Hujan dan Kolak Pisang
Hari ini Banyuwangi hujan. Lalu hendak apa lagi. Memang sudah air jatuh dari langit. Bahwa mungkin keindahan. Masih terpenjara dalam kosa kata. Dan susunan huruf yang selalu gagal kau rangkai-rangkai kembali. Bagaikan harum tubuh yang terus tercium. Dan entah di liang bimbang
Kali ini masih hujan. Kau pun merokok sambil menghadapi kecemasan. Atau tak tau entah apa yang akan dikerjakan lagi. Sebab daun-daun memang tak pernah mengeluh. Begitu tekun menampung air dari situ
Memang hujan. Anak-anak berlari tak memakai baju. Mengejar masa kecilnya di jalan sebelum perempatan. Kau masih merindukan. Tidur di kasur empuk. Atau memandang hujan dari balik jendela. Sambil membayangkan ibumu yang tengah memasak kolak pisang dicampur duren. Dan bapakmu yang membaca koran di ruang tengah
Tapi, memang sudah hujan. Segala yang sudah kau gariskan di atas tanah sudah terhapus. Dan mungkin tak mudah diingat kembali. Selain bahwa kau pernah menggores di atas tanah. Pada suatu tempat. Entah di mana
Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010
Aku Jalan, dan Kamu
akulah jalan itu,
lewatilah dengan sendalmu,
setibanya di ujung itu,
ciumilah harumnya derita,
lepaskan sendalmu,
dan biarlah aku yang akan menjaganya
Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010
Aku Telaga, dan Kamu
akulah telaga,
maka layarkan perahumu di atasnya;
di situ hayut pula, bunga-bunga kemboja,
juga melati,
dan mawar kali yang maunya abadi.
tapi, fana juga.
seperti juga senja dan fajar,
warnanya hampir serupa.
akulah telaga,
lalu berenanglah, mandilah di tepiannya
di saat jingga senja.
mungkin kau akan kedinginan sesudahnya,
kemudian masuklah ke dalam rumah kayu,
nyalakan api, agar kau hangat,
sambil memandangi api,
sedang tubuhmu meringkuk dalam selimut.
akulah telaga,
kemudian pandangilah dari balik jendela,
sebab mungkin akan kau temukan sebentuk cerita,
yang entah tentang apa
Banyuwangi, 2010
Taufiq Wr. Hidayat
Germis dan Kopi, Ibunya
Ada seorang gadis kecil di tepi gerimis
Rambutnya basah, sandalnya kecil dan berlumpur,
Ia telah berlari seharian di bawah hujan,
Kini reda, dan ia di tepi gerimis yang sisa,
Ia tidak pernah berhenti menciumi tangis,
Ketika ia ingat, bahwa ibunya
Pernah memasakkannya bayam,
Lalu merenda di balik jendela,
Sambil menikmati kopi
Bersama bapaknya
Sandalnya yang berlumpur,
Ia lepaskan di situ,
Di ujung halaman,
Dan kini aku tengah menjaganya,
Dari banjir yang mungkin akan menghanyutkannya,
Ia masuk rumah, mandi,
Lalu ia berpakaian rapi,
Kemudian memandang jauh ke pohon jambu itu,
Begitu lama,
Entah untuk siapa,
Dan ia tidak pernah ingin ada yang menanyakannya
Taufiq Wr. Hidayat
Banyuwangi, 2010
Sabtu, 07 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar