Banyuwangi dan Kebudayaan
Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
Orang-orang memainkan sesuatu yang tak dimengerti, seperti politik menjelang Pilkada 2010 ini. Kenapa suatu nyanyian tak diketahui maknanya? Makna sudah tidak lagi menjadi kebutuhan yang penting. Ada yang mengejar bayangannya sendiri kemudian mengutuk tubuhnya. Kafka menulis aporisma dalam catatannya. Aporisma Kafka yang tak hendak mengurai. Hujan jatuh pada kening catatan Kafka. Tapi, sebaiknya kita tidak mempersoalkan nyaman tidak nyaman dalam melakukan kerja kesenian. Seni itu soal selera saja, kata Pranoto, itu mungkin juga aporisma.
Kebudayaan Banyuwangi di tengah gelombang penggerusan waktu. Perjalanan kebudayaan, sebagaimana telah dinisbahkan dalam sebentuk kecemasan para penganut budaya tradisional, seringkali membentur dinding yang kelam.
Air mengalir dan angin berhembus. Segalanya berjalan sebagaimana kesemestian yang telah digariskan oleh yang di luar kuasa akal. Analogi air dan angin, barangkali menjadi sebentuk keniscayaan di dalam menghayati tradisi dan budaya. Paling tidak, demikianlah yang hendak disampaikan WS. Rendra dalam "Mempertimbangkan Tradisi"-nya.
Menimbang tradisi tentu saja bermula dari kehendak teknis untuk menyelaraskan pelbagai komponen tradisi itu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kontekstualisasi ruang dan waktu. Bagaimana dengan Banyuwangi dan kebudayaannya? Ada pemisahan di sini, kenapa harus "Banyuwangi" dan "budaya"?
Banyuwangi sebagai sebentuk ruang dan waktu, di mana setiap unsur di dalam masyarakatnya senantiasa bergerak dengan perkembangan universal, meniscayakan untuk eksis sebagai bagian penting dalam kehidupan global. Dan untuk itu, tidak mudah yang akan dilakukan walaupun cukup sederhana untuk "menjadi". Kenyataan ini memastikan keharusan kita untuk senantiasa menjaga tradisi yang telah melewati tahap penting perkembangan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan demokratisasi, lebih dalam lagi ke dalam kesejahteraan rakyat Banyuwangi. Komitmen dan upaya pencapaian ini menjadi niscaya jika kita hendak mengukuhkan diri sebagai bagian dari masyarakat dan budaya dunia yang selalu mengalami benturan, yang dalam penisbahan Samuel Huntington; "The Class of Civilization". Pemikiran akan hal ini pernah saya dapatkan secara langsung dari Mas Bambang "Sumber" Purwanto. Dia mampu menangkap dinamika dan dimensi tentang Banyuwangi, budaya, dan kesejahteraan rakyatnya. Tiga unsur yang tidak mungkin dipisahkan: Banyuwangi, budaya, masyarakat, kesejahteraan. Saya pikir, cukup sulit mencari seorang tokoh yang mendetil ke arah ini, dan Mas Bambang "Sumber" Purwanto selalu mengurainya dengan bersungguh-sungguh dalam pelbagai pertemuan "warung kopian" dengan saya dan yang lain. Terlepas siapa Mas Bambang Purwanto, dinamika pemikirannya ini adalah kehendak untuk sebentuk Banyuwangi yang ideal, melesat jauh dari ruang waktu hari ini, adalah nilai penting di dalam diri seseorang yang didasari atas kecintaan terhadap daerahnya secara alamiah, jujur, dan konsekwen.
Tradisi lokal sebagai anasir atau unsur pembangun kebudayaan nusantara, mesti memasangkan diri sebagai sebentuk organisme yang senantiasa berkembang dan terbuka untuk diletakkan pada ruang tafsir yang multiinterpretatif. Ini menjadi penting untuk menimbang dan menghayati tradisi sebagaimana air yang mengalir dan angin yang berhembus. Ada apa-apa yang yang musti kita pertahankan dan ada apa-apa yang musti kita buang-lupakan, dan untuk itu kita tidak perlu menampakkan respon sikap yang fatalistik. Mengkaji dan menempati jatidiri, jauh dari slogan dan sikap benarnya sendiri dan merasa yang paling mewakili dan merasa yang paling "makani" rakyat Banyuwangi.
Adakah Calon Bupati Banyuwangi yang mengerti akan hal ini, yang di dalam otak dan jiwanya bukan melulu "binalitas ambisi" dan "kecongkakan materi"? Mudah diucapkan, sulit diwujud-hayatkan dalam kenyataan sehari-hari, bukan?
Banyuwangi, 2010
Rabu, 04 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar