau tidak sukses sebagaimana banyak kata orang. Yang ada hanyalah hidup saja, maka jalanilah itu, desah Suhita di dalam hati, di antara cahaya senja yang pelan-pelan tenggelam ke dalam kedua butir matanya yang hampir setengah abad. Isterinya sudah dua tahun lebih pergi meninggalkan Suhita, meninggalkan dua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Suhita tidak pernah menangisi kepergian isterinya. Bagi Suhita, kedua anaknya adalah permata sorga di dalam hatinya. Sedangkan cinta adalah biji jagung yang ditanam, tumbuh, berbuah, dipetik buahnya untuk digoreng atau dibakar, pohon jagung dipotong untuk makan sapi atau disampahkan, gumam Suhita.

* * *

Diam-diam bulan Agustus menguntumkan bunga di depan rumahnya. Seperti biasa, Suhita bangun pagi, menyeduh kopi, dan merokok, lalu berpikir bahwa hari ini ke mana ia akan mencari sebentuk penguripan buat sehari, tentu sekadar pengganjal perut dan kedua orang anaknya. Tidak ada yang benar-benar benar, tidak ada yang salah betul dalam hidup ini, desahnya. Yang ada adalah benar-benar hidup, itu kenyataan, bisik Suhita sembari menyedot kretek di bibirnya.

Secara filosofis, waktu itu abadi, kitalah yang mati, kata Suhita berfilsafat entah untuk siapa dan ditujukan untuk apa. Dunia rasanya seperti sebutir pasir yang mencemplung ke dalam segelas kopi di mejanya, jatuh ke dasar gelas dengan pelan, tenang, dan anteng. Sekali waktu ambeiennya kambuh, badannya lemas, dan cucian menggunung di kamar mandi yang dihuni ikan. Suhita masih di situ. Bertinggal di sebuah rumah besar tua yang sendiri. Kedua anaknya di situ, sering bermain, lalu tidur ketika sudah capek sekali. Anak-anak memang memiliki semangat hidup yang menggairah, menyala, dan kuat. Kau akan kewalahan mengikuti kemauan dan tingkah anak-anak, mereka tidak mengenal lelah, sebab pikirannya bersih, jiwanya bebas dan hatinya bercahaya. Beruntunglah bahwa usia belum mengalahkanmu, ia masih bersahabat dalam tiap denyutmu, menyediakan warna langit, segayung embun, dan bunga-bunga kates.

Suhita masih menegaskan keterpencilan di tengah gelombang. Daun-daun melambai mengikuti lambaian kain. Sampah di depan rumahmu dibakar oleh Bagas, seorang sarjana perikanan yang kere tapi kaya dengan wawasan, setiap hari datang ke rumahmu untuk melihat televisi, menyeduh kopi, dan membelikan rokok beradasarkan perintah Suhita. Bagas pernah kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, jurusan perikanan, skripsinya tentang pemindangan ikan dengan membuang terlebih dahulu perut ikan sebelum dipindang, ikan yang telah dikeluarkan isi perutnya akan menyebabkan minimnya mikroorganisme atau mikrobiologis dalam daging sehingga menjadikan daging ikan menjadi lebih awet, bertekstur baik, memiliki aroma enak, memiliki rasa yang lezat. “Ini sebuah dugaan ilmiah,” ujar Bagas kepada Suhita. Wawasannya sangat luas dan mendalam. Bagas tidak bekerja, pengangguran. Orang-orang menganggap Bagas adalah orang stres atau sinting. Tapi, bagi Suhita, Bagas tidak gila. Bagas selalu berhasil dengan cerdas mengomentari film-film yang dilihatnya dengan wawasan perfilman yang menakjubkan. Seperti pagi itu, Suhita masih berdiam di kursinya, menghadap ke timur, memandang kaca rumahnya, lalu kedua matanya bersemayam pada sebuah pohon mangga yang buahnya sudah dipetik bulan kemarin, semula pohon mangga di depan rumahnya itu ada dua batang, tapi yang sebatang ditebang sebab dijadikan sebuah kolam ikan (kolam ikan itu bentuknya mirip bak mandi). Musim memang tak selalu membacakan puisi perpisahan, tapi aroma kata-kata mengembun dari balik perjalanan kelereng waktu yang menggelinding di situ. Kupikir kau tidak perlu menyiapkan mie instan goreng, telor ayam, ikan asin, dan sambal.

* * *

Wangi kopi dari gelasmu masuk ke dalam hidungku. Di kursi itu, Suhita sering duduk, membaca koran dan mendiskusikan banyak hal dengan teman-temannya yang datang berkunjung bahkan kadang bermalam di rumahnya. Teman yang sering datang ke rumah Suhita adalah Sibudar, dia seorang pelukis. Dulu rambutnya panjang. Terakhir kali aku melihatnya, rambutnya sudah pendek. Aku tidak tahu alasan apa yang menyebabkan Sibudar memotong rambut panjang kebanggaannya itu. Dulu, kata Suhita, Sibudar adalah seorang pelukis dan pengantar turis di Bali. Bahasa Inggris Sibudar sangat bagus walaupun dia tidak pernah lulus kuliah, gelarnya adalah DO alias drop out. Suhita dan Sibudar sering menggoreng mie instan dengan irisan sayur, potongan tomat, dan kacang panjang yang digunting kecil-kecil.

Pagi ini Suhita sibuk. Tangannya bersilangan di atas meja, menyeduh kopi, mengaduknya hingga benar-benar kental dan pekat. Suhita cukup bingung memikirkan seragam sekolah anaknya yang kurang seratus ribu, belum buku-buku sekolah satu paket seharga delapan puluh ribu, buku tulis, dan dasi sekolah yang kurang panjang. Lalu pagi itu riuh, Suhita menyuruh anaknya sekolah, bel masuk sekolah kurang tiga puluh menit, anaknya belum mandi. Suhita benar-benar memperhatikan sekolah anaknya. Syukurlah, anaknya sudah masuk sekolah. Pagi itu Ramindo, sahabat Suhita yang sehari-harinya sebagai tukang ojeg, datang bertamu ke rumahnya. Ramindo bercerita tentang negeri jiran Malaysia. Menurut Ramindo, Malaysia adalah negara yang cukup percaya diri menunjukkan kepada dunia bahwa Malaysia adalah miniatur Asia. Ramindo juga merasa geram kepada Malaysia yang akhir-akhir ini bersitegang mengenai batas wilayah, soal karya-karya seni milik Indonesia yang diklaim milik Malaysia, pelecehan terhadap Indonesia, dan masalah-masalah TKI. Tapi, Ramindo juga mengakui kemolekan Malaysia yang para pemimpinnya berhasil mempromosikan diri sebagai negara miniatur Asia, tidak seperti pemimpin-pemimpin Indonesia dewasa ini. Suhita nampak mendengarkan cerita Ramindo dengan serius.

“Kapan kita ke sana?” tanya Suhita.

“Kapan?” balik Ramindo.

“Kapan?”

“Kapan?”

Perbincangan berhenti di situ. Keduanya kini tenggelam dalam samudera huruf-huruf koran di tangan mereka berdua.

* * *

Waktu membentuk putaran jarum pada lingkaran, melewati angka demi angka. Angin bulan Agustus menyampaikan lagi hidup sebagaimana biasanya, mengetuk daun pintu rumah Suhita, melewati meja lalu duduk di kursi yang biasa diduduki Suhita tiap waktu. Kupikir Suhita tidak perlu lagi berpayah-payah menyeduh kopi sendiri dengan air panas dari atas kompor gas. Bagas dan Sibudar sudah memilih untuk tinggal di rumah Suhita. Mereka berdua yang rajin menyeduh kopi bila melihat bahwa gelas kopi di atas meja sudah kosong dan tinggal ampasnya. Kecuali jika kehabisan bubuk kopi, Suhita akan menghubungi teman-temannya melalui telepon genggamnya supaya datang ke rumahnya dan diminta tolong untuk bersedia apatah kiranya sekadar membelikan bubuk kopi dan setengah kilo gula.

* * *

Matahari mulai bergeser pelan-pelan di langit barat. Rumah begitu lengang. Pintu rumah terbuka, angin masuk dengan leluasa, angin senja yang pelan.

Banyuwangi, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar