Peneduh yang Mengayomi,
Kredit Sepeda Motor,
dan Gerimis
Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
Di sebuah rumah tua itu. Dinding-dindingnya mungkin sudah diperbaiki, dicat kuning muda, sehingga tampak sedikit rapi. Tapi, pintu kayu bercat biru, tertempeli kaca model tua bermotif bunga-bunga warna-warni, ventilasi kuno dengan jeruji besi, lantai tehel berwarna kuning teduh lama. Di ruang tamu itu terdapat tivi kayu kuno yang sudah tidak dinyalakan, di atasnya terdapat tivi murah merek Intel berukuran kecil. Sebuah almari kayu kecil di pojok ruang, di situ buku-buku dan kitab-kitab klasik tertata dengan rapi. Kursi tamu kayu yang pendek. Ketika kau memasuki rumah tua itu, maka akan terasa betapa bersahaja hidup pemiliknya, sederhana dan apa adanya.
Itulah ruang tamu milik KH. Toha Qobuli, Singotrunan, Banyuwangi, seorang kyai sepuh Banyuwangi dan tokoh NU. Beliau berjuang tidak dengan kegagahan dan bergagah-gagah, beliau lebih suka ngurusi NU tingkat ranting walau beberapa ulama’ memaksa beliau supaya masuk dalam kepengurusan NU tingkat cabang. Beliau tidak bersedia dengan alasan lebih memilih di bawah dan di “belakang” saja. Namun, perjuangannya sangat berarti. Beliau mengajar mengaji santri-santri kecil usia 8 sampai 10 tahun, tiap hari ke kebun. Wajahnya teduh, matanya dalam, tiap kata yang mengalir dari mulutnya menyejukkan. Beliau adalah santri almarhum KH. Abdul Hamid, Pasuruan, tokoh NU dan kyai kharismatik di NU.
Sepanjang hidup KH. Toha Qobuli, dihabiskan untuk mengurus santro-santri kecil dan madrasah di Panderejo, mengurusi NU kelas ranting. Tetapi, kebesaran ketokohannya tak terbantahkan. Jika sedang bersantai di teras masjid di Panderejo, beliau selalu dikelilingi penduduk sekitar yang dengan antusias menyimak cerita-ceritanya, beliau suka bercerita dan bercanda. Ketika banyak tokoh NU Banyuwangi ramai-ramai ke politik praktis dengan bergagah-gagah di mana-mana di forum-forum atau di media-media publik, beliau tidak ikut dan menolak hal itu. Beliau memegang teguh Khittah NU 1926 dan “ishlahud dzatil bain nahdliyah” dengan jujur dan konsisten.
KH. Toha Qobuli adalah model kyai salaf yang sangat berhati-hati dalam tiap sikap keagamaannya, namun beliau tidak pernah tertinggal dari pelbagai perubahan ruang dan waktu, beliau memegang prinsip “al islam yasluhu likulli zamanin bi makanin” (Islam senantiasa sesuai dengan ruang dan waktu) dan “al mukhofadhutu ‘ala al qadimis sholih al akhda fi jadidil ashlah” (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).
Kepada putra-putrinya, Kyai Toha terkenal keras dalam mendidik. Di tahun 2004, saya pernah meminta Kyai Toha untuk menandatangani naskah deklarasi Forkdem (Forum Penegak Demokrasi) beserta para tokoh dari agama-agama lain selain Islam. Beliau bersedia. “Ya, karena ini bukan politik praktis dan tidak untuk dukung mendukung, saya bersedia tandatangan. Pokoknya jangan dipakai untuk dukung mendukung, pokoknya yang rukun dan selalu saling mengingatkan,” ujar Kyai Toha sambil membubuh tandatangannya.
Kyai Toha wajahnya teduh, dipandang pipinya terasa empuk serasa ingin rebah di situ, tatapannya sejuk seperti ada mata air yang mengalir di dalamnya. Dan kini, setelah beliau wafat, Banyuwangi jelas kehilangan tokoh bersahaja ini. Tokoh yang setia untuk tidak berteriak-teriak, namun memiliki peran, eksistensi dan integritas yang tak tergantikan di tengah masyarakatnya.
Hari Rabu 6 Januari 2010, Kyai Toha menghembuskan nafas terakhirnya pada sekita pukul 08.00 WIB di RSUD Blambangan, Banyuwangi. Pada sore hari yang mendung, jenazah Kyai Toha (1948-2010) dimakamkan di kuburan umum di Kelurahan Panderejo, Banyuwangi. Ribuan pelayat datang menyolati dan mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir. Ketika Talqin dibacakan oleh kyai sepuh NU, Kyai Maksum, dan kemudian dibacakan Asma’ul Husna sebelum tanah ditimbunkan pada liang, gerimis jatuh begitu pelan dan tak sedikitpun mengusik ribuan pelayat yang hadir.
Selama hidup, Kyai Toha tekun mengisi ceramah agama di Stasiun Radio Habibulloh tiap Selasa sore dengan dialog interaktif yang mengasyikkan. Dan dengan rajin dan setia beliau mendatangi langgar-langgar kecil di tiap kelurahan untuk berceramah atau sekadar bercengkrama dengan masyarakat sekitar. Walau fisiknya sudah lemah karena penyakit jantung dan stroke, beliau tetap melakukan rutinitasnya itu tanpa peduli.
Seminggu sebelum wafat, Kyai Toha memanggil Ishaq, kemenakannya yang selalu ditugasinya untuk membantunya mengurus kebun kelapanya di Desa Banjarwaru, Kalipuro, Banyuwangi.
“Kamu panen kelapa itu semua, jual. Kemudian uang hasil penjualannya, kamu bagi-bagikan kepada penduduka sekitar kebun. Yang ikhlas kamu bekerja ya,” tutur Kyai Toha kepada kemenakannya, Ishaq.
Tiap berjalan dan bertemu orang-orang di kampungnya, beliau selalu berkata: “Yang ikhlas kalian semua, sambangi saya karena mungkin saya sudah tidak lagi akan menyambangi kalian lagi,” ujarnya.
Tiga hari sebelum sakit pada hari Selasa lalu wafat di RSUD Blambangan, Banyuwangi pada hari Rabu paginya, beliau memanggil salah satu putranya.
“Ini rekening tagihan kredit sepeda motor, kurang 7 kali cicilan. Tolong kamu urus kamu lunasi, saya sudah tidak mungkin mengurusi lagi.” Beliau kredit sepeda motor.
Kyai Toha selalu menolak ikut-ikutan untuk hal yang berkaitan dengan urusan dana umat. Soal pembangunan masjdi Agung Baiturahaman, Banyuwangi, beliau berkali-kali diminta oleh ketua yayasan supaya bergabung, beliau menolak dengan alasan karena merasa tidak mengerti persoalan teknik. “Saya mau lihat yang baik-baik saja. Dan saya mendukung dari belakang,” jawabnya.
Orang seperti Kyai TohaQobuli, saya yakini tidak akan pernah kerepotan menghadapi proses sensor malaikat di alam pascaduniawi itu. Beliau pasti lolos dengan tenang, setenang dhawuh-dhawuhnya, setenang dan setekun perjuangannya selama masih hidup dengan ikhlas yang terasa hingga langit menitikkan gerimis saat jasadnya hendak ditimbun tanah.
Selamat jalan, Kyai Toha. Kami rindu sosok panjenengan. Banyuwangi kehilangan. Ternyata kami yang berhati nurani lebih membutuhkan panjenengan, dan ajaklah kami, kelak, dalam sebuah perjamuanmu untuk menjelaskan tentang rahasia dari sebuah kerinduan yang panjang.
Banyuwangi, Kamis 7 Januari 2010
Sabtu, 07 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar