Sabtu, 07 Agustus 2010

Ratu Adil vs Umbul Umbul Blambangan

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


BANYUWANGI adalah sebuah miniatur Indonesia. Pelbagai persoalan dan dinamika yang terbentuk-cipta di dalamnya, ialah sebuah gambaran mutakhir Indonesia. barangkali tidaklah sekompleks persoalan Indonesia secara menyeluruh, tetapi pada dasarnya, Banyuwangi menyimpan sebentuk 'tabungan' kegamangan masyarakat di dalam menghadapi siklus ruang dan waktu. ini artinya, bahwa dinamika yang berkembang di kabupaten ujung timur pulau Jawa ini, memiliki satu garis linear dengan kondisi aktual masyarakat nasional.

Baiklah. Mari kita menghikmati untuk lalu menghayati daerah tercinta ini. Sebenarnya, untuk mengetahui seberapa jauh Banyuwangi menjalani proses dinamika sosial-politik-budayanya, tidaklah terlalu rumit. Sebagaimana merasakan hawa di musim penghujan di awal musim kemarau. Akan halnya pergeseran politik kita, cuacanya seperti perempuan, terkadang dingin, dan di saat lain akan menjadi hangat, panas, lalu menggebu, lantas dingin lagi. Tidak konsisten dan tidak bisa ditebak secara pasti.

Menghikmati potensi Banyuwangi tidak cukup dengan mengemukakan sebentuk warna hitam dan putih. Melainkan diperlukan sumber daya manusia yang ideal yang berwatak menghadapi pola jaman. Di sinilaha penting bagi kita untuk tidak sekadar memandang setiap fenomena dari sudut pandang yang hanya berbaik-baik dalam retorika dan slogan, tetapi samasekali tidak menjejakkan akar dalam kekinian ruang dan waktu. Para pemimpin yag kemunculannya secara formal ditandai oleh peran-peran politik praktis, ternyata banyak menyisakan segumpal kecemasan dan keprihatinan di dalam menjawab pelbagai persoalan kehidupan serta pembangunan daerah yang sesak oleh ketidaknyamanan eknomi dan sosial-budaya. Lihat jasa, berbondong-bondong para pejabat Pemkab Banyuwangi ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung, begitu juga dengan sang Bupati Banyuwangi, Ibu Ratna Ani Lestari, SE.MM., yang dalam lagu ciptaan H.tutus disimbolkan sebagai seorag "Ratu Adil", yakni ratu yang adil. Dan menjadi ironi yang aktual, ketika sang "ratu adil" kini harus berjuang dalam urusannya dengan soal-soal keadilan hukum. Seolah-olah sebuah isyarat. Tuhan memang sedang 'bermain-main' dengan masyarakat Banyuwangi.

Menarik jika kita mencermati lagu ciptaan H.Tutus yang berjudul "Ratu Adil itu. Menjadi menarik, karena kata "ratu" dan kata "adil" kini menjadi frontal, yakni sang ratu (yang semestinya menegakkan keadilan) harus menghadapi keadilan, yaitu keadilan hukum terkait kasus dugaan korupsi yang menimpa terhadap dirinya. Kita tidak hendak mengadili, kita juga tidak akan memberikan vonis apa-apa terhadap kasus dugaan korupsi yang kini dihadapi sang Ibu Bupati Banyuwangi, karena mengadili dan memvonis itu bukanlah wewenang dan hak kita, melainkan hak Kejaksaan dan Pengadilan. Maka, tentu kita berharap agar pihak Kejaksaan dan Pengadilan di negeri ini, benar-benar menjadi "Ratu Adil" (dengan huruf besar) bagi sang "ratu adil" (dengan huruf kecil). Dengan demikian, supremasi hukum benar-benar bisa membuat rakyat tersenyum puas, yakni bahwa setiap warga negara Republik Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Tidak itu yang kebal hukum. Termasuk para penegak hukum itu sendiri, karena hukum adalah sebuah abtraksi konkret yang dijaga oleh nilai-nilai masyarakat dan dikawal oleh tatapan-tatapan publik yang transparan. Nah, di sinilah kita bisa menegakkan demokrasi. Sedehana, bukan?

Berbicara keadilan, kita tidak boleh pesimis. Meskipun keadilan terkadang menjadi sedemikian absurd. Jangan putus asa untuk terus mendorong tegakknya keadilan, karena tentu saja berputus asa itu adalah dosa besar yang tidak disukai Tuhan seru sekalian alam. Oleh karena itulah, mari kita kawal penegakkan keadilan hukum itu secara kritis, tanpa adanya unsur macam-macam, tanpa rasa suka atau tidak suka, melainkan demi terwujudnya Hukum Adil. "Ratu Adil itu tidak ada/Berhentilah mencari Ratu Adil/Kerna Ratu Adil itu hanyalah tipu daya/Apa yang harus kita temukan adalah Hukum Adil/Hukum Adil adalah bintang pedoman....", begitulah kira-kira sajak W.S.Rendra.




Ratu Adil dan Umbul Umbul Blambangan (Sebuah Perbandingan)




SEBAIT slogan memiliki kekuatan yang utuh di tengah sebuah masyarakat yang tengah bersemangat melakukan sebuah capaian konkret dari cita-cita keberadabannya. Ini artinya, slogan mestilah nyambung dengan kehendak dan semangat suatu masyarakat, kontekstual dengan keadaan, serta sejalan dengan langkah-langkah sosial-budaya masyarakat itu sendiri. Hampir sama dengan sebuah syair (puisi atau syiar lagu). Bedanya hanya terletak pada usia. Nah, kalau itu sebuah slogan, ia akan hanya menjadi sloroh kepentingan politik, sehingga usianya tidak lama karena ia hanya memotret kekinian demi satu kepentingan yang bersifat sementara. Syair ialah potret jaman (ruang dan waktu) di mana ia mengabadikan yang mungkin kelak akan terlupakan oleh sejarah. Demikian paling tidak menurut Goenawan Mohamad.

Menyimak sebuah syair yang ditulis oleh H. Tutus, berjudul Ratu Adil itu, menjadi sangat terkesan sebuah slogan yang dibungkus dengan kesenian, yakni musik daerah Banyuwangenan. Dalam video klipnya, Ratu Adil yang dimaksud adalah Ratna Ani Lestari, Bupati Banyuwangi, yang tampak tersenyum ramah dari atas kijang innova. Mungkin karena jaman sudah maju, sang ratu harus naik kijang innova, sebuah terobosan. Paling tidak dalam bayangan kita, Ratu Adil itu semestinya menaiki kereta kencana. Tapi, lebih baik kita tidak perlu membahas hal itu.

Mari kita menelaan syair Banyuwangen, Ratu Adil ciptaan H.Tutus dengan membandingkannya dengan syair lagu Umbul Umbul Blambangan ciptaan Andang C.Y. Kalau lagu Ratu Adil itu diciptakan setelah Ratna Ani Lestari menjadi bupati Banyuwangi, lagu Umbul Umbul Blambangan diciptakan jauh sebelum Ir. H. Samsul Hadi (bupati yang mempopulerkan lagu Umbul Umbul Blambangan) itu menjadi bupati Banyuwangi. Saking lawasnya lagu Umbul Umbul Blambangan itu, bahkan teks tertulisnya tidak ditemukan, dan sang penciptanya sendiri sudah lupa bait-bait syair yang ia ciptakan sendiri. jadi, syair Umbul Umbul Blambangan itu ditulis kembali dari ingatan (hafalan) orang Banyuwangi, lalu diaransemen ulang dan dipublikasikan. Memang monumental dan aktual. Bukan slogan. Tapi, syair yang berisi semboyan dan semangat bersama-sama untuk membangun Banyuwangi tercinta. Sebuah visi dan segebok misi yang dahsyat di dalam menerjemahkan kehendak rakyat Banyuwangi beserta potensi alamnya yang luar biasa. Bukan kultus individu yang terkesan 'kampungan' dan norak. Tetapi sebentuk pengejewantahan nilai-nilai spirit wong Banyuwangi ke dalam syair lagu. Syair Umbul Umbul Blambangan tidak akan ketinggalan jaman, karena ia mengiringi perjalanan jaman. Umbul Umbul Blambangan menjadi terkenal dan menjadi lagu kebanggaan orang Banyuwangi, bukan karena Ir. H. Samsul Hadi, Bupati Banyuwangi kala itu yang mempopulerkan lagu tersebut. Melainkan, lagu Umbul Umbul Blambangan adalah lagu yang mendarah daging dalam diri dan semangat membangun rakyat Banyuwangi, ia menemukan jatidiri kulturalnya yang mengakar kuat di Tlatah Balambangan.
Marilah kita simak petikan bait-baitnya.

.........................
....................... sing arep bosen/sing arep bosen
isun nyebut-nyebut/araniro Blambangan... Blambangan..
........................
.............Banyuwangi
kulon gunung wetan segoro/lor lan kidul alas angker
keliwat-liwat......
............................. he.. Blambangan
gumelaring taman sari nusantoro

Sebuah gambaran aktual dan historis. Di sini kita menemukan sebuah potensi lokalistik yang kaya untuk kita berdayakan. Gunung dan hutan lebat. Kita punya gunung dan hutan, yang artinya, Banyuwangi memiliki potensi air. Ingin air? Datang saja ke Banyuwangi yang airnya jernih dan layak minum walau tanpa dimasak. Gunung dan Hutan adalah sumber air, dan air untuk pertanian. Jadi, menjadi jelaslah bahwa potensi alam kita yang paling utama adalah potensi air dan pertanian, itulah kenapa VOC tidak membangun pabrik tebu di Banyuwangi, melainkan membangun waduk-waduk yang tersebar merata di kabupaten Banyuwangi ini. Membuat pabrik tebu di Banyuwangi, sebagaimana yang direncanakan pemerintah adalah sebuah langkah yang bersifat a-historis dan tidak memahami Banyuwangi. Laut Muncar adalah penghasil ikan yang luar biasa, dan potensi pantai kita adalah; Kabupaten Banyuwangi merupakan bagian yang paling Timur dari Wilayah Propinsi Jawa Timur, terletak di antara koordinat 7 43–8 46 Lintang Selatan dan 113 53–114 38 Bujur Timur dan dengan ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan laut. Kabupaten kita memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km yang membujur sepanjang batas selatan timur Kabupaten Banyuwangi, serta jumlah pulau ada 10 buah. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyuwangi: Utara Kabupaten Situbondo dan Bondowoso, Timur Selat Bali, Selatan Samudera Indonesia, Barat Kabupaten Jember dan Bondowoso. Ini adalah letak 'istimewa' sebagai transportasi kelautan dan industri kelautan. Sebuah gambaran yang aktual, tentang betapa Banyuwangi adalah "taman sari" nusantara. Potensi-potensi alam yang jarang dimiliki oleh kabupaten mana pun di Indonesia. Ini adalah anugerah. Dan demi mengolah anugerah ini, dibutuhkan sebuah semangat masyarakat dan pemimpinnya yang "mbangun sing mari-mari".

Dinamika sosial-budaya, politik dan sejarah dalam syair Umbul Umbul Blambangan ciptaan Andang C.Y. ini tampak dalam bait; "seneng susah hang disonggo". Sebentuk watak kebersamaan yang erat, harmoni, dan damai. Namun, di dalamnya terdapat keteguhan jiwa yang tidak mungkin kropos menghadapai logika universal serta instabilitas; "akeh prahoro taping langitiro mageh biru nyoro", tetap membangun tetap melanjutkan kehidupan. Lalu sebuah semangat patriotis demi memberikan yang terbaik bagi daerah tercinta; "he.. Blambangan lir asato banyu segoro/sing biso asat asih setyo baktinisun".

Secara artistik, syair Umbul Umbul Blambangan enak dinyanyikan di bibir kita, dan kandungannya benar-benar mencerminkan "kita banget", Banyuwangen tulen. Ini terbukti lagu Umbul Umbul Blambangan memenangi juara 2 (dua) pada ajang Asian Choir Games 2007 yang diikuti 200 grup paduan suara. Mereka datang dari 13 negara se Asia Pasific. Vox Coeleistis Choir ITN Malang tampil percaya diri. Mereka membawakan lagu Umbul-umbul Blambangan dengan penuh semangat. Menarik, bukan?

Lalu mari kita bandingkan dengan lagu berjudul Ratu Adil ciptaan H. Tutus yang hendak menyimbolkan kepemimpinan perempuan di Banyuwangi sebagai kepemimpinan Ratu Adil. Dari judulnya, Ratu Adil, bukan "Banyuwangi banget", jadi bukan "kita banget". Dalam sosio-historis orang Banyuwangi, kita tidak mengenal istilah Ratu Adil. Istilah Ratu Adil itu muncul di Mataram, yang tentu saja bukan wilayah Blambangan. Dalam syair Ratu Adil disebutkan istilah "cancut tali wondo". Nah, itu kan istilah Jawa Mataraman, dalam istilah Banyuwangi dengan dialek Using, kita tidak mengenal istilah "cancut tali wondo" itu.

....................
...........................Pitung ulan lawase riko sun anten-anteni
sak iki yoro wes dadi nyatane/He.. dhulur-dhulur pado negliliro
Ratu Adile yo wis teko......

Siapa yang tujuh bulan ditunggu-tunggu? Tak lain, seorang bupati yang melalui tahapan Pilkada Kab.Banyuwangi selama tujuh bulan lamanya. Yang terpilih seorang perempuan, sehingga disebut sebagai Ratu Adil. Politis, bukan?

Nah, Calon Bupati dan Wakil Bupati RAL dan Noeris saat kampanye menyampaikan janji-janji politik akan memberikan kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat Banyuwangi. Tapi, "janji-janji tinggal janji di bibirmu", itu kata sebuah lagu nostalgia. Program pendidikan yang memang diprogram dari pusat ke daerah-daerah ditangkap oleh pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati RAL-Noeris dikemas menjadi janji politik. Pelaksanaannya bagaimana? Tetap saja sekolah itu bayar. Tanya saja pada para wali murid, benar tidaknya. Kesehatan gratis dengan kartu kesehatan gratis yang bergambar foto Bupati Ratna Ani Lestari itu, nyatanya tidak sakti. Tetangga saya masuk rumah sakit menggunakan kartu itu, diperlakukan seperti kambing, sekarat dan tidak ditangani. Kenapa? Karena ya harus bayarlah. Dalam syair ratu Adil itu, janji politik itu disebutkan dalam bait-bait berikut:

.............. Isun wong cilik sitik pengasilane
Jare ono kabar sing mbayar sekolahe
Iku pertondo mikiranken rakyate
Kang sing nduwe bondo dan dunyone

Lalu terasa syair itu menjelama slogan yang tidak aktual dan tidak nyata dalam kehidupan kita, dan terasa tak layak lagi diteriakkan, karena ini sudah bukan masa kampanye Pilkada, bukan? Ingat lagi sajak W.S.Rendra: ".......... ratu Adil itu hanya tipu daya....".

* * *

Jika bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari, berkeinginan untuk menjadi lagu berjudul Ratu Adil itu sebagai lagu wajib kabupatenj Banyuwangi menggantikan lagu Umbul Umbul Blambangan, di sini terlihat betapa kekuasaan politik yang dimilikinya benar-benar hendak mempertahankan keangkuhan kekuasaan belaka. Dalam syaio Ratu Adil terlihat jelas bahwa Ratna sebagai kultus. Dari isi syair, lagu tersebut memang menekankan akanpentingnya pemimpin yang berwibawa dan memikirkan nasib rakyatnya. Namun, pertanyaannya, sudahkah syair itu menjadi sebuah aktualitas yang faktual di Banyuwangi? Atau syair tersebut hanya sebentuk hiper realitas yang keluar dari realitas itu senidiri?

Jika kita membahas secara obyektif. Lagu yang bisa dijadikan sebagai lagu wajib atau lagu kebanggaan suatu daerah, memiliki sejumlah kelebihan dan syarat-syarat tertentu. Yakni, lagu itu harus bersifat mars atau hymne, memiliki semangat membangun dan merenung (kontemplatif). Kalau kita bandingkan, syair Ratu Adil tidak bersifat hymne dan kontemplatif, melainkan lebih bersifat spontan (sebagaimana bentuk sebuah slogan itu sendiri) dan mengkultuskan seseorang. Sedangkan lagu Umbul Umbul Blambangan sangat bersifat kontemplatif dan berisikan semangat untuk membangun daerah, berjenis mars dan hymne sekaligus. Kelebihan syair Ratu Adil, bahwa lagu tersebut adalah lagu yang diciptakan seseorang dan didedikasikan untuk Bupati Banyuwangi. Dan kelebihan lagu Umbul Umbul Blambangan, adalah sebagai lagu yang mengupas tuntas potensi daerah dan semboyajn semangat untuk menggali serta membangun potensi lokalistik, ia lebih didekasikan kepada kepentingan orang banyak, lebih pada mengagungkan potensi lokal Banyuwangi, dan tidak mengkultuskan siapa pun. Jadi, mari kita berpikir obyektif; layakkah lagu Ratu Adil menggantikan lagu Umbul Umbul Blambangan?





Kolom Perbandingan


Ratu Adil

1. Tidak berjenis hymne/mars
2. Lebih mengkultuskan individu
3. Berbau slogan politik
4. Tidak membangkitkan semangat membangun
5. Belum teruji sebagai lagu yang baik

Umbul Umbul Blambangan

1. Berjenis hymne dan mars sekaligus
2. Tidak ada kultus individu
3. Tidak berbau slogan politik
4. Membangkitkan semangat membangun dan menggali potensi lokalistik
5. Sudah teruji sebagai lagu terbaik se-Asia dalam memenangi juara dua pada ajang Asian Choir Games 2007 yang diikuti 200 grup paduan suara yang datang dari 13 negara se Asia Pasific. Vox Coeleistis Choir.



* * *

KEKUASAAN adalah sebuah bangunan yang angker ketika ia sang penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya dengan menampakkan rasa alergi terhadap kritik dan dinamika politik. Machiavelian yang diejawantahkan, halal-lah semua cara. Jadi, nilai-nilai sudah tidak penting. Yang penting langgeng kekuasaannya. Tidak perduli harus memperkosa sejarah, merobek-robek hukum, mengintervensi dan mengawasi dinamika berpikir kreatif masyarakat, bahkan meng-intimi wilayah kultural yang bukan 'muhrim'-nya kekuasaan.

Banyuwangi bukan hanya wilayah yang subur sebagai pewaris Blambangan. Melainkan juga daerah yang memiliki akar-akar kebudayaan kreatif dan orisinil serta kesejarahan yang tidak hanya cukup ditafsirkan dalam jenak kekuasaan politik formal yang angkuh. kita mesti memahami dan menghayati ruang budaya dan sejarah dalam membangun "taman sari nusantoro" ini. Terobosan gagasan dan langkah seorang pemimpin adalah niscaya harus. Jika tidak, maka celakalah rakyat kita, celaka Indonesia di mana ia didirikan dari lokalitas-lokalita sejarah dan budaya sebagai anasir kebudayaan serta keberadaban nusantara. Sudahkah kita membangun?

Membangun Banyuwangi adalah sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh dan nyata. Tidak perlu janji politik dari "tukang politik". Dinamika politik dan sosial Banyuwangi telah dijalankan oleh orang-orang yang justru tidak memiliki watak serta tidak mengerti Banyuwangi. Kita mulai pandai menjadi manusia yang tidak tahu balas budi dan tidak bisa menghargai jasa-jasa mulia meski dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Logika pemerintahan di Banyuwangi kini adalah logika poltik belaka, nafsu berkuasa, serta semangat mempertahankan kekuasaan demi kesejahteraan pribadi dan kelompok. Alangkah naifnya tulisan ini. Kita sudah tidak lagi memiliki logika membangun, dan kita membunuh kehendak untuk memberikan yang terbaik bagi daerah. Petanian kita apa? Laut kita siapa yang mengelola? Lapter kita dikurup habis-habisan sebagai 'bancakan'. Lalu Tumpang Pitu akan "dirampok" siapa?

Banyuwangi harus kembali. Banyuwangi kembali. Dan marilah kita menyanyikan Umbul Umbul Blambangan dengan kecintaan yang tertinggi terhadap tanah kelahiran kita, Banyuwangi. Kita hayati, renungi, kita bekerja menurut kemampuan masing-masing. Yang penting satu arah; Banyuwangi kembali. Kembali ke tangan kita, pemilik sah daerah tercinta ini. Sungguh mudah diucapkan, tapi susah diwujudkan, bukan?

Banyuwangi, 13 September 2008

1 komentar: