Rabu, 04 Agustus 2010

Antara Meneng dan Kapuran

Sepanjang jalan dari pelabuhan Meneng menuju ke terminal Kapuran, terdapat warung tepi jalan, orang-orang menyebutnya “Warung Dowo" (Dowo=Panjang). Warung berdinding sirap dan gedek. Warung tepi pelabuhan, tempat labuh para sopir truk, pelaut, dan perayu-perayu gombal untuk melepaskan birahinya. Wanita-wanita muda dan juga setengah baya, menyambut dengan berhias senyum, botol, dan rokok putih. Segera akan tercium olehmu bau keringat yang basah, aroma alkohol, asap rokok, aroma air laut yang masih lengket di baju dan ketiak pendatang itu, lagu dangdut.

“Bahagia rasanya bisa membantu orangtua di desa dan menyekolahkan anak,” kata salah seorang wanita itu, “tapi, kadang menangis sendiri, sampai kapan aku hidup begini?”

Tanpa bulan, tanpa bintang, bermendung lalu hujan. Tak hirau pula wanita-wanita itu. Atap bocor, kasur lembab, dan nyamuk. Kalau mereka menangis, tidak ada yang tahu, mereka sembunyikan tangis mereka serapi-rapinya, begitu pelan begitu berhati-hati begitu lembutnya. Kepada orang lain, mereka terus tersenyum seolah tak ada beban yang tengah menindih di atas pundak yang semakin diraba usia. Dibohongi? Jangan tanya soal itu, tiap hari wanita-wanita itu menerima kebohongan dan kepalsuan dari siapa pun, sudah biasa. Mau disejahterakan, mau dientaskan, mau dikawini, mau dikawinkan, akan ada sembako murah, akan diberi pelatihan, akan dididik moralnya, akan akan akan... Semua tak ada yang nyata, toh mereka tetap tertawa di bawah atap warung ketika hujan bersama rokok dan dangdutan, bersama keringat laki-laki yang entah dari mana saja dan pergi semaunya ke mana saja. Para Cabup atau muspida atau gubernur atau presiden atau ulama atau siapa pun, semua pernah melintasi jalan propinsi itu, melewati Warung Dowo itu, mungkin di antara mereka ada yang pernah melirik sepintas pada Warung Dowo. Dan Warung Dowo tetaplah warung yang memanjang, barangkali sepanjang nasib para wanita yang entah sampai kapan akan berubah sebagaimana kehidupan normal yang didamba-dambakannya. Tak ada apa-apa. Yang ada hanya kegombalan. Sekali lagi: Kegombalan.

Lalu, diam-diam menyelinaplah di balik dinding Warung Dowo yang kumuh itu. Kesadaran apa yang akan menyatukan perasaan kita dengan mereka? Tak lain kesadaran bahwa kita adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang haus akan mataair dan cahaya-NYA.

Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar